Share

lelaki penuh tipu daya

Inggit mengusap wajahnya kasar prustasi. “Hah, sudahlah ... aku gak ada waktu.”

“Oke, aku pergi! Tapi, setelah ini kamu akan melihat bahwa suamimu sedang bercumbu dengan wanita lain, dan kamu akan menangis, dan akhirnya menelepon aku kembali. Salam celana dalam. Bye!”

Agam memasang kembali helmnya dan menyalakan mesin motornya, meninggalkan Inggit yang terdiam terpaku.

Lagi-lagi Inggit mengusap wajahnya secara kasar. “Kayak peramal aja dia! Apa dia sekarang sudah menjadi peramal? Hah, kenapa juga harus memikirkan dia lebih, lupakan itu,” gumam Inggit melangkahkan kakinya.

Inggit mulai mengendap-endap mencari tempat duduk yang aman, ia melihat salah satu sofa, dan duduk di sana. Sambil terus mengamati suaminya. Ia seakan enggan untuk membuntuti suaminya, karena ia enggan menerima kenyataan.

Namun, rasa penasaran mendorong dirinya untuk tetap bersikukuh untuk menjadi mata-mata dadakan.

“Maaf, bisa saya tahu di mana kamar Pak Arya dan calon istrinya? Kebetulan kami sudah janjian untuk membahas pernikahan, saya dari pihak pelaminan.”

“Oh, Pak Arya barusan sudah naik ke kamar nomor 212.”

‘Kayaknya angka ini cukup familiar deh?’ batinnya.

Inggit tersenyum lebar, bukan tentang angka 212. Namun, sandiwaranya bisa mengelabui, tidak sulit untuk membuntuti suaminya.

Tubuh yang tak berhenti bergetar, kuat tak kuat ia harus menerima apa yang akan dilihatnya nanti. Sebuah jawaban yang menentukan masa depan rumah tangganya. Meski ia dengan berat hati akan menjadi seorang janda. Lagi pula menjadi janda lebih menggoda kata – kata itu sedikit mendongkrak keberaniannya. Meski dalam langkahnya Inggit masih berharap tuduhannya tak berdasar sama sekali.

“Siapa tahu Arya bersama dengan teman meeting!” kata yang terus membuat hati Inggit kuat sementara ini.

Tubuhnya berdiri tegap, pandangan lurus ke depan hampir tak berkedip. Inggit melihat sepasang manusia saling mesra di kamar penginapan. Suasana koridor juga yang sepi membuat mereka leluasa.

Jleb,

Hati Inggit seperti tak berbentuk lagi, remuk. Ia tak percaya dengan apa yang pandangannya tangkap, seorang pria dengan rakus melahap bibir wanita itu dengan penuh gairah. Tubuh keduanya menempel erat dengan tangan menjamah bagian lainnya.

“Mas Aryaaaa,” lirinya. Air mata yang luruh, tak percaya. Air berharga yang sudah penuh di pelupuk mata, dengan kaki yang lemas tak kuat menopang tubuhnya sendiri. Inggit berbalik badan, memilih bungkam membiarkan suaminya bergulat panas dengan wanita lain. Cukup sudah, perbuatan suaminya selama ini ternyata ada sesuatu yang di sembunyikan. Sejak kapan? Sungguh Inggit tak menyangka. Berharap bahwa semua yang terjadi di hidupnya ini hanya mimpi.

Tanpa sadar bulir bening itu lolos, membasahi pipi. Inggit melangkah gontai tak sanggup melihat pangeran hatinya mendua. Detik itu juga dengan perasaan hancur. Inggit meruntuhkan cintanya untuk Arya.

**

Setelah Inggit menangkap basah suaminya sore itu. Inggit terus saja menangis, sampai saat ini. Membuat tetangga sebelah rumahnya Bu Rohaya yang sedang menonton televisi di rumah. Merasa terganggu.

“Nggit, bisa pelan sedikit gak volume nangisnya!” Bu Rohaya berteriak sekeras mungkin melangkah keluar dari rumahnya.

Inggit terkejut, mendengar suara Bu Rohaya terdengar melengking. Ia mencoba menenangkan dirinya, menyeka air matanya. “Maaf Bu.”

“Emang kamu nangis kenapa lagi sih! Nangis terus!” Bu Rohaya berkecak pinggang di hadapan Inggit yang masih duduk di pojokkan teras rumahnya.

“Mas Arya selingkuh, Bu! Hiks.”

