“Maaf, maksud Bapak saya mendapatkan potongan harga?”
Jika Binar tidak salah mengingat, semua perbaikan itu sudah tercatat dengan jelas di nota dan dia melihat sendiri biaya itu begitu besar. Dan tiba-tiba saja, lelaki itu bilang ada pengurangan. Tentu saja Binar sangat terkejut mendengarnya. Kini tatapannya seolah menuntut jawaban.
“Karena Pak Kala adalah customer VVIP kami, kami tentu saja memberikan diskon, Bu. Dan perhitungan yang kemarin, itu masih belum ada hitungan diskonnya.”
Penjelasan itu terdengar kurang masuk akal di telinga Binar. Tapi, senyumnya kemudian terbit. “Jadi, berapa yang perlu saya bayar, Pak?”
Lelaki di depannya itu mendorong nota untuk sampai tepat di depan Binar. “Ibu bisa melihatnya.”
Tanpa banyak berpikir, Binar langsung bisa melihat nominal yang tertulis di barisan paling akhir, dan itu tidak sampai seratus juga. Hal itu membuat bibir Binar mengurva semakin lebar. Binar menatap nota dan kepala bengkel bergantian.
“Benar hanya perlu membayar sebesar ini, Pak?” Binar kembali meyakinkan. “Maaf, bukannya bermaksud apa-apa. Tapi dibandingkan kemarin, ini jauh lebih ringan.” Binar segera melanjutkan. Takut kalau-kalau kepala bengkel itu menarik kembali potongan harga yang sudah diberikan.
“Benar, Bu. Itu sudah final. Kalaupun nanti ada tambahan, saya perkirakan tidak sampai besar.”
Mendengar jawaban lelaki itu, Binar sungguh lega. “Terima kasih, Pak. Saya benar-benar berterima kasih.” Setidaknya dengan potongan harga yang sebanyak itu dia masih bisa memiliki sedikit tabungan untuk kehidupannya.
Ada beberapa planning bisnis yang ingin dia buat yang sempat dia urungkan. Tapi sekarang, rencana itu sepertinya akan dia susun kembali. Ya, semoga saja dia bisa melakukannya.
Keluar dari kantor bengkel, sudah tentu langit sudah gelap. Bengkel itu sebenarnya juga sudah tutup sejak pukul lima sore tadi. Tapi karena Kalandara yang datang, maka tidak mungkin tidak dilayani. Benar, Kalandara. Binar mengingat lelaki itu. Lantas dia segera menoleh dan mendapati lelaki itu berdiri di sampingnya dengan raut wajah dingin seperti biasanya.
Ragu, Binar bersuara. “Terima kasih, Pak.” Tatapannya menatap ke depan dengan tanpa berani menatap ke arah Kala lama-lama. “Hanya itu yang bisa saya katakan untuk saat ini.”
Kala sama sekali tak menjawab. Dia hanya terus menatap ke depan seolah tanpa memiliki keinginan untuk beramah tamah dengan Binar. Namun Binar pun tidak mengharapkan apa-apa. Dia paham jika Kala pastilah masih sangat kesal kepadanya karena insiden ini.
“Kalau begitu, saya permisi dulu.” Tanpa menunggu jawaban Kala, Binar berlalu begitu saja. Memanggil taksi yang lewat di depannya, kemudian pergi meninggalkan Kala yang masih berdiri di tempatnya.
Binar tidak ingin membuat masalah lebih besar lagi dengan lelaki itu. Jika memang mobil lelaki itu sudah selesai diperbaiki nanti, dia hanya perlu menjauh dan tidak akan pernah berurusan lagi dengannya meskipun mungkin saja, Ramon akan mempertemukan mereka tanpa disangka-sangka seperti saat itu.
Di dalam taksi, Binar mendesah lega. Matanya tertutup kemudian kembali terbuka. Dia mensyukuri apa yang terjadi. Setidaknya hari ini setelah bertemu dengan Rasya, ada hal baik juga yang dia dapatkan.
