Mataku mengerjap. Mencoba untuk membuka perlahan meski terasa berat. Seketika bau yang tak asing mulai memenuhi rongga hidung.
"Nada?" Aku mendengar sesorang memanggil namaku, tapi bukan Mas Danar. Suara itu terdengar lebih berat dan dalam. "Aku membuka mata dan menatap seseorang yang duduk di sisi ranjang dengan wajah penuh kekhawatiran. "Nada, akhirnya kamu bangun juga! Syukurlah!" Kata-kata lembut itu terdengar menenangkan. Aku mengangguk lemah. Mataku memindai seluruh ruangan sambil mengingat kejadian demi kejadian yang membuatku terbaring di sini. Tak kutemukan sosok Mas Danar. Hatiku mencelos. Justru orang lain yang tampak berbinar saat melihatku kembali sadar. "Aku senang kita bisa kembali berjumpa. Tapi bukan perjumpaan seperti ini yang kuharapkan!" Aku menatap lekat manik matanya. "Saka? Saka Banyu Aji?" Aku membaca name tag yang ada di seragam putihnya juga menatap wajahnya lekat-lekat. Ya. Dia Saka. Laki-laki itu tersenyum dan mengangguk. Kami saling kenal saat masih menjadi mahasiswa kedokteran. Kebetulan fakultas kedokteran gigi jurusanku berdampingan dengan fakultas kedokteran umum jurusan Saka. Praktis, kami selalu bertemu dalam acara seminar-seminar yang membahas tentang kesehatan. "Alhamdulillah, kamu masih mengingatku dengan baik. Kukira kau sudah lupa padaku. Apalagi setelah benturan di kepalamu itu!" Kami tertawa kecil. "Aku tak selemah itu!" Jawabku. Saka hanya mengangguk, senang. "Em, kau yang merawatku?" Tanyaku basa basi. "Ya, setelah pemeriksaan di awal. Lukamu tak menunjukkan tanda-tanda cedera yang serius. Tapi tetap saja akan ada serangkaian pemeriksaan ke depannya. Jika kondisimu benar-benar baik, maka kau bisa segera pulang.. Em.. Suamimu yang mengantarmu tapi sepertinya sedang ada urusan yang tak bisa tinggal. Dia buru-buru pergi setelah meninggalkan kontaknya! Aku akan menghubunginya!" Aku cepat-cepat menggeleng. Saka melihatku dengan tatapan aneh lalu kembali memasukkan ponselnya di saku jasnya. "Ada sesuatu? Apa ada masalah antara kau dan suamimu? Kau bisa menceritakannya padaku, Nada! Aku akan senang hati mendengarnya!" Aku lagi-lagi menggeleng. "Terima kasih atas tawaranmu Saka. Tapi aku sedang tak ingin berbagi kisah denganmu tentang suamiku. Selama kita berteman, kau selalu menjadi pendengar setiaku. Aku takut kau bosan!" Aku mencoba memberi alasan. "Selama cerita itu tentangmu, aku tak pernah merasa bosan Nada! Bahkan aku selalu menantinya setiap waktu. Sayangnya kau malah memilih laki-laki lain untuk berbagi kisah hidupmu!" Aku terdiam beberapa saat lalu menghalau pikiran yang mulai bergelayut. "Kau ini. Masih saja sama seperti dulu Saka. Terima kasih selalu menjadi teman terbaikku!" Saka menggeleng. "Aku senang melakukannya. Baiklah. Istirahatlah lebih dulu. Aku akan datang lagi saat selesai tugas. Kau tak keberatan bukan, jadi pasien VIP Dokter Saka, Dokter Gigi Nada Pramesthi?" Kami tertawa bersama. "Terima kash, Dokter!" Aku mengucapkannya dengan tulus. Saka mengangguk lalu meninggalkanku di ruangan sendirian. Untunglah jika cederaku tak parah, karena aku akan segera menyusun langkah selanjutnya. Aku tak sabar ingin melihat bagaimana reaksi Mas Danar, juga mertuaku saat mereka tahu siapa aku yang sebenarnya. Aku pastikan mereka akan menyesalinya dan saat itu adalah saat yang paling aku tunggu. **** "Nada?" Aku berbalik menatap arah pintu. Saka kembali masuk. Kali ini tanpa jas dokternya. Saka tampak segar dengan outfit casual yang melekat di tubuh atletisnya dengan membawa paper bag di tangan kiri. Sejak kapan Saka memperhatikan penampilannya sedemikian rupa? Jika diperhatikan lebih seksama, Saka juga tak kalah dengan Mas Danar. Apalagi dia seorang dokter, jauh diatas Mas Danar. Astaga, pikiranku mulai kacau karena benturan! Aku meringis ketika Saka menautkan kedua alisnya sambil terus memperhatikanku yang melihatnya tanpa henti. Sepertinya Saka tahu jika aku sedang mengaguminya saat