“Tentang... siapa dirimu yang sebenarnya.”
Suara itu halus, seperti bisikan yang menusuk hingga ke dasar pikiranku. Aku menoleh sekilas ke Bimo, mencari jawaban dari ketidaktahuanku sendiri. Tapi Bimo tampak sama terkejutnya. “Apa maksud Ibu?” tanyaku pelan, mencoba tenang meski tubuhku mulai gemetar tanpa alasan. Wanita itu menunduk sejenak, seolah sedang menyusun keberanian. “Aku sudah menunggumu sejak lama. Tapi baru hari ini aku bisa menguatkan diri untuk bicara.” Ia membuka tas kecil di tangannya, mengeluarkan sebuah foto kusam. Tangannya bergetar saat menyerahkannya padaku. Mataku membelalak. Itu foto bayi perempuan dalam balutan selimut merah muda, digendong seorang wanita muda—wajahnya tak asing. Bahkan sangat familiar. Jantungku seperti berhenti berdetak. “Itu... aku?” Aku menatap foto itu. Aku sering melihatnya di album yang ayah simpan. Wanita itu mengangguk pelan. “Itu dirimu, Nada Pramesthi. Dirimu dalam pelukanku. Aku... ibumu..Setelah tangisku mereda, Saka perlahan melepaskan pelukannya. Ia menyeka air mata di pipiku dengan ibu jarinya, sorot matanya masih dipenuhi kekhawatiran. “Sudah lebih tenang?” tanyanya lembut. Aku mengangguk, mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Ruangan ini, yang seharusnya terasa penuh kebahagiaan, kini diselimuti oleh kesedihan kami berdua. “Ada hal lain yang perlu kamu tahu, Nada,” ujar Saka, suaranya terdengar berat. Ia membimbingku duduk di sofa ruang tamu. Aku menatapnya penuh tanya, firasatku tidak enak. Saka menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Danar datang menemuiku di rumah sakit kemarin.” Mataku membelalak. Degup jantungku langsung berpacu. Mas Danar? Untuk apa dia menemui Saka? Rasa khawatir dan bingung mencampur aduk dalam benakku. “Dia… dia bilang apa?” tanyaku, suaraku nyaris tak terdengar. Saka menatapku lurus, ekspresinya serius. “Dia memintaku untuk menjauhimu, Nada.” Aku terdiam, mencerna kata-kata Saka. Mas Danar datang un
Mataku mengerjap karena mencium aroma kopi yang samar. Aku menggeliat pelan dan beranjak untuk bangun. Melepas mukena yang tak sempat kulepas setelah selesai subuh. "Kau sudah bangun?" Aku menoleh menatap ibu yang sedang membuka tirai jendela yang masih tertutup rapat. Seketika cahaya matahari pagi menyeruak masuk lewat jendela yang kini telah terbuka lebar. "Jam berapa, Bu?" Tanyaku sambil melipat mukena dan merapikannya di ujung ranjang."Baru pukul enam!" Aku menghela nafas. Sudah lama aku tak tidur senyenyak ini. Entah kapan terakhir kalinya. "Bagaimana tidurmu, nyenyak?"Ibu mendekat lalu duduk di sisiku. "Hem. Nyenyak!" Jawabku. Ibu tertawa kecil. "Syukurlah. Ibu was-was kalau kamu gak nyaman!" Ibu mengulurkan tangannya untuk menyingkirkan sehelai rambut dari dahiku dengan lembut. "Mau sarapan apa? Ibu sudah masak nasi uduk kesukaanmu, Soto juga ada" Perutku langsung keroncongan mendengar tawaran ibu. "Ayo bangun. Ibu sudah siapkan kopi di meja!" Aku mengangguk. "Iya, B
Aku tak lagi bersemangat setibanya di klinik. Segera kuminta para pekerja untuk pulang meski belum waktunya jam pulang dan menutup pintu klinik rapat-rapat. Karena aku tak ingin ada yang masuk saat aku sendirian. Menikmati sakit yang tak bisa kutumpahkan. Aku beranjak menghampiri saat kulihat mobil Saka mendekat Aku tersenyum meski tetap tak bisa kusembunyikan lagi rasa lelahku. Saka keluar dari mobil, membukakan pintu deoan dan menatapku dengan sorot mata penuh tanya. “Kamu nggak apa-apa?” Aku hanya mengangguk pelan, lalu masuk ke mobil tanpa banyak bicara. Saka tahu, jika aku diam seperti ini, ada sesuatu yang lebih dari sekadar lelah."Tumben gak nunggu di dalam!" Aku hanya menggeleng. Bagiku, lebih baik melihat keramaian lalu lalang orang dari pada berdiam sendirian di dalam. Di mobil, suasana kembali hening. Hanya suara AC yang mengisi sela-sela kesunyian. Tanganku menggenggam tas kecil di pangkuan. Aku bisa merasakan tatapan Saka dari samping, tapi ia tak memaksaku bicara. I
