"Kamu tenang saja Dian, saya akan bantu kamu, saya bisa pastikan Radit gak akan mengambil hak asuh Citra dari kamu."Dokter Rian berusaha menenangkan wanita di hadapannya. Sementara Dian masih tergugu dalam ketakutan. Wanita itu tahu betul kalau keluarga Radit akan melakukan segala cara dengan uang mereka."Iya Dok, aku gak rela kalau Citra harus dirawat oleh Mas Radit yang sangat tempramen," jawab Dian dengan mata berkaca-kaca.***Hari ini dokter Rian mengajak Dian dan Citra berjalan-jalan di sebuah mal. Entah apa yang tumbuh dalam hati, tetapi kini Dian mulai merasa nyaman berada di dekat lelaki itu. Namun, Dian yakin rasa nyaman ini hanya sebatas kenyamanan dari sebuah persahabatan."Masuk yuk."Dokter Rian menarik lengan Dian saat berdiri di depan toko pakaian. Wanita itu menolak lantaran tahu betul toko di depannya adalah brand bermerk yang sangat terkenal, sudah bisa dipastikan harganya mahal. Dian yang kini sudah tak memiliki banyak uang itu menggelengkan kepalanya pelan."Sa
Dian masih terpaku sembari menggenggam album foto saat dr. Rian memuji ibunya. Seketika wanita itu meremas ujung hijabnya dengan penuh kebencian.Dian tidak benar-benar lupa dengan wajah sang ibu, bayangan wanita yang melahirkannya itu hanya sekadar blur dalam otaknya, tetapi ketika sebuah foto terpampang jelas, Dian yakin bahwa orang di dalam foto itu adalah Hasna, wanita yang tega meninggalkannya sekian lama."Kalau boleh tahu, siapa nama Bunda Mas Rian?"Setelah berusaha menetralkan perasaan, Dian akhirnya bertanya pada lelaki di hadapannya, meski sangat yakin tetapi masih hinggap setitik ragu dalam dadanya."Namanya Hasna," jawab dr. Rian bangga.Mata Dian terbelalak, jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya, darah seolah-olah mengalir dengan kecepatan yang sangat tinggi menuju organ pemompa itu."Kenapa?"Dokter Rian menangkap keanehan dari raut wajah Dian."Oh gak apa-apa," balas Dian sambil memaksakan senyum."Bunda adalah orang yang selalu ada saat suka dan duka. Dulu, Aya
Hasna dan anak lelakinya berlari mengejar Dian. Hari pertemuan yang dulu amat dinantikan kini berubah menjadi hari yang menyesakkan, menjadi mimpi buruk dalam hidup Dian. Setelah traumanya terhadap pernikahan sudah pulih, saat hatinya sudah yakin pada seseorang, tetapi lelaki itu justru adalah saudaranya.'Aku harus bisa menerima kenyataan. Saat ini semua sudah jelas bahwa Mas Rian adalah adikku. Kami pernah terlahir dalam rahim yang sama.'Dian bergumam dalam hati, wanita itu terus mengusap bulir bening yang kian mendesak keluar dari pelupuk matanya.'Oh Allah, baru saja aku merasakan getaran cinta lagi, kenapa harus kembali pupus karena kekecewaan?'Dian membatin sambil terus menyeka air matanya. Jarak antara Hasna dan Dian sudah dekat, tetapi wanita itu sudah memberhentikan taksi lalu masuk.Di dalam taksi, Dian melihat bagaimana Hasna mengejarnya sembari meraung, tetapi hati Dian yang sudah banyak menanggung kekecewaan hampir tak bisa lagi merasa iba pada wanita yang ia anggap me
Sudah beberapa Minggu ini Dian tak lagi berhubungan dengan dr. Rian. Lelaki itu masih sering menghubunginya, tetapi Dian selalu mengabaikan.Jauh dalam hati Dian sama sekali tak marah pada dr. Rian. Ia hanya ingin menenangkan diri dan bisa melupakan perasaannya pada lelaki itu."Kamu yakin mau pergi?"Damar meyakinkan Dian yang sudah siap dengan kopernya. Sambil menggendong Citra wanita itu hendak memasuki taksi, sementara Nurul masih terus menangis, tak rela berpisah dengan wanita yang sudah ia anggap seperti anak sendiri."InsyaAllah ini yang terbaik, kalau tetap di sini, aku khawatir ibu dan Mas Rian akan terus mengunjungi."Dian menahan air mata agar tak tumpah, hampir satu tahun tinggal bersama Damar dan Nurul membuat ikatan batin di antara mereka begitu kuat. Sehingga, saat hendak kembali berpisah terasa begitu berat.Dian memutuskan untuk pergi sementara dari rumah Nurul. Wanita itu akan tinggal di sebuah rumah milik temannya untuk menenangkan diri.Dengan sisa uang yang ada, D
