Share

Katakan atau Tidak

Aku terbangun dalam keadaan badanku sakit semua. Ini pasti akibat ulah Bang Udin dan Tia dan perlawananku kemarin.

Namun, anehnya, sekarang aku tidak lagi terikat pada tempat tidur. Hanya, kedua pergelangan tangan dan kakiku yang memerah.

Saat kesadaranku benar-benar pulih pun, aku melihat diriku sudah menggunakan baju piama tidur yang lengkap. Tubuhku juga ditutupi dengan selimut tidur yang biasa kugunakan.

Aku beranjak turun dari atas ranjang.

“Astagfirullah, badanku rasanya sakit semua,” keluhku sambil berjalan menuju ke dapur. Aku mau minum. Tenggorokanku terasa benar-benar kering.

“Baru bangun kau, Wulan?” tanya ibu, orang pertama kali kutemui pagi ini.

“Iya, Bu,” jawabku lemas.

“Tumben kau tidur nyenyak sekali, sampai-sampai ibu bangunkan berkali-kali, tapi kau tidak bangun.”

Aku melihat sekeliling. Apa aku katakan saja apa yang terjadi kemarin malam? Tapi, dari mana aku harus memulainya.

“Hei, ditanya kok, malah termenung.” Senggolan ibu menyadarkanku kembali.

“Eh, itu, Bu. Tia mana?” Aku balik bertanya pada ibu.

“Kak Wulan kecapean mungkin, Bu,” jawab Tia yang tiba-tiba muncul di belakangku. “Tadi malam Kak Wulan pulangnya jatuh. Untung ada Tia yang bantuin.” Tia duduk di sampingku. “Tuh, lihat muka Kak Wulan leban begitu.”

Seperti biasa, ibu tidak peduli. Namun, aku segera ingin beranjak dari tempat dudukku. Aku ingin ke kamar melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan wajahku.

Sebelum aku benar-benar pergi, Tia menggamit lenganku. “Kak, ini HP-nya, udah dibenerin sama Bang Udin. Jangan lupa dibaca pesannya, ya!” bisiknya sembari kembali fokus untuk sarapan pagi.

Aku yang awalnya juga ingin sarapan, memilih untuk kembali di kamar.

Di kamar, di depan cermin, aku melihat ada lebam di dekat mataku. Pasti ini yang membuatku pingsan tadi malam. Selebihnya tidak ada yang lecet.

Setelah yakin dan merasa semua baik-baik saja, aku langsung melihat pesan-pesan yang masuk di gadgetku.

“Astagfirullah!” Aku hampir saja menjerit. Untung dengan segera aku sadar dan menutup mulutku dengan tangan.

Apa yang Tia lakukan? Apa Tia benar-benar sudah gila?

Aku beristigfar sekali lagi. Kalian tahu apa yang terjadi? Tia mengirimkan file yang berisi foto-fotoku tanpa busana. Parahnya lagi, dia mengeditnya, menjadikan foto itu seolah-olah kulakukan dengan sengaja. Aku seolah-olah menikmati momen itu.

“Ingat, Kak, foto-foto ini akan bisa beredar ke mana saja aku mau kalau Kakak berani buka mulut.” Sebuah pesan baru saja masuk ke gadgetku. Tia pengirimnya.

Astagfirullah. Air mataku mengalir tiba-tiba. Apa yang telah diperbuat Tia? Mengapa dia bisa sejahat dan senekat ini?

Aku kembali memperhatikan foto yang dikirim Tia. Bagaimana bisa dia mengedit fotoku seperti ini? Dalam gambar itu, aku yang hanya menggunakan dalaman, terlihat tersenyum ke arah kamera.

Hebatnya, dia membuat banyak pose. Ada aku yang sedang duduk manis dengan kaki terbuka. Ada pula aku yang sedang berbaring miring dengan manja.

Astagfirullah. Berulang kali aku beristigfar.

Dengan segera kubalas pesan Tia. “Apa yang kamu lakukan, Tia? Kenapa kamu berubah nakal seperti ini?”

Tidak ada jawaban. Pesanku hanya dibaca saja.

Dalam keadaan setengah gila, aku mencoba untuk mencari solusi.

Oke. Sekarang aku harus cari cara untuk mengambil gadget Tia dan menghapus semua fotoku di sana. Aku harus tenang. Aku tidak boleh panik.

Setelah itu, aku harus mendekati Tia. Aku harus mencari tahu alasan apa yang membuatnya bisa terjerumus pada kejahatan yang tidak masuk akal ini.

