“Hanya beberapa hal yang perlu lo persiapkan. Buku nikah dan juga KK.” Jawaban Ramon itu membuat Binar beranjak dari sofa. Mengambilkan buku nikah yang tidak lupa dibawanya beserta foto copyan KK.
Menyerahkannya kepada Ramon dan langsung diterima oleh lelaki itu. Binar tampaknya ingin bertindak cepat. Dia tidak sudi lagi memiliki sangkut paut dengan Rasya dan keluarga lelaki itu. Manusia-manusia parasite yang tidak punya hati itu perlu dijauhi atau akan menempel dan membuatnya menderita.
“Gue serahkan semuanya ke lo, Ram. Gue nggak ingin datang dipersidangan dan bertemu dengan lelaki itu. Sebisa mungkin, gue akan menghilang dari hadapan lelaki itu.”
“Lo nggak perlu khawatir. Gue akan bereskan semua buat lo. Lo fokus aja sama kerjaan dan ….” Ramon menjeda ucapannya sebelum kembali berbicara. “Lo perlu sembuhin dulu hati lo.”
Meskipun senyum itu kaku, Binar mencoba untuk memberikan senyuman itu untuk Ramon. Binar tidak menjawab. Menyembuhkan hatinya, rasa-rasanya itu akan sulit. Rasya dan kedua orang tuanya sudah membuat hatinya hancur berkeping-keping. Tak lama setelah itu, Ramon dan Kala pergi dari unitnya, meninggalkan Binar seorang diri dalam perasaan kalutnya.
Detik jam terus berjalan dan malam semakin kelam. Pukul dua belas, dan Binar masih terjaga. Tubuhnya memang lelah, tapi pikirannya tak bisa berhenti memikirkan pengkhianatan yang dilakukan oleh Rasya kepadanya. Masih di tempat yang sama, dia duduk dengan memeluk kedua kakinya. Ditumpukkan dagunya di atas lutut dengan tatapa kosong. Kehancuran hatinya tak main-main.
Berdiri di depan dinding kaca, Binar melihat hamparan langit luas yang ada di depannya. Kelip lampu di bawah sana tampak menarik matanya. Ingatannya mengarah pada kejadian dua tahun yang lalu. Saat di mana dia dilamar oleh Rasya di suatu malam di atas bukit dengan pemandangan lampu yang indah.
“Cintamu terlalu dangkal sampai kamu lupa bagaimana dulu kamu selalu menunjukkan rasa cintamu kepadaku.” Binar berbicara pada keheningan malam sebelum berlalu dari living room dan masuk ke dalam kamarnya.
Berusaha untuk memejamkan matanya untuk tidur atau dia akan mendapatkan masalah lain saat berada di kantor besok.
***
“Binar!”
Panggilan yang terdengar di telinga Binar berusaha diabaikan, tapi tidak sekalipun orang itu mencoba untuk menyerah. Dia justru mencekal tangan Binar agar Binar mau berbicara dengannya. Binar menarik napas panjang melihat Rasya berdiri dengan tatapan memohon. Rambut lelaki itu tampak acak-acakan dan wajahnya pun kuyu luar biasa.
“Bi, kita perlu bicara.”
Binar menatap sekeliling tempat itu dan beruntung, dia tak benar-benar diperhatikan oleh rekan-rekan kerjanya. Mungkin mereka menyangka kalau hal seperti itu sudah biasa. Pertengkaran antara suami dan istri adalah hal yang wajar.
“Lepaskan!” Binar memeringatkan dengan tatapan matanya yang tajam.
“Nggak. Aku nggak akan melepaskan kamu sebelum kamu bersedia berbicara denganku.” Rasya kukuh luar biasa.
Jam operasional kantornya sudah akan mulai, dan Rasya bertingkah menyebalkan. Binar menahan mati-matian agar tidak memaki lelaki yang ada di depannya itu dengan kata-kata kotor.
“Kamu tahu ini jam berapa? Aku harus masuk kerja.”
“Aku nggak peduli. Selama kamu tidak menyetujui untuk bicara, maka aku tidak akan melepaskan kamu.”
“Bedebah!” Tidak tahan, akhirnya ucapan itu keluar juga. Binar dengan keras menginjak kaki Rasya dengan heels yang dipakai sampai lelaki itu melepaskan cekalan tangannya.
Alih-alih pergi dari hadapan Rasya, Binar menatap lelaki itu dengan tajam dan penuh permusuhan. Rasya yang masih merasakan sakit di kakinya itu meringis dan mengumpat kesal.
“Jangan keterlaluan, Binar. Aku sudah meminta berbicara baik-baik kepadamu. Jangan paksa aku berbuat kasar!”
