Mataku menatap lalu-lalang aktivitas jalanan kompleks dari balkon kamar. Sejak kejadian di toko itu, aku mulai sulit tidur. Setiap suara kecil, bayangan samar, atau gelagat mencurigakan, selalu membuat dadaku sesak. Aku bukan hanya marah—aku kecewa dan hancur.
Tiba-tiba sebuah mobil memasuki halaman rumah. Aku mengenali plat nomornya. Mobil itu milikku yang selama ini Mas Danar pakai untuk aktifitasnya. Kali ini, dia pulang… tapi tidak sendiri. Dari kejauhan, aku bisa melihat seorang perempuan duduk di bangku depan. Aku menunggu mereka masuk, berusaha tetap tenang, padahal detak jantungku seperti genderang perang. Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar menaiki tangga. "Ibu pengen bicara, Nada!" Suara mertuaku terdengar dari ujung lorong atas. Ia berjalan ke arahku yang duduk di ruang TV. "Ada apa, Bu?" tanyaku tanpa berdiri. Dulu, aku pasti sudah bangkit menyambutnya. Tapi hari ini… tidak lagi. Ia menghela napas lalu duduk di sebelahku, wajahnya terlihat serius. "Danar harus menikahi Sasi," katanya tiba-tiba. Aku menoleh, diam. Menunggu penjelasan, bukan penyesalan. "Ibu harap kamu bisa nerima. Selama ini kamu juga gak hamil-hamil, kan? Kamu harus tahu, Danar sudah umur tiga lima. Sudah waktunya jadi bapak. Toh poligami gak dilarang." Belum selesai aku mencerna kata-katanya, Mas Danar dan perempuan itu muncul. Perempuan itu berjalan santai, perutnya membuncit. Mungkin sekitar enam bulan. Aku menelan ludah. Ini bukan diskusi, ini deklarasi. "Ibu mau Sasi tinggal di sini juga. Dia istri Danar, dia punya hak." Aku tersenyum miring. "Di rumah ini, Bu?" tanyaku dingin. "Rumah yang aku beli dengan uangku sendiri?" Nada suaraku membuat ibu mertua berhenti sejenak. Tapi kemudian ia menjawab dengan enteng. "Kamu ini, Nada. Istri itu milik suami. Apa yang istri punya, suami berhak tahu dan atur juga!" Mas Danar mendekat, duduk di sampingku. Genggamannya menyentuh jemariku—hangat tapi menyesakkan. "Aku gak mau nyakitin kamu, Dek. Tapi ini harus terjadi. Aku akan adil. Aku janji!" katanya, menatapku—tapi hatinya sudah jelas bukan lagi milikku. "Adil?" aku menyahut lirih. "Poligami yang terjadi setelah kau menghamili perempuan lain, itu bukan karena syariat Mas, tapi karena nafsu." Ia tercekat. Sasi melengos, lalu berkata santai, “Gak apa-apa kok, aku jadi istri kedua. onu juga demi cintaku pada Mas Danar. Aku ingun memberinya anak. Kalau anak ini lahir, kamu bisa merawatnya, Nada. Anggap saja anakmu sendiri, ya?” Hatiku seperti dicabik-cabik. "Bahkan setelah kau rebut suamiku, menikmati harta milikku, kau pikir aku akan rela mengasuh anak haram kalian?" "Mulai hari ini, Sasi tinggal di sini," ibu mertua memotong, suaranya tegas. Aku berdiri. Perlahan tapi pasti. "Maaf, saya tidak setuju." "Kenapa kamu makin sulit diatur, Dek?" nada suara Mas Danar meninggi. "Kamu itu cuma lulusan SMA! Kamu cuma bisa bantu-bantu di toko! Gak jelas arah hidupmu kalau bukan karena aku!" Aku tertawa lirih. Lulusan SMA? Aku yang sengaja berbohong demi menyesuaikan diri dengan egomu. Aku yang menutup gelar dan profesiku hanya demi menjadi istri sederhana yang kamu mau. Dan hari ini, kamu lemparkan semua itu ke wajahku? "Apa kamu lupa, Mas? Siapa yang membiayai toko? Siapa yang beli rumah ini? Atau kamu terlalu buta karena uang dan perempuan?" "Jangan keras kepala!" teriak ibu mertuaku. "Kamu bisa kualat!" Aku melangkah menjauh, menuju tangga. Tapi