Share

7. Akhirnya Tahu

Author: Banyu Biru
last update Huling Na-update: 2025-06-28 09:20:11

Sudah seharian sejak Mas Danar dan Sasi pamit untuk menyelesaikan administrasi kepulangan, tapi hingga detik ini, tak ada tanda-tanda mereka akan kembali. Aku hanya tersenyum dalam hati. Masalah sekecil ini saja, Mas Danar sudah kebingungan menyelesaikannya, bagaimana jika aku benar-benar menggugatnya.

Aku masih mengenakan baju pasien dan berdiri memghadap jendela. Menikmati semilir angin yang menyapa lembut tanpa beban.

Pintu kamar diketuk pelan. Saka masuk mengenakan jas putih dan map tipis di tangan. “Masih belum dijemput?” tanyanya, matanya menyapu kamar yang kosong.

Aku mengikuti pandangannya lalu menggeleng pelan. "Masih belum kembali!" Jawabku.

Saka melirik jam tangannya. “Setahuku juga tidak ke administrasi!"

"Boleh aku meminjam ponselmu?" Saka mengangguk lalu memberikan ponselnya. Segera kuketikkan sesuatu dan mengirimnya pada sebuah nomor. Setelah membaca balasannya, segera kuserahkan kembali ponselnya.

"Aku akan mengantarmu!" Aku menggeleng.

"Tak perlu. Aku sudah mengabari seseorang untuk menjemputku sekaligus menyelesaikan administrasi!" Saka mengangguk.

"Kau sengaja melakukannya?"Saka menelisik wajahku hingga akhirnya aku tak bisa nenahan diri untuk tidak tertawa.

"Kau sengaja tak mengatakan pada suamimu? Kau merahasiakan kalau sebenarnya dirimu ini seorang dokter?" Saka menatapku ragu.

"Aku hanya ingin dia bangga ada di depanku!"

“Tapi tetap saja, rumah tanggamu...” suara Saka pelan. “Tidak terlihat baik-baik saja.”

"Sebenarnya. aku tidak ingin membahasnya!" Saka mengangguk lalu menarik nafas panjang. Sejujurnya aku tak ingin seluruh dunia tahu tentang rumah tanggaku tapi luka itu, justru Mas Danar dan Sasi yang membukanya hingga semua mata bisa melihatnya.

Aku berusaha menahan diri untuk menyimpannya sementara, meski rasanya seperti tercekik. Bagaimanapun, aku akan berusaha untuk tetap diam karena menjelaskan hanya akan membuka luka yang belum siap kutunjukkan.

“Maaf,” ujar Saka kemudian. “Aku hanya... tidak bisa diam dan melihatmu terus seperti ini.” Aku berjalan pelan menuju ranjang dan duduk dengan perlahan. Sementara Saka masih berdiri di sisi pintu.

"Aku tahu, Saka. Dan aku sedang berusaha untuk mencari jalan keluarnya! Terima kasih untuk peduli padaku, selama ini!" Jawabku pada akhirnya hanya karena aku tak ingin Saka merasa khawatir.

"Kau sudah banyak berubah, Nada!"

"Setiap manusia berproses Saka, dan akan menjadikannya matang pada waktunya. Mungkin saat muda, aku begitu mudah emosi dan ingin menang sendiri. Harus mendapatkan apa yang aku inginkan dengan menyakiti atau bahkan merugikan orang lain. Tapi seiring waktu, aku tahu itu salah!" Saka tersenyum.

"Jika kau tak mampu lagi merasa kuat dan tak bisa berjalan sendiri, aku akan selalu ada untukmu!" Aku mengangguk.

"Ini rekam medismu. Kau bisa pulang lebih dulu karena semua sudah kuselesaikan. Anggap saja kau berhutang padaku!"

"Terima kasih!"

Sepeninggal Saka, aku terpekur diam. Jalan yang ingin kutempuh adalah perpisahan dengan menggugat cerai Mas Danar hanya saja, kini aku bimbang.

Perkara halal yang paling di benci Allah adalah perceraian. Entah mengapa, aku kembali terngiang kajian sore itu. Agama sangat menjaga keutuhan rumah tangga, dan perceraian hanya boleh dilakukan jika sudah tak ada jalan dan setelah melewati berbagai upaya. Islah, nasehat, mediasi, dan masalah yang terjadi memang dibolehkannya perceraian.

Aku membuang nafas kasar. Dari semuanya, aku belum mencobanya sama sekali. Sepertinya aku harus kembali bersabar.

"Mbak Nada?" Fitri masuk dan memelukku erat.

"Bagaimana, sudah kau selesaikan semua?" Fitri mengangguk lalu menyerahkan paper bag padaku.

"Pakaian ganti untuk Mbak Nada!" Aku menerima paper bag yang disodorkan Fitri padaku.

"Tunggu. Aku ganti dulu!" Tanpa menunggu jawaban dewi, aku segera beranjak ke kamar mandi. Setelah semuanya selesai, kami berjalan melewati lorong rumah sakit.

