“Max! Tangkap!”
Sprei putih terbang menuju wajah pria berambut hitam legam bergaya spike.
Maxmillian Tandjaya. Mahasiswa semester 4 jurusan bisnis, Universitas paling bergengsi di Jayakarta bagian Utara. Universitas Lentera Harapan.
Hanya orang-orang kelebihan uang, sanggup menyekolahkan anaknya di kampus tersebut. Jauh berbeda dengan kondisi Max saat ini.
Cukup banyak yang tahu betapa kaya keluarga Tandjaya.
Namun, ketika Max berusia 17 tahun, orang tuanya tiba-tiba menghilang. Bisnis tambang batu bara mereka ditutup karena dianggap menyalahi aturan. Seketika dunianya runtuh.
Max beruntung. Ia berhasil diterima di kampus mentereng itu hanya dengan nilai rapor SMA-nya. Max tergolong anak dengan kepandaian di atas rata-rata.
Tetap saja, ia masih harus membayar uang kuliah setiap semester. Karena itu, ia bekerja di mana dan apa saja, asal menghasilkan uang. Seperti yang sedang ia kerjakan saat ini.
Mencucikan baju atau apapun milik mahasiswa lain. Dengan bayaran sepadan.
“Giliran cucianku!” Si pelempar sprei tadi kembali berteriak. Diiringi tawa cekikikan dari beberapa mahasiswa yang ada di sana.
Hampir pukul 11 siang dan Max masih sibuk di ruang laundry asrama kampus, dengan tumpukan cucian mereka yang membayarnya.
Dengan tawa mengejek, 2 mahasiswa yang sepertinya dekat dengan laki-laki gemuk pemilik sprei itu menambahkan, “Boxer nggak sekalian, Bro?”
“Ah … aku nggak setega itu lah sama Max.” Si gempal bersuara penuh sindiran, membuat hati Max sedikit was-was.
“Boxerku lengket parah!” teriaknya seru. “Bekas semalam! Hahaha!”
Max langsung membuang sprei itu ke lantai dan meraba pelan pipinya. Ia terlihat murka ketika ujung jarinya menemukan cairan lengket menempel di sana. Pasti kena saat sprei menjijikkan tadi dilempar ke wajahnya.
‘Brengsek!’
Segera ia membuka keran air dan mencuci wajahnya sembarangan. Sampai-sampai bajunya sendiri basah.
"Bajingan sial!" teriak Max, tertahan.
Kepala Max tetap menunduk. Tapi, lirikan mata yang tertutup rambut itu seolah menghujamkan pisau tajam ke arah si pelaku.
Ha! Ha! Ha!
Semua orang yang ada di ruang laundry pun tergelak melihat tingkah Max yang menurut mereka lucu dan konyol.
“Tenang, Max! Ku-transfer Rp 500 ribu, buat cuciin sprei itu.”
Max mengepalkan tangan kuat-kuat, menahan diri untuk tidak mengamuk.
Yang lain menambahkan, “Keluargamu sudah bangkrut, Max! Bersyukurlah masih dikasih Rp 500 ribu! Deal nggak?!”
Max sadar hal itu. Bagaimanapun juga, itu adalah tawaran terbaik.
Rp 500 ribu untuk mencucikan sprei yang ternoda cairan si pemilik.
“Yeah!” Max melepaskan kepalan tangannya. Menenangkan diri.
Ketiga mahasiswa yang menjahili Max saling pandang. Mereka berharap Max sedikit mengamuk dan menjadi alasan untuk menghajar Max.
Reaksi Max yang datar, membuat mereka bosan.
“Cih! Cuci yang bersih, Max si kacung!”
“Jangan lupa kerjakan tugasku, Bro! Setelah libur mau dikumpulin.”
Mereka melewati Max satu per satu, memberi tepukan mengejek di bahunya. Max hanya diam mematung. Menahan amarah dan ego.
Sekitar pukul 12 siang, Max kembali ke kamarnya.
Ketika hendak membuka pintu, Max mendengar nama kekasihnya disebut-sebut oleh ketiga temannya di dalam kamar.
“Kau dapat undangan ulang tahun Tiara?”
Max yakin, itu suara Paul.
“Yeah. Tapi kenapa Max nggak dapet ya?”
Max tidak kaget mendengarnya. Ia memang tidak pernah mendapatkan undangan ulang tahun.
Max mendengus geli karena orang lain mempermasalahkannya. "Undangan?! Buat apa?! Aku kan pacarnya!"
“Kudengar Darren sudah mengirim banyak hadiah ke rumah Tiara.”
Temannya masih saja berbincang. Tak tahu kalau Max mendengarkan dari luar kamar.
“Lebih parah lagi, ada yang bilang kalau dia mau melamar Tiara. Katanya, Tiara udah putus dari Max.”
“Bisa jadi karena Max udah nggak kaya lagi.”
Mendengar hal itu, Max teringat pertemuannya dengan Tiara. Pertama kali mereka berpacaran, setelah masa orientasi SMA selesai.
Max siswa baru. Sementara Tiara, kakak kelas yang menjadi panitia ospek. Mereka dikenal sebagai pasangan yang paling manis satu sekolahan.
Bahkan setelah keluarga Tandjaya bangkrut, Tiara tetap bertahan menjadi kekasih Max. Tidak ada yang berubah.
