Share

29. Surat Panggilan

Author: Banyu Biru
last update Last Updated: 2025-07-10 10:32:37

Aku menatap lembar surat itu agak lama. Kertas berkop Pengadilan Agama Surabaya yang kembali datang setelah sidang mediasi yang tak mencapai kesepakatan.

Aku membuang nafas perlahan sambil sesekali memejamkan mata. Menikmati udara sore yang berhembus dari teras rumah ayah.

"Dia sudah menerima suratnya," ujar Bimo sambil menyeruput kopi yang baru saja Mbok Nah antarkan. "Tapi sepertinya, Danar tetap tidak mau menandatangani gugatan cerai. Katanya, dia masih ingin mempertahankan rumah tangga denganmu!"

Aku tertawa getir. Rumah tangga macam apa yang ingin dia pertahankan? Setelah mengabaikanku sejak pernikahan, menghamili perempuan lain, memaipulasi toko materialku.

"Kalau begitu, kita main di sisi yang lain," gumamku, lebih pada diri sendiri.

Bimo menoleh, menatapku penuh tanya.

"Mobil itu," ucapku akhirnya. "Mas Danar menginginkan mobil yang biasa dia pakai!" Aku menjeda kalimatku. "Berikan saja padanya. Suruh dia tukar mobil itu dengan tandatangan di surat gugatan cerai.
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   49. Bujukan yang Tak Mempan

    Beberapa hari setelah insiden di pusat perbelanjaan, aku kembali beraktivitas di klinik. Namun, ada yang berbeda. Setiap kali berinteraksi dengan warga sekitar klinik, aku merasa was-was. Aku mencoba memindai setiap wajah, mencari jejak kemarahan atau kebencian yang sama seperti malam saat Saka dan aku difitnah. Anehnya, tak ada. Wajah-wajah mereka tampak biasa saja, bahkan ada yang tersenyum ramah seperti tak pernah terjadi apa-apa."Apa kabar, Bu Dokter?" sapa seorang ibu paruhsaat aku membuka pintu pagar lebih awal dari biasanya. Senyumnya tulus, matanya ramah. Aku membalas senyumannya, namun dalam hati bertanya-tanya, apakah mereka tahu? Atau apakah mereka memang tidak terlibat dan hanya termakan provokasi?"Baik, Bu. Sibuk apa Bu?" Basa-basiku sambil menelisik wajahnya. "Oh, ini, Bu Dokter, aktifitas jalan pagi saja. Biar lebih sehat!" Jawabnya sambil tersenyum. Aku membalas senyumnya dan mempersilakan untuk kembali melanjutkan. Sebisa mungkin aku mencoba menepis pikiran negat

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   48. Pertemuan yang Melelahkan

    Beberapa hari kemudian, setelah diperbolehkan pulang, Saka membawaku ke salah satu pusat perbelanjaan terbesar. Kami berjalan berkeliling untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa digunakan untuk resepsi sedehana kami. Entah kapan akan diadakan. Saka berkali-kali melirikku dengan senang karena akhirnya bisa satu mobil hanya berdua bahkan bergandengan tangan. Aku yang masih sedikit canggung dengan status dadakan ini, sementara Saka terlihat bersemangat."Kapan satu rumah?" Tanyanya iseng. "Tunggu resmi saja!" Jawabku santai sambil melihat-lihat."Kapan resminya?" Tanyanya lagi. "Nunggu semua siap!" Tatapku tajam. "Aku udah sangat siap!" Kata Saka mantap. "Akunya yang belum siap!" Saka hanya menggaruk pelipisnya sambil meringis. "Bagaimana dengan Delia?" Saka berhenti dan menatapku. "Kita tidak bisa mengatakan ini padanya Saka karena ini bisa menyakitinya. Kau yang dulu berjanji untuk menemaninya!" Aku memgingatkan janjinya pada Delia."Aku akan menemaninya asal kau menerima lamaran