"Mbak Nada sudah kuat?" Fitri membuka percakapan setelah mobil pick up diarahkannya keluar dari tempat parkir rumah sakit. Aku hanya mengangguk. Fitri terpaksa menjemputku dengan mobil operasional pengiriman material karena memang ini yang ada di toko saat ini.

"Toko sudah mulai berjalan dua minggu ini, Mbak. Barang yang Pak Danar minta, semua dikirim ke toko kita! Tapi sepertinya Pak Danar belum tahu!"

"Gak papa. Sementara handle saja dulu. Yang penting toko sudah mulai jalan" Jawabku tenang.

"Alhamdulillah, Mbak!" Fitri menyerahkan laporan pembukuan yang dia ambil dari tas di sisi kursinya. Aku membuka dan membacanya sekilas. Baru dua minggu belum bisa dikatakan bangkit tapi paling tidak, kini pasokan barang aman.

"Em. Bagus. Waktunya gajian, ambil dari dana cadangan saja!" Aku kembali menyerahkan buku laporan kas pada Fitri lalu menatap jalanan lewat jendela yang sengaja kubuka.

"Tunggu Fitri, jalan pelan saja!" Aku segera menyambar lengan Fitri dan memintanya untuk mengurangi kecepatan mobil.

Mas Danar baru saja keluar dari baby shop. Tentu saja bersama Sasi dan ibu mertuaku dengan membawa berbagai macam ukuran paper bag. Pagi tadi tak bisa membayar administrasi rumah sakitku dengan alasan tak ada uang tapi sore ini begitu banyak memborong perlengkapan bayi.

Mas Danar janji bakal adil padaku juga Sasi. Tapi kondisi yang kulihat ini, apakah keadilan yang dia maksudkan? Lalu, uang yang dia gunakan untuk membelanjakan Sasi? Apakah murni uang dari pendapatannya sendiri atau uang yang dia ambil dari toko yang Mas Danar kelola?

Baru saja hatiku kupaksa untuk menerima keadaan, tapi akhirnya tetap saja ditampar dengan kenyataan. Berulang kali aku istighfar dan mengurut dadaku pelan. Sabar Nada, sabar.

"Kenapa, Mbak?" Fitri mau tak mau ingin tahu dengan apa yang kulakukan.

"Gak papa. Lanjut jalan saja. Tolong antar saya pulang ya!"

"Baik, Mbak!" Aku menyandarkan kepalaku dan memejamkan mata. Biarlah. Aku bersabar sementara. Kali ini, aku tak akan berpikir tentang perceraian terlebih dulu. Mungkin, aku dan Mas Danar memang harus bicara empat mata sebelum membicarakan semuanya dengan Sasi bahkan dengan ibu mertua.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   107. Akhir Bahagia ( Tamat)

    Beberapa bulan kemudian, klinik pribadi yang Saka inginkan sudah berdiri. Tepat di samping rumah. Sedikit demi sedikit, harapan kami terwujud satu persatu. "Ibu gak nyangka. akhirnya kamu bisa mewujudksn mimpimu, Saka!" Tante Asa menepuk pundak Saka, terharu. Ruangan mulai penuh dengan tamu-tamu undangan. Beberapa diantaranya banyak yang duduk sambil menikmati hidangan yang telah disiapkan. Saka justru memelukku dan mencium dahiku lembut, "Semua karena dukungan Nada, Bu!" Tante Asa mengangguk. "Tentu. Ibu tahu jika Nada istri yang hebat untukmu!" Kini, Tante Asa menatapku. "Maafkan ibu, Nada. Mungkin ibu pernah tak percaya padamu!" Aku mengusap punggung tangan Tante Asa sambil menggeleng. "Semua sudah berlalu, Bu. Saka suamiku. Tentu aku akan selalu melakukan yang terbaik untuknya!" Kami menoleh saat terdengar gelak tawa Naren yang ada dalam gendongan ibu. Bersama ibu, tampak Fajar yang sedang menggoda Naren, itu sebabnya Naren tertawa lebar. "Kau harus menjaga rumah

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   106. Setiap Pertanyaan Selalu Ada Jawaban

    Malamnya, setelah Naren tertidur pulas di tengah-tengah kami, Saka memulai percakapannya kembali. "Nada," panggilnya pelan. "Aku minta maaf." Saka mengangkat Naren dan memindahkannya di box bayi yang ada di sisinya. Aku menoleh. "Untuk apa?" "Untuk Larasati. Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu. Aku hanya... aku hanya tidak ingin kamu khawatir," jawabnya. Kini, Saka kembali duduk di sisiku. Aku tersenyum. "Aku paham maksudmu!" Jawabku pelan. Aku memang sadar. Tak akan pernah bisa merubah karakter Saka yang ringan tangan dan selalu ingin membantu urusan orang lain. Meskipun kadang, hal itu justru merugikan Saka sendiri. Saka menghela napas lega. Ia mencium keningku. "Nada, aku ingin kamu tahu, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu!" Aku membalas pelukannya. "Aku tahu!" Saka terdiam sejenak. "Kita tak mungkin tak ada masalah, tapi apapun masalahnya, aku harap kita tak saling melepaskan genggaman!" Aku menatapnya, menunggunya melanjutkan kata-kata. "Aku tah

