Share

Part 9. Potongan Harga

“Maaf, maksud Bapak saya mendapatkan potongan harga?” 

Jika Binar tidak salah mengingat, semua perbaikan itu sudah tercatat dengan jelas di nota dan dia melihat sendiri biaya itu begitu besar. Dan tiba-tiba saja, lelaki itu bilang ada pengurangan. Tentu saja Binar sangat terkejut mendengarnya. Kini tatapannya seolah menuntut jawaban. 

“Karena Pak Kala adalah customer VVIP kami, kami tentu saja memberikan diskon, Bu. Dan perhitungan yang kemarin, itu masih belum ada hitungan diskonnya.” 

Penjelasan itu terdengar kurang masuk akal di telinga Binar. Tapi, senyumnya kemudian terbit. “Jadi, berapa yang perlu saya bayar, Pak?” 

Lelaki di depannya itu mendorong nota untuk sampai tepat di depan Binar. “Ibu bisa melihatnya.” 

Tanpa banyak berpikir, Binar langsung bisa melihat nominal yang tertulis di barisan paling akhir, dan itu tidak sampai seratus juga. Hal itu membuat bibir Binar mengurva semakin lebar. Binar menatap nota dan kepala bengkel bergantian. 

“Benar hanya perlu membayar sebesar ini, Pak?” Binar kembali meyakinkan. “Maaf, bukannya bermaksud apa-apa. Tapi dibandingkan kemarin, ini jauh lebih ringan.” Binar segera melanjutkan. Takut kalau-kalau kepala bengkel itu menarik kembali potongan harga yang sudah diberikan. 

“Benar, Bu. Itu sudah final. Kalaupun nanti ada tambahan, saya perkirakan tidak sampai besar.”

Mendengar jawaban lelaki itu, Binar sungguh lega. “Terima kasih, Pak. Saya benar-benar berterima kasih.” Setidaknya dengan potongan harga yang sebanyak itu dia masih bisa memiliki sedikit tabungan untuk kehidupannya. 

Ada beberapa planning bisnis yang ingin dia buat yang sempat dia urungkan. Tapi sekarang, rencana itu sepertinya akan dia susun kembali. Ya, semoga saja dia bisa melakukannya. 

Keluar dari kantor bengkel, sudah tentu langit sudah gelap. Bengkel itu sebenarnya juga sudah tutup sejak pukul lima sore tadi. Tapi karena Kalandara yang datang, maka tidak mungkin tidak dilayani. Benar, Kalandara. Binar mengingat lelaki itu. Lantas dia segera menoleh dan mendapati lelaki itu berdiri di sampingnya dengan raut wajah dingin seperti biasanya. 

Ragu, Binar bersuara. “Terima kasih, Pak.” Tatapannya menatap ke depan dengan tanpa berani menatap ke arah Kala lama-lama. “Hanya itu yang bisa saya katakan untuk saat ini.” 

Kala sama sekali tak menjawab. Dia hanya terus menatap ke depan seolah tanpa memiliki keinginan untuk beramah tamah dengan Binar. Namun Binar pun tidak mengharapkan apa-apa. Dia paham jika Kala pastilah masih sangat kesal kepadanya karena insiden ini. 

“Kalau begitu, saya permisi dulu.” Tanpa menunggu jawaban Kala, Binar berlalu begitu saja. Memanggil taksi yang lewat di depannya, kemudian pergi meninggalkan Kala yang masih berdiri di tempatnya. 

Binar tidak ingin membuat masalah lebih besar lagi dengan lelaki itu. Jika memang mobil lelaki itu sudah selesai diperbaiki nanti, dia hanya perlu menjauh dan tidak akan pernah berurusan lagi dengannya meskipun mungkin saja, Ramon akan mempertemukan mereka tanpa disangka-sangka seperti saat itu. 

Di dalam taksi, Binar mendesah lega. Matanya tertutup kemudian kembali terbuka. Dia mensyukuri apa yang terjadi. Setidaknya hari ini setelah bertemu dengan Rasya, ada hal baik juga yang dia dapatkan. 

*** 

“Kamu nggak bisa ngebujuk Binar, Sya?” tanya ibu mertua Binar kepada putranya. Orang tua Rasya itu masih tinggal dengan tenang di rumah Binar seolah tak terusik dengan peringatan sang menantu kepada mereka. 

Ramon pun juga belum bertindak karena dia membutuhkan banyak ‘senjata’ untuk menyerang Rasya dan keluarganya. 

“Aku udah datang ke kantornya pagi tadi, Ma. Tapi dia semakin berani ke aku.” 

