“Aku akan menikahimu kalau urusanku dengan Binar selesai.” Rasya menjawabnya dengan santai. “Tunggulah dan bersabar.”
Nindi tampaknya tidak terima dengan jawaban Rasya yang terdengar sangat menyepelekan. Dalam pikiran Nindi bersuara, dia mengandung janin di perutnya dan dia butuh segera menikah untuk menutupi ‘aib’ yang semakin lama akan semakin membesar. Tentu saja dia tak boleh mengulur terlalu lama atau dia akan dipermalukan.
“Kalau begitu, aku juga nggak bisa membawa Mas dan orang tua Mas untuk tinggal di sini. Aku nggak mau tetanggaku mengghibah karena masalah ini dan menimbulkan masalah baru.”
“Kenapa kamu perhitungan banget sih?” Rasya bereaksi keras. Raut wajahnya tampak kesal luar biasa karena penolakan Nindi. “Bagaimanapun kita juga nanti akan menikah. Tapi tunggulah sampai semua selesai.” Rasya kini yang memuntahkan amarahnya. Rambutnya yang mencuat berantakan, seperti hatinya yang tengah gundah gulana.
“Sampai selesai itu kapan? Mas bahkan bilang nggak mau bercerai dengan si mandul itu. Aku bahkan udah bilang kalau aku bersedia dijadikan yang kedua. Mas sendiri yang membuat masalah ini menjadi runyam!”
Untuk pertama kalinya, mereka saling melotot setelah menjalin hubungan yang cukup lama. Rasya marah, dan Nindi pun tampak tidak terima hubungannya digantung tanpa ada kepastian. Sampai kapan dia akan menunggu? Begitulah Nindi berpikir. Mungkin karena terkejut dengan mood tiba-tiba yang terjadi, Nindi merasakan perutnya kram.
Perempuan itu menjerit sambil memegangi perutnya. Tentu, Rasya panik luar biasa. “Nin, kamu kenapa? Mana yang sakit?” Lelaki itu berjongkok di bawah sofa. Dengan lembut, Rasya mengangkat kaki Nindi ke atas sofa agar perempuan itu bisa berselonjor.
Dengan mencoba relaksasi, lambat laun kram yang dirasakan Nindi akhirnya hilang. Wajah Nindi tidak tampak sepucat tadi. Napasnya berangsur normal namun matanya masih memejam erat. Ketika matanya terbuka, dia segera memberondong Rasya dengan ucapannya.
“Mas tahu ‘kan? Wanita hamil tidak bisa mendapatkan tekanan.” Melihat Rasya yang tampak bersalah, dia kembali bersuara. “Sekarang pilih saja. Mas segera menikahi aku atau aku akan menggugurkan janin ini. Aku nggak sudi menderita sendirian karena Mas yang plin-plan.”
“Jangan gila, Nindi!” Mendengar kata menggugurkan, tentu saja Rasya merasa marah. “Bayi kita tidak bersalah.”
“Iya, Mas yang bersalah. Tapi karena terlalu bodoh untuk tahu apa yang harus dilakukan membuat aku dan bayi ini terombang-ambing nggak jelas. Sekarang pergi dari sini. Jangan kembali kalau Mas belum mengambil keputusan. Dan lagi, aku kasih waktu Mas sampai seminggu, kalau nggak juga menikahiku, aku akan melakukan sesuatu yang membuat Mas menyesal.”
Gertakan itu tampaknya cukup ampuh untuk Rasya. Dia tentu tak ingin kehilangan anak yang sudah ditunggunya selama dua tahun ini. Hal itu membuat Rasya segera mengangguk.
“Baiklah. Aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf karena sudah membuat kamu marah.” Digenggamnya kedua tangan Nindi dengan erat dan memasang ekspresi penuh penyesalan. “Aku janji aku akan segera menikahi kamu. Tapi, ayo kita ikut aku ke rumah. Kalau nanti kamu kram lagi bagaimana?”
“Aku nggak akan kram kalau Mas nggak buat masalah. Sekarang Mas pergi saja. Aku bisa sendiri.”
“Tapi, Nin ….”
“Aku bilang aku nggak papa. Pulanglah!”
Maka tidak ingin terjadi perdebatan lain, Rasya akhirnya pergi dari rumah Nindi menuju ke rumahnya. Lebih tepatnya, rumah Binar. Tentu saja dengan perasaan kalut luar biasa. Jauh di dalam hatinya, dia masih ingin berusaha untuk memperbaiki hubungannya dengan sang istri meskipun itu tidak mungkin. Tapi, dia juga ingin tetap bersama Nindi karena perempuan itu yang akan memberikannya anak.
***
Binar baru saja masuk ke dalam ruangan divisinya ketika melihat beberapa orang bergerombol di salah satu meja dan membahas sesuatu. Hal itu membuat Binar ikut melongok sambil bertanya, “Ada apaan sih?”
