Share

kebodohan yang mutlak

“Wah, Apa benar kamu pandai di ranjang?” selidik Agam, dengan isi kepala membayangkan wanita berambut panjang, yang memiliki lekuk tubuh berisi seperti payudara Kim Kardashian dan perut rata Michelle Keegan yang ada di hadapannya.

Agam menatap Inggit. Di sisi lain ada perasaan senang dengan keadaan temannya ini.

Inggit mendesah berat, bingung untuk mengutarakan kalimat dan apa yang harus ia lakukan setelah ini.

“Aku percaya sih, kalau kamu hebat kikuk kikuknya.” Agam menatap Inggit dengan buas.

“Udah, deh! Kok jadi bahas itu.”

“Cerai aja sudah.” Agam kembali membumbui.

Inggit semakin gelisah, sedikit membenarkan kata-kata temannya ini.

“Tapi, lebih baik aku liat permainannya dulu sampai mana.”

“Permainan apa? Permainan kikuk kikuknya?”

“Iih, kamu kok jadi genit gituu, gak jelas!” Inggit mencubit pelan lengan Agam.

“Duh, duh, duh, cubit aja gak apa-apa, gue ikhlas. Jangankan di cubit, diapain aja rela.”

“Aku udah punya suami,” ujar Inggit memoncongkan bibir.

Seketika Inggit termenung, ia sangat merindukan suaminya yang selalu memanjakan dirinya seperti dulu. Membuatnya merancau. “Sentuh aku mas.”

“Nih, aku sentuh,” ujar Agam menyentuh pipi Inggit yang tembem bag bakpao.

Inggit memegang tangan Agam penuh kerinduan dan mencium punggung tangan itu. “Mas, aku kangen sentuhanmu.”

Agam menelan salivanya susah payah. Ia seperti tertimpa durian tepat di kepalanya. Namun, Inggit menyadari bahwa dirinya sedang berhalusinasi.

“Iiihh, maaf, aku gak bermaksud ... ”

“Gak usah minta maaf, aku juga mau kok!” Agam tersenyum penuh keinginan.

“Aku udah punya suami!” tegas Inggit.

“Percuma punya suami tapi kamu tidak pernah kikuk kikuk,” canda Agam kemudian terkekeh puas.

Inggit menundukkan kepala, apa yang dikatakan Agam adalah kebenaran. Ia merasa seperti menjadi istri yang tak dianggap.

“Duh, sorry nih, aku harus buru-buru cabut, ada kepentingan mendadak!” pamit Agam yang sok sibuk, ia tahu bahwa Inggit akan membutuhkannya saat ini dan di sini pula ia mulai mempermainkan keadaan yang menguntungkannya.

“Baiklah, tapi aku harap kamu bantu aku ya, kalau beneran Mas Arya selingkuh.”

“Siap! Aku juga gak kalah hebat kok dengan Mas Aryamu,” goda Agam sambil mencolek dagu Inggit.

“Salam celana dalam,” tambah Agam sebelum berlalu pergi.

Inggit terpaku. Bukan masalah Agam yang selalu genit kepada dirinya. Ia tahu bahwa Agam memang seperti lelaki yang haus sentuhan, dan otaknya jorok. Namun, ia memiliki hati yang baik. Inggit melainkan terjebak dalam memikirkan apa rencana untuk suaminya.

“Aku selikidi aja, Ehk, selidiki maksudnya, duh aku ketularan Agam nih, suka gak jelas.”

Inggit lantas pergi dari kafe itu dan langsung memesan taksi online.

Di dalam taksi, Inggit juga hanya termenung untuk menyiapkan diri sebelum ia mendengar atau melihat hal yang tidak diinginkan. Karena baginya hal itu terdiri atas baik buruk untuk hidupnya kelak.

Inggit turun dari taksi persis di depan kantor suaminya bekerja. Bukan telah cukup lama ia tidak pernah menginjakkan kaki di sini. Ia melainkan tidak pernah. Tanpa sadar gaya penampilannya juga mengundang perhatian. Ia hanya mengenakan pakaian yang sederhana meski kecantikannya masih tidak bisa bohong.

“Permisi saya mau bertemu dengan Arya Wijaya,” Inggit mengatakan dengan sopan dengan salah satu satpam.

“Maaf, ada perlu apa? Apa sudah membuat janji?” tanyanya.

“Saya istrinya!” Inggit the to point.

Tentu saja hal ini membuat satpam menatap Inggit tidak percaya. Baru saja Inggit mau menunjukkan foto pernikahan di ponselnya, dirinya melihat Arya dan seorang wanita, berjalan berdampingan sangat akrab.

“Nah, itu dia ... apa celana dalam itu milik wanita itu?” Inggit bertanya pada dirinya sendiri. Lantas ia mengikuti ke mana suaminya dan wanita tersebut pergi. Ternyata menuju ke arah mobil sedan yang berwarna hitam.

Inggit sangat berhati-hati mengikuti mereka dengan mengendap-endap. Irama jantung berdegup kencang di saat melihat Arya merangkul wanita itu dengan mesra.

“Iiiih, Mas Aryaaaa,” lirihnya. Ia tak serta merta tak kehilangan akal, mencari taksi. Namun ia tidak menemukannya, hanya ada pengendara motor, dan ia yakin bahwa pengendara tersebut adalah ojek.

“Mas ikuti mobil itu. Pokoknya jangan sampai kehilangan jejak," perintah Inggit. Ia tanpa sadar menepuk-nepuk pundak tukang ojek karena takut kehilangan jejak.

“B-baik,” balasnya tergagap. Tanpa ba-bi-bu langsung tancap gas.

“Mas Arya jahat!”

“Mas Arya durjana!”

“Mas Aryaaaa!”

Inggit nyerocos sepanjang jalan, sambil mencubit-cubit tukang ojek yang terus fokus mengikuti pinta Inggit.

Inggit semakin cemas kala mendapati mobil yang ditumpangi sang suami memasuki kawasan penginapan yang letaknya tak jauh dari kantor.

“What? Apa dugaanku benar? Astaga jauhkan pikir jelek yang bersarang ini.” Inggit memanjatkan doa sebelum turun dari motor. Lalu, terburu-buru untuk masuk dalam penginapan.

“Mbak!”

Pekik itu terdengar di telinga Inggit, yang baru melangkah beberapa meter dari tukang ojek itu. Ia menoleh. “Kenapa mas? Apa kurang bayarannya.”

“Bukan, mbak bukan.”

Inggit menautkan alisnya. “Jadi?”

“Aku bukan tukang ojek,” jelas pria yang di kira tukang ojek oleh Inggit.

“Duh, maaf deh kalau begitu, soalnya ak--.” Mata Inggit membulat tidak meneruskan ucapannya tatkala pria itu membuka helmnya.

“Agam?” Inggit ternganga. Merutuki dirinya sendiri yang tidak menyadari bahwa pria yang mengendarai motor itu adalah sahabatnya.

‘Sial! Kenapa aku bego banget, masa tukang ojek pakai motor sport.’ Inggit merutuki kebodohannya sendiri. Bagaimana tidak ia seperti wanita yang bodoh mutlak, habis ditipu suami, sekarang tidak bisa mengenali sahabat sendiri.

Pria itu tersenyum. “Iya, emang kamu bego? Masa orang tampan seperti ini jadi tukang ojek!”

Inggit mengernyitkan dahi, kenapa Agam tahu apa yang ada dalam pikirannya.

“Nah, pasti kamu bingung? Kenapa aku bisa tahu?” tanyanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status