Beberapa hari kemudian, Livia meneleponku. Suaranya terdengar panik. "Bu Nada... Mas Rico... kondisinya memburuk." Jantungku berdebar kencang. "Livia, tenang. Tenang. Apa yang terjadi?" tanyaku. "Aku... aku tidak tahu. Tiba-tiba saja, kondisinya memburuk," jawab Livia. "Dokter bilang, dia... dia koma." Aku terdiam. Seketika aku merasakan kesedihan Livia. "Aku akan segera datang!" Janjiku. Aku memang sempat tak menyukai Livia tapi kali ini, masalahnya berbeda. Aku segera mengabari Saka dan meminta ijinnya untuk pergi ke rumah sakit segera. Saka setuju dan mengatakan akan segera menyusul. Dengan cepat aku bersiap lalu berpamitan pada Mbok Nah tak lupa, juga memberi kabar Tante Asa dan Rama. Tanpa membuang waktu, aku memacu mobil menuju rumah sakit. Dua puluh menit kemudian, aku sudah menyusul Livia di depan ruang rawat Rico. "Livia, tenang," kataku sambil memeluk Livia. "Rico akan baik-baik saja." "Tapi, Bu..," kata Livia, menangis. "Dia... dia tidak akan sadar lagi." Aku m
Pagi setelah sarapan bersama, semua kembali sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Tante Asa sudah harus kembali untuk mengurus pantinya, sedang Saka ke rumah sakit seperti biasa. Sementara Rama dan Livia sibuk mengurus dokumen untuk pernikahan mereka. Hingga Mbok Nah tergopoh-gopoh ke depan saat bel pintu berbunyi. "Nduk, ada tamu!" Mbok Nah menghampiriku yang masih menikmati cemilan. "Siapa, Mbok?" Aku menghentikan makan dan menatap Mbok Nah. "Anu, Nduk. Sasi!" Aku terdiam sesaat. "Sasi, Mbok?" Mbok Nah hanya mengangguk. Aku segera keluar dan menemui Sasi yang masih menunggu di teras. Ia terlihat kurus dan pucat, matanya sembab, dan senyumnya terlihat dipaksakan. "Sasi? Masuk, masuk," kataku, menggamit lengannya. "Ada apa?" Sasi duduk di sofa, menundukkan kepalanya. "Maaf, Nada. Aku... aku butuh bantuanmu." Aku mengangguk. "Bantuan apa? Bicara saja, aku akan bantu jika aku bisa." Sasi menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Aku... aku ingin menjenguk Danar.
Pagi ini, aku memutuskan untuk mengunjungi Livia dan Rico di rumah sakit. Sudah beberapa hari aku tidak melihat kondisi Rico. Sejak kedekatan Livoa dan Rama, praktis aku jarang menyusul Saka ke rumah sakit. Kali ini, aku datang dengan membawa sedikit buah-buahan dan makanan ringan sebagai buah tangan. Sesampainya di sana, aku melihat pintu kamar Rico sedikit terbuka. Aku mendengar suara perdebatan kecil dari dalam. Seketika aku mengurungkan niatku untuk masuk. Aku tidak ingin mengganggu mereka. Tapi tetap saja,, aku tak bisa menahan diri untuk tak mendengarkan percakapan mereka. "Livia, aku mohon. Berhentilah mengganggu Dokter Saka," kata Rico dengan suara lemah. "Mas, aku tidak mengganggunya," jawab Livia. "Aku hanya meminta bantuannya." "Bantuan apa? Meminta dia menjadi suamimu?" tanya Rico, suaranya terdengar kesal. "Aku tahu, Livia. Aku tahu kamu menyukai Dokter Saka. Tapi jangan sampai kamu merusak rumah tangganya." Aku terdiam. Jantungku berdebar kencang. Jadi, duga
Ucapan sindiranku tadi pagi justru diluruskan Saka dengan interpretasinya sendiri. Aku hanya bisa menghela napas, menahan emosi yang bergejolak. Saat aku sedang menuang teh hangat untuk Saka, suara bel rumah berbunyi memecah suasana dan membuyarkan keheningan. Aku meninggalkan Saka dan bergegas ke ruang depan. "Ibu?" Aku tersenyum menyambut ibu mertuaku. "Apa kabar, Nada. Maaf ya ibu baru datang!" Aku menggeleng. "Semua sehat, Bu!" Jawabku lalu aku menatap sosok laki-laki gagah yang ada di belakang Tante Asa. "Oh iya. Ini Rama. Sepupu jauh Saka. Kemaren dia baru pulang dari tugasnya di Papua. Pengen ketemu kalian, mau ucapin selamat katanya!" Tante Asa memberi jalan pada Rama untuk mendekat. "Halo Mbak. Selamat ya. Maaf saya baru tahu kalau Mas Saka sudah menikah. Sekarang malah sudah hamil !" Rama tertawa renyah. "Terima kasih. Doanya ya, semoga kami di beri yang terbaik!" Kataku tulus. "Pasti, Mbak!" Aku bersalaman hangat dengan Rama. "Oh. ya Bu, Rama. Ayo seka
Sesampainya di rumah, aku segera membersihkan diri. Tak lagi memikirkannya mereka. Aku hanya mencoba untuk percaya bahwa Saka bisa menjaga dirinya, menjaga kepercayaan yang kuberikan. Aku merebahkan diri di ranjang, mencoba memejamkan mata fan mwmbuang bayang-bayang ketakutan tentang mereka. Perlahan, pandanganku mengabur dan entah detik keberapa, aku telah memasuki alam mimpi. Hingga aku terbangun saat merasakan tangan yang memeluk perutku. Aku tak menoleh tapi paefum itu begitu familiar. Jadi, Saka sudah pulang? “Maaf, Nada. Aku. membangunkanmu ya?" Aku hanya menjawab dengan sedikit malas. "Gak juga. Mungkin sudah waktunya bangun!" Aku beringsut bangun, melepaskan pelukannya lalu menuju kamar mandi. Saka pasti lelah jadi aku tak mungkin mencecarnya dengan pertanyaan yang terpendam. Lebih baik aku membenamkan diri di atas sajadah. Kupasrahkan segalanya, baik dan buruknya. Aku mulai menikmati malam-malamku dalam untaian permohonan yang diiringi dengan suara dengkuran Saka
Hari ini, Saka memang pulang sore, menepati janji yang diucapkannya semalam. Aku yang swdang menyiram tanaman di halaman seketika terswnyum lebar melihatnya datang. "Alhamdulillah. Sudah pulang!" Sapaku setelah mematikan kran air dan berjalan mendekat. Saka mengangguk dan tersenyum. Sesaat tubuh kami mendekat lalu saling mencium bibir pelan. "Ayo masuk. Aku masak banyak hari ini!" "Oh ya. Masak apa aja? Jangan capek-capek, Sayang!" Saka mengulurkan tas kerjanya yang kuminta. "Tenang aja. Masih terkontrol kok!" Kami berjalan beriringan masuk saat Saka menuju ruang makan. aku berjalan ke kamar untuk menyimpan tasnya. "Mbok Nah ke mana? Kok gak kelihatan?" Saka tampak celingukan mencari-cari Mbok Nah saat aku duduk di sisinya. "Mbok Nah bilang, anaknya ada acara. Tadinya aku mau ikut tapi gak boleh sama Mbok Nah. Takut aku capek katanya!" Saka mengangguk sambil menyesap teh manisnya. "Mbok Nah bener. Kamu gak boleh capek-capek Sayang!" Saka menyentuh perutku sesaat.