Home / Rumah Tangga / Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka / 6. Cemburu yang Menambah Luka

Share

6. Cemburu yang Menambah Luka

Author: Banyu Biru
last update Huling Na-update: 2025-06-27 21:30:17

"Mas Danar!" Refleks aku sedikit mundur. Mas Danar masuk diikuti dengan Sasi yang menggamit lengan Mas Danar mesra. Saka turut menoleh dengan tenang tetapi tampak pandangan Saka tajam menatap Mas Danar.

Sementara, Mas Danar melihatku dengan tatapan tak suka. Aku tersenyum menyambut mereka. Tak ingin menanggapi apapun yang mereka pikirkan. Toh, Saka memang datang untuk menemaniku yang sendirian tanpa teman.

"Sepertinya Nada gak kesepian. Iya kan, Nada!" Sasi mendekat demgan basa-basinya.

"Kenalkan. Saya Saka Banyu Aji. Saya direktur rumah sakit ini. Kebetulan, saya memang ada jadwal kunjung untuk pasien!" Saka berdiri dan meletakkan tinwall makanan di atas meja lalu mengulurkan tangannya pada Mas Danar juga Sasi. Sasi menangkapnya dengan sudut mata yang tak biasa.

"Oh, saya kira Dokter teman Nada. karena kayak kenal dekat, gitu!" Sasi mengulum senyum sambil melirik Mas Danar.

"Kebetulan. Saya juga teman dekatnya!"

"Oh ya?" Sasi menatapku dan Saka bergantian. Tampak salah tingkah tapi sepertinya tak membuat Sasi diam dan merasa segan.

"Teman SMA ya? Gak nyangka ya, teman SMA Nada seorang dokter. Direktur rumah sakit lagi!"

"Kami teman kuliah. Hanya beda fakultas saja!" Mas Danar dan Sasi kini saling pandang.

"Ah, Dokter ini sukanya bercanda!," ujarku sambil menahan tawa. Sasi dan Mas Danar mau tak mau ikut tertawa. Aku hanya tak ingin mereka kaget secepat ini. Saka ikut terkekeh.

“Yah, setidaknya bisa membuat pasien saya cepat pulih tanpa obat.”

"Ohhh!" Sasi tampak begitu lega. Sepertinya dia memang tak berharap kata-kata Saka adalah sebuah kenyataan. Aku mengangguk perlahan yang hanya di balas Saka dengan tatapan penuh arti.

"Baiklah kalau begitu. Saya ingin membawa istri saya pulang!" Mas Danar segera memberi aba-aba.

"Sebenarnya, Nyonya Nada belum bisa pulang hari ini. Kami masih harus observasi lagi untuk melihat kondisi selanjutnya!"

Sasi melirik Saka dengan pandangan menyelidik, lalu berkata manja, “Tapi kan Nada cuma demam dan pingsan. Harusnya nggak sampai rawat inap berhari-hari, kan Dok” Saka tersenyum dan masih berusaha menjaga wibawanya.

"Saya rasa Nyonya Nada tidak hanya demam lalu pingsan. Karena menurut hasil pemeriksaan, Nyonya Nada sempat mengalami cedera kepala meski ringan. CT scan memang tidak menunjukkan pendarahan, tapi bukan berarti aman. Gejala seperti mual, vertigo, atau pingsan ulang bisa muncul dalam 24-72 jam.” Sasi dan Mas Danar kembali berpandangan.

"Jadi kami butuh memastikan dengan observasi lanjutan sebelum pulang. Tapi kalau suami dan… temannya ini keberatan, saya bisa buatkan surat pulang paksa! Hanya saja jika ada kejadian yang tidak diinginkan, maka bisa lebih panjang lagi urusannya!"

“Tapi dia sudah sadar bisa duduk dan bicara, Dok!" sanggah Mas Danar. Mendengar itu Saka Tampak emosi meski berusaha untuk tetap menahannya.

“Maaf. Anda bukan dokter kan. Jadi anda tidak bisa menentukan seseorang sudah sehat hanya karena dia terlihat bisa duduk.”

Sasi melangkah maju dan memotong, “Tapi, Dok, kami punya alasan mendesak. Em, saya bukan temannya, saya juga istrinya dan saya sedang hamil. Saya juga butuh suami saya mendampingi saya di rumah. Kalau harus bolak-balik ke sini, siapa yang urus saya?" Saka mengernyitkan dahinya.

"Bukannya Nyonya Nada juga sendirian sejak kemaren?" Sasi terdiam. Bibirnya kembali terkunci tak bisa mengelak. Sepertinya Sasi memang tak suka melihatku dirawat dan diperhatikan. Tangannya tampak menarik ujung kemeja Mas Danar perlahan.

"Maaf, Dok. Saya tak bermaksud melawan prosedur karena saya perhatikan, istri saya sudah lebih baik!" Saka mengangguk mencoba untuk memahami.