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   47. Saka yang Membela

    Perlahan, kelopak mataku berkedut, mencoba untuk bisa terbuka. Hidungku seketika mencium aoma antiseptik yang khas, disusul bisikan samar-samar yang perlahan menarikku kembali dalam kesadaran. Disusul kehangatan lembut yang membalut pergelangan tanganku. Aku mengerjap, pandanganku masih buram, namun siluet samar mulai terbentuk. "Nada?" Suara itu. Suara berat yang familiar, dipenuhi kelegaan yang tak bisa disembunyikan. Aku berusaha menggerakkan kepalaku, dan pandanganku yang akhirnya bisa fokus. Wajah Saka. Matanya yang biasanya penuh ketegasan kini memancarkan kelegaan, seolah beban berat baru saja terangkat dari pundaknya. Senyum tipis mengembang, dan tangannya masih menggenggam erat pergelangan tanganku. Di sampingnya, berdiri sosok lain. Rambut yang tergerai, wajah yang teduh. Itu.. ibu. Wajahnya sembab, jejak air mata masih terlihat jelas di pipinya, namun tatapan matanya kini dipenuhi syukur. "Ya Tuhan, Nada!" Ibuku segera menghambur, memelukku erat-er

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   46. Klinik dan Fitnah

    Suara kunci yang bergemerincing dan pintu klinik yang tertutup rapat menandakan akhir dari hari yang panjang. Satu per satu, para stafku berpamitan, langkah kaki mereka memudar seiring malam yang mulai merayap. Akhirnya, aku sendirian. Keheningan itu, yang seharusnya menenangkan, justru terasa menyesakkan. Aku melemparkan pandangan ke sekeliling ruangan praktikku yang rapi, berusaha menemukan sedikit kedamaian setelah hiruk pikuk hari ini. Namun, belum sempat aku benar-benar terpejam, ketukan pelan di pintu membuatku tersentak. Siapa lagi ini? Aku melirik jam dinding. Sudah hampir pukul tujuh malam. Dengan sedikit enggan, aku bangkit dan melangkah ke pintu. Ketika kubuka, sosok Sasi berdiri di ambang pintu klinik, matanya merah dan sembab, jelas baru saja menangis. Lagi. Ini bukan kali pertama Sasi datang dalam keadaan seperti ini. "Maafkan aku, Nada!" katanya lirih, suaranya serak dan putus-putus. Air mata kembali menganak sungai di pipinya. "Aku… aku benar-benar minta maaf atas

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   45. Kembali Waspada

    Kata-kata Pak Eko terus terngiang di benakku, berputar-putar tak henti seperti rekaman film. "Ayahmu... dibunuh." Kenyataan pahit itu seperti bongkahan es yang membekukan darahku. Aku berusaha keras untuk menjalani hari-hari seperti biasa, bersembunyi di balik rutinitas demi menenangkan badai dalam diri. Klinik lagi-lagi menjadi pelarianku. Di sana, aku bisa fokus pada pasien, mengalihkan pikiranku dari beban berat yang menindih. Namun, sepulang kerja, kegelisahan itu kembali merayap. Kamar kerja ayah, yang dulu terasa sakral dan penuh kenangan, kini seperti labirin misteri. Aku sering menghabiskan waktu di sana, membolak-balik buku-buku lama, memeriksa laci-laci meja, berharap menemukan petunjuk tersembunyi. Setiap coretan di buku catatan, setiap slip kertas yang kadang terasa penting. Aku mencari tahu, apa yang membuat ayahku, sosok yang damai dan tak punya musuh, menjadi target pembunuhan? Mataku juga tak lepas dari Ibu, Rahmawati. Kecurigaan yang tak beralasa

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   44. Sahabat Lama Ayah

    "Ayahmu… meninggal bukan karena kecelakaan biasa. Dia… dibunuh." Deg. Hatiku seketika mencelos. Tanganku yang menggenggam cangkir teh bergetar, nyaris terlepas dari genggaman. Aku menatap pria di hadapanku, mencoba membaca wajahnya yang tampak letih dan menyimpan luka dalam. Mbok Nah berdiri refleks, menatap pria itu dengan sorot waspada. “Bapak, siapa” tanyanya hati-hati. Mbok Nah menelisik wajahnya dan mengerutkan dahi. Mungkin Mbok Nah sedang berusaha untuk mengingatnya. Pria itu menarik napas panjang, lalu mengangguk hormat. “Maafkan kedatangan saya yang mendadak. Nama saya… Eko. Eko Wibowo. Saya sahabat almarhum ayahmu, Nada.” Aku membeku. Eko Wibowo. Nama itu asing… tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat dadaku sesak."Silakan duduk, Pak!" Aku memberinya ruang untuk berjalan. Langkahnya tertatih kecil melewatiku dengan hati-hati. Sepertinya dia datang sendiri karena tak ada siapapun di belakangnya. Mbok Nah segera masuk meninggalkan aku dengan laki-laki yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status