Share

BAB 1: How Does That Makes Sense?

"Asteria sangat bodoh!"

Seorang gadis dalam balutan gaun merah berenda dan dihiasi bordir itu menutup buku berukuran cukup besar dan tebal di tangannya dengan kasar. Ia meletakkan buku itu di atas sebuah meja rias yang dicat berwarna emas dengan hati-hati.

"Kenapa Anda mengatakan itu, Yang Mulia? Bukankah Yang Mulia Edith sangat menyukai buku tentang manusia itu?"

Gadis bernama Edith itu menghela napas berat dan kembali melihat buku yang ia letakkan di atas meja riasnya. Ia kemudian mengalihkan pandangannya dan menatap seorang pelayan wanita yang kini tengah mengambil sebuah gaun baru untuk Edith dengan kedua matanya yang berwarna merah menyala.

"Aku kesal pada Asteria. Kenapa dia harus bunuh diri dengan cara seperti itu? Apa semua manusia bertindak sebodoh itu?"

Lilianne terkekeh pelan kemudian berjalan menuju sang tuan putri sembari membawa sebuah gaun megah berwarna biru cerah dibantu oleh dua rekan lainnya yang bernama Rosseta dan Zaryne.

"Anda tidak akan tau bagaimana rasanya sebelum Anda merasakannya sendiri, Yang Mulia."

"Jika aku jadi Asteria, aku akan menggigit kakak tirinya dan tunangannya itu hingga mereka mati kehabisan darah. Untuk apa bertindak bodoh? Tidakkah dia tau bahwa setelah kematiannya semua orang justru berbahagia? Joseph bahkan menikah dengan adik tirinya itu."

Ketiga pelayan yang kini melayani Edith pun tertawa geli mendengar tuan putri kesayangan mereka menggerutu dengan wajah merengut kesal. Rosseta lantas meraih tangan Edith dengan lembut dan membawa sang tuan putri untuk duduk di kursi yang berada di depan meja riasnya.

"Siapapun yang menulis buku itu pasti sangat cerdas, benarkan Anne?"

Lilianne mengangguk kecil sambil meletakkan kalung serta anting-anting yang baru saja ia lepaskan dari tubuh Edith ke dalam sebuah kotak kayu berukuran cukup besar.

"Ah, aku harus pergi mengunjungi Esther."

Gadis itu berjalan dengan terburu-buru keluar dari kamarnya. Lilianne yang masih berada di lorong yang berjarak cukup jauh dari kamar sang putri pun dibuat mengernyit melihat Edith berlari keluar dari kamarnya untuk menuju paviliun dimana Esther tinggal.

"Dia pasti sedang tidur. Esther memang tukang tidur," gumam Edith pelan.

Ia memegang pintu kamar Esther dan hendak membuka pintu itu, tetapi ia justru samar-samar mendengar suara rintihan dan desahan Esther yang begitu lirih serta terdengar mendayu.

Akan tetapi, suara berat yang bersahutan dengan suara Esther justru terdengar dengan jelas di telinganya. Tubuhnya mendadak kaku saat mendengar suara pria yang begitu familiar di telinganya.

Air mata Edith tiba-tiba menggenang. Ia kembali berbalik dan dengan tangan gemetar berusaha membuka pintu kamar Esther yang ternyata tidak terkunci. Edith menutup mulutnya saat suara pria itu dan Esther terdengar semakin keras.

Jantung Edith seperti kehilangan fungsinya. Ia seperti ingin roboh saat itu juga. Gendang telinganya serasa hampir pecah saat mendengar suara penuh kenikmatan dari dua orang di dalam kamar itu.

Edith menatap kedua orang terdekat dalam hidupnya dengan air mata bercucuran, kakinya terasa lemas dan seolah tak mampu menyangga tubuhnya sendiri. Ia menutup mulutnya dan memandang Esther serta Rupert dengan tatapan tak percaya saat kedua orang itu justru menatapnya dengan santai.

"Kenakan pakaianmu, Pangeran. Tunanganmu ada di sini."

"Biarkan saja. Aku masih belum puas, Esther. Biarkan saja dia melihat, dia sudah tau kebenarannya, untuk apa ditutupi lagi?"

Edith tercekat mendengar jawaban Rupert. Orang yang dia anggap paling mencintainya justru dengan tega meremukkan hatinya. Ia merasa tak mampu menghadapi orang-orang di luar sana jika mereka tau bahwa Rupert ternyata bermain gila di belakang Edith dengan sahabat sang putri sendiri.

"A-ap-apa yang ka-kalian lakukan!"

"Jangan berteriak, Sialan! Kau mengganggu pendengaranku!" Esther membentak Edith sambil turun dari ranjang besarnya. Ia mengambil sebuah baju tidur yang tergeletak di lantai dan memakainya dengan santai.

