Share

Fitnah

Setelah membaca pesan dari Tia, aku meminta Kak Dina untuk langsung keluar dari kamarku. Sungguh, aku takut tidak tahan untuk tidak mengatakan yang sebenarnya.

Namun, aku rasa lebih baik tidak mengambil risiko, kan, dari pada terjadi apa-apa. Melihat ulah Tia kemarin, aku jadi yakin kalau dia akan tega melakukan apa saja untuk menutupi kejahatannya.

Jadi, seharian ini, aku memutuskan untuk diam dan menutup mulut dulu. Setelah ini, aku akan berpikir lagi. Intinya, aku harus menyadarkan Tia dan Bang Udin untuk kembali ke jalan yang benar.

Malam ini pun, aku memutuskan untuk tidur lebih awal. Pagi-pagi sekali, aku langsung pergi ke sekolah. Aku memutuskan untuk sarapan di kantin saja.

“Benar kan, apa yang aku katakan.” Seorang guru langsung berbisik pada teman di sebelahnya begitu aku memasuki kantor.

Ibu-ibu di sebelahnya pun tampak mengangguk-angguk.

Si guru kepo yang sering mengomentariku pun berkata dengan lantang, “Tampangnya aja yang MasyaaaaAllah. Tapi, ternyata ...”

Namun, lagi-lagi, aku memilih untuk tidak peduli. Bukankah selama ini mereka juga seperti itu padaku? Sudah biasa kan, kalau ada yang baru dan bersinar, yang lama akan mencoba untuk menampakkan dirinya juga. Sayangnya, banyak yang menghalalkan segala cara agar terlihat di permukaan.

"Kalau gaji guru honor nggak cukup buat gaya hidup, kenapa nggak nikah aja? Pakai kedok agama, tapi nyatanya bikin rusak nama sekolah." Seorang guru berbicara dan jelas-jelas menghadapkan wajahnya ke arahku.

Ah, ada apa sebenarnya ini? Semua mata pun mengamatiku dengan intens. Seolah-olah, ada yang salah padaku.

Ya sudah, lebih baik, aku memeriksa tugas anak-anak sebelum masuk ke kelas. Untuk apa juga meladeni sikap Bu Aini, kan?

Namun, lama-lama aku merasa tidak nyaman juga. Masa aku diperhatikan dari atas sampai bawah. Akhirnya, aku memilih ke kantin.

Akan tetapi, saat melewati ruang kepala sekolah, aku langsung diminta untuk mampir oleh Pak Iwan, staf kebersihan sekolah.

“Bu Wulan diminta kepala sekolah ke ruangannya,” ucapnya langsung.

Karena merasa perutku masih bisa diajak kompromi, aku langsung saja mampir ke ruangan yang bersebelahan dengan perpustakaan sekolah.

“Maaf sebelumnya, Bu Wulan. Mungkin lebih baik Bu Wulan bikin surat pengunduran diri saja. Saya merasa tidak enak hati mau memecat Bu Wulan,” ucap Bapak kepala sekolah.

Eh, sebentar, ada apa ini? Kenapa aku mau dipecat? Apa salahku memangnya?

Laki-laki yang berwibawa dan berkumis tebal ini langsung menarik napas panjang.

“Sebenarnya saya tidak percaya dengan berita yang beredar, Bu. Namun, saya juga bingung menolak kebenaran yang ada.”

“Sebentar, Pak. Sebenarnya apa maksud Bapak? Ada apa ini, Pak?”

Bapak kepala sekolah tidak menjawab. Dia hanya merogoh saku celananya. Kemudian, mengutak-atik gadget miliknya. Kemudian, menyerahkan benda pipih itu padaku.

“Astagfirullah!” Aku langsung beristigfar saat melihat foto tidak senonohku sudah terpajang di F******k dalam grup perempuan-perempuan kesepian.

Di atas fotoku dipasang tulisan “Chat me biar nggak kesepian.” Terus nomor teleponku terpampang di sana.

“Apakah semua ini benar, Bu? Terus, sudah berapa lama Ibu melakukan ini? Rasanya Ibu tidak pantas melakukan ini. Ibu seorang guru, panutan bagi anak didik Ibu.”

“Astagfirullah, sumpah, Pak. Demi Allah, aku tidak melakukan ini. Ini bukan akun saya. Akun saya dibajak orang lain.”

“Tapi, itu foto Bu Wulan, kan?”

