Share

Part 10. Dia Manajer Baru

“Aku akan menikahimu kalau urusanku dengan Binar selesai.” Rasya menjawabnya dengan santai. “Tunggulah dan bersabar.” 

Nindi tampaknya tidak terima dengan jawaban Rasya yang terdengar sangat menyepelekan. Dalam pikiran Nindi bersuara, dia mengandung janin di perutnya dan dia butuh segera menikah untuk menutupi ‘aib’ yang semakin lama akan semakin membesar. Tentu saja dia tak boleh mengulur terlalu lama atau dia akan dipermalukan. 

“Kalau begitu, aku juga nggak bisa membawa Mas dan orang tua Mas untuk tinggal di sini. Aku nggak mau tetanggaku mengghibah karena masalah ini dan menimbulkan masalah baru.” 

“Kenapa kamu perhitungan banget sih?” Rasya bereaksi keras. Raut wajahnya tampak kesal luar biasa karena penolakan Nindi. “Bagaimanapun kita juga nanti akan menikah. Tapi tunggulah sampai semua selesai.” Rasya kini yang memuntahkan amarahnya. Rambutnya yang mencuat berantakan, seperti hatinya yang tengah gundah gulana. 

“Sampai selesai itu kapan? Mas bahkan bilang nggak mau bercerai dengan si mandul itu. Aku bahkan udah bilang kalau aku bersedia dijadikan yang kedua. Mas sendiri yang membuat masalah ini menjadi runyam!” 

Untuk pertama kalinya, mereka saling melotot setelah menjalin hubungan yang cukup lama. Rasya marah, dan Nindi pun tampak tidak terima hubungannya digantung tanpa ada kepastian. Sampai kapan dia akan menunggu? Begitulah Nindi berpikir. Mungkin karena terkejut dengan mood tiba-tiba yang terjadi, Nindi merasakan perutnya kram. 

Perempuan itu menjerit sambil memegangi perutnya. Tentu, Rasya panik luar biasa. “Nin, kamu kenapa? Mana yang sakit?” Lelaki itu berjongkok di bawah sofa. Dengan lembut, Rasya mengangkat kaki Nindi ke atas sofa agar perempuan itu bisa berselonjor. 

Dengan mencoba relaksasi, lambat laun kram yang dirasakan Nindi akhirnya hilang. Wajah Nindi tidak tampak sepucat tadi. Napasnya berangsur normal namun matanya masih memejam erat. Ketika matanya terbuka, dia segera memberondong Rasya dengan ucapannya. 

“Mas tahu ‘kan? Wanita hamil tidak bisa mendapatkan tekanan.” Melihat Rasya yang tampak bersalah, dia kembali bersuara. “Sekarang pilih saja. Mas segera menikahi aku atau aku akan menggugurkan janin ini. Aku nggak sudi menderita sendirian karena Mas yang plin-plan.” 

“Jangan gila, Nindi!” Mendengar kata menggugurkan, tentu saja Rasya merasa marah. “Bayi kita tidak bersalah.” 

“Iya, Mas yang bersalah. Tapi karena terlalu bodoh untuk tahu apa yang harus dilakukan membuat aku dan bayi ini terombang-ambing nggak jelas. Sekarang pergi dari sini. Jangan kembali kalau Mas belum mengambil keputusan. Dan lagi, aku kasih waktu Mas sampai seminggu, kalau nggak juga menikahiku, aku akan melakukan sesuatu yang membuat Mas menyesal.” 

Gertakan itu tampaknya cukup ampuh untuk Rasya. Dia tentu tak ingin kehilangan anak yang sudah ditunggunya selama dua tahun ini. Hal itu membuat Rasya segera mengangguk. 

“Baiklah. Aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf karena sudah membuat kamu marah.” Digenggamnya kedua tangan Nindi dengan erat dan memasang ekspresi penuh penyesalan. “Aku janji aku akan segera menikahi kamu. Tapi, ayo kita ikut aku ke rumah. Kalau nanti kamu kram lagi bagaimana?” 

“Aku nggak akan kram kalau Mas nggak buat masalah. Sekarang Mas pergi saja. Aku bisa sendiri.”

“Tapi, Nin ….”

“Aku bilang aku nggak papa. Pulanglah!” 

Maka tidak ingin terjadi perdebatan lain, Rasya akhirnya pergi dari rumah Nindi menuju ke rumahnya. Lebih tepatnya, rumah Binar. Tentu saja dengan perasaan kalut luar biasa. Jauh di dalam hatinya, dia masih ingin berusaha untuk memperbaiki hubungannya dengan sang istri meskipun itu tidak mungkin. Tapi, dia juga ingin tetap bersama Nindi karena perempuan itu yang akan memberikannya anak. 

*** 

Binar baru saja masuk ke dalam ruangan divisinya ketika melihat beberapa orang bergerombol di salah satu meja dan membahas sesuatu. Hal itu membuat Binar ikut melongok sambil bertanya, “Ada apaan sih?” 