"Kenapa kau melakukan ini padaku, Esther? Aku adalah sahabatmu. Aku memberikan dan berbagi segalanya denganmu. Kenapa kau melakukan ini?"

Esther mendengus mendengar pertanyaan Edith. Ia berjalan mendekati sang sahabat dan mengambil buku yang terjatuh di samping kaki Edith. Gadis itu dengan angkuh membaca judul buku di tangannya sebelum melemparnya ke belakang hingga hampir mengenai kepala Rupert yang kini tengah memakai kembali pakaiannya.

"Kau bertanya kenapa aku melakukan ini? Kau bodoh atau hanya berpura-pura, Edith?"

Suasana di sekitar mereka pun mendadak mencekam. Esther yang semula nampak angkuh kini justru terlihat begitu marah. Kedua matanya yang merah perlahan-lahan berubah menjadi hitam sepenuhnya, hal itu membuat Edith terperenjat kaget. Ia tau apa tanda dari perubahan warna itu. Esther telah dengan lancang menyentuh sihir hitam yang selalu dilarang oleh seluruh kerajaan di Land Of Most.

"Kau memang gadis menyebalkan! Kau sudah merebut semuanya dariku! Kau merebut kasih sayang orang tuaku! Kau merebut ketenaranku! Kau merebut segalanya dariku, Edith! Segalanya! Kau bahkan merebut pria yang aku sukai! Kau merebut posisiku di sekolah! Kau, kau rakus! Aku sangat membencimu!"

Edith tak lagi mampu menahan sakit hatinya. Ia tidak menyangka jika sahabat yang selama ini ia sayang dan kasihi justru menyimpan iri dan dendam yang begitu besar padanya.

"Tapi tidak masalah. Aku sudah mendapatkan pria yang ku inginkan. Aku akan mendapatkan semua yang ku inginkan pada akhirnya dan kau, kau hanya akan menjadi vampir buangan!"

"Rupert! Sadarlah! Kau dalam pengaruh sihir hitam Edith!"

Rupert yang mendengar teriakan Edith pun menggeram kesal. Ia mengambil buku milik Edith yang tadi nyaris mengenai dirinya karena dilemparkan oleh Esther. Setelah itu, Rupert dengan kekuatan penuh melemparkan buku itu pada Edith hingga mengenai kepala Edith.

Tubuh Edith yang terluka pun sudah bermandikan darah setelah dirinya terpental jatuh menabrak pintu kaca. Pecahan kaca itu menggores kulit putihnya. Kepalanya terluka cukup parah karena terkena lemparan buku dari Rupert. Buku favorit Edith pun sudah dikotori oleh darah dan kini tergeletak di samping Edith yang tak berdaya.

"Kasihan sekali. Kau begitu menyedihkan Edith. Kau selalu bangga pada dirimu dan hubunganmu dengan Rupert. Tapi lihatlah sekarang, kau bahkan terluka parah karena tunangan yang sangat kau cintai itu."

Rasa sakit hatinya seolah sulit untuk ia gambarkan. Edith merasakan kehancuran dalam sekejap mata. Ia masih berbahagia dengan Rupert pagi tadi. Ia pun sudah memikirkan bagaimana bahagianya acara pengukuhan dan pesta ulang tahunnya yang ke-18. Namun setelah semua ini, Edith rasanya enggan untuk melanjutkan hidupnya lagi.

Ia melihat buku favoritnya yang tergeletak penuh darah di lantai balkon. Sang putri dengan gaun penuh robekan serta luka di seluruh tubuhnya pun berjalan menuju tembok balkon dan berdiri di atasnya.

Edith menatap lurus ke arah langit senja di depannya. Air matanya menangis membasahi pipi. Apakah ini yang dirasakan Asteria dalam bukunya? Edith menyesal telah berkata jika Asteria bodoh. Wajar jika Asteria memilih menyerah, penderitaan gadis itu sudah terlalu menumpuk.

Edith memejamkan kedua matanya lalu mengulurkan kedua tangannya ke depan. Langit semula cerah dengan warna senja yang indah kini mendadak gelap diselimuti oleh awan mendung.

"Jika aku tau bahwa rasanya akan sesakit ini, aku tidak akan pernah menilaimu bodoh, Asteria. Aku sekarang mengerti, rasa sakit ini benar-benar menghancurkan kita dari dalam. Jika aku bisa, aku ingin memperbaiki semuanya. Aku tidak akan jadi begitu baik bahkan pada orang terdekatku. Jika aku jadi kau, aku akan membuatmu hidup dalam bahagia agar kau tidak mati begitu mudah, Asteria."

Edith terkekeh dengan kedua mata terpejam sebelum akhirnya melompat dari balkon itu. Ia merentangkan kedua tangannya dan membiarkan tubuhnya terhantam tanah hingga akhirnya darah mengalir deras membasahi tubuh Edith yang sudah kaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status