Suaranya mengejutkan rekan kerjanya. “Ah, Mbak Binar ini ngagetin aja.” Binar hanya nyengir.
“Kalian ini lagian. Pagi-pagi udah ngerumpi,” ucapnya.
“Ih, Mbak Binar pasti lupa deh pasti.” Seorang perempuan berkemeja hitam dengan rok span abu-abu bersuara. “Dua hari kemarin kita kan udah bahas akan kedatangan manajer baru setelah Pak Gio mundur.” Satu minggu yang lalu, manajer pemasaran memang mengundurkan diri. Dan posisi itu sempat kosong. Binar seharusnya lebih tahu karena dia adalah kepada divisi, tapi dia terlalu fokus pada urusan pribadinya yang membuatnya mengesampingkan sedikit masalah pekerjaannya.
“Astaga, aku lupa. Jadi hari ini udah mulai bekerja?”
“Udah dong, Mbak. Makanya kami ini lagi nunggu.” Yang lain menjawab.
“Oke deh. Mulai kerja.”
Meskipun perintah itu tidak ada nada tinggi, tapi semua orang yang tadi bergerombol pun tampak membubarkan diri. Mulai konsentrasi dengan apa pun yang harus mereka kerjakan. Binar pun sama. Dia harus memberikan contoh yang baik sebagai seorang kepala department.
Di sela-sela konsentrasinya bekerja, sebuah chat masuk ke dalam ponselnya. Itu adalah nomor Ramon. Lelaki itu memberitahukan jika hari ini dia akan mulai mengurus rumah Binar yang dikuasai oleh mertuanya dan juga mengurus perceraiannya. Binar merasa hatinya terasa berat, tapi ini memang harus dilakukan.
Binar menatap ponselnya dengan tatapan kosong. Mau tak mau, buncahan perasaannya bergejolak luar biasa. Bahkan dia tak sengaja menjatuhkan ponselnya di atas meja ketika rekan kerjanya memanggilanya.
“Mbak Binar kenapa sih? Aku lihat akhir-akhir ini kayak banyak ngelamun.”
Binar tersadar sebelum tersenyum. “Nggak papa, Li.” Namanya Uli. “Ada apa?” tanya Binar.
“Sebentar lagi Bapaknya akan datang, Mbak. Kita harus bersiap-siap.”
Binar pada awalnya tidak paham dengan kata ‘bapak’ yang Uli bilang. Tapi sedetik kemudian dia mengingat. “Oh, Pak Manajer?”
“Iya, Mbak. Eh … itu dia.” Seorang lelaki dengan kemeja putih dilapisi jas berwarna navy, berjalan bersama dua orang lainnya menuju divisi penjualan.
Uli buru-buru menarik tangan Binar agar berdiri berjejer untuk menyambut atasan mereka yang baru. Berbeda dengan rekan kerjanya yang lain yang tampak takjub ketika manajer baru itu sudah berdiri di depan mereka, Binar justru merasa jika semesta telah mempermainkannya. Terlebih lagi ketika netra lelaki itu menatap lurus ke arahnya, buminya seolah berguncang.
Lelaki itu adalah Kalandara. Lelaki yang tidak perlu Binar jelaskan siapa dia. Lelaki yang semalam baru saja dia temui di bengkel. Lelaki yang selalu menatapnya penuh dengan permusuhan seolah mereka adalah musuh bebuyut. Ya, benar. Kalandara yang itu. Binar bahkan tidak mendengar tentang apa pun yang dikatakan oleh HRD yang tengah memperkenalkan Kalandara kepada mereka semua.
“Mbak, Pak Manajer kita ternyata masih muda. Dia cuma beda sama Mbak dua tahun aja.”
Kalau Uli tidak berbicara tepat di samping telinganya, dia pastilah akan terus melamun tiada henti. Kesadarannya segera kembali dan dia tersenyum.
“Kerja lagi.” Bahkan saat Kalandara sudah masuk ke dalam ruangannya saja, Binar tidak sadar.
Binar tidak ingin menanggapi ucapan Uli. Dia sudah tahu siapa Kalandara, tapi dia juga tentu tak akan dengan lantang mengatakan jika dia mengenal lelaki itu. Binar kembali ke tempat duduknya, dan bersiap untuk memberikan fokusnya pada pekerjaannya, tapi sebuah panggilan membuatnya mendesah lelah.
“Mbak, diminta ke ruangan Pak Manajer.”
‘Matilah aku.’
