Share

4. Menghadapi Kenyataan

Author: Banyu Biru
last update Last Updated: 2025-06-05 15:04:44

Mataku menatap lalu-lalang aktivitas jalanan kompleks dari balkon kamar. Sejak kejadian di toko itu, aku mulai sulit tidur. Setiap suara kecil, bayangan samar, atau gelagat mencurigakan, selalu membuat dadaku sesak. Aku bukan hanya marah—aku kecewa dan hancur.

Tiba-tiba sebuah mobil memasuki halaman rumah. Aku mengenali plat nomornya. Mobil itu milikku yang selama ini Mas Danar pakai untuk aktifitasnya.

Kali ini, dia pulang… tapi tidak sendiri.

Dari kejauhan, aku bisa melihat seorang perempuan duduk di bangku depan.

Aku menunggu mereka masuk, berusaha tetap tenang, padahal detak jantungku seperti genderang perang.

Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar menaiki tangga.

"Ibu pengen bicara, Nada!" Suara mertuaku terdengar dari ujung lorong atas. Ia berjalan ke arahku yang duduk di ruang TV.

"Ada apa, Bu?" tanyaku tanpa berdiri. Dulu, aku pasti sudah bangkit menyambutnya. Tapi hari ini… tidak lagi.

Ia menghela napas lalu duduk di sebelahku, wajahnya terlihat serius.

"Danar harus menikahi Sasi," katanya tiba-tiba.

Aku menoleh, diam. Menunggu penjelasan, bukan penyesalan.

"Ibu harap kamu bisa nerima. Selama ini kamu juga gak hamil-hamil, kan? Kamu harus tahu, Danar sudah umur tiga lima. Sudah waktunya jadi bapak. Toh poligami gak dilarang."

Belum selesai aku mencerna kata-katanya, Mas Danar dan perempuan itu muncul. Perempuan itu berjalan santai, perutnya membuncit. Mungkin sekitar enam bulan. Aku menelan ludah. Ini bukan diskusi, ini deklarasi.

"Ibu mau Sasi tinggal di sini juga. Dia istri Danar, dia punya hak."

Aku tersenyum miring.

"Di rumah ini, Bu?" tanyaku dingin. "Rumah yang aku beli dengan uangku sendiri?"

Nada suaraku membuat ibu mertua berhenti sejenak. Tapi kemudian ia menjawab dengan enteng.

"Kamu ini, Nada. Istri itu milik suami. Apa yang istri punya, suami berhak tahu dan atur juga!"

Mas Danar mendekat, duduk di sampingku. Genggamannya menyentuh jemariku—hangat tapi menyesakkan.

"Aku gak mau nyakitin kamu, Dek. Tapi ini harus terjadi. Aku akan adil. Aku janji!" katanya, menatapku—tapi hatinya sudah jelas bukan lagi milikku.

"Adil?" aku menyahut lirih. "Poligami yang terjadi setelah kau menghamili perempuan lain, itu bukan karena syariat Mas, tapi karena nafsu."

Ia tercekat. Sasi melengos, lalu berkata santai, “Gak apa-apa kok, aku jadi istri kedua. onu juga demi cintaku pada Mas Danar. Aku ingun memberinya anak. Kalau anak ini lahir, kamu bisa merawatnya, Nada. Anggap saja anakmu sendiri, ya?”

Hatiku seperti dicabik-cabik.

"Bahkan setelah kau rebut suamiku, menikmati harta milikku, kau pikir aku akan rela mengasuh anak haram kalian?"

"Mulai hari ini, Sasi tinggal di sini," ibu mertua memotong, suaranya tegas.

Aku berdiri. Perlahan tapi pasti.

"Maaf, saya tidak setuju."

"Kenapa kamu makin sulit diatur, Dek?" nada suara Mas Danar meninggi. "Kamu itu cuma lulusan SMA! Kamu cuma bisa bantu-bantu di toko! Gak jelas arah hidupmu kalau bukan karena aku!"

Aku tertawa lirih. Lulusan SMA? Aku yang sengaja berbohong demi menyesuaikan diri dengan egomu. Aku yang menutup gelar dan profesiku hanya demi menjadi istri sederhana yang kamu mau.

Dan hari ini, kamu lemparkan semua itu ke wajahku?

"Apa kamu lupa, Mas? Siapa yang membiayai toko? Siapa yang beli rumah ini? Atau kamu terlalu buta karena uang dan perempuan?"