Lihatlah betapa tak tahu malunya lelaki itu. Dia bahkan masih bermulut besar dan justru mengancam Binar. Dia berpikir Binar akan gentar dengan ancaman yang diberikan sehingga lari terbirit-birit. Dengan kepala terangkat, Binar menyeringai mendengar racauan suaminya. Yang sebentar lagi akan menjadi mantan, bekas, atau apa pun itu sebutannya.
“Ancamanmu nggak akan berpengaruh kepadaku, Rasya. Mulai sekarang, aku bukan istrimu. Berhentikan bertingkah konyol dengan mencariku. Terlebih lagi di kantor.” Binar menatap jam di pergelangan tangannya, masih tersisa dua menit atau dia akan terlambat.
Tanpa memedulikan Rasya, dia berlalu begitu saja. Pekerjaannya lebih penting dibandingkan harus mengurus lelaki tidak berguna seperti Rasya itu. Binar mengerti, di belakangnya sana Rasya tengah mengumpatinya. Tapi siapa yang peduli. Rasa sakit dan kecewa yang ditimbulkan oleh lelaki itu sudah bukan level rendah. Tapi sudah level puncak yang tidak bisa lagi dimaafkan.
Duduk di kursinya, Binar menarik napasnya panjang. Tidak bisa dipungkiri setiap dia menatap wajah Rasya, seolah hatinya terusik luar biasa. Lelaki itu seperti sebuah pedang tajam yang menyayat kulitnya inchi demi inchi.
“Mbak Bi baik-baik aja?”
Binar adalah seorang kepala departemen marketing di sebuah perusahaan kemasan plastic. Karirnya cukup baik. Dia naik dengan usaha kerasnya selama ini.
“Nggak papa, Rin. Sorry. Sedikit pusing.” Perempuan yang dipanggil Rin itu tersenyum dan kemudian mengangguk. Kembali ke kursinya sendiri meninggalkan Binar di mejanya.
Beruntung hari ini tidak ada meeting bersama dengan tim divisinya sehingga dia tak perlu berpura-pura baik di depan mereka. Setidaknya dengan bekerja seharian ini, Binar bisa menyingkirkan sejenak tentang masalah yang sekarang tengah menyerangnya.
Sampai di apartemen, Binar memilih merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan mata menatap langit-langit ruangan. Rasa sepi menjalar di seluruh hatinya. Tidak ada lagi tangis yang keluar, tapi jangan tanya bagaimana berantakannya perasaannya. Sekarang dia benar-benar sendirian. Dia tidak punya keluarga lagi di dunia ini. Mengingat itu, perasaan sakit itu terasa semakin menyakitkan.
Deringan ponselnya terdengar dan nomor baru tertulis di sana. Binar tidak peduli dengan itu dan memutuskan meninggalkan ponselnya di sofa. Tapi setelah dia kembali, ponselnya masih terus bergetar. Dan saat dia memutuskan untuk mengangkatnya, pria bernama Kala itu yang berbicara kepadanya.
“Saya tunggu kamu di bengkel sekarang.”
Binar hanya bisa terpaku di tempatnya ketika suara itu menyerang pendengarannya. Bahkan lelaki tidak repot salam atau sejenisnya. Tentu saja Kala akan melakukan itu, mungkin saja lelaki itu sudah kesal karena Binar tak kunjung mengangkat panggilannya.
Binar segera pergi ke bengkel hanya untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bukankah baru kemarin mereka datang ke bengkel? Apakah ada masalah buruk lainnya? Pikiran Binar berputar tak karuan. Beruntung dia sampai di bengkel dengan selamat. Masuk ke kantor kepala bengkel dan mendapati Kala ada di sana. Duduk tegak dengan mata menyalang marah.
“Maafkan saya. Saya terlambat.”
Kepala bengkel itu tersenyum kaku. “Maaf, Bu. Tadi saya yang menghubungi Ibu. Tapi tak kunjung mendapatkan jawaban. Jadi, Pak Kala yang mengambil alih.”
Binar melirik Kala yang masih menatapnya seperti akan mencincangnya hidup-hidup. “Maaf, Pak. Saya benar-benar baru sampai rumah tadi.” Binar tampak tertekan dengan keadaan ini.
“Kalau begitu, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan ke Ibu tentang perbaikan mobil Pak Kala.” Binar mengangguk dan kepala bengkel melanjutkan. “Total pembayaran yang saya berikan kepada Ibu saat itu ada pengurangan. Jadi Ibu tidak perlu membayar sebanyak itu.”