Namun, bagaimana caranya?

Sekali lagi, aku mencoba untuk berpikir keras. Namun, aku tetap tidak menemukan solusi.

“Tuhan, tolong bantu aku,” ucapku sambil mengetuk-ngetuk kepalaku pelan. “Ayolah otak, berpikir, dong!”

Akan tetapi, kebuntuan tetap kuperoleh. Secara, Tia dan gadgetnya pasti melekat, kan? Hanya malam, saat dia tidur, aku baru bisa mengambil gadgetnya.

Ya, tengah malam nanti, aku akan mengambil benda itu di kamar Tia. Atau .... aku mencoba berpikir sesaat. Bagaimana kalau aku tanya g****e saja?

Secepat mungkin aku langsung membuka g****e. Aku abaikan rasa lapar yang sejak tadi menggelayuti perutku.

“Cara menghapus file di gadget orang lain,” ucapku sambil menulis kalimat itu di kolom pencarian g****e.

Dalam sekejap, puluhan video muncul di sana. Namun, saat kubuka satu per satu, tidak ada satu pun video yang membuatku yakin, sebab semuanya harus terkoneksi dengan akun g****e.

Selain aku tidak tahu password dan nama akun g****e Tia, aku juga tidak yakin kalau foto-foto itu disimpan di sana. Aku yakin Tia hanya menyimpan benda itu di galeri gadgetnya.

“Kamu jatuh ya kemarin, Lan?” tiba-tiba Kak Dina muncul di depan pintu kamarku.

“Eh, Kak Dina,” ucapku agak sedikit gemetaran. Entah mengapa, saat bertemu Kak Dina, aku merasa kasihan pula padanya.

“Kata Tia kemarin kamu jatuh dari motor. Bagaimana keadaanmu?”

Eh, sebentar, kenapa Kak Dina jadi perhatian begini?

“Tidak apa-apa, Kak,” jawabku akhirnya.

“Lan, Kakak mau ngomong, nih. Sebenarnya sudah lama, tapi kamu sibuk terus.”

Iya, karena badanku rasanya sakit semua. Jadi, hari aku memutuskan untuk meliburkan kegiatan ekskul anak-anak di sekolah.

“Ngomong apa, Kak?” Jujur, sebenarnya, aku juga mau ngomong.

“Belakangan ini, Kakak merasa hidup Kakak semakin hampa. Bang Udin pun sepertinya semakin menjauh. Dari itu, Kakak ingin belajar agama lebih baik lagi. Kata ustaz yang di masjid itu, waktu Kakak pergi maulid, salat itu bikin hati seseorang damai dan tenang. Sedangkan belajar agama akan bikin hidup lebih bermakna.”

"Wajar kalau Bang Udin menjauh, Kak. Sebab, dia punya daun muda yang lebih ranum dan itu adik Kakak sendiri." Ingin sekali aku menjawab seperti itu. Namun, aku tidak tega melihat wajah sedih Kak Dina.

Diam-diam, Kuperhatikan wajah Kak Dina dengan teliti. Ada raut lelah di sana. Matanya yang bulat terlihat sayu, seperti menyimpan beribu masalah.

Ya Rabb, maafkan aku. Selama ini, aku terlalu egois. Aku hanya peduli dengan karier dan kepentinganku sendiri. Aku lupa dengan keluarga yang sesungguhnya sangat butuh perhatianku.

“Alhamdulillah, aku sangat bersyukur mendengarnya, Kak. Wulan juga terus belajar. Bagaimana kalau setiap sore Sabtu, Kakak ikut Wulan belajar agama dengan ustazah di kecamatan?”

“Boleh. Nanti anak-anak suruh ibu yang menjaganya. Terus, Kakak juga mau belajar mengaji. Bisa kan, kamu mengajari Kakak?”

“Siap, Kak.”

Melihat Kak Dina ingin berubah seperti ini, rasanya tidak tega untuk tidak mengatakan apa yang sebenarnya terjadi pada Tia dan Bang Udin.

Kelakuan mereka itu sudah benar-benar kelewatan. Tuhan tolong berikan petunjukMu.

“Kenapa, Lan? Kamu mau ngomong apa?”

Ya Allah, kenapa Kak Dina tiba-tiba bertanya seperti ini? Apa ini pertanda kalau aku harus mengatakan semuanya?

Namun, tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara dari gadgetku sendiri.

“Awas! Kalau sampai kau berani bicara, kau akan menyesal selamanya!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status