ini. "Jangan bilang kalau sekarang kau jatuh hati padaku?" Tangannya meletakkan paper bag di meja lalu berjalan menghampiriku yang masih berdiri di sisi jendela. Spontan kata-kata Saka membuatku tergelak mendengarnya. Saka memang selalu bisa mencairkan suasana. Hanya saja, aku tak bisa membalas gurauannya. Aku tahu, jika sekarang keadaan kami telah jauh berbeda. "Ayo, jangan kebanyakan melamun. Cukup cedera ringan saja jangan tambah lagi dengan penyakit lainnya!" Aku tersenyum dan menurut ketika Saka menuntunku kembali ke ranjang pasien. "Em, aku membawakan makanan kesukaanmu!" Saka segera membuka paper bag yang tadi dibawanya setelah membantuku bersandar. Tangannya dengan cekatan menyiapkan makanan dalam kotak tinwall. Seketika harumnya menguar menusuk hidung. Nasi merah dengan lauk tumis bumbu rempah. "Aku ingat, kau sering membawanya saat ada materi tambahan. Aku pernah mencobanya. Kalau tak salah seperti ini rasanya. Coba kau makan. Apakah rasanya sama?" Aku penasaran. Saka masih saja mengingat semuanya dengan baik, hal-hal yang aku sendiri sudah melupakannya. "Kamu, masih ingat?" Aku melihatnya yang kini sedang memegang sendok dan bermaksud untuk menyuapiku. "Ya. Aku masih mengingatnya. Coba buka mulutmu dan rasakan sendiri. Apakah sama dengan yang kau bawa waktu itu?" Seperti tersihir, aku membuka mulutku dan mengunyahnya perlahan. "Benar. Rasanya seperti ini. Bagaimana kau bisa memasaknya? Aku sendiri tak pernah bisa memasak seenak ini!" "Ayahmu membocorkan bumbu rahasianya padaku!" Aku seketika terdiam. Jadi laki-laki yang diceritakan ayah adalah Saka? Bukan Mas Danar? Laki-laki yang selalu datang ke toko dengan sepeda jaman kolonial waktu itu, ternyata adalah Saka? "Ehem. Sepertinya aku datang di saat yang kurang tepat!" Aku dan Saka menoleh bersamaan menatap sesosok laki-laki yang kini berdiri di ambang pintu.Beberapa bulan kemudian, klinik pribadi yang Saka inginkan sudah berdiri. Tepat di samping rumah. Sedikit demi sedikit, harapan kami terwujud satu persatu. "Ibu gak nyangka. akhirnya kamu bisa mewujudksn mimpimu, Saka!" Tante Asa menepuk pundak Saka, terharu. Ruangan mulai penuh dengan tamu-tamu undangan. Beberapa diantaranya banyak yang duduk sambil menikmati hidangan yang telah disiapkan. Saka justru memelukku dan mencium dahiku lembut, "Semua karena dukungan Nada, Bu!" Tante Asa mengangguk. "Tentu. Ibu tahu jika Nada istri yang hebat untukmu!" Kini, Tante Asa menatapku. "Maafkan ibu, Nada. Mungkin ibu pernah tak percaya padamu!" Aku mengusap punggung tangan Tante Asa sambil menggeleng. "Semua sudah berlalu, Bu. Saka suamiku. Tentu aku akan selalu melakukan yang terbaik untuknya!" Kami menoleh saat terdengar gelak tawa Naren yang ada dalam gendongan ibu. Bersama ibu, tampak Fajar yang sedang menggoda Naren, itu sebabnya Naren tertawa lebar. "Kau harus menjaga rumah
Malamnya, setelah Naren tertidur pulas di tengah-tengah kami, Saka memulai percakapannya kembali. "Nada," panggilnya pelan. "Aku minta maaf." Saka mengangkat Naren dan memindahkannya di box bayi yang ada di sisinya. Aku menoleh. "Untuk apa?" "Untuk Larasati. Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu. Aku hanya... aku hanya tidak ingin kamu khawatir," jawabnya. Kini, Saka kembali duduk di sisiku. Aku tersenyum. "Aku paham maksudmu!" Jawabku pelan. Aku memang sadar. Tak akan pernah bisa merubah karakter Saka yang ringan tangan dan selalu ingin membantu urusan orang lain. Meskipun kadang, hal itu justru merugikan Saka sendiri. Saka menghela napas lega. Ia mencium keningku. "Nada, aku ingin kamu tahu, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu!" Aku membalas pelukannya. "Aku tahu!" Saka terdiam sejenak. "Kita tak mungkin tak ada masalah, tapi apapun masalahnya, aku harap kita tak saling melepaskan genggaman!" Aku menatapnya, menunggunya melanjutkan kata-kata. "Aku tah