"Jangan keras kepala!" teriak ibu mertuaku. "Kamu bisa kualat!"

Aku melangkah menjauh, menuju tangga. Tapi saat melewati Sasi, aku melihat mata liciknya menatapku. Dalam sekejap, kakinya menjulur ke depan.

Aku kehilangan keseimbangan.

Tubuhku terguling menuruni anak tangga.

Brak!

Sakit. Sangat sakit. Kepala ini berdenyut. Pandanganku berputar. Samar-samar kulihat mereka bertiga berdiri di atas. Tak satu pun yang langsung menolong.

"Ssssst... ya ampun, Nada!" suara Sasi terdengar pura-pura panik. Tapi aku sempat melihat senyum puas di sudut bibirnya.

"Mas Danar!"

"Mas Danar..." aku menggapai, masih berharap ia menolongku.

Tapi langkah kakinya lambat. Tidak panik. Tidak berlari.

Mereka hanya saling pandang.

Saat akhirnya genggaman itu datang, aku tak tahu siapa yang menggenggamku. Hanya rasa dingin yang menyelinap, lalu...

Gelap.

Dan sebelum semuanya benar-benar menghilang... aku mendengar tawa yang menggema.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   82. Ada yang Beda

    Aroma tumis buncis dan telur dadar menguar dari dapur. Ibu dan Mbok Nah sudah menyiapkan sarapan sejak subuh, sementara aku duduk di meja makan, menunggu Saka yang masih terlelap sambil menatap layar ponselku. Melihat beberapa detail kebutuhan andai aku memang berencana untuk membuka toko baru. sesuai dengan apa yang kusampaikan pada Fitri. "Suamimu belum bangun, Nada?" Ibu muncul sambil membawakanku secangkir teh hangat. Tangan ibu mengelus ranbutku yang terurai. "Belum bu!" Aku hanya menjawab pendek lalu menikmati teh melati yang kini ada di tanganku. "Beberapa hari ini, ibu mau ke Jogja. Ada tawaran untuk mengirim barang ke luar negeri dalam jumlah besar. Ibu mau pastikan sendiri kualitas batiknya. Kamu gak papa kan, ditemani Mbok Nah dulu?" Ibu duduk di depanku sambil menata hidangan di meja makan. "Hem, gak papa Bu. Aku juga santai beberapa hari ini. Ke klinik kalau insidentil aja. Dokter baru lumayan cekatan juga jadi bisa tenang!" Ibu mengangguk, "Syukurlah. Ata

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   81. Suara Livia di ponsel Saka

    Setelah puas ngobrol dengan Fitri. aku kembali pulang dengan mobil online. Tak kulihat mobil Saka di garasi, artinya Saka belum pulang. "Baru pulang. Nada?" Aku mengangguk saat ibu yang keluar menyambut. "Saka gak jemput?" Ibu menatap halaman lalu melihatku dengan tanda tanya. "Pagi tadi pamitnya mau lembur, Bu. Rumah sakit mau akreditasi!" jawabku sambil mencium tangan ibu dan kedua pipinya. "Kamu sendiri, kenapa sampai jam segini?" Ibu menjajari langkahku. "Tadi cuma sebentar di klinik, Bu. Sudah ada dua dokter yang bisa bantu jadi aku bisa lebih santai di masa kehamilan. Yang lama ngobrol sama Fitri!" Terangku panjang kali lebar. "Oh. begitu! Ya sudah, bersih-bersih dulu, ibu sama Mbok Nah mau siapin makan dulu!" aku mengangguk lalu masuk kamar. Setelah mandi dan mengganti pakaian, aku menyusul ibu dan Mbok Nah di ruang makan. Mataku mengedar sekitar. "Bu Asa mana, Bu?" Aku menuang teh hangat ke cangkir yang disodorkan Mbok Nah. "Mertuamu pamit pulang tad

