Share

BAB 5: If I Ruled The World.

"Apa yang terjadi?"

Seorang pria dalam balutan jas rapi berjalan menerobos kerumunan para siswa dan siswi Sekolah Menengah Pertama itu dengan langkah tegas dan suara berat yang membuatnya nampak berwibawa.

Esther yang melihat kedatangan pria itu pun segera berlari seraya merentangkan kedua tangannya dan memasang wajah sedih yang membuat pria itu mengernyit bingung.

"Papa!"

Asteria mengernyit bingung sambil terus memegang lengannya saat mendengar Esther berteriak nyaring sambil berlari ke arah seorang pria gagah berwajah tampan yang baru saja tiba.

Ia memandangi pria itu dari atas hingga ke bawah. Asteria semakin dibuat bingung, wajah pria itu memiliki sedikit kesamaan dengan dirinya meski tidak 100% membuat mereka terlihat sama.

"Lihatlah dia, bersikap seperti korban meski pada kenyataannya dia adalah penjahatnya."

"Benar. Itulah kenapa aku membencinya. Jika Om Tobi sampai membela dia, aku akan mencakar wajah menggelikannya itu," gerutu Luna dengan wajah kesal.

Ah, rupanya pria itu adalah ayah kandung Esther dan ayah angkat Asteria. Kini ia tau, mengapa Esther bisa begitu cepat merubah sikapnya. Gadis itu sepertinya ingin mencari muka di depan ayah mereka, Tobias Yasefa.

"Ada apa, Esther? Apakah terjadi sesuatu padamu?" tanya Tobias sambil mengusap rambut panjang Esther. Esther menyeringai saat mendengar nada khawatir terselip dalam ucapan sang ayah. Ia segera menunjuk rekan-rekan sekolahnya dengan wajah sedih yang begitu kentara jika itu dibuat-buat.

"Mereka semua menghakimi Esther, Papa. Esther tidak melakukan kesalahan apapun."

Tobias mengerutkan keningnya saat mendengar penuturan dari sang putri. Ia mengamati wajah-wajah teman sekolah Esther yang memang tengah mengelilingi putrinya itu. Tobias sadar jika di wajah mereka memang menampakkan ketidaksukaan, mereka juga menatap Esther dengan sinis.

Namun saat Tobias terus mengedarkan pandangannya, ia dikejutkan dengan kehadiran Asteria, putri dari mendiang kakaknya yang berdiri diapit oleh kedua sahabatnya sambil memegangi lengannya sendiri.

Tobias sontak mendorong Esther ke samping dan berjalan mendekati Asteria. Ia menatap gadis itu dengan pandangan sendu saat sadar jika kedua mata Asteria tampak basah serta memerah.

"Apa yang terjadi padamu, Sayang?" tanya Tobias dengan lembut pada Asteria. Saat Asteria hendak membuka mulut untuk menjawab pertanyaan sang ayah, Luna justru lebih dulu menyelanya.

"Itu perbuatan Esther, Om! Dia memukul lengan Asteria dengan keras saat dia memaksa Asteria mengajaknya untuk ikut ke timezone bersama kita."

Ivory menganggukkan kepalanya untuk menyetujui perkataan Luna. Tobias pun memandangi teman-teman Esther dan Asteria yang kini berbisik-bisik tepat setelah Luna menyampaikan apa yang terjadi di sana.

Pria itu menghela napas saat sadar jika apa yang terjadi di sana memang berdasar dari tingkah Esther, putri kandungnya. Tobias pun tersenyum pada Luna dan Ivory kemudian dengan lembut menarik Asteria agar mendekat padanya.

"Terima kasih karena kalian sudah menjaga Asteria. Maaf jika Esther membuat kegaduhan. Dia memang terkadang berbuat sembrono."

Esther menganga tak percaya saat melihat sikap ayahnya itu. Tobias justru lebih memilih memihak Asteria ketimbang membela dia, putri kandung Tobias sendiri dari cibiran rekan-rekan sekolahnya.

"Papa! Esther tidak bersalah, kenapa Papa har-"

"Diam! Kau sudah jelas berbuat kesalahan dengan menyakiti kakakmu. Tidakkah kau merasa bersalah untuk itu?" tanya Tobias dengan penuh penekanan pada Esther sambil menatap putrinya itu dengan tatapan tajam.

Esther yang ditatap begitu dingin oleh sang ayah pun memilih untuk melangkah mundur. Ia mengepalkan kedua tangannya karena merasa jika sekali lagi Asteria telah mencuri perhatian dan kasih sayang ayah kandungnya dari dirinya.