***
“Kamu nggak bisa ngebujuk Binar, Sya?” tanya ibu mertua Binar kepada putranya. Orang tua Rasya itu masih tinggal dengan tenang di rumah Binar seolah tak terusik dengan peringatan sang menantu kepada mereka.
Ramon pun juga belum bertindak karena dia membutuhkan banyak ‘senjata’ untuk menyerang Rasya dan keluarganya.
“Aku udah datang ke kantornya pagi tadi, Ma. Tapi dia semakin berani ke aku.”
Ada nada getir yang Rasya keluarkan. Dia mengaku masih mencintai Binar kepada Nindi saat itu dan memang itulah kebenarannya. Tentu saja dia akan mempertahankan hubungannya dengan Binar bagaimanapun caranya. Itu adalah tekad Rasya.
“Kamu jangan diam aja dong, Sya. Cari tahu di mana tempat tinggalnya. Ikuti dia dari belakang kalau perlu.”
“Ma, aku juga bekerja. Mana mungkin aku bisa mengikuti dia.” Lelaki itu mengusap wajahnya kasar sebelum menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. “Aku juga sebenarnya nggak mau ninggalin dia, Ma. Aku masih cinta sama dia.” Keluhan itu keluar begitu saja tanpa filter.
“Kenapa kamu harus mencintai perempuan mandul itu, Sya.” Suara sang ayah terdengar. “Belajarlah mencintai Nindi yang sudah mengandung anakmu. Fokus sama dia karena dia yang akan memberikanmu keturunan.”
“Mama dan Papa lupa ancaman Binar? Kita akan diusir dari rumah ini. Kalau aku bisa meyakinkan dia, kita nggak akan perlu repot-repot pergi dari sini. Aku bisa tetap sama Binar dan juga Nindi di waktu yang bersamaan.”
“Kenapa kita yang harus pergi? Rumah ini sudah menjadi milik kamu juga!” Ibu Rasya yang tidak tahu malu itu tampak melotot marah. Tidak terima kalau dia harus-harus benar-benar pergi dari rumah yang sudah ditempati sejak beberapa bulan yang lalu. “Mama nggak mau pindah dari rumah ini. Mama akan tetap di sini. Kalau dia nggak kembali, biarkan saja, Mama nggak peduli lagi.”
Wajahnya tampak ditumpuki amarah sampai terlihat kelam luar biasa. Kedua tangannya bersedekap di depan dada dan rahangnya tampak mengetat erat. Rasya yang melihat itu, mendesah lelah. Memijat pelipisnya berusaha menghilangkan denyutan di kepalanya.
“Ini rumah Binar, Ma. Dia yang membeli, dia yang merenovasi. Dan tentu saja aku nggak punya hak di sini.”
“Kenapa selama kamu menikah kamu nggak berusaha bujuk dia agar dia menyerahkan rumah ini kepadamu? Saat kamu memutuskan untuk mencari perempuan lain, seharusnya kamu juga berjaga-jaga agar pada akhirnya bukan kita yang akan menjadi korban.” Pelototan perempuan paruh baya itu kini lebar maksimal. Suaranya bahkan meninggi. Hembusan napasnya menjadi memburu seperti dia baru saja berlari puluhan kilometer.
Rasya terdiam mendengarkan rentetan ucapan ibunya. Lantas dia beranjak dari sofa dan pergi meninggalkan rumah itu menuju ke rumah Nindi. Dia membutuhkan ketenangan. Dan dia yakin Nindi bisa menenangkannya.
“Mas kenapa?” Baru pintu rumah perempuan itu dibuka, wajah masam Rasya sudah mendominasi pandangannya. Rasya masuk ke dalam rumah tanpa menjawab, lalu merebahkan tubuhnya di sofa. Memejamkan matanya erat enggan terbuka.
Nindi buru-buru mengikuti Rasya dari belakang dan duduk tepat di samping lelaki itu. Kembali mengeluarkan pertanyaan yang sama. “Mas kenapa, sih?”
Hembusan napas kasar Rasya terdengar. Matanya terbuka dan pandangannya tepat di wajah Nindi. “Sebentar lagi, mungkin aku dan orang tuaku akan tinggal di sini sementara waktu.” Begitu kata Rasya.