***
Binar memejamkan matanya erat sebelum memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan Kalandara. Mencoba tenang, tapi jantungnya tetap saja bertalu-talu tak karuan. Di dalam benaknya muncul banyak spekulasi tentang ‘kenapa’ dan ‘ada apa’ dirinya dipanggil ke ruangan bosnya. Tapi, dia ‘kan memang kepala department ini, rasa-rasanya itu wajar. “Masuk!” Suara Kala terdengar dari dalam ruangan ketika Binar mengetuk pintunya. Kaki Binar terasa berat saat akan melangkah. Namun dia harus tetap maju. Berjalan dengan pasti untuk menghadap Kala, kini dia berdiri tepat di depan meja lelaki itu. Binar bisa melihat, Kala sama sekali tidak mendongakkan kepalanya meskipun tahu Binar ada di ruangan yang sama dengannya. “Ada yang harus saya kerjakan, Pak?” Barulah ketika Binar bersuara, Kala mengangkat kepalanya dan tatapan mereka bertemu. Tatapan lelaki itu masih begitu dingin dan penuh peringatan. Yang mau tak mau membuat Binar harus mengeratkan kepalan tangannya. Tentu bukan untuk melayangkan
“Binar, kamu ini bicara apa? Pindah apa? Kenapa kami harus pindah?” Menghadapi orang-orang yang tidak punya hati nurani memanglah sulit. Binar lelah, tapi jika dia tidak mendorong dan melawan mereka, dia hanya akan diinjak-injak. Itulah kenapa dia memilih untuk menghadapinya lagi. “Duduk, Ram.” Binar berjalan menuju sofa, kemudian Ramon menyusul setelahnya. Rasya masih berdiri dengan wajah pias. Namun tak lama dia bergabung juga. Kedua orang tua Rasya tampak tidak nyaman tapi Binar tidak peduli. Ditatapnya tiga orang itu dengan tidak bersahabat sebelum berbicara. “Saya tidak ingin banyak menjelaskan tentang alasan kenapa kalian harus pindah, karena kalian tahu pasti apa yang terjadi. Sebelumnya, saya juga sudah pernah mengatakan kalau urusan perceraian dan semua harta milik saya akan diurus oleh pengacara saya. Dan pengacara saya sudah datang hari ini. Artinya, sudah tidak ada waktu lagi untuk menunda apa pun.” Binar mengangguk pada Ramon untuk menggantikannya berbicara. Dengan s
Binar keluar dari rumah itu membawa kepingan hatinya yang telah hancur. Dia bersumpah di dalam hati, dia akan menemukan pengganti Rasya yang jauh lebih baik dari lelaki itu. Dia akan menikah lagi dan memiliki anak. Bukankah dokter sudah bilang kalau kandungannya baik-baik saja? Semua ini hanyalah perkara waktu. Tapi keyakinannya begitu tinggi jika dia tidak mandul. “Bi!” Ramon menyusulnya dari belakang kemudian mendekatinya. “Gue nggak tahu harus bilang apa. Tapi satu hal, lo harus kuat. Gue akan bantu lo dan lo akan mendapatkan keadilan.” Binar menatap Ramon dan memaksakan senyumnya. “Hanya lo yang bisa ngebantu gue, Ram. Gue percaya lo bisa menyelesaikan semua ini.” Ramon mengangguk dengan yakin. “Gue akan segera memprosesnya. Besok, gue akan minta temen gue yang anggota kepolisian untuk ngebantu mengusir mereka. Gue yakin lusa lo bisa menempati rumah ini lagi.” “Kalau gue tetep di unit lo untuk satu bulan ini gimana, Ram?” Binar menarik napas panjang. “Jujur saja, gue masih sed
“Bi, lo yakin akan ikut pergi ke rumah dan menyaksikan mereka keluar dari rumah lo?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada Binar sebelum mereka pergi untuk mengusir Rasya dan keluarganya. “Gue yakin, Ram. Gue harus lihat mereka keluar dari rumah gue dengan kepala mata gue sendiri.” Bukankah dia sudah meminta kepada Ramon untuk mengurus permasalahannya? Lalu kenapa dia sekarang harus ikut sibuk menyaksikan kepergian Rasya dengan mata kepalanya sendiri? Tentu saja untuk memuaskan harga dirinya. Dengan melihat Rasya dan keluarganya keluar dari rumahnya, dia akan merasakan jika itu sebanding dengan rasa sakit yang dia rasakan. Binar sampai di depan rumahnya dengan Ramon di sampingnya. Dia tak membawa mobilnya karena sengaja tidak ingin langsung muncul di depan mantan keluarganya tersebut. “Lo akan tetap di sini?” Ramon sekali lagi bertanya ketika dia akan keluar dari mobil. “Iya, gue akan tetap di sini.” Mobil milik Ramon terparkir di luar pagar rumah dengan dua mobil lainnya. Satu mo