Aku melepas seat belt dan berniat untuk turun dari mobil Saka. Sejak menikah, aku dan Saka memang belum tinggal satu rumah meskipun Saka selalu rajin untuk antar dan jemput beberapa hari ini. Tak ada romantis gaya anak muda, yang ada hanya tanggung jawab dan rasa ingin melakukan yang terbaik yang di bisa. "Aku jemput nanti pulangnya!" "Hem!" Aku hanya mengangguk lalu mencium pipinya sesaat. Saka tersenyum. "Kenapa?" Tanyaku curiga. "Harusnya bisa lebih dari ini!" Katanya merajuk. "Anggap saja kita lagi pacaran, halal!" Godaku. "Udah, sana! Nanti telat!" Usirku. Saka mengedipkan sebelah mata lalu melajukan mobilnya setelah aku turun. Hari ini, ada pemeriksaan rutin beberapa SD, tentu saja aku kewalahan itu sebabnya aku meminta Saka untuk mengirimkan tenaga bantuan dari rumah sakitnya. Untungnya tak sampai sore, semua telah selesai. Aku baru saja melepas jas putih, mencuci tangan, lalu menyandarkan tubuh sejenak di kursi kerja sambil menikmati alunan musik santai
Beberapa hari setelah pernikahan, aku dan Saka sepakat untuk mengunjungi Delia di rumah sakit seperti biasanya. Menepati janji untuk selalu menemaninya ketika terapi. Bau antiseptik seketika memenuhi hidung saat kami memasuki lorong lantai tiga. Saka menggenggam tanganku erat. Terus terang, aku memang butuh dikuatkan. Aku tahu bagaimana sakitnya diduakan dan aku tak mau Delia ikut merasakannya. Dan satu hal yang aku tak pernah membayangkan jika harus kembali mengunjungi Delia dalam situasi serumit ini. Aku yang kini menjadi stri sah Saka, harus mendampingi suamiku menemui perempuan yang juga mencintainya… yang sedang sakit dan masih berharap bahwa suatu hari Saka akan menjadi miliknya. Aku menunduk, menarik napas panjang. Saka mengetuk pintu ruangan dengan sedikit ragu. Dari dalam terdengar suara lemah yang akrab. “Masuk…” Saka mendorong pintu perlahan dan membiarkanku untuk masuk terlebih dulu. Di atas ranjang bersandar tubuh Delia yang jauh lebih kurus dari terakhir aku me
"Nada," ucapnya pelan, setelah beberapa menit kami saling diam. "Aku tahu waktunya mungkin belum tepat. Tapi kejadian kemaren membuatku sedikit berpikir. Apa lagi masa iddahmu telah selesai, dan aku tak ingin membiarkanmu terus menerus dalam ancaman Danar!" Saka meremas kedua tangannya. Aku menoleh, menatapnya lekat-lekat. Di balik mata beningnya, aku melihat ketulusan yang tak bisa dipalsukan. "Aku ingin menikahimu, secepatnya," lanjutnya, suaranya mantap namun penuh rasa hormat. "Tentu jika kamu sudah siap. Tapi aku serius, Nad. Aku tidak ingin menunda-nunda lagi. Kita harus segera meresmikannya!" Aku memejamkan mata sejenak, mengatur napas. Entah mengapa, tidak ada ketakutan dalam hatiku saat mendengar kata-kata itu. Justru ketenangan. "Baiklah," jawabku akhirnya, pelan namun pasti. "Tapi… aku tidak ingin pesta. Tidak ingin keramaian. Aku hanya ingin pernikahan kita sah!" Saka mengangguk penuh pengertian. "Aku setuju. Kita jaga semuanya tetap sederhana. Tanpa hingar bin