Share

Penyiksaan

“Itu balasan bagi orang yang sudah kepo sama kehidupan orang lain,” ucap Tia.

“Tapi, kalian sudah keterlaluan. Kalian tidak boleh melakukan ini. Kalian telah berzina. Ini dosa besar,” ucapku, coba menyadarkan mereka dari kesalahan yang telah mereka perbuat.

“Tahu apa kau tentang dosa, Kak?” Tia berjongkok di depanku. “Hidup kau sempurna. Kau memiliki segalanya. Aku?” Saat mengucapkan ini, matanya tampak berkaca-kaca. Dia seperti menyimpan suatu luka yang mendalam. Apakah itu disebabkan ulah ayah? Apa karena dia tidak diperhatikan oleh ibu?

“Kau juga bisa punya kehidupan sempurna Tia. Kakak janji akan bantu kamu untuk kuliah.”

Dia tersenyum sesaat. “Tapi, aku nggak mau," jawabnya. Kemudian, Tia mengulurkan tangannya di hadapanku.

Aku terdiam. Sungguh, aku sangat bingung dengan semua keadaan ini. Tia yang tiba-tiba ketus. Tia yang ....

“Nggak mau dibantu?” ucap Tia.

Mendengar ucapan Tia, aku buru-buru menerima uluran tangannya.

Seketika, saat aku hendak berdiri, dia memutar tanganku ke belakang.

Ini rasanya benar-benar sakit. Aku sampai menjerit menahan rasa sakitnya. Namun, dengan cekatan, Bang Udin mendekap mulutku.

Dalam seketika, mereka berdua berhasil mengikat kedua tanganku ke belakang.

Sebenarnya, apa yang akan mereka lakukan padaku? kenapa mereka mengikatku?

“Yakin tidak lepas, Bang?” Tia bersuara.

“Meskipun ini hanya tali rapiah, Abang yakin Wulan tidak akan bisa meronta," jawab Bang Udin sambil mengelem mulutku dengan lakban.

Aku sempat protes. Namun, suaraku hanya keluar sesaat. Dengan cekatan Bang Udin menutup mulutku kembali dengan lakban.

“Jadi, sekarang kita apakan dia, Bang?” tanya Tia lagi.

Aku mencoba untuk beronta. Namun, ikatan tali di tanganku benar-benar kuat.

“Terserah kamu saja, Sayang,” jawab Bang Udin.

“Kalau begitu, kita beri dia pelajaran agar dia nggak ikut campur lagi urusan kita.”

Setelah mengucapkan itu, Tia dan Bang Udin menyeret tubuhku ke kamar.

Setibanya di sana, Tia melepaskan pakaianku.

Aku coba untuk menjerit, tetapi tidak ada suara yang berhasil keluar dari mulutku.

Jangan ditanya bagaimana cara Tia melepas pakaianku. Dia melakukannya dengan kasar. Dia tidak membuka kancing baju kemeja panjangku, tapi menariknya hingga robek, bikin badanku terasa sakit dan dicabik-cabik.

“Tuhan, apa yang akan dilakukan Tia padaku? Kenapa dia tega sekali?” Aku hanya bisa merintih di dalam hati sambil menangis.

Namun, seperti dugaanku, aku tetap tidak mendapatkan jawaban apa-apa. Maka kuganti kalimat tanyaku dengan memperbanyak doa.

“Kau lihat, Kak, apa yang akan aku lakukan padamu,” ucap Tia setelah melepas pakaianku.

Sungguh, aku sangat malu melihat keadaanku saat ini. Aku benar-benar seperti kue yang tergeletak di pinggir jalan tanpa penutup sehelai pun. Aku hanya menggunakan pakaian dalamku saja.

Aku menangis.

Apa setelah ini Tia akan membiarkan tubuhku dipakai Bang Udin?

Membayangkannya saja bikin air mataku semakin deras turun. Sungguh, aku benar-benar tidak sanggup jika hal itu benar-benar terjadi.

“Abang tunggu di luar, ya,” ucap Bang Udin.

Mendengar kalimat Bang Udin, aku menjadi lega.

Namun, saat aku mencoba untuk mengatur napas, tiba-tiba jantungku kembali memompa cepat saat melihat Tia mengambil gadgetnya dan mengarahkan padaku.

“Tia apa yang akan kamu lakukan?” jeritku. Namun, yang keluar hanya suara dengungan atau embusan angin.

“Aku akan bikin kamu jadi model seksi malam ini, Kak,” ucapnya sambil terus mengarahkan kamera gadgetnya ke arahku.