"Jika anda sibuk mengawasi istri anda yang lain karena dalam kondisi hamil, saya pikir memang lebih baik Nyonya Nada di sini selama beberapa hari agar dalam pengawasan kami. Bagaimana?" Saka menekankan kata-kata istri yang lain dengan tersenyum. Kali ini, aku benar-benar tak bisa menahan diri hingga harus menarik selimutku dan menutupi seringaianku.

Mas Danar menarik napas panjang, lalu berbisik di telingaku “Aku cuma khawatir kamu jadi terlalu nyaman di sini. Kamu kelihatan sangat akrab sekali dengan dokternya!" Aku tak menjawab, hanya mengangkat bahuku sesaat. Baiklah. Cukup sudah dramanya.

"Dokter, setelah saya pikir-pikir, lebih baik memang saya pulang saja!" Aku terpaksa menyudahi konflik halus yang terjadi antara Mas Danar dan Saka.

"Anda yakin?" Aku mengangguk sambil menahan senyum.

"Baiklah kalau begitu. Silakan di urus di bagian administrasi untuk surat pulang paksa! Saya akan minta perawat untuk siapkan rekam medisnya. Jangan lupa datang kontrol dua hari lagi” Jelas Saka yang segera berpamitan. Aku hanya mengangguk mengiyakan.

Mas Danar tampak berbinar, begitu pula dengan Sasi.

"Dek, bisa kasih ATM-mu?" Seketika senyumku menghilang. Saka yang masih di ambang pintu terdiam beberapa detik dan melihat Mas Danar dengan geram hingga akhirnya menutup pintu.

"ATM? ATM apa, Mas? Bukannya ATM di bawa Mas Danar semua? Kapan Mas kasih aku ATM?" Mas Danar tampak ragu sesaat lalu menggaruk tengkuknya. Matanya melirik Sasi sedang Sasi hanya diam tak bergeming.

"Gini, Dek. ATM ini gak cukup. Aku pikir kamu ada. Jadi bisa dipakai dulu buat bayar administrasinya!"

"Astaga, Mas. Kamu ini ada-ada saja! Bukannya ATM dua toko juga Mas yang bawa. Masak sih gak ada uangnya. Emang kemana uang?" Aku kembali merebahkan tubuhku.

"Terserah Mas Danar saja. Kalau mau bawa aku pulang, ya segera selesaikan administrasinya. Kalau tidak ya sudah. Biar di sini saja sampai Mas punya uang!" Jawabku. Bisa-bisanya Mas Danar minta uang. Tadi aja, maksa banget minta pulang giliran disuruh bayar, bilang gak ada uang. Enak saja minta-minta!

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   107. Akhir Bahagia ( Tamat)

    Beberapa bulan kemudian, klinik pribadi yang Saka inginkan sudah berdiri. Tepat di samping rumah. Sedikit demi sedikit, harapan kami terwujud satu persatu. "Ibu gak nyangka. akhirnya kamu bisa mewujudksn mimpimu, Saka!" Tante Asa menepuk pundak Saka, terharu. Ruangan mulai penuh dengan tamu-tamu undangan. Beberapa diantaranya banyak yang duduk sambil menikmati hidangan yang telah disiapkan. Saka justru memelukku dan mencium dahiku lembut, "Semua karena dukungan Nada, Bu!" Tante Asa mengangguk. "Tentu. Ibu tahu jika Nada istri yang hebat untukmu!" Kini, Tante Asa menatapku. "Maafkan ibu, Nada. Mungkin ibu pernah tak percaya padamu!" Aku mengusap punggung tangan Tante Asa sambil menggeleng. "Semua sudah berlalu, Bu. Saka suamiku. Tentu aku akan selalu melakukan yang terbaik untuknya!" Kami menoleh saat terdengar gelak tawa Naren yang ada dalam gendongan ibu. Bersama ibu, tampak Fajar yang sedang menggoda Naren, itu sebabnya Naren tertawa lebar. "Kau harus menjaga rumah

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   106. Setiap Pertanyaan Selalu Ada Jawaban

    Malamnya, setelah Naren tertidur pulas di tengah-tengah kami, Saka memulai percakapannya kembali. "Nada," panggilnya pelan. "Aku minta maaf." Saka mengangkat Naren dan memindahkannya di box bayi yang ada di sisinya. Aku menoleh. "Untuk apa?" "Untuk Larasati. Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu. Aku hanya... aku hanya tidak ingin kamu khawatir," jawabnya. Kini, Saka kembali duduk di sisiku. Aku tersenyum. "Aku paham maksudmu!" Jawabku pelan. Aku memang sadar. Tak akan pernah bisa merubah karakter Saka yang ringan tangan dan selalu ingin membantu urusan orang lain. Meskipun kadang, hal itu justru merugikan Saka sendiri. Saka menghela napas lega. Ia mencium keningku. "Nada, aku ingin kamu tahu, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu!" Aku membalas pelukannya. "Aku tahu!" Saka terdiam sejenak. "Kita tak mungkin tak ada masalah, tapi apapun masalahnya, aku harap kita tak saling melepaskan genggaman!" Aku menatapnya, menunggunya melanjutkan kata-kata. "Aku tah