Sontak saja, Nindi mengernyit bingung. “Kenapa pindah? Kalau Mas yang tinggal di sini nggak masalah, tapi Ibu dan Bapak kenapa harus?”
“Rumah yang kami tempati sekarang itu adalah rumah Binar. Kamu pikir setelah ini dia akan membiarkan kami tinggal di sana? Kamu juga tahu kalau dia mengusir kami waktu itu, kan?”
Binar tidak menjawab. Tapi dia tentu tidak mengelak kalau dia menyaksikan pengusiran yang Binar lakukan kepada Rasya dan kedua orang tuanya. Namun sebuah gagasan muncul di dalam kepalanya sebagai sebelum dia kembali bersuara.
“Bagaimana mungkin kalian semua akan tinggal di sini? Aku dan kamu bahkan belum menikah, Mas.”
***
“Istriku.” Ancala baru saja sampai rumah ketika melihat penampilan Gemi yang sudah cantik. Meskipun hanya mengenakan daster rumahan kebanggaannya, kecantikan perempuan itu selalu terpancar. Dan inilah yang selalu disukai oleh Ancala, Gemi akan selalu menunggu kepulangannya di teras rumah sambil membaca buku. Tidak di rumah Kala, atau bahkan di rumah mereka sendiri, Gemi memiliki perpustakaan sendiri dengan koleksi buku-bukunya. Gemi tersenyum melihat Ancala yang berjalan ke arahnya. Perempuan itu beranjak untuk menerima tas kerja lelaki itu. “Suamiku capek banget kayaknya.” Ancala memeluk Gemi sambil mencium pipi perempuan itu. Bagi Ancala, energinya akan kembali ketika sudah bertemu dengan sang istri setelah seharian bekerja. Rasa lelah itu seolah menguap begitu saja. Pelukan mereka terurai. Masih dengan memeluk pinggang sang istri, Ancala sedikit menjauhkan tubuhnya untuk menatap wajah Gemi yang halus. “Makan apa malam ini?” tanyanya, “lama nggak ke angkringan. Kangen nasi
“Kalian udah datang?” Ancala mendekati istri dan kedua adiknya dengan senyum kecil. Meskipun pagi tadi dia sempat kesal, tetapi setelah Gemi sekarang datang ke kantor, perasaannya menjadi sedikit membaik. Tatapannya mengarah pada ‘tiga tamunya’ yang tidak membawa apa pun. “Jadi belanjanya?” tanyanya. Perempuan yang dimaksud oleh Laksa tadi tidak mengikuti Ancala dan kembali lebih dulu. Gemi tidak bertanya siapa perempuan tersebut karena dia tahu kalau itu adalah sekretaris Ancala. Laksa pun sebenarnya juga tahu, tetapi dia hanya pura-pura untuk mengerjai Gemi. “Bang, aku laper banget, lho.” Laksa mengadu. “Aku laper, Bang.” Ulangnya lagi. “Kalian nggak makan dulu tadi?” Ancala mengernyit aneh menatap satu per satu saudaranya. “Istri Abang ngambek karena diajak desak-desakan. Jadi, nggak memedulikan aku yang kelaparan. Tapi, aku nggak mau makan di kantin ini. Abang tolong pesankan aku makanan yang enak, ya.” Laksa memang benar-benar membuat kakak-kakaknya kesal kalau sudah me
“Gem, bangun!” Ancala menepuk paha sang istri pelan ketika sudah sampai di rumah. Mereka baru saja sampai rumah ketika Gemi tidak sadarkan diri, tidur. Sepanjang jalan, Ancala memegangi tangan Gemi takut-takut kalau istrinya itu terjatuh. Bukannya apa-apa, Gemi tidur sepanjang jalan sedangkan mereka menggunakan motor. Kebanyakan makan kepala ayam membuat Gemi lemas sepertinya. “Bang, aku nggak sanggup jalan. Gendong.” Dengan suara lemas, perempuan itu masih memeluk pinggang Ancala dengan erat takut jatuh. Matanya masih tertutup erat enggan untuk terjaga. Napas panjang Ancala terbuang kasar. Menikahi Gemi adalah impiannya, tetapi kalau sifat manja perempuan keluar, maka habislah dia. “Iya, tapi tunggu dulu deh. Aku turun dulu.” Ancala melepaskan tangan Gemi dari pinggangnya sebelum dia turun dengan pelan dari motor. Baru setelahnya menarik tangan Gemi agar istrinya itu naik ke gendongannya. Diam-diam Ancala tersenyum kecil. Terkadang istrinya itu memang menyebalkan, tetapi juga me
