Share

5. Awal bencana

Suasana mencekam menyelimuti. Semua jiwa yang menyaksikan peristiwa itu dilanda kegugupan.

Elena, pemimpin para siluman tersentak mundur. Sementara para prajurit yang mengelilingi terhempas beberapa meter.

Griffin bahkan belum melemparkan bola hitam kumpulan api neraka di tangannya. Hanya sekedar hawa saja, tetapi sudah mampu membuat kehebohan.

Dewa kegelapan itu berdiri perlahan, mengangkat kepala congkak dengan Mika yang terkulai lemas dalam pelukannya. 

"Kau? Siapa kau? Berani-beraninya kau masuk ke tempat ini?"

Pandangan Griffin pekat mencemooh. "Kau sungguh ingin tahu siapa aku?" Dia menyapu pandangan. Untuk ukuran begundal lemah seperti ini bukanlah apa-apa baginya. 

Dewa kegelapan itu melepaskan bola api. Hawa panas yang mendebarkan langsung mengubah semua yang di depan menjadi abu tak tersisa.

Pengaruh tak hanya mencakup di dalam istana, tetapi menembus keluar hingga membuat kerusuhan besar-besaran terjadi. Siapa sebenarnya orang ini?

Elena yang melihat itu menjadi panik, dia berusaha menyerang. Namun baru melangkah setengah meter, tubuhnya kembali terhempas ke belakang. Cairan merah keluar dari bibir dan hidung.

Siapa pun dia, sosok itu bukanlah orang lemah. Bahkan tak tersentuh, seolah ada lapisan pelindung di sekelilingnya l.

"Lari lah. Sebelum aku berubah pikiran. Bukankah kau harus melaporkan hal ini pada atasanmu?"

Tak ingin melakukan kecerobohan. Elena segera melesat meninggalkan istananya sendiri, kabur mencari pertolongan. 

Setelah tak ada lagi yang tersisa di tempat itu. Griffin menurunkan Mika dari pelukannya. Membaringkan tubuh peri lemah itu di lantai sambil menatap wajah Mika yang pucat.

Pelan tangannya memiringkan bahu gadis itu, menatap luka yang tersebar di berbagai tempat. Luka yang sama persis seperti yang dimiliki oleh Griffin.

"Ternyata memang dia sumbernya. Pantas saja aku merasa sakit."

Griifin menyentuh dahi Mika, memberi mantra penyembuh untuk memulihkan luka. 

Perlahan, mata gadis itu mengerjap. Lalu terbuka menatap sosok yang menaungi dirinya.

"Akhh. Kenapa kau ada di atasku? Apa yang kau lakukan?" Mika panik, menyeret bokongnya mundur, tetapi langsung ditarik kembali oleh Griffin untuk mendekat.

"Kau ... Mulai sekarang, kau ada milikku. Seluruh hidupmu didedikasikan kepadaku, nyawamu ditanganku, napasmu, darahmu, semuanya. Kau harus terus berada di sampingku dan jangan pernah kabur."

"Hah? Kau ini bicara apa?" Mika mengangkat tangannya dan menempel ke dahi Griffin. "Badanmu panas, kurasa kau terkena demam jadi bicara melantur."

"Aku tidak demam."

"Oh, kalau begitu, mungkin kau gila."

"Aku tidak gila." Griffin membentak. Otot di wajahnya menegang menahan marah. "Jangan berbicara sembarangan padaku, atau aku akan membunuhmu."

"K-kau akan membunuhku? Kenapa kau mau membunuhku? Memangnya aku salah apa?"

"Kau salah apa?" Griffin menyikap lengan bajunya, menunjukkan luka sabetan pedang yang sama dengan milik Mika. "Lihat ini. Ini semua karenamu. Kau lah yang menyebabkan luka ini."

Mika terkesiap, menutup bibirnya sendiri. "B-bagaimana bisa?"

"Mana aku tahu. Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Apa yang sudah kau lakukan? Dan siapa kau sebenarnya? Kenapa kau mengikat ragamu dengan ragaku? Hah?"

Griffin mencengkram pipi Mika, mendesak peri itu untuk bicara.

"Ak-aku tidak tahu."

"Omong kosong! Katakan padaku. Apa sebenarnya tujuanmu? Siapa yang menyuruhmu?"

"Aku bilang, aku tidak tahu." Mika memberontak dan melepas cekalan tangan Griffin di pipinya. "Kau pikir aku mau terikat denganmu, hah? Percaya diri sekali. Dasar orang gila."

