Mataku menatap lalu lalang aktifitas jalanan kompleks dari balkon kamar. Sejak kejadian tempo hari di toko, aku jadi mudah curiga dan membuatku semakin ingin mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya.
Bukti yang bisa membuat cintaku luntur tanpa sisa. Benar saja. Tak lama kulihat mobil memasuki halaman. Tampak Mas Danar dan seorang perempuan ada di posisi depan. Sudah beberapa hari ini Mas Danar pergi dan kini, ia kembali. "Nada, kebetulan! Ada yang mau Ibu bicarakan!" Mertuaku naik ke lantai dua dan melihatku yang kini di depan TV ruang tengah. "Apa, Bu?" Ibu mertuaku menatapku serius lalu menghela nafas perlahan. Perempuan yang dulu kuhormati itu, menjatuhkan beban tubuhnya di sisiku. Biasanya aku akan mendekat dan melakukan apa saja untuk membuatnya menerimaku sepenuh hati. Tapi kini, aku tak meresponnya. "Danar harus menikahi Sasi!" Ibu melirikku. "Ibu harap kamu bisa menerima Sasi. Toh selama ini, kamu juga gak hamil-hamil kan?" Aku hanya diam. Menatap suamiku yang akhirnya muncul bersama perempuan itu. Perempuan yang ternyata selalu menjadi pemilik hati dari laki-laki yang masih berstatus suamiku. Mas Danar diam tanpa kata dan berjalan mendekat. "Ibu pengen cepet-cepet nimang cucu. Danar sendiri sudah tak muda lagi. Usianya sudah masuk tiga lima. Sudah sangat pantas untuk jadi seorang ayah. Lagi pula, Danar mampu secara ekonomi. Toh poligami bukan sesuatu yang di larang kan!" Ibu terdiam sesaat. Menatapku lalu kembali meneruskan kalimatnya. "Karena Sasi juga istri Danar, ia juga punya hak untuk tinggal di sini!" Aku tersenyum miring. "Di rumah ini? Di rumah yang aku beli, Bu?" Tanyaku untuk memastikan. Mungkin mereka lupa jika rumah ini, aku beli dengan uang ayahku. "Nada! Kalian ini suami istri, apapun milik istri ya milik suami juga!" Ibu mertuaku mendekati Sasi lalu menuntunnya ke kursi. Perutnya memang sedikit terlihat membesar. Mungkin sekitar enam bulan. Senyum menghiasi wajahnya yang memang ayu. Mungkin, dia tahu, bahwa dia akan menang dalam pertarungan kali ini. Aku hanya berdecak. Benar-benar tak berminat lagi untuk mempertahankan rumah tanggaku. "Nada, maaf. Aku gak bermaksud menyakitimu, tapi kandungan Sasi semakin membesar. Aku gak bisa mengabaikannya!" Mas Danar mulai angkat bicara. Kali ini, dia duduk di sampingku. Menggenggam tanganku seperti biasa. Sayangnya, aku sudah tak biasa lagi dengan genggaman Mas Danar, sejak aku tahu semuanya. Perlahan, aku menarik tanganku. "Aku tahu semuanya begitu tiba-tiba. Tapi aku yakin, kau akan selalu mendukungku seperti biasanya. Aku janji, aku akan adil padamu juga pada Sasi!" Mas Danar tersenyum manis tapi senyum itu bukan untukku. Senyum itu ia tujukan pada Sasi yang duduk tepat di depan kami. "Poligami memang bukan hal yang harus dipertentangkan tapi sudahkah Mas Danar melakukannya dengan benar? Sepertinya Mas Danar poligami karena terlanjur menghamili Sasi. Itu artinya, pernikahan poligami ini bukan karena syariat tapi karena nafsu yang tidak kenal tempat!" Aku menghela nafas dan membuangnya perlahan. Tak kuhiraukan pandangan tak suka yang mereka berikan. "Lagi pula, kenapa tidak dari dulu Mas Danar menikahi Mbak Sasi? Apa karena Mas Danar masih miskin? Dan sekarang Mas Danar sudah kaya, Mbak Sasi mau jadi istrinya?" "Em, Nada. Kamu salah paham. Aku juga dijodohkan karena Danar gak segera melamar waktu itu. Lalu, Danar menikahimu. Aku gak papa kok, gak keberatan jadi istri kedua meskipun usiaku diatasmu. Kau tetap akan menjadi istri pertamanya. Setelah anak