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   105. Bersikap Biasa

    Setelah selesai makan, aku beranjak ke kamar diikuti Saka yang berjalan di belakangku. "Nada, kamu marah?" tanyanya, suaranya terdengar ragu. Aku... aku tidak marah," jawabku, suaraku terdengar serak. "Jangan khawatir Saka. Ini bukan masalah. Aku tahu kamu memahami batasan yang jelas tentang hal seperti ini!" Kataku pelan meski kadang aku meragukannya. Saka terdiam. Ia menghela napas. Mungkin saja ia tahu jika aku berbohong. Sesampainya di kamar, aku menatap Naren yang ternyata telah bangun. "Biar aku saja yang menggendongnya!" aku mengangguk lalu berjalan pelan ke sudut ruangan dan duduk di sofa. Saka tampak berbinar menatap anaknya. Berkali-kali Saka mencium pipi gembul Naren. Terang saja, bobotnya lumayan besar. Dengan berat 3,6 kilogram membuatnya seperti bayi besar. Ada hikmahnya anak kecil itu menabrakku hingga aku harus operasi caesar. Aku sendiri tak bisa membayangkan andai aku harus melahirkan normal dengan kondisi Naren yang sebesar itu. Tok. Tok. Kami

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   104. Mengurai Hati

    Aku menutup telepon dengan tangan sedikit gemetar, mencoba menenangkan degup jantung yang terasa begitu kacau. Aku memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, lalu meletakkan ponsel di meja nakas. Nada, kamu harus kuat, bisikku pada diriku sendiri. Memikirkan hal ini berlarut-larut hanya akan membuatku semakin sakit. Aku baru saja melahirkan, tubuhku masih belum sepenuhnya pulih, dan Naren membutuhkan perhatianku. Aku mencoba untuk berpikir positif. Larasati mungkin hadir di rumah sakit karena profesionalisme, bukan semata karena hubungan pribadinya dengan Saka. Untuk itu, aku harus belajar percaya… pada Saka, dan juga pada diriku sendiri. Aku memejamkan mata sesaat, menikmati angin yang berhembus semilir melalui jendela yang terbuka dengan semerbak kenanga. Entah, berapa lama aku tertidur pada akhirnya. Yang pasti, aku terbangun saat mendengar rengekan kecil. Sepertinya, seseorang membawa Naren masuk ke kamar dan menidurkannya di box. Perlahan aku bangkit dan mendekat

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   103. Api Kecil yang Menyala

    Aroma masakan Bu Sri yang memenuhi seluruh ruang makan, seketika membuat perutku yang belum sepenuhnya pulih menjadi terasa lapar. Aku duduk di kursi makan sambil memangku Naren. Di seberang meja, Ibu dan Tante Asa sudah duduk sambil berbincang ringan. Ibu sesekali menatapku dengan mata penuh perhatian, seakan mencoba membaca isi hatiku. “Nada, ayo makan yang banyak. Kamu kan butuh tenaga untuk menyusui Naren,” ucap Ibu sambil menyendokkan bubur hangat ke mangkukku. Aku tersenyum tipis. “Iya, Bu.” Suaraku nyaris tak terdengar. Tante Asa menimpali sambil tersenyum hangat, “Lihat tuh, wajahmu masih pucat. Fokus dulu untuk cepat pulih, ya!" Aku mengangguk kecil tanpa berkomentar. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan Saka. Ia benar-benar belum pulang sampai sekarang. Aku mencoba berkali-kali menenangkan diri, berpikir positif bahwa ia benar-benar hanya membantu Larasati karena situasi darurat. Mbok Nah mendekat dan meminta Naren yang telah kenyang menyusu agar aku bisa

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   102. Menyembunyikan luka

    Aku duduk di tepi ranjang dengan napas sedikit terengah. Rasa sakit mulai terasa membebani perutku yang masih nyeri pasca operasi. Saka menuntunku dengan hati-hati, kedua tangannya tak pernah lepas dari pinggangku. “Pelan-pelan, Nada.” ucapnya lembut, namun aku bisa merasakan nada tegas yang terselip. Ia membantuku duduk, lalu merapikan bantal di belakangku sebelum menyelimutiku hingga dada. “Kamu baru melahirkan, jangan memaksakan diri untuk berdiri terlalu lama. Apa yang kamu pikirkan sampai-sampai turun sendirian tanpa aku?” Aku memaksakan senyum, mencoba terlihat tenang meski hatiku kacau. “Aku hanya… ingin pamit pada tamu. Lagipula, tidak enak kalau mereka pulang tanpa sempat aku sapa,” jawabku pelan mencari alasan. Saka menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang di sebelahku. Tangannya terulur, menyentuh pipiku dengan lembut. “Aku tahu tapi kondisimu lebih utama! Mereka juga akan paham!" Kata-kata itu seharusnya bisa menenangkan, tapi yang kudengar justru gema suara Lara

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status