Setelah selesai makan, aku beranjak ke kamar diikuti Saka yang berjalan di belakangku. "Nada, kamu marah?" tanyanya, suaranya terdengar ragu. Aku... aku tidak marah," jawabku, suaraku terdengar serak. "Jangan khawatir Saka. Ini bukan masalah. Aku tahu kamu memahami batasan yang jelas tentang hal seperti ini!" Kataku pelan meski kadang aku meragukannya. Saka terdiam. Ia menghela napas. Mungkin saja ia tahu jika aku berbohong. Sesampainya di kamar, aku menatap Naren yang ternyata telah bangun. "Biar aku saja yang menggendongnya!" aku mengangguk lalu berjalan pelan ke sudut ruangan dan duduk di sofa. Saka tampak berbinar menatap anaknya. Berkali-kali Saka mencium pipi gembul Naren. Terang saja, bobotnya lumayan besar. Dengan berat 3,6 kilogram membuatnya seperti bayi besar. Ada hikmahnya anak kecil itu menabrakku hingga aku harus operasi caesar. Aku sendiri tak bisa membayangkan andai aku harus melahirkan normal dengan kondisi Naren yang sebesar itu. Tok. Tok. Kami
Aku menutup telepon dengan tangan sedikit gemetar, mencoba menenangkan degup jantung yang terasa begitu kacau. Aku memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, lalu meletakkan ponsel di meja nakas. Nada, kamu harus kuat, bisikku pada diriku sendiri. Memikirkan hal ini berlarut-larut hanya akan membuatku semakin sakit. Aku baru saja melahirkan, tubuhku masih belum sepenuhnya pulih, dan Naren membutuhkan perhatianku. Aku mencoba untuk berpikir positif. Larasati mungkin hadir di rumah sakit karena profesionalisme, bukan semata karena hubungan pribadinya dengan Saka. Untuk itu, aku harus belajar percaya… pada Saka, dan juga pada diriku sendiri. Aku memejamkan mata sesaat, menikmati angin yang berhembus semilir melalui jendela yang terbuka dengan semerbak kenanga. Entah, berapa lama aku tertidur pada akhirnya. Yang pasti, aku terbangun saat mendengar rengekan kecil. Sepertinya, seseorang membawa Naren masuk ke kamar dan menidurkannya di box. Perlahan aku bangkit dan mendekat
Aroma masakan Bu Sri yang memenuhi seluruh ruang makan, seketika membuat perutku yang belum sepenuhnya pulih menjadi terasa lapar. Aku duduk di kursi makan sambil memangku Naren. Di seberang meja, Ibu dan Tante Asa sudah duduk sambil berbincang ringan. Ibu sesekali menatapku dengan mata penuh perhatian, seakan mencoba membaca isi hatiku. “Nada, ayo makan yang banyak. Kamu kan butuh tenaga untuk menyusui Naren,” ucap Ibu sambil menyendokkan bubur hangat ke mangkukku. Aku tersenyum tipis. “Iya, Bu.” Suaraku nyaris tak terdengar. Tante Asa menimpali sambil tersenyum hangat, “Lihat tuh, wajahmu masih pucat. Fokus dulu untuk cepat pulih, ya!" Aku mengangguk kecil tanpa berkomentar. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan Saka. Ia benar-benar belum pulang sampai sekarang. Aku mencoba berkali-kali menenangkan diri, berpikir positif bahwa ia benar-benar hanya membantu Larasati karena situasi darurat. Mbok Nah mendekat dan meminta Naren yang telah kenyang menyusu agar aku bisa
Aku duduk di tepi ranjang dengan napas sedikit terengah. Rasa sakit mulai terasa membebani perutku yang masih nyeri pasca operasi. Saka menuntunku dengan hati-hati, kedua tangannya tak pernah lepas dari pinggangku. “Pelan-pelan, Nada.” ucapnya lembut, namun aku bisa merasakan nada tegas yang terselip. Ia membantuku duduk, lalu merapikan bantal di belakangku sebelum menyelimutiku hingga dada. “Kamu baru melahirkan, jangan memaksakan diri untuk berdiri terlalu lama. Apa yang kamu pikirkan sampai-sampai turun sendirian tanpa aku?” Aku memaksakan senyum, mencoba terlihat tenang meski hatiku kacau. “Aku hanya… ingin pamit pada tamu. Lagipula, tidak enak kalau mereka pulang tanpa sempat aku sapa,” jawabku pelan mencari alasan. Saka menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang di sebelahku. Tangannya terulur, menyentuh pipiku dengan lembut. “Aku tahu tapi kondisimu lebih utama! Mereka juga akan paham!" Kata-kata itu seharusnya bisa menenangkan, tapi yang kudengar justru gema suara Lara