Aku tidak bisa lagi menahan air mataku. “Itu pasti editan, Pak. Aku yakin itu,” ucapku sambil menyeka air mata.

Dengan keyakinan penuh, aku bisa berkata seperti itu. Aku yakin itu perbuatan Tia. Kenapa anak itu begitu tega?

Aku kembali menyeka air mataku yang benar-benar tidak bisa ditahan.

“Awalnya saya juga tidak percaya dengan berita ini. Namun, karena sudah melihatnya sendiri, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Makanya saya minta Bu Wulan untuk mengundurkan diri. Jujur, saya tidak tega mau memecat Ibu. Namun, saya juga takut dapat teguran dari atas.”

Aku mengerti posisi kepala sekolah. Aku juga paham ini bukan salahnya. Ini murni kesalahan Tia. Seharusnya, tadi malam aku benar-benar nekat masuk ke kamar Tia dan menghapus foto-foto itu.

“Baik, Pak. Saya akan membuat surat pengunduran diri. Besok saya akan kirim ke sini.”

“Baik, Bu Wulan. Untuk hari ini, Ibu boleh istirahat di rumah dulu. Ibu boleh selidiki orang yang melakukan pencemaran nama Ibu.”

“Bapak juga tidak percaya padaku?”

Sungguh, aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan Bapak kelapa sekolah. Aku juga sungguh tidak percaya dengan apa yang terjadi. Tia sungguh sudah benar-benar kelewatan.

Bapak kepala sekolah tidak menjawab.

Aku mengangguk. “Terima kasih, Pak, atas kesempatannya. Saya merasa sangat beruntung bisa mengajar di sekolah ini. Akan tetapi, saya juga berjanji, saya akan buktikan kalau semua ini hanya rekayasa.”

Setelah mengucapkan itu, aku benar-benar langsung pulang. Aku yakin anak-anak sudah melihat semuanya juga. Anak-anak sekarang kan, lebih cepat memperoleh informasi dari pada orang dewasa, kan? Apalagi, para orang tua di kampung ini tidak begitu peduli pada pendidikan anak-anak mereka. Mereka membiarkan anak-anak mereka bermain seharian dengan gadget atau televisi, yang penting mereka bisa pergi ke sawah dengan tenang.

Sepanjang perjalanan pulang, gadgetku di dalam tas terus berbunyi. Akhirnya, aku memilih menepikan motorku untuk melihat, siapa tahu ada pesan penting yang masuk.

Ternyata, semua pesan dan panggilan itu berasal dari nomor yang tidak kukenal.

“Bisa pakai main atau hanya untuk diajak ngobrol, nih?” Aku membuka salah satu pesan dari nomor yang tidak kukenal.

“Aku tidak menyangka Bu Wulan punya moral serendah ini. Pantas saja tidak ada cowok yang dekat. Saya kira Bu Wulan cewek baik-baik yang nggak mau pacaran. Eh, ternyata sudah dipakai setiap malam, toh.” Sebuah pesan dari salah satu guru di sekolah.

Berikutnya, begitu banyak pesan yang berisi kata-kata yang menghina dan sungguh menyakitkan. Namun, entah mengapa, meskipun air mataku mengalir, tanganku tetap kuat membuka pesan yang masuk satu per satu.

Tia. Sebuah pesan baru dari Tia. Dengan segera, aku membukanya.

“Jangan pernah main-main denganku. Sekarang, hidupmu lebih hancur dariku.”

Dengan cepat, kubalas pesan itu. “Tia, kenapa kamu tega seperti itu dengan Kakak? Memangnya apa salah Kakak? Kakak tidak pernah membuka aibmu.”

Tidak ada balasan. Aku terus saja melihat benda berlayar itu, berharap segera mendapat balasan.

Namun, tiba-tiba sebuah telepon masuk. Ragu-ragu, aku mengangkat telepon itu.

“Mbak, aku pakai malam ini, ya? Kita ketemuan di mana?”

“Aku bukan pelacuuur! Aku perempuan baik-baik. Itu semua ulah adikku!” teriakku sekuat tenaga. Entah mengapa, aku merasa sangat marah dan kesal pada Tia. Darahku serasa mendidih mendapatkan perlakuan seperti ini.

Sekarang, aku ingin membalas semua perbuatannya. Jika dia bisa sejahat ini padaku. Maka aku akan bikin dia bertobat dan menyesali perbuatannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status