Share

lelaki penuh tipu daya

Penulis: Hangga rezka
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-15 15:36:54

Inggit mengusap wajahnya kasar prustasi. “Hah, sudahlah ... aku gak ada waktu.”

“Oke, aku pergi! Tapi, setelah ini kamu akan melihat bahwa suamimu sedang bercumbu dengan wanita lain, dan kamu akan menangis, dan akhirnya menelepon aku kembali. Salam celana dalam. Bye!”

Agam memasang kembali helmnya dan menyalakan mesin motornya, meninggalkan Inggit yang terdiam terpaku.

Lagi-lagi Inggit mengusap wajahnya secara kasar. “Kayak peramal aja dia! Apa dia sekarang sudah menjadi peramal? Hah, kenapa juga harus memikirkan dia lebih, lupakan itu,” gumam Inggit melangkahkan kakinya.

Inggit mulai mengendap-endap mencari tempat duduk yang aman, ia melihat salah satu sofa, dan duduk di sana. Sambil terus mengamati suaminya. Ia seakan enggan untuk membuntuti suaminya, karena ia enggan menerima kenyataan.

Namun, rasa penasaran mendorong dirinya untuk tetap bersikukuh untuk menjadi mata-mata dadakan.

“Maaf, bisa saya tahu di mana kamar Pak Arya dan calon istrinya? Kebetulan kami sudah janjian untuk membahas pernikahan, saya dari pihak pelaminan.”

“Oh, Pak Arya barusan sudah naik ke kamar nomor 212.”

‘Kayaknya angka ini cukup familiar deh?’ batinnya.

Inggit tersenyum lebar, bukan tentang angka 212. Namun, sandiwaranya bisa mengelabui, tidak sulit untuk membuntuti suaminya.

Tubuh yang tak berhenti bergetar, kuat tak kuat ia harus menerima apa yang akan dilihatnya nanti. Sebuah jawaban yang menentukan masa depan rumah tangganya. Meski ia dengan berat hati akan menjadi seorang janda. Lagi pula menjadi janda lebih menggoda kata – kata itu sedikit mendongkrak keberaniannya. Meski dalam langkahnya Inggit masih berharap tuduhannya tak berdasar sama sekali.

“Siapa tahu Arya bersama dengan teman meeting!” kata yang terus membuat hati Inggit kuat sementara ini.

Tubuhnya berdiri tegap, pandangan lurus ke depan hampir tak berkedip. Inggit melihat sepasang manusia saling mesra di kamar penginapan. Suasana koridor juga yang sepi membuat mereka leluasa.

Jleb,

Hati Inggit seperti tak berbentuk lagi, remuk. Ia tak percaya dengan apa yang pandangannya tangkap, seorang pria dengan rakus melahap bibir wanita itu dengan penuh gairah. Tubuh keduanya menempel erat dengan tangan menjamah bagian lainnya.

“Mas Aryaaaa,” lirinya. Air mata yang luruh, tak percaya. Air berharga yang sudah penuh di pelupuk mata, dengan kaki yang lemas tak kuat menopang tubuhnya sendiri. Inggit berbalik badan, memilih bungkam membiarkan suaminya bergulat panas dengan wanita lain. Cukup sudah, perbuatan suaminya selama ini ternyata ada sesuatu yang di sembunyikan. Sejak kapan? Sungguh Inggit tak menyangka. Berharap bahwa semua yang terjadi di hidupnya ini hanya mimpi.

Tanpa sadar bulir bening itu lolos, membasahi pipi. Inggit melangkah gontai tak sanggup melihat pangeran hatinya mendua. Detik itu juga dengan perasaan hancur. Inggit meruntuhkan cintanya untuk Arya.

**

Setelah Inggit menangkap basah suaminya sore itu. Inggit terus saja menangis, sampai saat ini. Membuat tetangga sebelah rumahnya Bu Rohaya yang sedang menonton televisi di rumah. Merasa terganggu.

“Nggit, bisa pelan sedikit gak volume nangisnya!” Bu Rohaya berteriak sekeras mungkin melangkah keluar dari rumahnya.