saat melewati Sasi, aku melihat mata liciknya menatapku. Dalam sekejap, kakinya menjulur ke depan. Aku kehilangan keseimbangan. Tubuhku terguling menuruni anak tangga. Brak! Sakit. Sangat sakit. Kepala ini berdenyut. Pandanganku berputar. Samar-samar kulihat mereka bertiga berdiri di atas. Tak satu pun yang langsung menolong. "Ssssst... ya ampun, Nada!" suara Sasi terdengar pura-pura panik. Tapi aku sempat melihat senyum puas di sudut bibirnya. "Mas Danar!" "Mas Danar..." aku menggapai, masih berharap ia menolongku. Tapi langkah kakinya lambat. Tidak panik. Tidak berlari. Mereka hanya saling pandang. Saat akhirnya genggaman itu datang, aku tak tahu siapa yang menggenggamku. Hanya rasa dingin yang menyelinap, lalu... Gelap. Dan sebelum semuanya benar-benar menghilang... aku mendengar tawa yang menggema.Beberapa bulan kemudian, klinik pribadi yang Saka inginkan sudah berdiri. Tepat di samping rumah. Sedikit demi sedikit, harapan kami terwujud satu persatu. "Ibu gak nyangka. akhirnya kamu bisa mewujudksn mimpimu, Saka!" Tante Asa menepuk pundak Saka, terharu. Ruangan mulai penuh dengan tamu-tamu undangan. Beberapa diantaranya banyak yang duduk sambil menikmati hidangan yang telah disiapkan. Saka justru memelukku dan mencium dahiku lembut, "Semua karena dukungan Nada, Bu!" Tante Asa mengangguk. "Tentu. Ibu tahu jika Nada istri yang hebat untukmu!" Kini, Tante Asa menatapku. "Maafkan ibu, Nada. Mungkin ibu pernah tak percaya padamu!" Aku mengusap punggung tangan Tante Asa sambil menggeleng. "Semua sudah berlalu, Bu. Saka suamiku. Tentu aku akan selalu melakukan yang terbaik untuknya!" Kami menoleh saat terdengar gelak tawa Naren yang ada dalam gendongan ibu. Bersama ibu, tampak Fajar yang sedang menggoda Naren, itu sebabnya Naren tertawa lebar. "Kau harus menjaga rumah
Malamnya, setelah Naren tertidur pulas di tengah-tengah kami, Saka memulai percakapannya kembali. "Nada," panggilnya pelan. "Aku minta maaf." Saka mengangkat Naren dan memindahkannya di box bayi yang ada di sisinya. Aku menoleh. "Untuk apa?" "Untuk Larasati. Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu. Aku hanya... aku hanya tidak ingin kamu khawatir," jawabnya. Kini, Saka kembali duduk di sisiku. Aku tersenyum. "Aku paham maksudmu!" Jawabku pelan. Aku memang sadar. Tak akan pernah bisa merubah karakter Saka yang ringan tangan dan selalu ingin membantu urusan orang lain. Meskipun kadang, hal itu justru merugikan Saka sendiri. Saka menghela napas lega. Ia mencium keningku. "Nada, aku ingin kamu tahu, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu!" Aku membalas pelukannya. "Aku tahu!" Saka terdiam sejenak. "Kita tak mungkin tak ada masalah, tapi apapun masalahnya, aku harap kita tak saling melepaskan genggaman!" Aku menatapnya, menunggunya melanjutkan kata-kata. "Aku tah
Setelah selesai makan, aku beranjak ke kamar diikuti Saka yang berjalan di belakangku. "Nada, kamu marah?" tanyanya, suaranya terdengar ragu. Aku... aku tidak marah," jawabku, suaraku terdengar serak. "Jangan khawatir Saka. Ini bukan masalah. Aku tahu kamu memahami batasan yang jelas tentang hal seperti ini!" Kataku pelan meski kadang aku meragukannya. Saka terdiam. Ia menghela napas. Mungkin saja ia tahu jika aku berbohong. Sesampainya di kamar, aku menatap Naren yang ternyata telah bangun. "Biar aku saja yang menggendongnya!" aku mengangguk lalu berjalan pelan ke sudut ruangan dan duduk di sofa. Saka tampak berbinar menatap anaknya. Berkali-kali Saka mencium pipi gembul Naren. Terang saja, bobotnya lumayan besar. Dengan berat 3,6 kilogram membuatnya seperti bayi besar. Ada hikmahnya anak kecil itu menabrakku hingga aku harus operasi caesar. Aku sendiri tak bisa membayangkan andai aku harus melahirkan normal dengan kondisi Naren yang sebesar itu. Tok. Tok. Kami