***
“Maaf, maksud Bapak saya mendapatkan potongan harga?” Jika Binar tidak salah mengingat, semua perbaikan itu sudah tercatat dengan jelas di nota dan dia melihat sendiri biaya itu begitu besar. Dan tiba-tiba saja, lelaki itu bilang ada pengurangan. Tentu saja Binar sangat terkejut mendengarnya. Kini tatapannya seolah menuntut jawaban. “Karena Pak Kala adalah customer VVIP kami, kami tentu saja memberikan diskon, Bu. Dan perhitungan yang kemarin, itu masih belum ada hitungan diskonnya.” Penjelasan itu terdengar kurang masuk akal di telinga Binar. Tapi, senyumnya kemudian terbit. “Jadi, berapa yang perlu saya bayar, Pak?” Lelaki di depannya itu mendorong nota untuk sampai tepat di depan Binar. “Ibu bisa melihatnya.” Tanpa banyak berpikir, Binar langsung bisa melihat nominal yang tertulis di barisan paling akhir, dan itu tidak sampai seratus juga. Hal itu membuat bibir Binar mengurva semakin lebar. Binar menatap nota dan kepala bengkel bergantian. “Benar hanya perlu membayar sebesar
“Aku akan menikahimu kalau urusanku dengan Binar selesai.” Rasya menjawabnya dengan santai. “Tunggulah dan bersabar.” Nindi tampaknya tidak terima dengan jawaban Rasya yang terdengar sangat menyepelekan. Dalam pikiran Nindi bersuara, dia mengandung janin di perutnya dan dia butuh segera menikah untuk menutupi ‘aib’ yang semakin lama akan semakin membesar. Tentu saja dia tak boleh mengulur terlalu lama atau dia akan dipermalukan. “Kalau begitu, aku juga nggak bisa membawa Mas dan orang tua Mas untuk tinggal di sini. Aku nggak mau tetanggaku mengghibah karena masalah ini dan menimbulkan masalah baru.” “Kenapa kamu perhitungan banget sih?” Rasya bereaksi keras. Raut wajahnya tampak kesal luar biasa karena penolakan Nindi. “Bagaimanapun kita juga nanti akan menikah. Tapi tunggulah sampai semua selesai.” Rasya kini yang memuntahkan amarahnya. Rambutnya yang mencuat berantakan, seperti hatinya yang tengah gundah gulana. “Sampai selesai itu kapan? Mas bahkan bilang nggak mau bercerai den
Binar memejamkan matanya erat sebelum memberanikan diri untuk mengetuk pintu ruangan Kalandara. Mencoba tenang, tapi jantungnya tetap saja bertalu-talu tak karuan. Di dalam benaknya muncul banyak spekulasi tentang ‘kenapa’ dan ‘ada apa’ dirinya dipanggil ke ruangan bosnya. Tapi, dia ‘kan memang kepala department ini, rasa-rasanya itu wajar. “Masuk!” Suara Kala terdengar dari dalam ruangan ketika Binar mengetuk pintunya. Kaki Binar terasa berat saat akan melangkah. Namun dia harus tetap maju. Berjalan dengan pasti untuk menghadap Kala, kini dia berdiri tepat di depan meja lelaki itu. Binar bisa melihat, Kala sama sekali tidak mendongakkan kepalanya meskipun tahu Binar ada di ruangan yang sama dengannya. “Ada yang harus saya kerjakan, Pak?” Barulah ketika Binar bersuara, Kala mengangkat kepalanya dan tatapan mereka bertemu. Tatapan lelaki itu masih begitu dingin dan penuh peringatan. Yang mau tak mau membuat Binar harus mengeratkan kepalan tangannya. Tentu bukan untuk melayangkan
“Binar, kamu ini bicara apa? Pindah apa? Kenapa kami harus pindah?” Menghadapi orang-orang yang tidak punya hati nurani memanglah sulit. Binar lelah, tapi jika dia tidak mendorong dan melawan mereka, dia hanya akan diinjak-injak. Itulah kenapa dia memilih untuk menghadapinya lagi. “Duduk, Ram.” Binar berjalan menuju sofa, kemudian Ramon menyusul setelahnya. Rasya masih berdiri dengan wajah pias. Namun tak lama dia bergabung juga. Kedua orang tua Rasya tampak tidak nyaman tapi Binar tidak peduli. Ditatapnya tiga orang itu dengan tidak bersahabat sebelum berbicara. “Saya tidak ingin banyak menjelaskan tentang alasan kenapa kalian harus pindah, karena kalian tahu pasti apa yang terjadi. Sebelumnya, saya juga sudah pernah mengatakan kalau urusan perceraian dan semua harta milik saya akan diurus oleh pengacara saya. Dan pengacara saya sudah datang hari ini. Artinya, sudah tidak ada waktu lagi untuk menunda apa pun.” Binar mengangguk pada Ramon untuk menggantikannya berbicara. Dengan s
