Share

Setelah Tujuh Tahun

"Bu Devina nanti inginnya desain seperti ini. Detailnya memang tidak terlalu banyak, tapi cukup rumit. Hati-hati saat kalian menjahitnya. Ini untuk seragam geng arisannya, jangan sampai ada kesalahan karena Bu Devina sangat teliti. Kalian paham kan?"

"Baik Bu,"

Kania berjalan berkeliling mengawasi tiga karyawannya yang tengah menjahit pesanan yang ia sudah jelaskan. Sesekali ia akan menegur lalu memberitahu mereka jika ada sesuatu yang salah di jahitannya. Sudah tujuh tahun semenjak ia menjalani bisnis ini dan sekarang bisnisnya sudah cukup berkembang. Dari seorang penjahit kecil-kecilan kini Kania sudah memiliki tiga orang karyawan yang membantunya dalam menyelesaikan pesanan para pelanggannya. Dari satu pelanggan tetap kini pelanggannya bertambah hingga puluhan orang. Banyak yang menyukai hasil jahitannya karena dinilai rapi dan selesai dengan cepat.

Kania berjalan ke arah meja kerjanya setelah dirasa para karyawannya telah mengerti apa yang ia maksudkan. Para karyawan hanya bertugas untuk menjahit sedangkan Kania yang memutar otak untuk memikirkan desain dan bahan yang akan mereka gunakan nanti.

Konsentrasinya pecah kala tiba-tiba ponselnya berdering dengan nyaring di arah sampingnya. Dengan cepat, Kania mengangkat ponsel itu lalu menempelkannya ke arah telinga.

"Mama!"

Suara melengking seorang anak laki-laki terdengar menggema di sebrang sana. Kania mengulas senyumnya mendengar suara malaikat kecilnya yang ia namai Devan. Ya, putera yang tujuh tahun lalu tidak diakui oleh ayahnya dan seluruh keluarganya itu kini sudah tumbuh menjadi anak yang ceria dan menggemaskan. Kania sama sekali tidak pernah menyesal membesarkan Devan. Jika tidak ada Devan saat itu, sungguh mungkin Kania lebih memilih membunuh dirinya sendiri.

"Iya Sayang? Malaikatnya Mama ada apa?"

"Kenapa Mama tidak bisa menjemput Devan lagi? Bukankah Mama sudah janji akan mengajak Devan ke taman bermain?" Terdengar keluhan Devan yang melengking dari sebrang sana.

Kania memendarkan pandangannya ke segala arah. Terlihat tumpukan-tumpukan kain yang berjejer di hadapannya membuat Kania seketika memijat keningnya. Pesanannya masih sangat banyak dan ia tidak mungkin bisa meninggalkannya begitu saja.

Raut wajahnya menunjukkan rasa bersalah yang teramat. Lagi-lagi ia harus mengingkari janjinya kepada Devan. Pesanan-pesanan yang menumpuk ini baru ia terima pagi tadi, jadi Kania tidak punya pilihan lain selain membatalkan janjinya kepada Devan.

"Maafkan Mama ya Sayang, hari ini kamu dijemput Bi Minah dulu."

"Mama bohong terus!" Terdengar Devan merajuk.

"Nanti minggu depan Mama janji akan menyelesaikan semua jahitan Mama dan kita akan pergi ke taman bermain. Bagaimana Sayang? Mau kan?"

"Benarkah? Mama akan mengajak Devan ke taman bermain?"

"Iya Sayang, kita ke taman bermain bersama nanti."

"Asyik!"

Secara cepat rajukan dan rengekan Devan berubah menjadi seruan kegembiraan. Kania mengulas senyumnya dengan lebar. Syukurlah membujuk Devan tidak terlalu sulit kali ini.

"Kalau begitu, berikan telponnya lagi pada Bi Minah, Sayang,"

"Baik Ma."

Kania menunggu sejenak hingga telpon itu berpindah tangan. Suara seorang wanita paruh baya kemudian menyambutnya, "Iya, Bu?"

"Bi, tolong jaga Devan dengan baik hari ini. Saya sudah berikan catatannya seperti biasa di atas lemari. Sepertinya hari ini saya akan pulang malam lagi."

"Baik, Bu. Maafkan saya karena Devan tadi menangis ingin bicara dengan Ibu,"

"Tidak apa-apa. Saya juga merasa bersalah karena Bibi harus kembali direpotkan dengan tingkah Devan."