Griffin mengeram kesal. Lalu mendorong peri itu, memenjarakan di antara dua kukungan tangan. "Jangan membentakku siluman kecil. Atau aku benar-benar akan melenyapkanmu."

Bibir Mika menekuk. Posisi mereka yang berdekatan seperti ini membuat jantungnya berdebar. Apalagi aroma napas Griffin yang menyenangkan membuat tubuhnya terasa aneh.

Mika diam-diam menatap bibir laki-laki itu, teringat dua hari yang lalu mereka berciuman. Dia bahkan masih ingat bagaimana rasanya dan juga sensasinya.

Ternyata ciuman itu menyenangkan juga, ya. Meskipun bukan dengan orang yang dia cintai.

Bibir Griffin terasa lembut dan kenyal. Juga sedikit manis, menciptakan rasa candu yang ingin Mika ulang.

"Apa yang kau pikirkan?" pertanyaan Griffin membuat Mika tersentak. Lamunannya buyar dan kembali pada realita.

Ah, apa yang dia pikirkan. Laki-laki di atasnya ini ingin membunuhnya. Kenapa dia malah terpikirkan ciuman kemarin. Tapi kalau Griffin mau lagi, Mika juga tak masalah.

"Aku tidak akan menciummu lagi," kata Griffin tiba-tiba.

"Eh? Mana ada! Aku juga tidak mau ciuman denganmu lagi." 

"Lalu--"

"Sudah, sudah. Jangan dibahas." Mika memotong. "Makanya kau jangan menindihku seperti ini. Bagaimana kalau orang lain lihat dan mereka salah sangka. Aku sudah bilang kalau aku punya lelaki idamanku sendiri. Jadi, hubungan di antara kita takkan berhasil."

"Hubungan apa yang kau maksud?"

"T-tadi kau bilang kalau aku adalah milikmu. Bukankah itu berarti kau menyukaiku?"

Mata Griffin membola tak percaya. Mika benar-benar salah tangkap dengan apa yang dia jelaskan.

"Bukan itu maksudku, tapi--"

Belum selesai Griffin berbicara, Mika langsung mendorong tubuh laki-laki itu agar terbebas dari kurungan tangannya. "Menyingkir. Aku mau pulang. Kuilku terlalu lama kosong dan aku harus menyiram tanaman," katanya dan langsung berjalan pergi meninggalkan Griffin.

"Hey, mau kemana kau?"

"Jangan ikuti aku. Aku sudah bilang kalau aku sudah punya tambatan hati. Kau carilah perempuan lain, aku tahu lama dipenjara membuatmu stress karena tidak bertemu wanita. Tapi jangan seputus asa itu."

Griffin segera menyusul dan mencengkram tangan Mika, tetapi upaya itu gagal karena Mika langsung terbang begitu saja.

"Sialan," maki Griffin kesal. "Lepaskan dulu mantra pengikatmu, jangan kabur."

Namun, Mika tetap lenyap. Pergi meninggalkan Griffin yang kesal setengah mati.

Sementara di tempat lain, Elena yang baru tiba dikediaman pemimpinnya langsung terjatuh.

Efek api neraka yang dia terima masih bekerja. Mulutnya terus mengeluarkan darah, memancing atensi dari pimpinannya Elgard. Rasa istana siluman perbatasan barat.

"Apa yang terjadi padamu?"

"Mo-mohon ampun paduka, telah terjadi kekacauan besar-besaran di istana utama. Seseorang entah siapa masuk ke dalam dan membunuh hampir setengah prajurit yang ada."

"Seseorang? Siapa?"

"H-hamba tidak tahu. Yang jelas, dia sangat kuat dan tak tersentuh."

Mata Elgard menyipit. Tanpa menunggu ia segera meluncur ke tempat kejadian untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri.

Dan betapa terkejutnya laki-laki itu, kala menemukan api hitam amaterasu masih berkobar menyala di hampir seluruh penjuru istananya.

"Mungkinkan ini adalah dia?" Elgard mengepal tangan, bibirnya mendesis kesal. Dia melepaskan sihir pengunci dan menyerap seluruh api yang membakar. "Kalau ini memang ulah dewa kegelapan itu, maka perang besar sesuai ramalan akan terjadi. Tapi bagaimana bisa? Siapa yang melepaskannya? Apa penduduk khayangan yang melakukan ini semua? Atau ada pihak lain?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status