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   105. Bersikap Biasa

    Setelah selesai makan, aku beranjak ke kamar diikuti Saka yang berjalan di belakangku. "Nada, kamu marah?" tanyanya, suaranya terdengar ragu. Aku... aku tidak marah," jawabku, suaraku terdengar serak. "Jangan khawatir Saka. Ini bukan masalah. Aku tahu kamu memahami batasan yang jelas tentang hal seperti ini!" Kataku pelan meski kadang aku meragukannya. Saka terdiam. Ia menghela napas. Mungkin saja ia tahu jika aku berbohong. Sesampainya di kamar, aku menatap Naren yang ternyata telah bangun. "Biar aku saja yang menggendongnya!" aku mengangguk lalu berjalan pelan ke sudut ruangan dan duduk di sofa. Saka tampak berbinar menatap anaknya. Berkali-kali Saka mencium pipi gembul Naren. Terang saja, bobotnya lumayan besar. Dengan berat 3,6 kilogram membuatnya seperti bayi besar. Ada hikmahnya anak kecil itu menabrakku hingga aku harus operasi caesar. Aku sendiri tak bisa membayangkan andai aku harus melahirkan normal dengan kondisi Naren yang sebesar itu. Tok. Tok. Kami

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   104. Mengurai Hati

    Aku menutup telepon dengan tangan sedikit gemetar, mencoba menenangkan degup jantung yang terasa begitu kacau. Aku memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, lalu meletakkan ponsel di meja nakas. Nada, kamu harus kuat, bisikku pada diriku sendiri. Memikirkan hal ini berlarut-larut hanya akan membuatku semakin sakit. Aku baru saja melahirkan, tubuhku masih belum sepenuhnya pulih, dan Naren membutuhkan perhatianku. Aku mencoba untuk berpikir positif. Larasati mungkin hadir di rumah sakit karena profesionalisme, bukan semata karena hubungan pribadinya dengan Saka. Untuk itu, aku harus belajar percaya… pada Saka, dan juga pada diriku sendiri. Aku memejamkan mata sesaat, menikmati angin yang berhembus semilir melalui jendela yang terbuka dengan semerbak kenanga. Entah, berapa lama aku tertidur pada akhirnya. Yang pasti, aku terbangun saat mendengar rengekan kecil. Sepertinya, seseorang membawa Naren masuk ke kamar dan menidurkannya di box. Perlahan aku bangkit dan mendekat

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   103. Api Kecil yang Menyala

    Aroma masakan Bu Sri yang memenuhi seluruh ruang makan, seketika membuat perutku yang belum sepenuhnya pulih menjadi terasa lapar. Aku duduk di kursi makan sambil memangku Naren. Di seberang meja, Ibu dan Tante Asa sudah duduk sambil berbincang ringan. Ibu sesekali menatapku dengan mata penuh perhatian, seakan mencoba membaca isi hatiku. “Nada, ayo makan yang banyak. Kamu kan butuh tenaga untuk menyusui Naren,” ucap Ibu sambil menyendokkan bubur hangat ke mangkukku. Aku tersenyum tipis. “Iya, Bu.” Suaraku nyaris tak terdengar. Tante Asa menimpali sambil tersenyum hangat, “Lihat tuh, wajahmu masih pucat. Fokus dulu untuk cepat pulih, ya!" Aku mengangguk kecil tanpa berkomentar. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan Saka. Ia benar-benar belum pulang sampai sekarang. Aku mencoba berkali-kali menenangkan diri, berpikir positif bahwa ia benar-benar hanya membantu Larasati karena situasi darurat. Mbok Nah mendekat dan meminta Naren yang telah kenyang menyusu agar aku bisa

  • Bangkitnya Istri Kaya yang Terluka   102. Menyembunyikan luka

    Aku duduk di tepi ranjang dengan napas sedikit terengah. Rasa sakit mulai terasa membebani perutku yang masih nyeri pasca operasi. Saka menuntunku dengan hati-hati, kedua tangannya tak pernah lepas dari pinggangku. “Pelan-pelan, Nada.” ucapnya lembut, namun aku bisa merasakan nada tegas yang terselip. Ia membantuku duduk, lalu merapikan bantal di belakangku sebelum menyelimutiku hingga dada. “Kamu baru melahirkan, jangan memaksakan diri untuk berdiri terlalu lama. Apa yang kamu pikirkan sampai-sampai turun sendirian tanpa aku?” Aku memaksakan senyum, mencoba terlihat tenang meski hatiku kacau. “Aku hanya… ingin pamit pada tamu. Lagipula, tidak enak kalau mereka pulang tanpa sempat aku sapa,” jawabku pelan mencari alasan. Saka menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang di sebelahku. Tangannya terulur, menyentuh pipiku dengan lembut. “Aku tahu tapi kondisimu lebih utama! Mereka juga akan paham!" Kata-kata itu seharusnya bisa menenangkan, tapi yang kudengar justru gema suara Lara

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status