Dian hanya diam, wanita itu enggan berbicara, ia takut jika berbicara hanya akan menyakiti perasaan masing-masing karena wanita itu sadar diri belum bisa mengelola emosinya dengan baik."Dian, Ibu salah karena sudah menelantarkan kamu, ibu minta maaf. Tapi, Ibu gak pernah berniat untuk itu. Dulu, saat kamu merengek ingin ikut ibu ke kota, saat itu ibu hanya menjadi seorang asisten rumah tangga. Ibu pikir kamu akan lebih baik tinggal sama Nenek dan Tante Indira, Ibu sudah memberikan hampir seluruh gaji ibu pada Indira untuk biaya hidup kamu, hidup di perantauan tidak memungkinkan untuk ibu pulang setiap waktu ...."Hasna menunduk saat menjelaskan alasan, wanita itu tak berani menatap mata putrinya, putri yang jauh dalam hati sangat ia rindukan.Dian mengangkat kepala mendengar perkataan Hasna, hatinya sedikit tersentuh, matanya kini berkaca-kaca."Sejak kapan Ibu menitipkan uang sama Tante Indira? Bahkan dia bilang ibu gak pernah mengirim uang. Apa Ibu tahu, karena hal itu aku sering g
Beberapa bulan sebelumnya ... "Raya, kamu pasti kuat sayang."Radit menggenggam tangan Raya erat saat wanita itu kesakitan menahan kontraksi."Ya Allah, kenapa harus prematur?"Ajeng, mertua Raya mondar mandir tak karuan menunggu kelahiran sang cucu yang sangat dinantikannya.Wanita itu berharap anak yang dilahirkan Raya adalah laki-laki agar menjadi penerus perusahaan mendiang suaminya."Aku gak kuat, Mas."Raya menangis, wajahnya basah karena peluh yang membanjiri kepala."Dokter Rian mana? Operasi saja, kasihan istri saya," pinta Radit pada perawat."Dokter Rian masih di perjalanan, Pak. Sebentar lagi datang, kami akan menghubunginya sebentar ya, Pak," tutur perawat sambil beranjak pergi.Pembukaan jalan lahir Raya belum lengkap, tetapi wanita itu sudah kehabisan tenaga lantaran banyak menjerit, menangis, berteriak dan marah-marah tak karuan. Padahal, perawat sudah menyuruhnya tenang, tetapi Raya justru semakin marah."Baik Pak, kalau begitu silakan Bapak urus berkas-berkas perset
Di kantor polisi, Indira menjenguk Raya dengan membawa sang cucu. Melihat putrinya, hati Raya kian hangat. "Maira sayang."Raya langsung meraih dan mencium kening putrinya yang hampir berusia setahun. Bayi itu hanya beda usia dua bulan saja dengan Citra, si kecil itu sangat cantik, wajahnya mirip dengan Erlangga."Ma ... Ma ... Ma ...."Maira terus mengoceh sembari menggigit tangannya, membuat hati Raya kian teriris perih. Pun Indira, air matanya mengalir deras melihat kemalangan cucu dan anaknya."Maafkan Mama ya, sayang."Raya terus menciumi pipi Maira, tetapi sesekali tatapan wanita itu nampak kosong."Kamu kenapa bisa ceroboh, Raya?"Indira bertanya sambil terus menangis, wanita itu kesal, kecewa, sedih dan marah karena anaknya tengah ditahan di kantor polisi dengan meninggalkan sang cucu yang masih balita."Aku gak sengaja Bun, tapi sejujurnya aku gak mau hidup semakin susah. Aku cuma minta Erlangga bertanggung jawab atas Maira, setelah Mas Radit tahu semuanya, kita dibuang bag
Melihat wajah sang kakak yang nampak modis dan elegan, seketika Indira teringat bayangan masa-masa yang membuatnya begitu benci pada Hasna. .Puluhan tahun lalu ...."Indira, sudah berapa kali Bapak katakan, kamu jangan sering pulang malam, contohlah Mbak mu itu. Malu Bapak ini, setiap hari pulang malam dengan lain lelaki."Indira baru saja pulang dengan mengendap-endap di kegelapan. Wanita itu seketika terkejut saat lampu dinyalakan oleh bapaknya yang tengah menunggu di kamar dengan kemarahan yang memuncak."Mbak Hasna lagi, Mbak Hasna lagi, kenapa sih Bapak selalu saja bandingkan aku sama dia?"Indira membalas dengan lantang perkataan bapaknya, suaranya kian meninggi. Wanita itu jengah selalu dibandingkan dengan Hasna, Indira kesal karena sangat kakak selalu lebih unggul darinya, karena itu dirinya semakin hari semakin bertambah kebenciannya pada Hasna."Dengar Indira, kamu itu perempuan dan harus jaga diri. Bapak gak mau kamu sampai menoreh aib di keluarga kita."Soleh, sang ayah m