Share

BAB 6: Miss Right.

Esther turun dari mobil mewah sang ayah dengan wajah tertekuk kesal. Ia bahkan dengan kasar membanting pintu mobil di kursi penumpang begitu Tobias menghentikan mobil yang ia kendarai dan memarkirkannya di halaman rumah megah milik keluarga Yasefa itu.

Perilaku Esther justru berbanding terbalik dengan Asteria, kakak tirinya. Tobias melirik Asteria yang tengah duduk di sampingnya sambil melihat sikap buruk Esther barusan dengan wajah melongo.

Saat Tobias hendak memulai pembicaraan dengan gadis itu, Asteria lebih dulu menghadap kepadanya sembari membuka sabuk pengamannya dengan lembut. Senyuman yang muncul di wajah Asteria membuat Tobias mau tak mau ikut tersenyum.

"Maafkan Esther, Papa. Mungkin dia masih kesal dengan sikap teman-teman yang tadi menghakiminya." Tobias mengulurkan tangannya dan mengusap rambut panjang Asteria dengan lembut seraya terkekeh pelan.

"Tidak apa-apa, Sayang. Lagipula ini bukan pertama kalinya kita melihat sikap Esther yang seperti itu kan?"

Asteria tertawa kecil mendengar pertanyaan sang ayah hingga membuat Tobias pun ikut tertawa. Mereka berdua akhirnya secara bergantian turun dari mobil Pajero Sports berharga selangit itu.

Gadis itu tampak begitu bahagia seraya berjalan menuju rumahnya. Ia memandangi bangunan mewah nan modern itu dengan pandangan kagum.

Ia memang sudah dibuat kagum sejak ia membuka matanya. Di sepanjang jalan dari sekolahnya, Asteria sudah sukses terpukau dengan kondisi jalan serta ramainya kota di sore hari itu.

Tobias merangkul bahu Asteria hingga membuat gadis itu tersenyum senang. Rasa rindu yang ia rasakan untuk kedua orang tuanya bisa sedikit terobati dengan perhatian dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh Tobias.

Meski Asteria tak bisa memungkiri, ia pun sangat merindukan orang tua kandungnya di Kerajaan Middlemost. Namun, ia pun tak bisa melakukan apapun untuk bisa kembali ke tempat asalnya.

"Kami pulang."

Seorang wanita berpakaian rapi nan anggun berjalan menuruni tangga dengan pinggiran kaca bening sambil menatap lurus ke arah pintu utama dimana suami dan anak tirinya masuk.

"Syukurlah. Ayo segera bersihkan diri. Kita akan makan bersama untuk merayakan berakhirnya masa ujian Asteria dan Esther."

"Dimana Esther, Sayang?" tanya Tobias sambil berjalan mendekati sang istri dan memeluknya.

Bella Hardy, yang merupakan istri Tobias Yasefa sekaligus ibu tiri Asteria menghela napas begitu panjang setelah sang suami menanyakan keberadaan putri kandung.

"Dia terlihat begitu marah. Esther tidak menjawab ucapanku, dia bahkan membanting pintu kamarnya di depan wajahku."

Tobias turut menghela napas setelah mendengar perkataan sang istri. Ia melirik Asteria yang masih berdiri di dekat mereka dengan senyum tipis.

"Anak itu memang perlu diberi ketegasan lebih. Dia selalu berusaha menjadi orang paling benar meski pada kenyataannya dialah yang berbuat salah."

Bella selaku seorang ibu pun mau tak mau menganggukkan kepalanya. Apa yang dikatakan oleh sang suami benar adanya.

Esther merupakan anak keras kepala yang selalu ingin dianggap benar meski dia sebenarnya salah.

Selama ini ia selalu hidup penuh kasih sayang dan begitu dimanjakan oleh Tobias dan Bella. Bella tak tau apa yang salah, ia selalu melimpahkan kasih sayang yang sama pada kedua putrinya tanpa membeda-bedakan mereka.

Namun, Esther justru tumbuh menjadi anak yang seenaknya. Gadis itu sedikit egois dan selalu ingin menang sendiri.

"Naiklah ke atas, Sayang. Bersihkan dirimu, jika kau selesai barulah turun untuk makan."

Asteria mengangguk-anggukkan kepalanya dengan patuh. Bella dan Tobias tersenyum pada putri sulung mereka yang kini dengan langkah ringan menaiki anak tangga menuju lantai dua.