Aku menutup telepon dengan tangan sedikit gemetar, mencoba menenangkan degup jantung yang terasa begitu kacau. Aku memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, lalu meletakkan ponsel di meja nakas. Nada, kamu harus kuat, bisikku pada diriku sendiri. Memikirkan hal ini berlarut-larut hanya akan membuatku semakin sakit. Aku baru saja melahirkan, tubuhku masih belum sepenuhnya pulih, dan Naren membutuhkan perhatianku. Aku mencoba untuk berpikir positif. Larasati mungkin hadir di rumah sakit karena profesionalisme, bukan semata karena hubungan pribadinya dengan Saka. Untuk itu, aku harus belajar percaya… pada Saka, dan juga pada diriku sendiri. Aku memejamkan mata sesaat, menikmati angin yang berhembus semilir melalui jendela yang terbuka dengan semerbak kenanga. Entah, berapa lama aku tertidur pada akhirnya. Yang pasti, aku terbangun saat mendengar rengekan kecil. Sepertinya, seseorang membawa Naren masuk ke kamar dan menidurkannya di box. Perlahan aku bangkit dan mendekat
Aroma masakan Bu Sri yang memenuhi seluruh ruang makan, seketika membuat perutku yang belum sepenuhnya pulih menjadi terasa lapar. Aku duduk di kursi makan sambil memangku Naren. Di seberang meja, Ibu dan Tante Asa sudah duduk sambil berbincang ringan. Ibu sesekali menatapku dengan mata penuh perhatian, seakan mencoba membaca isi hatiku. “Nada, ayo makan yang banyak. Kamu kan butuh tenaga untuk menyusui Naren,” ucap Ibu sambil menyendokkan bubur hangat ke mangkukku. Aku tersenyum tipis. “Iya, Bu.” Suaraku nyaris tak terdengar. Tante Asa menimpali sambil tersenyum hangat, “Lihat tuh, wajahmu masih pucat. Fokus dulu untuk cepat pulih, ya!" Aku mengangguk kecil tanpa berkomentar. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan Saka. Ia benar-benar belum pulang sampai sekarang. Aku mencoba berkali-kali menenangkan diri, berpikir positif bahwa ia benar-benar hanya membantu Larasati karena situasi darurat. Mbok Nah mendekat dan meminta Naren yang telah kenyang menyusu agar aku bisa
Aku duduk di tepi ranjang dengan napas sedikit terengah. Rasa sakit mulai terasa membebani perutku yang masih nyeri pasca operasi. Saka menuntunku dengan hati-hati, kedua tangannya tak pernah lepas dari pinggangku. “Pelan-pelan, Nada.” ucapnya lembut, namun aku bisa merasakan nada tegas yang terselip. Ia membantuku duduk, lalu merapikan bantal di belakangku sebelum menyelimutiku hingga dada. “Kamu baru melahirkan, jangan memaksakan diri untuk berdiri terlalu lama. Apa yang kamu pikirkan sampai-sampai turun sendirian tanpa aku?” Aku memaksakan senyum, mencoba terlihat tenang meski hatiku kacau. “Aku hanya… ingin pamit pada tamu. Lagipula, tidak enak kalau mereka pulang tanpa sempat aku sapa,” jawabku pelan mencari alasan. Saka menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang di sebelahku. Tangannya terulur, menyentuh pipiku dengan lembut. “Aku tahu tapi kondisimu lebih utama! Mereka juga akan paham!" Kata-kata itu seharusnya bisa menenangkan, tapi yang kudengar justru gema suara Lara