"Esther tidak melakukan itu dengan sengaja. Esther hanya bergurau dengan kakak, Esther tidak tau jika kakak ternyata merasa sakit," ujar Esther dengan nada bicara yang terdengar lirih.

Asteria yang mendengar itu diam-diam menghela napas jengah. Ia sudah cukup sering melihat segala bentuk kebusukan dalam hidupnya. Bukan hal baru lagi jika seseorang bisa mengubah ekspresinya begitu cepat. Lagipula Esther yang menjadi adiknya kini tidak jauh berbeda dengan Esther yang telah menghancurkan hidupnya di kehidupan sebelumnya.

"Tidak peduli itu bercanda atau serius, kau tetap bersalah karena sudah menyakiti kakakmu. Apa kau sudah meminta maaf padanya?" Esther tampak terkesiap mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Tobias. Asteria yang melihat wajah menggelikan Esther itu justru ingin sekali tertawa. Gadis itu pun tersenyum tipis sebelum akhirnya menatap sang ayah dengan raut wajah sedih.

"Papa, tidak perlu melakukan itu. Esther memang tidak bersalah. Ini semua terjadi karena Asteria yang terlalu lemah," ujar Asteria dengan sendu. Tobias yang melihat sikap sang putri sulung pun menghela napas pelan.

"Jangan terus mengabaikan kesalahannya, Asteria! Tidakkah kau ingat jika ini bahkan bukan kali pertama Esther berusaha menyakitimu!" Esther melotot dan mengepalkan kedua tangannya saat mendengar sergahan Luna.

Sahabat Asteria yang satu itu memang seperti kembang api. Dia tidak pernah bisa menahan mulutnya untuk bicara. Gadis cerewet itu merupakan salah satu orang yang paling tidak disukai Esther setelah Asteria.

"Luna benar, biarkan Esther meminta maaf dan bertanggung jawab untuk kesalahannya. Papa tau, Asteria adalah orang yang sangat baik dan begitu peduli pada saudari Asteria, hanya saja, Esther memang bersalah. Jadi biar dia meminta maaf padamu, Nak."

Asteria yang sebenarnya memang sudah mengarahkan alur kejadian ini pun mau tak mau mengangguk lemah sambil menatap Esther dengan wajah sendu. Esther menatap Asteria dengan kedua mata memicing tajam yang sarat akan kobaran permusuhan. Gadis itu hanya tidak tau jika Asteria telah sejak tadi diam-diam mengulum senyum.

"Cepat minta maaf kepada kakakmu, Esther!"

Esther mengepalkan kedua tangannya dengan kuat hingga buku tangannya memutih seraya berjalan mendekati Asteria yang kini tengah dirangkul oleh Tobias. Gadis itu dengan tajam memandang Asteria sedangkan Asteria masih mempertahankan wajah sendunya.

"K-kakak, ma-maafkan aku," tutur Esther terbata-bata. Asteria menundukkan kepalanya untuk tersenyum, gadis itu lantas mendongak sambil pelan-pelan bertingkah seolah ia tengah mengusap air matanya.

"Tidak apa-apa, Esther. Kakak memaafkanmu, jangan merasa bersalah untuk ini, okay?" Esther tersenyum kaku mendengar ucapan Asteria kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya pelan.

Tobias tersenyum setelah melihat Esther meminta maaf pada Asteria. Ia merasa sedikit lega dan tenang karena kedua putrinya masih bisa akur berkat sikap Asteria yang begitu pemaaf.

"Ingat, jangan pernah lagi melakukan hal buruk pada kakakmu." Esther mengangguk mendengar peringatan dari sang ayah dan segera mendekat ke arah Tobias.

"Ayo kita pulang. Mama sudah memasak banyak makanan kesukaan kalian untuk merayakan berakhirnya masa ujian kalian."

Asteria tersenyum manis pada Tobias sedangkan Esther justru merengut tepat setelah mendengar ucapan sang ayah. Ia menatap Tobias dengan wajah yang menampakkan kekesalan.

"Kenapa kita tidak makan di luar saja? Esther ingin makan di restoran mahal."

Tobias dibuat kembali menghela napas oleh apa yang dikatakan oleh Esther setelah sebelumnya sudah sempat merasa senang melihat sikap Esther dan Asteria yang mau saling memaafkan, Asteria yang melihat perubahan wajah Tobias pun hanya menggigit bibir berusaha menahan tawanya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status