Inggit terkejut, mendengar suara Bu Rohaya terdengar melengking. Ia mencoba menenangkan dirinya, menyeka air matanya. “Maaf Bu.”

“Emang kamu nangis kenapa lagi sih! Nangis terus!” Bu Rohaya berkecak pinggang di hadapan Inggit yang masih duduk di pojokkan teras rumahnya.

“Mas Arya selingkuh, Bu! Hiks.”

“Wajarlah! Ibu yang rajin gini aja masih di duain, apa lagi kamu, sudah malas, pengangguran, bisanya minta uang untuk bayar CODan.”

Jleb,

Inggit tersentak, lagi sedih seperti ini bukan mendapat sport malah mendapat semburan naga betina yang sedang murka. Ia merasa tak sanggup lagi untuk melanjutkan hidup ini.

“Ibuuu! Hiks.” Inggit menangis tergugu.

“Waduhh, kamu ... Ibu ini tetanggamu bukan Ibumu, udah-udah jangan nangis lagi.” Bu Rohaya kebingungan melihat Inggit yang terus merengek layaknya anak kecil. Memeluk erat tubuhnya.

Hingga akhirnya Bu Rohaya iba. Lalu, membawa Inggit ke dalam rumahnya, untuk menenangkan wanita yang baru saja menjalin hubungan rumah tangga yang masih seumur jagung. Bu Rohaya juga bercerita bahwa menjadi seorang ibu muda bukan perkara gampang apalagi sekarang zaman pelakor.

Setelah Bu Rohaya pulang. Tak terasa bulir bening itu kembali jatuh. Padahal ia sudah mencoba melupakan semua yang ia lihat, dan mendapat motivasi dari Bu Rohaya supaya tegar menghadapi batu sandungan ini.

“Siapa wanita itu mas?”

Inggit merebahkan tubuhnya, menoleh kiri-kanan, sekelebat pikiran tentang Agam kembali terungkit. “Kenapa ramalan Agam benar? Siapakah Agam sebenarnya? Siapa?”

Inggit mengusap wajahnya dengan kasar. “Kenapa aku harus mikirkan Agam!”

Suara klakson mobil terdengar di liriknya jam yang menempel di dinding kamarnya.

“Astaga sudah jam sebelas?” Inggit bergegas beringsut turun dari berbaringnya menahan air matanya. Lalu membukakan pintu untuk suami hidung belangnya.

Dilihatnya Arya sudah keluar dari mobil, wajahnya lelah sangat kentara terlihat.

“Kenapa belum tidur sayang?” tanya Arya seakan tak terjadi apa-apa. Inggit hanya membalas dengan menggelengkan kepala.

Rahang Inggit mengeras karena teringat kejadian yang ia lihat di penginapan itu. Sakit hati Inggit seakan tak tertahan. Melihat Mas Arya berjalan ke kamar tanpa rasa bersalah. Ingin rasanya menghantamkan balok kayu tepat di tengkuk lelaki yang masih sah menjadi suaminya.

Hati istri mana yang tidak hancur? Apalagi di depan mata melihatnya? Tangan Inggit meremas piyamanya, rahangnya kembali mengeras, air mata yang ditahan sedari tadi turun deras.

‘Tidak aku sangka! Permainan yang kamu buat sungguh cantik, Mas ... atau aku yang tidak tahu diri, berharap lebih bahwa kamu adalah lelaki yang tidak neko-neko! Cinta tulus itu ternyata bulshit!’ Inggit menangis pilu.

Terdengar derap langkah menuju dapur, cepat-cepat Inggit mengusap air matanya kembali.

“Sayang ... sayang sedang apa? Masak nasi goreng ya?” tanya Arya yang baru saja selesai mandi dan berganti pakaian, siap-siap untuk tidur.

‘Hah, nasi goreng? Kamu yang aku goreng mas, mau?’ batin Inggit berapi-api.

“Iya, aku lagi mau masak nasi goreng, sayang.” Inggit tersenyum hambar.