Tidak ingin diperlakukan seperti ini, aku coba beronta dengan menggeser tubuhku dengan kedua kaki.

“Kau nakal juga ya, Kak?” Tia mengucapkan kalimat itu dengan nada geram.

Sesaat, dia meninggalkanku. Kesempatan ini kugunakan dengan cepat.

Aku langsung memperhatikan sekelilingku. Aku harus kabur. Aku harus mencari pertolongan.

Jendela. Aku bisa kabur lewat jendela tanpa ketahuan. Kalau aku lari lewat depan, bisa saja di sana aku ditemukan Bang Udin atau Tia, kan?

Dengan cepat aku bergerak menuju ke jendela kamarku.

Jendela kecil yang terbuat dari kayu ini terkunci rapat. Aku coba mendobrak dengan tubuhku. Sayangnya, tidak berhasil. Badanku terlalu ringkih untuk menerjang kunci besi yang melekat di atas dan di bawah jendela.

Astagfirullah, aku mulai berkeringat.

“Mau ke mana, Kak?” Suara Tia bikin aku terperanjat. “Kau benar-benar nakal, Kak,” ucapnya sambil menarik kakiku hingga tubuhku terhempas ke tempat tidur.

“Wah, pose begini juga bagus,” ucapnya sambil mengikat salah satu kakiku ke sisi tempat tidur. “Kan, lebih mudah diedit.”

Tia mengambil satu kakiku lagi untuk diikat ke sisi tempat tidur lainnya.

Aku tidak diam saja. Dengan segala kekuatan yang ada, aku coba untuk meraih tubuh Tia. Aku harus membuat Tia sadar dengan kelakuannya.

Namun, sia-sia, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Saat Tia melepas ikatan di tanganku dan mengikatnya kembali di tiang salah satu sisi tempat tidur, aku tetap Tia bisa melawan. Kekuatan Tia melebihi yang kuperkirakan. Tubuhnya memang jauh lebih besar dariku dan kuakui, kelemahanku di sisi fisik.

Setelah lelah berjuang melepaskan diri, aku akhirnya pasrah.

“Siap jadi foto model!” seru Tia sambil terus mengarahkan kamera gadgetnya ke tubuhku.

Dia tidak peduli dengan perlawananku. Dia tidak peduli dengan tangisanku.

“Sekarang Kakak diam di sini, ya. Aku dan Bang Udin mau wikwik dulu. Kak Wulan jadi anak yang manis, ya,” ucapnya sambil memegang daguku.

Tia benar-benar mirip dengan penjahat yang biasa kutonton di televisi. Entah setan apa yang telah merasuki Tia hingga dia bisa berubah menjadi seperti ini.

“Eh, sebelum pergi, aku mau minta uang ya, Kak?”

Setelah mengucapkan itu, dengan cekatan Tia membongkar lemariku dan mengambil uang simpanan yang selama ini kusembunyikan di antara sela-sela pakaian. Dia benar-benar mengacak kamarku.

Malam ini, Tia benar-benar menampakkan sifat aslinya.

Puas mengerjaiku, Tia langsung meninggalkanku begitu saja.

Samar-samar kudengar suara tawa Tia dan Bang Udin dari kamar Kak Dina.

“Tuhan, tolong kirimkan bantuanmu!” Aku memohon di sela-sela tangis. “Aku tidak bisa melihat kemungkaran ini terjadi begitu saja di dalam rumahku, di depan mataku sendiri. Namun, aku tidak berdaya ya, Allah.”

Saat ini, aku benar-benar memasrahkan diri pada Allah. Aku benar-benar berharap bantuannya. Karena aku yakin hanya Allah yang Mahapenolong.

Kuasa Allah benar-benar berjalan. Tidak lama selesai aku berdoa dengan sungguh-sungguh, seseorang di luar sana mengucapkan salam.

“Oh, ibu lagi keluar Pak RT.” Suara Tia terdengar setelah beberapa saat.

Oke. Berarti yang di luar ada Pak RT. Aku harus melakukan sesuatu agar bisa memperoleh bantuan. Tapi, apa?

“Iya, Tia tinggal sendiri,” ucap Tia kembali.

Tidak ingin membuang kesempatan, aku langsung menggerakkan seluruh tenagaku agar tempat tidur yang terbuat dari besi ini bisa bergerak kuat dan menimbulkan bunyi yang nyaring.

Namun, usahaku dipentalkan oleh Bang Udin yang tiba-tiba sudah muncul di sampingku. Dalam satu pukulan yang menyakitkan, aku merasa semuanya menjadi gelap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status