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   80. Semua Menata Rencana

    Hari inii, jadwal Saka di rumah sakit Harapan Kita. Rumah sakit yang Delia wariskan untuk Saka yang arahnya melewati klinik gigiku, itu sebabnya aku berinisiatif untuk ikut mobil Saka. "Jangan banyak aktifitas, Nada!" Saka kembali mengingatkan saat berhenti di lampu merah. "Tenang saja. aku hanya ingin menyapa dokter baru di klinik. Setelahnya aku akan ke toko sebentar. Gak capek, kok!" Jawabku. Saka hanya memgangguk sambil tersenyum. "Kapan kontrol kehamilan?" Tanya Saka sambil kembali fokus menatap jalanan. Aku mengecek ponselku lalu msnatapnya kembali. "Beberapa hari lagi!" Saka mengantar sampai halaman klinik, meskipun ia sibuk dengan aktifitasnya di rumah sakit. Ia tak pernah lupa mengingatkanku tentang kehamikanku yang harus di jaga dengan ekstra. Baik.soal vitamin, atau janji rutin kontrol kehamilan. “Jangan terlalu banyak berdiri. Dan jangan sungkan untuk meminta mereka bantu kamu, ya,” katanya sambil mencubit pipiku ringan. “Iya, Dokter Saka yang cerewet,”

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   79. Warisan Cinta

    Sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, pagi ini adalah hari di mana Saka kembali dikukuhkan sebagai direktur di rumah sakit yang Delia wariskan. Banyak wajah lama yang menyambutnya dengan senyum haru, tapi tidak sedikit pula yang menatapnya dengan curiga. Ada rasa kaku yang belum sepenuhnya mencair. Mungkin karena desas desus yang pernah berhembus dan tak pernah ada yang mengklarifikasinya.“Direktur Saka… kami tak menyangka Anda akan kembali,” ujar Pak Rudi, salah satu anggota dewan, dengan senyum datar.Saka membalas dengan sopan. “Saya kembali bukan untuk mengulang masa lalu. Tapi jika kehadiran saya bisa membantu rumah sakit ini tumbuh lebih baik, maka saya bersedia.”Nada suaranya tenang, tapi aku bisa melihat ketegangan dari gerak tangannya yang menggenggam dokumen cukup erat. Ia selalu begitu. Memendam segala masalah dalam ketenangan.Setelah semua selesai, seorang wanita muda berambut sebahu menghampiriku. Wajahnya ramah, tapi sorot matanya tajam. Wanita yang sejak tadi k

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   78. Berbesar Hati

    Malamnya, kami makan malam seperti biasa. Hanya saja, kali ini berbeda karena ada Tante Asa yang turut makan bersama. Setelahnya, Mbok Nah lebih dulu undur diri untuk istirahat. Sementara aku, Saka, Ibu dan Tante Asa berkumpul di ruang tengah. “Ibu, Bu Rahma,” Saka memulai pelan, menatap dua perempuan penting dalam hidup kami. “Aku... ingin bicara soal tawaran keluarga Delia.” Ibu mengangguk tenang, sedang Tante Asa hanya menatap Saka dengan senyum lembut. Aku ikut duduk di sebelahnya, meraih tangan Saka, mencoba untuk memberi semangat. “Mereka memintaku kembali ke rumah sakit,” lanjutnya. “Mengembalikan posisiku sebagai direktur utama. Tapi aku tahu keputusan ini bukan hanya soal aku pribadi, tapi juga tentang kalian… tentang kita.” “Apa yang membuatmu ragu, Nak?” tanya Ibu mencoba untuk memahami pilihan Saka. Saka menunduk sebentar sebelum menjawab, “Aku takut dianggap memanfaatkan keadaan. Aku takut dianggap menggunakan perasaan keluarga Delia dan hanya menjadinya jembat

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   77. Bimo Membawa Istri

    Sorenya, saat Saka datang, aku menceritakan kehadiran Sasi sambil menemaninya di ruang makan. Saka terlihat antusias meski berkali-kali kembali mengingatkanku untuk tidak menjalin kedekatan dengan Sasi. Bagaimanapun, kita tidak bisa mempercayainya mentah-mentah meskipun kesempatan untuk mereka tetap harus kita berikan. Aku hanya mengangguk sesekali waktu karena apa yang dikatakan Saka memang ada benarnya. Setiap kali Sasi datang, setelahnya pasti muncul masalah baru. Sesuai janjiku pada Sasi, aku segera menghubungi teman yang ada di dinas sosial dan untungnya, dia bersedia untuk datang ke alamat yang Sasi berikan. "Nada, Mas Saka ada tamu!" Mbok Nah yang ijin menyiram di depan tergopoh-gopoh masuk. "Siapa Mbok?" Tanyaku sambil membenahi pashmina dan daster panjangku. "Mas Bimo sama istrinya!" Mbok Nah tersenyum lalu berjalan ke belakang. Aku dan Saka saling pandang. "Bimo dan istrinya?" Setahuku Bimo ke luar negeri untuk profesinya. Aku dan Saka segera bergegas ke ru

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status