“Wajarlah! Ibu yang rajin gini aja masih di duain, apa lagi kamu, sudah malas, pengangguran, bisanya minta uang untuk bayar CODan.”

Jleb,

Inggit tersentak, lagi sedih seperti ini bukan mendapat sport malah mendapat semburan naga betina yang sedang murka. Ia merasa tak sanggup lagi untuk melanjutkan hidup ini.

“Ibuuu! Hiks.” Inggit menangis tergugu.

“Waduhh, kamu ... Ibu ini tetanggamu bukan Ibumu, udah-udah jangan nangis lagi.” Bu Rohaya kebingungan melihat Inggit yang terus merengek layaknya anak kecil. Memeluk erat tubuhnya.

Hingga akhirnya Bu Rohaya iba. Lalu, membawa Inggit ke dalam rumahnya, untuk menenangkan wanita yang baru saja menjalin hubungan rumah tangga yang masih seumur jagung. Bu Rohaya juga bercerita bahwa menjadi seorang ibu muda bukan perkara gampang apalagi sekarang zaman pelakor.

Setelah Bu Rohaya pulang. Tak terasa bulir bening itu kembali jatuh. Padahal ia sudah mencoba melupakan semua yang ia lihat, dan mendapat motivasi dari Bu Rohaya supaya tegar menghadapi batu sandungan ini.

“Siapa wanita itu mas?”

Inggit merebahkan tubuhnya, menoleh kiri-kanan, sekelebat pikiran tentang Agam kembali terungkit. “Kenapa ramalan Agam benar? Siapakah Agam sebenarnya? Siapa?”

Inggit mengusap wajahnya dengan kasar. “Kenapa aku harus mikirkan Agam!”

Suara klakson mobil terdengar di liriknya jam yang menempel di dinding kamarnya.

“Astaga sudah jam sebelas?” Inggit bergegas beringsut turun dari berbaringnya menahan air matanya. Lalu membukakan pintu untuk suami hidung belangnya.

Dilihatnya Arya sudah keluar dari mobil, wajahnya lelah sangat kentara terlihat.

“Kenapa belum tidur sayang?” tanya Arya seakan tak terjadi apa-apa. Inggit hanya membalas dengan menggelengkan kepala.

Rahang Inggit mengeras karena teringat kejadian yang ia lihat di penginapan itu. Sakit hati Inggit seakan tak tertahan. Melihat Mas Arya berjalan ke kamar tanpa rasa bersalah. Ingin rasanya menghantamkan balok kayu tepat di tengkuk lelaki yang masih sah menjadi suaminya.

Hati istri mana yang tidak hancur? Apalagi di depan mata melihatnya? Tangan Inggit meremas piyamanya, rahangnya kembali mengeras, air mata yang ditahan sedari tadi turun deras.

‘Tidak aku sangka! Permainan yang kamu buat sungguh cantik, Mas ... atau aku yang tidak tahu diri, berharap lebih bahwa kamu adalah lelaki yang tidak neko-neko! Cinta tulus itu ternyata bulshit!’ Inggit menangis pilu.

Terdengar derap langkah menuju dapur, cepat-cepat Inggit mengusap air matanya kembali.

“Sayang ... sayang sedang apa? Masak nasi goreng ya?” tanya Arya yang baru saja selesai mandi dan berganti pakaian, siap-siap untuk tidur.

‘Hah, nasi goreng? Kamu yang aku goreng mas, mau?’ batin Inggit berapi-api.

“Iya, aku lagi mau masak nasi goreng, sayang.” Inggit tersenyum hambar.

“Tapi kok seperti habis nangis? Matamu juga sembab.” Arya menatap lekat-lekat istrinya.

“Eemm, aku ... i-ini tadi ngiris bawang.”

Arya mengedarkan pandangan, menyelidik sekitar dapur tidak menemukan barang bukti. “Kok udah pinter bohong?”

“Pinter bohong apa Mas?”

“Sudah, kamu ngaku aja? Kamu nangis kenapa? Sini-sini curhat sama Mas? Apa sayang, kangen teman lama, atau kangen ibu, atau teringat apa? Kok bisa sedih gitu.”

‘Enggak ke balik Mas? Yang pintar bohong itu kamu Mas? Kamu pintar bohongin aku!’ suara hati Inggit membara.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yung
jangan cuma hanua suara hati nggit,bilangin yg benar nanti kamu aja yg makin sakit dia mna tau
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Lu yg cengeng mn perlu org diblg peramal
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status