Binar keluar dari rumah itu membawa kepingan hatinya yang telah hancur. Dia bersumpah di dalam hati, dia akan menemukan pengganti Rasya yang jauh lebih baik dari lelaki itu. Dia akan menikah lagi dan memiliki anak. Bukankah dokter sudah bilang kalau kandungannya baik-baik saja? Semua ini hanyalah perkara waktu. Tapi keyakinannya begitu tinggi jika dia tidak mandul. “Bi!” Ramon menyusulnya dari belakang kemudian mendekatinya. “Gue nggak tahu harus bilang apa. Tapi satu hal, lo harus kuat. Gue akan bantu lo dan lo akan mendapatkan keadilan.” Binar menatap Ramon dan memaksakan senyumnya. “Hanya lo yang bisa ngebantu gue, Ram. Gue percaya lo bisa menyelesaikan semua ini.” Ramon mengangguk dengan yakin. “Gue akan segera memprosesnya. Besok, gue akan minta temen gue yang anggota kepolisian untuk ngebantu mengusir mereka. Gue yakin lusa lo bisa menempati rumah ini lagi.” “Kalau gue tetep di unit lo untuk satu bulan ini gimana, Ram?” Binar menarik napas panjang. “Jujur saja, gue masih sed
“Bi, lo yakin akan ikut pergi ke rumah dan menyaksikan mereka keluar dari rumah lo?” Ramon meyakinkan sekali lagi kepada Binar sebelum mereka pergi untuk mengusir Rasya dan keluarganya. “Gue yakin, Ram. Gue harus lihat mereka keluar dari rumah gue dengan kepala mata gue sendiri.” Bukankah dia sudah meminta kepada Ramon untuk mengurus permasalahannya? Lalu kenapa dia sekarang harus ikut sibuk menyaksikan kepergian Rasya dengan mata kepalanya sendiri? Tentu saja untuk memuaskan harga dirinya. Dengan melihat Rasya dan keluarganya keluar dari rumahnya, dia akan merasakan jika itu sebanding dengan rasa sakit yang dia rasakan. Binar sampai di depan rumahnya dengan Ramon di sampingnya. Dia tak membawa mobilnya karena sengaja tidak ingin langsung muncul di depan mantan keluarganya tersebut. “Lo akan tetap di sini?” Ramon sekali lagi bertanya ketika dia akan keluar dari mobil. “Iya, gue akan tetap di sini.” Mobil milik Ramon terparkir di luar pagar rumah dengan dua mobil lainnya. Satu mo
“Dasar perempuan tidak tahu diri. Hei, kembali kamu. Kemari, aku akan mengacak-acak wajahmu. Nindi bukan perempuan seperti itu.” Jeritan dari ibu mertuanya tidak dihiraukan Binar sama sekali, memilih menutup telinganya rapat-rapat seolah tidak mendengar apa pun. Jadi dia memilih terus berjalan masuk ke dalam rumah dan meninggalkan kerumunan. Binar bisa mendengar jeritan ibu Rasya yang tidak mau didorong oleh orang-orang Ramon. Apa pun yang terjadi kepada mereka, masa bodoh dengan itu. “Ibu.” Bibi mendekati Binar yang baru saja duduk di sofa. Perempuan paruh baya itu tampak sedikit lega dan juga penuh kebingungan. “Ibu sudah kembali?” tanya Bibi untuk memastikan. Binar yang tadinya memejamkan matanya itu kini membuka matanya. Dia menoleh menatap asisten rumah tangganya. Menatap raut wajah perempuan yang tampak kusut. “Apa yang terjadi setelah saya tidak ada di sini, Bik?” Hampir satu minggu Binar meninggalkan rumah. Tidak tahu apa yang terjadi di rumah ini. Atau barangkali pembicar
Sepertinya itu memang kesengajaan yang dilakukan oleh Rasya untuk memasang fotonya di social media. Karena dia tahu ada banyak teman Binar yang mengikutinya di sana. Binar bisa melihat dengan jelas, foto itu tampak depan. Rasya dan Nindi menengadahkan kedua tangannya; berdoa. Kepalanya mereka menunduk dengan takzim. “Mbak Bi?” Uli menatap Binar tampak menyesal. “Sorry, aku ….”“Nggak papa, Li.” Binar menggeleng. “Itu memang dia.” “Mbak Bi.” Uli tidak lagi bisa melanjutkan ucapannya ketika Binar seolah menghindari percakapan lebih lanjut. Perempuan itu menatap kembali ke depan dengan bibir tertutup rapat. Dia tidak memiliki argument untuk diberikan. Tidak juga perlu menjelaskan apa pun kepada semua orang tentang masalah rumah tangganya. Biarkan, biarkan saja dia yang mengurus itu sendiri. Binar tahu, setelah hari ini, gosip tentang dirinya pasti akan menyebar di kantornya secepat kilat. Pandangan orang lain terhadap dirinya pasti juga akan berubah. Tapi, itu adalah konsekuensi yang