Share

Part 8. Mulai Berurusan 

“Hanya beberapa hal yang perlu lo persiapkan. Buku nikah dan juga KK.” Jawaban Ramon itu membuat Binar beranjak dari sofa. Mengambilkan buku nikah yang tidak lupa dibawanya beserta foto copyan KK. 

Menyerahkannya kepada Ramon dan langsung diterima oleh lelaki itu. Binar tampaknya ingin bertindak cepat. Dia tidak sudi lagi memiliki sangkut paut dengan Rasya dan keluarga lelaki itu. Manusia-manusia parasite yang tidak punya hati itu perlu dijauhi atau akan menempel dan membuatnya menderita. 

“Gue serahkan semuanya ke lo, Ram. Gue nggak ingin datang dipersidangan dan bertemu dengan lelaki itu. Sebisa mungkin, gue akan menghilang dari hadapan lelaki itu.” 

“Lo nggak perlu khawatir. Gue akan bereskan semua buat lo. Lo fokus aja sama kerjaan dan ….” Ramon menjeda ucapannya sebelum kembali berbicara. “Lo perlu sembuhin dulu hati lo.” 

Meskipun senyum itu kaku, Binar mencoba untuk memberikan senyuman itu untuk Ramon. Binar tidak menjawab. Menyembuhkan hatinya, rasa-rasanya itu akan sulit. Rasya dan kedua orang tuanya sudah membuat hatinya hancur berkeping-keping. Tak lama setelah itu, Ramon dan Kala pergi dari unitnya, meninggalkan Binar seorang diri dalam perasaan kalutnya. 

Detik jam terus berjalan dan malam semakin kelam. Pukul dua belas, dan Binar masih terjaga. Tubuhnya memang lelah, tapi pikirannya tak bisa berhenti memikirkan pengkhianatan yang dilakukan oleh Rasya kepadanya. Masih di tempat yang sama, dia duduk dengan memeluk kedua kakinya. Ditumpukkan dagunya di atas lutut dengan tatapa kosong. Kehancuran hatinya tak main-main.  

Berdiri di depan dinding kaca, Binar melihat hamparan langit luas yang ada di depannya. Kelip lampu di bawah sana tampak menarik matanya. Ingatannya mengarah pada kejadian dua tahun yang lalu. Saat di mana dia dilamar oleh Rasya di suatu malam di atas bukit dengan pemandangan lampu yang indah. 

“Cintamu terlalu dangkal sampai kamu lupa bagaimana dulu kamu selalu menunjukkan rasa cintamu kepadaku.” Binar berbicara pada keheningan malam sebelum berlalu dari living room dan masuk ke dalam kamarnya. 

Berusaha untuk memejamkan matanya untuk tidur atau dia akan mendapatkan masalah lain saat berada di kantor besok. 

*** 

“Binar!” 

Panggilan yang terdengar di telinga Binar berusaha diabaikan, tapi tidak sekalipun orang itu mencoba untuk menyerah. Dia justru mencekal tangan Binar agar Binar mau berbicara dengannya. Binar menarik napas panjang melihat Rasya berdiri dengan tatapan memohon. Rambut lelaki itu tampak acak-acakan dan wajahnya pun kuyu luar biasa. 

“Bi, kita perlu bicara.” 

Binar menatap sekeliling tempat itu dan beruntung, dia tak benar-benar diperhatikan oleh rekan-rekan kerjanya. Mungkin mereka menyangka kalau hal seperti itu sudah biasa. Pertengkaran antara suami dan istri adalah hal yang wajar. 

“Lepaskan!” Binar memeringatkan dengan tatapan matanya yang tajam. 

“Nggak. Aku nggak akan melepaskan kamu sebelum kamu bersedia berbicara denganku.” Rasya kukuh luar biasa. 

Jam operasional kantornya sudah akan mulai, dan Rasya bertingkah menyebalkan. Binar menahan mati-matian agar tidak memaki lelaki yang ada di depannya itu dengan kata-kata kotor. 

“Kamu tahu ini jam berapa? Aku harus masuk kerja.” 

“Aku nggak peduli. Selama kamu tidak menyetujui untuk bicara, maka aku tidak akan melepaskan kamu.” 

“Bedebah!” Tidak tahan, akhirnya ucapan itu keluar juga. Binar dengan keras menginjak kaki Rasya dengan heels yang dipakai sampai lelaki itu melepaskan cekalan tangannya. 

Alih-alih pergi dari hadapan Rasya, Binar menatap lelaki itu dengan tajam dan penuh permusuhan. Rasya yang masih merasakan sakit di kakinya itu meringis dan mengumpat kesal. 