“Dasar perempuan tidak tahu diri. Hei, kembali kamu. Kemari, aku akan mengacak-acak wajahmu. Nindi bukan perempuan seperti itu.” Jeritan dari ibu mertuanya tidak dihiraukan Binar sama sekali, memilih menutup telinganya rapat-rapat seolah tidak mendengar apa pun. Jadi dia memilih terus berjalan masuk ke dalam rumah dan meninggalkan kerumunan. Binar bisa mendengar jeritan ibu Rasya yang tidak mau didorong oleh orang-orang Ramon. Apa pun yang terjadi kepada mereka, masa bodoh dengan itu. “Ibu.” Bibi mendekati Binar yang baru saja duduk di sofa. Perempuan paruh baya itu tampak sedikit lega dan juga penuh kebingungan. “Ibu sudah kembali?” tanya Bibi untuk memastikan. Binar yang tadinya memejamkan matanya itu kini membuka matanya. Dia menoleh menatap asisten rumah tangganya. Menatap raut wajah perempuan yang tampak kusut. “Apa yang terjadi setelah saya tidak ada di sini, Bik?” Hampir satu minggu Binar meninggalkan rumah. Tidak tahu apa yang terjadi di rumah ini. Atau barangkali pembicar
Sepertinya itu memang kesengajaan yang dilakukan oleh Rasya untuk memasang fotonya di social media. Karena dia tahu ada banyak teman Binar yang mengikutinya di sana. Binar bisa melihat dengan jelas, foto itu tampak depan. Rasya dan Nindi menengadahkan kedua tangannya; berdoa. Kepalanya mereka menunduk dengan takzim. “Mbak Bi?” Uli menatap Binar tampak menyesal. “Sorry, aku ….”“Nggak papa, Li.” Binar menggeleng. “Itu memang dia.” “Mbak Bi.” Uli tidak lagi bisa melanjutkan ucapannya ketika Binar seolah menghindari percakapan lebih lanjut. Perempuan itu menatap kembali ke depan dengan bibir tertutup rapat. Dia tidak memiliki argument untuk diberikan. Tidak juga perlu menjelaskan apa pun kepada semua orang tentang masalah rumah tangganya. Biarkan, biarkan saja dia yang mengurus itu sendiri. Binar tahu, setelah hari ini, gosip tentang dirinya pasti akan menyebar di kantornya secepat kilat. Pandangan orang lain terhadap dirinya pasti juga akan berubah. Tapi, itu adalah konsekuensi yang
Untuk beberapa detik, Binar tidak menjawab. Namun selanjutnya, dia menggeleng dengan ekspresi mengejek. “Jangan mimpi di sore bolong begini, Ram.” Ramon mengangkat bahunya tak acuh. “Siapa tahu kalian cocok. Dia juga duda, lo tahu ‘kan?”Binar mengangguk. Dia sudah tahu status Kalandara. Uli sudah memberikan informasi itu secara cuma-cuma. Tapi tentu saja rencana bodoh yang diungkapkan oleh Ramon adalah hal yang tidak akan pernah terjadi. “Dia itu sebenarnya orangnya baik, Bi. Lo cuma belum belum kenal baik aja sama dia.” Binar tidak menanggapi ucapan Ramon dan memilih untuk menutup mulutnya rapat. Tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang Kalandara. Di kantor pun dia juga tidak begitu banyak bersinggungan meskipun mereka ada dalam satu lingkup pekerjaan yang sama. Setelah pertemuan dengan Ramon, dia kembali ke rumah miliknya. Rumah ini akhirnya ditempatinya sendiri setelah para parasit itu pergi dari sana. Binar keluar dari mobilnya dan menatap dua mobil lainnya. Satu mobil mili
Langkah Binar terhenti. Tubuhnya mau tak mau merasa menegang karena ucapan orang itu. Terlebih lagi, di sana ada Kalandara yang notabennya adalah sang bos. Lelaki itu yang tadinya tidak pernah tahu seluk beluk masalahnya dengan Rasya, pada akhirnya pasti akan tahu. “Binar, kenapa kamu tidak berani menatap kami? Kamu malu?” Nada cemoohan itu terdengar menyakitkan di telinga Binar. “Tidak perlu malu, semua orang pasti akan tahu siapa kamu sebenarnya. Kamu, si perempuan mandul yang tidak bisa menghasilkan keturunan.” Di tempat umum, mantan mertuanya itu dengan gamblang mencercanya dengan hinaan yang menyakitkan. Ada sebuah tangan yang memegang pundaknya. Binar mendongak dan tatapan matanya bersibobrok dengan mata Kala. Tatapan lelaki itu seolah mengatakan, ‘hadapi sekarang, aku di sini buat kamu’ kepada Binar. Membuat Binar akhirnya harus meneguhkan hatinya dan berbalik menatap gerombolan manusia-manusia tak berguna tersebut. Binar tersenyum. “Oh, ternyata mantan ibu mertua.” Meskipun