Aku menyiapkan sarapan seperti biasa meskipun tak berharap semua ikut bergabung dan makan. Paling tidak, itu masih kewajibanku dan selama aku masih menjadi istri Mas Danar, aku akan melakukannya. Tak ada yang istimewa. Hanya nasi goreng, telur dadar dan teh manis. Satu per satu kuletakkan di meja makan hingga kudengar langkah kaki Mas Danar yang menuruni tangga. Ia duduk dengan mata sembab dan wajah lesu. Tak ada sapaan dan aku juga tak berharap untuk di sapa. Ibu muncul kemudian, dengan langkah lebih berat dan aura seperti biasa. "Masih bisa makan kamu, Danar?" katanya tajam sambil duduk. "Ibu kira kamu bakal sedikit merasa bersalah setelah Sasi pergi." Tangannya menyendok nasi dan memenuhi piring. Aku diam, menuang teh untuk diriku sendiri lalu menenggaknya perlahan. Tidak ada kata yang keluar tanpa membuat suasana makin panas dan aku sudah biasa. "Danar," suara Ibu berubah tegas. “Kamu masih bisa makan? Kamu tahu kalau istrimu yang hamil memilih pergi dari rumah dan kamu b
Mobil Dewi tepat membawaku di depan pintu pagar. Tak ada yang kubawa selain paper bag berisi pakaian. Setelah turun, Dewi kembali melajukan mobilnya untuk pulang, meskipun pada awalnya Dewi ingin menemani. Aku membuka pagar yang tak terkunci dan menatap garasi yang kosong. Harusnya masih ada mobilku yang terparkir di sana. Apakah Mas Danar juga memakai mobilku? Lalu kemana mobilnya? Aku melangkahkan kaki memasuki rumah yang lagi-lagi tak terkunci. Terus melangkah ke lantai atas menuju kamar. Aku ingin merebahkan diri sesaat sebelum aku bicara dengan suamiku. Namun, langkahku terhenti di depan pintu kamar. Kamar itu… bukan lagi milikku. Perabotannya telah banyak berubah. Tirai yang dulu kupilih sendiri kini terganti dengan warna kuning. Di sisi ranjang, ada box bayi dengan renda-renda warna putih. Napas panjang kulontarkan diam-diam. “Mbak Nada…” suara Mbak Narti, ART yang biasa membantu pekerjaan rumahku di pagi hari, mendekat dengan suara yang terdengar pelan. “Maaf ya Mba
Sudah seharian sejak Mas Danar dan Sasi pamit untuk menyelesaikan administrasi kepulangan, tapi hingga detik ini, tak ada tanda-tanda mereka akan kembali. Aku hanya tersenyum dalam hati. Masalah sekecil ini saja, Mas Danar sudah kebingungan menyelesaikannya, bagaimana jika aku benar-benar menggugatnya. Aku masih mengenakan baju pasien dan berdiri memghadap jendela. Menikmati semilir angin yang menyapa lembut tanpa beban. Pintu kamar diketuk pelan. Saka masuk mengenakan jas putih dan map tipis di tangan. “Masih belum dijemput?” tanyanya, matanya menyapu kamar yang kosong. Aku mengikuti pandangannya lalu menggeleng pelan. "Masih belum kembali!" Jawabku. Saka melirik jam tangannya. “Setahuku juga tidak ke administrasi!" "Boleh aku meminjam ponselmu?" Saka mengangguk lalu memberikan ponselnya. Segera kuketikkan sesuatu dan mengirimnya pada sebuah nomor. Setelah membaca balasannya, segera kuserahkan kembali ponselnya. "Aku akan mengantarmu!" Aku menggeleng. "Tak perlu. Ak
"Mas Danar!" Refleks aku sedikit mundur. Mas Danar masuk diikuti dengan Sasi yang menggamit lengan Mas Danar mesra. Saka turut menoleh dengan tenang tetapi tampak pandangan Saka tajam menatap Mas Danar. Sementara, Mas Danar melihatku dengan tatapan tak suka. Aku tersenyum menyambut mereka. Tak ingin menanggapi apapun yang mereka pikirkan. Toh, Saka memang datang untuk menemaniku yang sendirian tanpa teman. "Sepertinya Nada gak kesepian. Iya kan, Nada!" Sasi mendekat demgan basa-basinya. "Kenalkan. Saya Saka Banyu Aji. Saya direktur rumah sakit ini. Kebetulan, saya memang ada jadwal kunjung untuk pasien!" Saka berdiri dan meletakkan tinwall makanan di atas meja lalu mengulurkan tangannya pada Mas Danar juga Sasi. Sasi menangkapnya dengan sudut mata yang tak biasa. "Oh, saya kira Dokter teman Nada. karena kayak kenal dekat, gitu!" Sasi mengulum senyum sambil melirik Mas Danar. "Kebetulan. Saya juga teman dekatnya!" "Oh ya?" Sasi menatapku dan Saka bergantian. Tampak sala
Mataku mengerjap. Mencoba untuk membuka perlahan meski terasa berat. Seketika bau yang tak asing mulai memenuhi rongga hidung. "Nada?" Aku mendengar sesorang memanggil namaku, tapi bukan Mas Danar. Suara itu terdengar lebih berat dan dalam. "Aku membuka mata dan menatap seseorang yang duduk di sisi ranjang dengan wajah penuh kekhawatiran. "Nada, akhirnya kamu bangun juga! Syukurlah!" Kata-kata lembut itu terdengar menenangkan. Aku mengangguk lemah. Mataku memindai seluruh ruangan sambil mengingat kejadian demi kejadian yang membuatku terbaring di sini. Tak kutemukan sosok Mas Danar. Hatiku mencelos. Justru orang lain yang tampak berbinar saat melihatku kembali sadar. "Aku senang kita bisa kembali berjumpa. Tapi bukan perjumpaan seperti ini yang kuharapkan!" Aku menatap lekat manik matanya. "Saka? Saka Banyu Aji?" Aku membaca name tag yang ada di seragam putihnya juga menatap wajahnya lekat-lekat. Ya. Dia Saka. Laki-laki itu tersenyum dan mengangguk. Kami saling ken
Mataku menatap lalu lalang aktifitas jalanan kompleks dari balkon kamar. Sejak kejadian tempo hari di toko, aku jadi mudah curiga dan membuatku semakin ingin mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya. Bukti yang bisa membuat cintaku luntur tanpa sisa. Benar saja. Tak lama kulihat mobil memasuki halaman. Tampak Mas Danar dan seorang perempuan ada di posisi depan. Sudah beberapa hari ini Mas Danar pergi dan kini, ia kembali. "Nada, kebetulan! Ada yang mau Ibu bicarakan!" Mertuaku naik ke lantai dua dan melihatku yang kini di depan TV ruang tengah. "Apa, Bu?" Ibu mertuaku menatapku serius lalu menghela nafas perlahan. Perempuan yang dulu kuhormati itu, menjatuhkan beban tubuhnya di sisiku. Biasanya aku akan mendekat dan melakukan apa saja untuk membuatnya menerimaku sepenuh hati. Tapi kini, aku tak meresponnya. "Danar harus menikahi Sasi!" Ibu melirikku. "Ibu harap kamu bisa menerima Sasi. Toh selama ini, kamu juga gak hamil-hamil kan?" Aku hanya diam. Menatap suamiku yang akh