“Jangan keterlaluan, Binar. Aku sudah meminta berbicara baik-baik kepadamu. Jangan paksa aku berbuat kasar!” 

Lihatlah betapa tak tahu malunya lelaki itu. Dia bahkan masih bermulut besar dan justru mengancam Binar. Dia berpikir Binar akan gentar dengan ancaman yang diberikan sehingga lari terbirit-birit. Dengan kepala terangkat, Binar menyeringai mendengar racauan suaminya. Yang sebentar lagi akan menjadi mantan, bekas, atau apa pun itu sebutannya.  

“Ancamanmu nggak akan berpengaruh kepadaku, Rasya. Mulai sekarang, aku bukan istrimu. Berhentikan bertingkah konyol dengan mencariku. Terlebih lagi di kantor.” Binar menatap jam di pergelangan tangannya, masih tersisa dua menit atau dia akan terlambat. 

Tanpa memedulikan Rasya, dia berlalu begitu saja. Pekerjaannya lebih penting dibandingkan harus mengurus lelaki tidak berguna seperti Rasya itu. Binar mengerti, di belakangnya sana Rasya tengah mengumpatinya. Tapi siapa yang peduli. Rasa sakit dan kecewa yang ditimbulkan oleh lelaki itu sudah bukan level rendah. Tapi sudah level puncak yang tidak bisa lagi dimaafkan. 

Duduk di kursinya, Binar menarik napasnya panjang. Tidak bisa dipungkiri setiap dia menatap wajah Rasya, seolah hatinya terusik luar biasa. Lelaki itu seperti sebuah pedang tajam yang menyayat kulitnya inchi demi inchi. 

“Mbak Bi baik-baik aja?” 

Binar adalah seorang kepala departemen marketing di sebuah perusahaan kemasan plastic. Karirnya cukup baik. Dia naik dengan usaha kerasnya selama ini. 

“Nggak papa, Rin. Sorry. Sedikit pusing.” Perempuan yang dipanggil Rin itu tersenyum dan kemudian mengangguk. Kembali ke kursinya sendiri meninggalkan Binar di mejanya. 

Beruntung hari ini tidak ada meeting bersama dengan tim divisinya sehingga dia tak perlu berpura-pura baik di depan mereka. Setidaknya dengan bekerja seharian ini, Binar bisa menyingkirkan sejenak tentang masalah yang sekarang tengah menyerangnya. 

Sampai di apartemen, Binar memilih merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan mata menatap langit-langit ruangan. Rasa sepi menjalar di seluruh hatinya. Tidak ada lagi tangis yang keluar, tapi jangan tanya bagaimana berantakannya perasaannya. Sekarang dia benar-benar sendirian. Dia tidak punya keluarga lagi di dunia ini. Mengingat itu, perasaan sakit itu terasa semakin menyakitkan. 

Deringan ponselnya terdengar dan nomor baru tertulis di sana. Binar tidak peduli dengan itu dan memutuskan meninggalkan ponselnya di sofa. Tapi setelah dia kembali, ponselnya masih terus bergetar. Dan saat dia memutuskan untuk mengangkatnya, pria bernama Kala itu yang berbicara kepadanya. 

“Saya tunggu kamu di bengkel sekarang.” 

Binar hanya bisa terpaku di tempatnya ketika suara itu menyerang pendengarannya. Bahkan lelaki tidak repot salam atau sejenisnya. Tentu saja Kala akan melakukan itu, mungkin saja lelaki itu sudah kesal karena Binar tak kunjung mengangkat panggilannya. 

Binar segera pergi ke bengkel hanya untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bukankah baru kemarin mereka datang ke bengkel? Apakah ada masalah buruk lainnya? Pikiran Binar berputar tak karuan. Beruntung dia sampai di bengkel dengan selamat. Masuk ke kantor kepala bengkel dan mendapati Kala ada di sana. Duduk tegak dengan mata menyalang marah.

“Maafkan saya. Saya terlambat.” 

Kepala bengkel itu tersenyum kaku. “Maaf, Bu. Tadi saya yang menghubungi Ibu. Tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. Jadi, Pak Kala yang mengambil alih.” 

Binar melirik Kala yang masih menatapnya seperti akan mencincangnya hidup-hidup. “Maaf, Pak. Saya benar-benar baru sampai rumah tadi.” Binar tampak tertekan dengan keadaan ini. 

“Kalau begitu, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan ke Ibu tentang perbaikan mobil Pak Kala.” Binar mengangguk dan kepala bengkel melanjutkan. “Total pembayaran yang saya berikan kepada Ibu saat itu ada pengurangan. Jadi Ibu tidak perlu membayar sebanyak itu.” 

***  

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Lutfiani
ceritanya cukup bagus dn menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status