ini lahir, kamu bisa merawatnya, Nada. Anggap saja ini anakmu, sementara aku dan Danar akan bekerja seperti biasa di toko!" Gak cuma menduakanku dan merebut tokoku, kini mereka juga akan menjadikanku babu untuk merawat anak haramnya? Lupakan saja! "Mulai hari ini, Sasi tinggal di sini, jadi..." "Maaf, Bu. Saya gak setuju!" Aku mulai menyusun kata-kata. "Dek!" Mas Danar menatapku tajam. "Kenapa sih, kamu jadi susah diatur. Kamu pasti juga gak paham urusan toko! Toh, dari dulu kamu cuma bantu ayahmu sambil lalu. Kamu cuma main sana main sini, gak jelas. Masih untung aku mau menikahimu, meski ibuku menolak mati-matian!" Mas Danar menatap ibunya dan Sasi bergantian. Hampir sepuluh tahun aku keteteran mengejar cita-cita. Setelah lulus kuliah, aku masih harus koas selama dua tahun, masih harus mengikuti berbagai kompetensi, dan itu yang dikatakan Mas Danar main gak jelas? "Harta memang bisa mengubah manusia!" "Dek, kamu kok ngomong gitu?" Mas Danar tampak tak puas menatapku. "Kenapa? Kenyataannya memang begitu, Mas!" "Nada, jangan keras kepala jadi istri. Bisa kualat kamu nanti!" Ibu menunjuk mukaku dengan tatapan nyalang. "Ya sudah. Terserah kalian saja!" Aku berjalan meninggalkan mereka bertiga menuju lantai satu. Aku hanya ingin mendinginkan kepalaku. Bicara dengan orang-orang yang tak tahu malu, ternyata benar-benar menguras energi. Saat aku melangkah melewati Sasi, tiba-tiba kakinya terjulur begitu saja. Tak ayal aku kesandung dan tubuhku terguling jatuh ke bawah melewati tangga. Aku merasakan kepalaku yang berdenyut hebat. Aku tak bisa lagi bergerak. "Ya ampun, Nada!" Sasi pura-pura terkejut membekap mulutnya meski aku sempat melihat seringai di sudut bibirnya. Dan bodohnya, aku masih sempat berharap Mas Danar akan panik dan berlari menolongku tapi ternyata tidak. Dugaanku salah. Mereka saling pandang lalu perlahan turun. "Mas Danar!" Tanganku berusaha menggapainya. Aku masih menunggu berapa lama untuk mendapatkan kembali simpatinya. Hingga akhirnya aku bisa merasakan genggaman bersamaan dengan pandanganku yang mulai gelap.Mataku mengerjap. Mencoba untuk membuka perlahan meski terasa berat. Seketika bau yang tak asing mulai memenuhi rongga hidung. "Nada?" Aku mendengar sesorang memanggil namaku, tapi bukan Mas Danar. Suara itu terdengar lebih berat dan dalam. "Aku membuka mata dan menatap seseorang yang duduk di sisi ranjang dengan wajah penuh kekhawatiran. "Nada, akhirnya kamu bangun juga! Syukurlah!" Kata-kata lembut itu terdengar menenangkan. Aku mengangguk lemah. Mataku memindai seluruh ruangan sambil mengingat kejadian demi kejadian yang membuatku terbaring di sini. Tak kutemukan sosok Mas Danar. Hatiku mencelos. Justru orang lain yang tampak berbinar saat melihatku kembali sadar. "Aku senang kita bisa kembali berjumpa. Tapi bukan perjumpaan seperti ini yang kuharapkan!" Aku menatap lekat manik matanya. "Saka? Saka Banyu Aji?" Aku membaca name tag yang ada di seragam putihnya juga menatap wajahnya lekat-lekat. Ya. Dia Saka. Laki-laki itu tersenyum dan mengangguk. Kami saling ken