"Itu sudah tugas saya. Kalau begitu saya antar Devan pulang dulu Bu."

"Baik Bi."

Panggilan mereka pun berhenti. Kania memutuskan panggilan teleponnya lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Ia harus segera menyelesaikan semua pekerjaan ini agar bisa memberikan waktu lebih banyak untuk Devan nanti.

****

Akhirnya semua pesanan Kania hampir selesai hari ini. Wajahnya menjadi cerah, hari ini dapat dipastikan bahwa ia bisa menjemput Devan dan besoknya mereka akan berlibur bersama seperti yang sudah ia janjikan.

Kania sudah mengambil barang-barangnya lalu bergegas masuk ke dalam mobil. Namun, belum selesai langkahnya meninggalkan area butiknya, ponselnya berdering kembali.

Dengan sebelah tangan, Kania mengambil ponsel lalu membuka pintu mobil. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Kania menjawab, "Ya?"

"Bu Kania, bisa kemari sebentar?"

Kania segera memindahkan ponselnya lalu berdiri dengan tegak. Ini suara Bu Astuti, salah satu pelanggan tetapnya.

"Ada apa ya Bu?"

"Ini loh, saya punya project besar untuk ibu."

Kania menaikkan sebelah alisnya mendengar ucapan Bu Astuti, "Project besar?"

"Iya. Saya tunggu di rumah ya, cepat datang ya Bu."

"Tidak bisa Bu, hari ini saya..."

Tut Tut Tut

Kania berdecak saat merasakan panggilan telepon mereka diputus begitu saja oleh satu pihak. Padahal hari ini ia ingin bersenang-senang dengan Devan, tapi ada saja orang yang mengganggunya. Kania mendesah, project besar? Hah! Sudah dipastikan akan ada pekerjaan lagi untuknya.

Kania segera membuka pintu mobilnya kembali yang sempat tertunda. Tanpa membuang waktu, ia segera memacu mobilnya menuju tempat Bu Astuti.

****

"Saya ingin Bu Kania mengerjakan gaun pertunangan milik atasan saya,"

"Tapi Bu, saya masih ada pekerjaan yang lain kali ini saya tidak bisa menerima tawaran Ibu," tolak Kania secara halus, ia sudah banyak berjanji kepada Devan, kali ini ia tidak boleh mengingkarinya.

"Tapi feenya besar lho Bu, sekitar lima puluh juta."

Kania terhenyak mendengar nilai fantastis di hadapannya. Lima puluh juta? Untuk satu gaun? Bahkan pesanan seragam Bu Helenna saja tidak mencapai nilai hingga seperti itu.

"Bagaimana?"

Kania mulai bergerak dengan gelisah. Lima puluh juta bukan nilai yang sedikit untuk bisa siapapun tolak. Jumlahnya bisa ia tabung untuk kehidupan pendidikan Devan kelak.

"Bagaimana Bu? Apa Ibu masih menolak?" Terdengar decakan kasar dari mulut Bu Astuti, "Kalau Ibu menolak, saya juga tidak akan lagi datang ke butik Bu Kania. Saya terlanjur malu pada atasan saya,"

Mendengar hal itu, raut wajah Kania seketika berubah. Tidak, ia tidak bisa kehilangan pelanggannya karena kecewa seperti ini.

"Baik, baik Bu, saya akan kerjakan."

Raut wajah Bu Astuti bersinar dengan cerah mendengar ucapan Kania.

"Nah kalau seperti itu, saya jadi lega."

Kania mengulas senyuman tipisnya. Ya sudah, lagipula feenya lumayan tinggi. Ia bisa membujuk Devan untuk pergi lain kali.

"Tapi, sebenarnya siapa atasan Ibu yang hendak bertunangan itu?" Tanya Kania, setidaknya ia harus tahu namanya agar mudah berkomunikasi.

"Ah, dia sebentar lagi datang kemari. Ah itu dia."

Kania segera membalikkan tubuhnya mendengar ucapan Bu Astuti. Namun, wajah cerahnya seketika berubah saat melihat siapa yang berada di hadapannya saat ini. Tubuh Kania menegang di tempat.

"Ini Bu Sheline dan Pak Sean, atasan saya yang akan menggelar pertunangan. Beri salam pada mereka Bu Kania."

Dari sekian banyak orang di dunia ini, bagaimana mungkin dia bisa bertemu kembali dengan pria yang selalu ada di dalam mimpi buruknya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status