Ada nada getir yang Rasya keluarkan. Dia mengaku masih mencintai Binar kepada Nindi saat itu dan memang itulah kebenarannya. Tentu saja dia akan mempertahankan hubungannya dengan Binar bagaimanapun caranya. Itu adalah tekad Rasya. 

“Kamu jangan diam aja dong, Sya. Cari tahu di mana tempat tinggalnya. Ikuti dia dari belakang kalau perlu.” 

“Ma, aku juga bekerja. Mana mungkin aku bisa mengikuti dia.” Lelaki itu mengusap wajahnya kasar sebelum menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. “Aku juga sebenarnya nggak mau ninggalin dia, Ma. Aku masih cinta sama dia.” Keluhan itu keluar begitu saja tanpa filter. 

“Kenapa kamu harus mencintai perempuan mandul itu, Sya.” Suara sang ayah terdengar. “Belajarlah mencintai Nindi yang sudah mengandung anakmu. Fokus sama dia karena dia yang akan memberikanmu keturunan.” 

“Mama dan Papa lupa ancaman Binar? Kita akan diusir dari rumah ini. Kalau aku bisa meyakinkan dia, kita nggak akan perlu repot-repot pergi dari sini. Aku bisa tetap sama Binar dan juga Nindi di waktu yang bersamaan.”

“Kenapa kita yang harus pergi? Rumah ini sudah menjadi milik kamu juga!” Ibu Rasya yang tidak tahu malu itu tampak melotot marah. Tidak terima kalau dia harus-harus benar-benar pergi dari rumah yang sudah ditempati sejak beberapa bulan yang lalu. “Mama nggak mau pindah dari rumah ini. Mama akan tetap di sini. Kalau dia nggak kembali, biarkan saja, Mama nggak peduli lagi.” 

Wajahnya tampak ditumpuki amarah sampai terlihat kelam luar biasa. Kedua tangannya bersedekap di depan dada dan rahangnya tampak mengetat erat. Rasya yang melihat itu, mendesah lelah. Memijat pelipisnya berusaha menghilangkan denyutan di kepalanya. 

“Ini rumah Binar, Ma. Dia yang membeli, dia yang merenovasi. Dan tentu saja aku nggak punya hak di sini.” 

“Kenapa selama kamu menikah kamu nggak berusaha bujuk dia agar dia menyerahkan rumah ini kepadamu? Saat kamu memutuskan untuk mencari perempuan lain, seharusnya kamu juga berjaga-jaga agar pada akhirnya bukan kita yang akan menjadi korban.” Pelototan perempuan paruh baya itu kini lebar maksimal. Suaranya bahkan meninggi. Hembusan napasnya menjadi memburu seperti dia baru saja berlari puluhan kilometer. 

Rasya terdiam mendengarkan rentetan ucapan ibunya. Lantas dia beranjak dari sofa dan pergi meninggalkan rumah itu menuju ke rumah Nindi. Dia membutuhkan ketenangan. Dan dia yakin Nindi bisa menenangkannya. 

“Mas kenapa?” Baru pintu rumah perempuan itu dibuka, wajah masam Rasya sudah mendominasi pandangannya. Rasya masuk ke dalam rumah tanpa menjawab, lalu merebahkan tubuhnya di sofa. Memejamkan matanya erat enggan terbuka. 

Nindi buru-buru mengikuti Rasya dari belakang dan duduk tepat di samping lelaki itu. Kembali mengeluarkan pertanyaan yang sama. “Mas kenapa, sih?” 

Hembusan napas kasar Rasya terdengar. Matanya terbuka dan pandangannya tepat di wajah Nindi. “Sebentar lagi, mungkin aku dan orang tuaku akan tinggal di sini sementara waktu.” Begitu kata Rasya. 

Sontak saja, Nindi mengernyit bingung. “Kenapa pindah? Kalau Mas yang tinggal di sini nggak masalah, tapi Ibu dan Bapak kenapa harus?” 

“Rumah yang kami tempati sekarang itu adalah rumah Binar. Kamu pikir setelah ini dia akan membiarkan kami tinggal di sana? Kamu juga tahu kalau dia mengusir kami waktu itu, kan?” 

Binar tidak menjawab. Tapi dia tentu tidak mengelak kalau dia menyaksikan pengusiran yang Binar lakukan kepada Rasya dan kedua orang tuanya. Namun sebuah gagasan muncul di dalam kepalanya sebagai sebelum dia kembali bersuara. 

“Bagaimana mungkin kalian semua akan tinggal di sini? Aku dan kamu bahkan belum menikah, Mas.” 

*** 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
udah penjahat kelamin ortunya si radya matre dan g tau diri.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status