Mataku menatap lalu lalang aktifitas jalanan kompleks dari balkon kamar. Sejak kejadian tempo hari di toko, aku jadi mudah curiga dan membuatku semakin ingin mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya. Bukti yang bisa membuat cintaku luntur tanpa sisa. Benar saja. Tak lama kulihat mobil memasuki halaman. Tampak Mas Danar dan seorang perempuan ada di posisi depan. Sudah beberapa hari ini Mas Danar pergi dan kini, ia kembali. "Nada, kebetulan! Ada yang mau Ibu bicarakan!" Mertuaku naik ke lantai dua dan melihatku yang kini di depan TV ruang tengah. "Apa, Bu?" Ibu mertuaku menatapku serius lalu menghela nafas perlahan. Perempuan yang dulu kuhormati itu, menjatuhkan beban tubuhnya di sisiku. Biasanya aku akan mendekat dan melakukan apa saja untuk membuatnya menerimaku sepenuh hati. Tapi kini, aku tak meresponnya. "Danar harus menikahi Sasi!" Ibu melirikku. "Ibu harap kamu bisa menerima Sasi. Toh selama ini, kamu juga gak hamil-hamil kan?" Aku hanya diam. Menatap suamiku yang akh
"Boleh saya minta fakturnya, Pak?" Laki-laki itu mengangguk lalu duduk di sisi Mas Bayu dan mengeluarkan satu bendel faktur. Aku mengerjapkan mata sesaat. Sebanyak ini? Aku segera menghitung dibantu Fitri. "Saya akan transfer lima puluh persen dulu. Setelah barang ada di toko ini, saya akan tambahkan biaya pengiriman. Bagaimana?" Mereka mengangguk setuju. Awalnya aku sempat was-was. Hal ini memang terlalu frontal tapi mau bagaimana lagi. Aku harus segera mengambil langkah untuk menyelamatkan toko. Aku tak bisa melihat toko ini hancur begitu saja karena kesalahanku yang terlalu cinta buta. Setelah memastikan total jumlah yang mereka tagih aku segera mentransfer sejumlah uang yang telah kujanjikan. "Silakan di cek Mas Bayu, Bapak Irvan. Sudah saya kirimkan sesuai dengan apa yang telah saya sampaikan. Saya tunggu pengiriman barang di toko ini. Seterusnya akan seperti itu. Seperti biasanya. Sekali lagi saya mohon maaf atas kesalahpahaman yang terjadi beberapa waktu ini!" Angg
Setelah Mas Danar pergi, aku segera bersiap. Aku akan mengunjungi toko hari ini. Sudah setahun lebih aku gak pernah lagi mengunjungi toko. Mungkin aku tak akan curiga andai saja aku tak pernah membaca pesan-pesan itu tadi malam. Tanpa membuang waktu, aku meluncur ke toko dengan mobil yang lain. "Mau ke mana, Mbak Nada. Cantik banget!" Bu Ana, salah seorang tetangga menyapaku saat aku menutup pintu pagar rumah. Aku cuma tersenyum kecil. Sejak menikah, aku hanya pakai daster ke mana-mana, paling banter ke pasar. Kali ini, aku memakai outfit celana kain hitam dengan kemeja marun, lengkap dengan make up meski tipis dan natural. "Mau ke toko, Bu Ana! Mari, Bu!" Aku mengangguk ramah dan kembali masuk mobil. Membawanya memecah jalanan menuju toko yang selama ini kuabaikan. Sesampainya di toko, aku menatap heran kondisi toko yang setengah tertutup. Biasanya jam-jam siang begini, toko lagi ramai-ramainya. Tapi kali ini sepi seperti tak ada aktifitas apapun. "Loh, Mbak? Ya Allah Mbak
Aku baru saja selesai mengerjakan pekerjaan rumah dan berniat untuk segera istirahat. Saat aku membuka pintu kamar, kulihat suamiku yang sedang sibuk menata baju di koper kecil. "Mau ke mana, Mas. Tumben packing gak nyuruh?" Aku duduk di sisi ranjang sambil terus memperhatikannya. "Iya, Dek. Mendadak!" Suamiku menjawab tanpa menoleh. "Urusan apa?" Aku mulai melepas ikatan rambutku dan merapikannya dengan tangan. "Diajak Ibu, ada acara di kampung!" Aku mengernyitkan dahi. "Acara di kampung? Di kampungnya siapa?" Sesaat Mas Danar terdiam, lalu menoleh dan tersenyum. "Di kampung kerabat jauhnya Ibu, Dek!" Entah kenapa aku ingin tahu. Setahuku, Mas Danar tak lagi punya kerabat di kampung. Sejak menikah denganku, Mas Danar memang memboyong ibunya. Mas danar beralasan, dia anak tunggal apalagi laki-laki. Sudah seharusnya berbakti pada ibunya dan aku memang tak pernah mempermasalahkan hal itu. Selama hal itu adalah perintah agama, aku akan selalu mendukungnya. "Aku tidur