“Tapi kok seperti habis nangis? Matamu juga sembab.” Arya menatap lekat-lekat istrinya.

“Eemm, aku ... i-ini tadi ngiris bawang.”

Arya mengedarkan pandangan, menyelidik sekitar dapur tidak menemukan barang bukti. “Kok udah pinter bohong?”

“Pinter bohong apa Mas?”

“Sudah, kamu ngaku aja? Kamu nangis kenapa? Sini-sini curhat sama Mas? Apa sayang, kangen teman lama, atau kangen ibu, atau teringat apa? Kok bisa sedih gitu.”

‘Enggak ke balik Mas? Yang pintar bohong itu kamu Mas? Kamu pintar bohongin aku!’ suara hati Inggit membara.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yung
jangan cuma hanua suara hati nggit,bilangin yg benar nanti kamu aja yg makin sakit dia mna tau
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Lu yg cengeng mn perlu org diblg peramal
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   mengungkap teror

    Agam tertawa dan mengusap tangan yang tercubit oleh Inggit, lalu kembali serius. "Baiklah, serius saja. Aku punya rencana untuk mengungkap kebenaran di balik teror ini. Kita harus berpencar dan mengumpulkan bukti secara terpisah." Inggit mengangguk, masih terlihat waspada. "Apa rencanamu, Gam? Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada kita." Agam memandang Inggit dengan serius, lalu menjelaskan rencananya. "Kamu pergi ke rumah temanmu, Rina, dan tunggu instruksi dari aku. Sementara itu, aku akan menyelidiki parkiran ini dan mencari petunjuk tentang siapa yang melakukan ini." Inggit mengangguk, tapi terlihat ragu. "Gam, aku takut sendirian..." Agam mendekat dan memeluk Inggit pelan. "Aku akan selalu menjagamu, Inggit. Percayalah pada aku." Inggit membalas pelukan Agam dengan erat, lalu melepaskan diri dan mengangguk. "Baiklah, aku percaya kamu, Gam. Tapi kamu harus berjanji untuk berhati-hati juga." Agam tersenyum dan mengusap pipi Inggit. "Aku berjanji

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   Suasana hangat

    Pisau yang ingin tertancap di dada Inggit semakin menekan. Untungnya, Agam terlebih dulu mendorong tubuh Inggit dan melepaskan pisau itu. PRANG!Agam segera menjauhkan pisau itu dengan bantuan kakinya. Agam memeluk erat tubuh Inggit yang rapuh. “Baiklah! Aku percaya. Aku akan membantumu. Aku mohon jangan seperti ini. Inggit yang aku kenal tidak mudah patah semangat.”Nafas Inggit tersengal. Walau dadanya terasa sakit, tapi usahanya membuahkan hasil. Ia berhasil membuat Agam percaya. Akting Inggit tak sampai di sini, dirinya langsung berpura-pura pingsan, dan menjatuhkan tubuhnya di dada Agam. Agam yang sigap, langsung menuntun tubuh Inggit ke ranjang. Lalu, berlari menuju pintu. Dia berteriak meminta tolong kepada dokter. Inggit tersenyum senang menatap punggung Agam. Semua sudah Inggit rencanakan dengan matang. Dia akan membalas setiap luka dari Arya. Ia tak bodoh seperti dulu, terlalu baik untuk melupakan

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   melukai dadanya

    Tak jauh dari Inggit berdiri, mobil berhenti mendadak.“Dia pingsan.” Temannya ikut melihat wanita itu dari spion mobil. Mengerling jengah! Tentunya sangat malas mengikuti pola pikir Agam yang terlalu manusiawi. “Waktu....”Agam tetap setia menginjak pedal rem mobilnya. Sementara terlihat jelas lelaki yang ada di sebelahnya, tidak ingin membuang waktunya hanya untuk menolong wanita yang dianggap gila itu. “Emang Inggit itu siapa? Apa kamu mengenal nama itu?”“Hah, sudah tidak usah mengulik masa lalu seseorang, di sana ada luka yang cukup dalam. Sangat kentara menyakitkan.”Teman Agam tersenyum remeh, “Malah, puitis.”Mau tidak mau, Agam melaju dengan kecepatan pelan. “Waktu, Gam! Rapat tentang membuka cabang kedai akan segera di mulai, apa kamu mau membuang kesempatan ini!”Agam masih terpikir bila itu benar Inggit. Meskipun bukan Inggit, hatinya sangat berat bila tak menolong, meni