Perdebatan yang terjadi malam itu dianggap bukan apa-apa. Pernikahan antara Gemi dan Ancala bahkan akan segera dilakukan dalam waktu dua hari lagi. Pernikahan mewah itu akan dilakukan di outdoor di pinggir pantai. Tidak banyak yang diundang karena Gemi dan Ancala benar-benar memilih orang-orang terdekat mereka saja yang datang. Kabar pernikahan yang sudah merebak itu membuat banyak orang terkejut. Tidak pernah menyangka kalau Gemi dan Ancala akan menikah. Semua orang tahu jika Abimanyu dan Sambara group adalah saudara. Tentu saja hal itu menjadi perbincangan banyak orang. “Gimana rasanya mau menikah?” Denta datang ke rumah Ancala untuk sekedar menemani sahabatnya itu mengobrol. “Dan menikah dengan perempuan yang lo cintai?” “Setelah semua yang terjadi, tentu saja gue bahagia, Den.” Ancala memainkan kakinya yang ada di kolam renang, menimbulkan bunyi kecipak air. “Gue kira akan sulit mendapatkan restu dari para tetua.” Denial mengatakan itu merujuk pada nenek dan kakek Ancala, lela
“Kamu sudah benar-benar yakin akan menikah dengan Gemi, Bang?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada sang putra atas keputusan untuk meminang sang pencuri hati. Para tetua, nenek kakeknya sudah memberikan izin untuk mempersatukan dua keluarga yang seharusnya tetap menjadi keluarga yang sesungguhnya. Namun, mereka memilih untuk memberikan restu dan menyingkirkan segala ego yang ada. Dua anak manusia itu sudah tidak bisa dipisahkan, untuk apa lagi mereka menahannya dan akan berakhir buruk. “Aku udah yakin, Yah. Aku sudah berbicara dengan Gemi dan dia menerima lamaranku.” Senyum lebar tersemat di bibir Ancala dan wajah sumringah itu tidak bisa berbohong jika dia sangat bahagia. “Kalau begitu, Ayah dan Bunda akan berbicara kepada Papa Kala kalau kami akan segera melamar Gemi. Pikirkan juga kamu ingin menikah di mana? Outdoor atau indoor, masalah biaya jangan khawatir, semua biaya Ayah yang urus.” Rasa sayang Ramon yang diberikan kepada Ancala tidak surut sedikitpun sejak dulu. Lelaki it
Setelah obrolan semalam, Gemi bangun tidur dengan perasaan yang terasa ringan. Hubungannya dengan sang ayah sudah membaik dan dia sudah memaafkan apa pun yang pernah sang ayah lakukan. Semua yang dilakukan oleh sang ayah semata untuk melindungi keluarganya. Suasana hati Gemi pun terlihat sangat baik seharian ini. Meskipun Ancala sejak tadi tak kunjung menghubunginya seperti yang sudah dijanjikan semalam, dia masih baik-baik saja. Seperti yang sudah Ancala bilang semalam, lelaki itu akan membicarakan masalah kerjaan dengan sang ayah. “Jadi, kamu mau balik kerja lagi?” Gemi yang baru saja duduk di sofa di samping sang bunda, segera mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku akan pikirkan lagi, Ma.” Sudah kebiasaan berada di rumah selama beberapa bulan, menjadikan Gemi enggan untuk kembali beraktivitas. “Tapi, Ma, Papa ngeluarin aku dari kantor dengan alasan apa, ya?” Benar, Binar pun tampaknya belum tahu tentang masalah tersebut karena dia tak pernah bertanya dengan Kala. “Mama juga