Asteria berjalan dengan bahagia menyusuri rumah barunya itu. Ia menghentikan langkah kakinya ketika ia kini berdiri tepat di depan pintu kamar Esther yang tertutup rapat.

"Miss right, eh?" gumam Asteria sambil memandangi pintu kamar Esther dengan senyuman kecil.

Gadis itu kembali berjalan hingga kini berada di depan kamarnya. Asteria pun dengan cepat membuka pintu kamarnya dan berjalan memasuki ruangan itu.

Kedua matanya tampak berbinar saat memandangi seisi kamar dengan nuansa astronomi yang kental itu.

"Ini membuatku ingat dengan kamar lamaku," ujar Asteria sambil berjalan menuju tempat tidurnya yang terletak di tengah ruangan.

Gadis itu melepaskan tas di bahunya dan segera berjalan kembali menuju balkon. Saat melewati pintu balkon itu, senyum Asteria justru luntur.

Kepalanya memutar kenangan mengerikan tentang kehidupan sebelumnya. Ia menyentuh tepian pagar pembatas balkon yang terbuat dari beton dengan tatapan sendu.

Ia seolah masih bisa merasakan bagaimana telapak kakinya berpijak pada pembatas balkon di kamar Esther. Kedua mata Asteria bergulir memandangi halaman rumah keluarga Yasefa yang begitu luas.

Semua pemandangan ini tampak tidak jauh berbeda dengan halaman paviliun milik Esther. Kenangan yang terus memberondong dirinya membuat Asteria justru merasa ingin meledak.

Ia masih ingat betul bagaimana buku kesayangan yang ingin ia berikan pada sahabatnya justru mendarat di kepalanya hingga membuatnya terluka.

Asteria juga masih ingat betul bagaimana wajah dingin tunangan tercintanya saat memandangi dirinya tanpa belas kasih.

"Jika aku bisa memutar waktu, maka aku akan memilih untuk menghancurkan kalian bahkan sebelum kalian berhasil memasuki kehidupanku."

Asteria menarik napas panjang guna menenangkan dirinya. Ia tersenyum kecil sambil perlahan-lahan membuka kedua matanya.

"Hahh, terima kasih karena telah memberikan hidupmu untukku, Asteria."

Saat Asteria bahkan belum bersiap dan berbenah, seseorang telah lebih dulu mengetuk pintu kamarnya hingga membuat dirinya terperanjat kaget.

"Sebentar," sahut Asteria sambil berlari kecil menuju pintu.

Begitu ia membuka pintu itu, Asteria disuguhi wajah masam Esther. Gadis cantik dengan rambut panjang itu melipat kedua tangannya di depan dada seraya menatapnya dengan tatapan angkuh.

Asteria tersenyum kecil saat melihat Esther di depannya. Gadis itu tampak tertarik dengan sikap sombong dan superior yang berusaha ditunjukkan oleh Esther.

"Ada apa, Esther?" tanya Asteria dengan ramah. Esther yang mihat sikap manis Asteria justru berdecak dan memutar matanya jengah.

"Ku mohon, berhentilah berpura-pura di depanku. Aku tau kau sengaja melakukan itu di depan Papa, kan?" Asteria diam-diam menahan senyuman dan menatap Esther dengan satu alis terangkat.

"Apa maksudnya berpura-pura? Papa menilai semuanya sendiri. Aku tidak pernah melakukan apapun."

"Jangan kau pikir aku tidak bisa melihat wajah busukmu itu, anak pungut!" hardik Esther dengan kasar sambil menunjuk wajah Asteria. Gadis itu tidak tampak terkejut atau tercengang. Ia hanya dengan tenang menatap sang adik yang justru terlihat begitu berapi-api.

"Aku tidak pernah memiliki wajah busuk. Kau selalu bertingkah seolah kau manusia paling benar di sini. Tidakkah kau tau bahwa apa yang kau lakukan padaku itu salah?"

"Aku hanya dengan pelan memukul lenganmu! Lalu kenapa kau bersikap begitu dramatis di depanku? Di depan semua orang?!"

Asteria menghela napas panjang dan memijat pangkal hidungnya seolah ia tampak begitu lelah. Gadis itu lantas menatap Esther dengan santai seolah tak terpengaruh sedikitpun dengan sikap kasar Esther.

"Aku tidak tertarik berdebat denganmu. Sebaiknya kau kembali ke kamarmu karena aku harus mandi," ujar Asteria sambil menutup pintu kamarnya dengan kencang di depan wajah Esther yang membuat gadis cantik itu menganga tak percaya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status