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   kembali ke kota

    “Bu Sari, nyuruh aku sembunyi.”“Kenapa?”“Itu Pak masalahnya, aku gak tau pasti,” ucapku lirih. “Ibu Sari ada bilang apa lagi?” Inggit hanya menggeleng. Pria itu mencoba menenangkan Inggit dengan mengelus pelan pundaknya. Ada sedikit rasa tertolong karenanya. Tak lama kemudian, seorang perawat keluar dari ruangan ICU. Perawat itu mengabarkan bahwa keadaan Ibu Sari mulai membaik. Hanya, memang masih butuh perawatan, sehingga harus menginap untuk beberapa waktu ke depan. “Tenang, Bu... Ibu tidak boleh banyak gerak dulu,” ucap seorang dokter yang kemudian menyusul keluar. “Terima kasih, Dok,” seru Inggit yang baru saja tiba. Dokter hanya membalas anggukan dan pamit berlalu. Inggit dan pria paruh baya itu menghampiri keadaan Ibu Sari. Dan Ibu Sari sempat bercerita singkat tentang tragedi yang sedang menimpa ini adalah suruhan Arya. Arya yang sudah mengetahui bahwa Inggi

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   tak terduga

    Dengan cepat Denny merebut bungkusan keresek. “Mas,” bentak Inggit. “Ini masih basah.” Inggit mendengus. Lalu, ia keluar kamar dan pergi ke halaman belakang. Perkataan tentang acara pernikahan itu membuat ia menyelidik. Ingin melihat dekorasi yang dikatakan Pak Djarot. Memang terlihat dekorasi itu terlihat sederhana membuat Inggit terenyuh, apabila semua rencana yang telah Pak Djarot persiapkan ini akan gagal. Inggit gelisah, bagaimana dengan dendamnya kepada sang suami, ia buru-buru meninggalkan rumah ini. Setelah sampainya di kebun tomat yang lumayan jauh dari rumah. Entah mengapa air mata Inggit menetes bila merasakan kekecewaan Pak Djarot bila mengetahui semua ini adalah setingan semata. Hampir dua jam lamanya, Inggit terjebak dalam pikiran kalutnya. Barulah setelah sedikit tenang Inggit mencoba bersabar menarik keinginannya. Namun, seketika Inggit kembali ke rumah itu tampak gelap. Padahal adzan maghrib sudah hampir satu jam lalu. Saat Inggit mende

  • Balasan untuk Suami Hidung Belang   janda kota dan janda desa

    “Maksud Mas, bukan ... iya benar, Mas salah. Tapi....”“Dalam soal apa lagi laki-laki harus bertanggungjawab dengan apa yang dia perbuat!” Inggit kembali maju mendekati Denny. Kini jarak mereka tak lebih dari satu meter. Inggit mendongak untuk melihat wajah Denny yang menyiratkan rasa penyesalannya. “Mas tau sebagai lelaki harus bertangungjawab, tapi Mas hanya mencari istri yang mau tinggal bersama ayah saya. Dengan segala sikap ayah saya.”“Banyak alasan, memang kenapa dengan wanita janda? Jangan mau nidurinnya aja?” Inggit menaikkan dagu tanpa mengalihkan tatapan. “Inggit....”“Jangan pernah meremehkan seorang janda, janda juga bukan hanya untuk sekadar tepat Mas memuaskan nafsu. Dan saya juga kelak akan menjadi janda, saya tahu perasaan wanita itu, Mas.”“Inggit, maksud Mas bu....”“Udah, ah. Aku beneran gak betah tinggal di sini, aku udah capek ikutin rencana ini.” Inggit berbalik menuju kamar mandi.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status