Suaranya mengejutkan rekan kerjanya. “Ah, Mbak Binar ini ngagetin aja.” Binar hanya nyengir.

“Kalian ini lagian. Pagi-pagi udah ngerumpi,” ucapnya.

“Ih, Mbak Binar pasti lupa deh pasti.” Seorang perempuan berkemeja hitam dengan rok span abu-abu bersuara. “Dua hari kemarin kita kan udah bahas akan kedatangan manajer baru setelah Pak Gio mundur.” Satu minggu yang lalu, manajer pemasaran memang mengundurkan diri. Dan posisi itu sempat kosong. Binar seharusnya lebih tahu karena dia adalah kepada divisi, tapi dia terlalu fokus pada urusan pribadinya yang membuatnya mengesampingkan sedikit masalah pekerjaannya. 

“Astaga, aku lupa. Jadi hari ini udah mulai bekerja?” 

“Udah dong, Mbak. Makanya kami ini lagi nunggu.” Yang lain menjawab. 

“Oke deh. Mulai kerja.” 

Meskipun perintah itu tidak ada nada tinggi, tapi semua orang yang tadi bergerombol pun tampak membubarkan diri. Mulai konsentrasi dengan apa pun yang harus mereka kerjakan. Binar pun sama. Dia harus memberikan contoh yang baik sebagai seorang kepala department. 

Di sela-sela konsentrasinya bekerja, sebuah chat masuk ke dalam ponselnya. Itu adalah nomor Ramon. Lelaki itu memberitahukan jika hari ini dia akan mulai mengurus rumah Binar yang dikuasai oleh mertuanya dan juga mengurus perceraiannya. Binar merasa hatinya terasa berat, tapi ini memang harus dilakukan. 

Binar menatap ponselnya dengan tatapan kosong. Mau tak mau, buncahan perasaannya bergejolak luar biasa. Bahkan dia tak sengaja menjatuhkan ponselnya di atas meja ketika rekan kerjanya memanggilanya.

“Mbak Binar kenapa sih? Aku lihat akhir-akhir ini kayak banyak ngelamun.” 

Binar tersadar sebelum tersenyum. “Nggak papa, Li.” Namanya Uli. “Ada apa?” tanya Binar. 

“Sebentar lagi Bapaknya akan datang, Mbak. Kita harus bersiap-siap.” 

Binar pada awalnya tidak paham dengan kata ‘bapak’ yang Uli bilang. Tapi sedetik kemudian dia mengingat. “Oh, Pak Manajer?”

“Iya, Mbak. Eh … itu dia.” Seorang lelaki dengan kemeja putih dilapisi jas berwarna navy, berjalan bersama dua orang lainnya menuju divisi penjualan. 

Uli buru-buru menarik tangan Binar agar berdiri berjejer untuk menyambut atasan mereka yang baru. Berbeda dengan rekan kerjanya yang lain yang tampak takjub ketika manajer baru itu sudah berdiri di depan mereka, Binar justru merasa jika semesta telah mempermainkannya. Terlebih lagi ketika netra lelaki itu menatap lurus ke arahnya, buminya seolah berguncang. 

Lelaki itu adalah Kalandara. Lelaki yang tidak perlu Binar jelaskan siapa dia. Lelaki yang semalam baru saja dia temui di bengkel. Lelaki yang selalu menatapnya penuh dengan permusuhan seolah mereka adalah musuh bebuyut. Ya, benar. Kalandara yang itu. Binar bahkan tidak mendengar tentang apa pun yang dikatakan oleh HRD yang tengah memperkenalkan Kalandara kepada mereka semua. 

“Mbak, Pak Manajer kita ternyata masih muda. Dia cuma beda sama Mbak dua tahun aja.” 

Kalau Uli tidak berbicara tepat di samping telinganya, dia pastilah akan terus melamun tiada henti. Kesadarannya segera kembali dan dia tersenyum. 

“Kerja lagi.” Bahkan saat Kalandara sudah masuk ke dalam ruangannya saja, Binar tidak sadar. 

Binar tidak ingin menanggapi ucapan Uli. Dia sudah tahu siapa Kalandara, tapi dia juga tentu tak akan dengan lantang mengatakan jika dia mengenal lelaki itu. Binar kembali ke tempat duduknya, dan bersiap untuk memberikan fokusnya pada pekerjaannya, tapi sebuah panggilan membuatnya mendesah lelah. 

“Mbak, diminta ke ruangan Pak Manajer.” 

‘Matilah aku.’

***  

Komen (12)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
katanya di ramon pengacara hebat dan terkenal. tapi nyatanya pengacara tolol dan lemot. perzinahan dan perselingkuhan si rasya koq diabaikan nyet. terlalu menye2 dan mempersulitkan masalah
goodnovel comment avatar
Fitt Baee
paling males kalo hrus pake berbayar hmmm pdahal seruu
goodnovel comment avatar
Yuyun
mau lanjut penasaran sih jln ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status