Bahkan menurut Max, mungkin dia lah yang berubah. Waktu yang biasa dihabiskan untuk Tiara mulai berkurang. Karena kerja paruh waktu di sana-sini demi menunjang kehidupannya.
Uang yang dulu mudah sekali ia keluarkan untuk semua keinginan Tiara, kini berkurang. Max hanya bisa mengajak Tiara kencan makan mewah 1 kali dalam sebulan.
“Guys, sebenarnya tadi pagi Tia—”
Cklak!
Max memutuskan untuk masuk, menghentikan percakapan mereka.
Panik, mereka langsung menyembunyikan tangan di belakang badan.
Dahi Max berkerut heran. “Kenapa?” Ia masuk hanya untuk berganti pakaian.
Pria berambut belah tengah bernama Tara meringis canggung. “Ehm … nggak! Nggak ada apa-apa, Max. Kau sudah makan?”
Max menggeleng. “Aku makan di acara ulang tahun Tiara saja nanti.”
“Kau mau ke sana?!” tanya mereka. “Kau nggak punya undangan, Max!”
“Aku pacarnya.” Senyum Max penuh kebanggaan. “Aku nggak butuh undangan”
“Sebaiknya kau jangan gegabah!"
Max mengembuskan napas panjang, lelah meyakinkan ketiga temannya itu bahwa ia memang tak perlu undangan.
“Aku nggak gegabah, Paul. Aku punya hak untuk datang ke pesta Tiara.”
“Tapi katanya anak donatur utama kampus kita mau ngelamar Tiara, Max!”
Max menghempas napasnya, kesal. “Mau anak donatur atau anak presiden, Tiara nggak mungkin berpaling. Dia sudah bertahan bahkan setelah aku nggak punya apa-apa.”
Paul terlihat panik. “Max, sebenarnya tadi—”
“Stop, guys!” sentak Max mulai kesal. “Setelah kerja, aku akan ke tempat Tiara.”
Tanpa menoleh lagi, Max segera keluar dari kamarnya.
“Max! Tunggu!”
“Gila!”Dari 5 calon penerus keluarga Lou lainnya—Lann, Ferran, Armyn, Hoven dan Giorgie, 3 di antara mereka tidak menyetujui kehadiran Demitri.“Kau masih mudah, Henry! Buat apa kau angkat anak laki-laki?!” tanya Giorgie, salah satu yang tidak setuju dengan tindakan sang kakak. “Kau masih bisa menikah!”Henry memutuskan untuk mengakui Demitri sebagai anak angkat, dengan alasan memenuhi keinginan terakhir ibunya yang sangat menginginkan cucu laki-laki.Tentu saja, akan ada banyak kebohongan-kebohongan yang terucap di masa depan nanti. Semua itu karena Henry yang sangat ingin berada dekat dengan Demitri, sambil berusaha melindunginya.“Jangan sembarangan, Giorgie! Aku tidak bisa mengkhianati Hilde!” Lagi, sebuah kebohongan terucap.Henry memang sayang pada istri sahnya itu, tetapi hanya seperti keluarga. Karena hatinya hanya terisi penuh oleh satu orang wanita.Hanya Gladys yang ia cintai sebagai seorang pria memandang wanita.“Sudahlah!” Lann sebagai yang tertua dibandingkan mereka se
“Demitri! Kau kenapa lagi kali ini?!” tukas Gerald panik melihat anak lelaki dari Gladys dan Henry babak belur pulang sekolah.Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Demitri mengulangi keluhan yang sama. “Paman, kenapa aku harus sekolah di sana sih?! Mereka itu nggak suka denganku!”“Dem, kalau kau berusaha, mereka pasti melihat hatimu!”“Persetan dengan itu, Paman!” raung Demitri frustrasi. Ia berlari ke kamarnya sambil berteriak lagi, “Aku tidak mau masuk sekolah besok!”Di saat bersamaan, sebuah mobil yang dikenal Gerald, berhenti di depan rumahnya. Ia pun panik. Mobil itu adalah mobil yang dibelikan Henry untuk Gladys dan Demitri.Namun, beberapa bulan lalu Gladys menghilang. Ia hanya menuliskan pesan singkat di secarik kertas agar Gerald mau menampung Demitri sementara waktu.Jadi, kalau mobil itu ada di depan rumahnya sekarang, hanya ada 1 orang yang pegang kunci kedua.Henry Lou.Benar saja. Sahabat karibnya itu turun dengan tergesa dan meneriaki nama Gerald. “Di mana Gladys dan pu
“Bulan depan kau menikah dengan Hilde! Kamu dengan Mama, Henry?!”Henry muda, yang masih berusia 30 tahun itu tak menjawab Verschane—ibunya. Ia berdiri dengan kesal dan pergi begitu saja. Kepalanya penuh dengan dua kalimat yang saling beradu. Ucapan sang ibu dan pemberitahuan dari Gladys—sekretaris sekaligus wanita yang dicintai Henry.“Aku hamil, Hen!” Itu yang dikatakan Gladys 4 bulan lalu. Wajah wanita yang masih menjabat sebagai sekretaris utama Henry itu begitu bahagia. Dan sekarang, Henry harus menelan pil pahit dengan melepaskan Gladys untuk menikahi wanita pilihan ibunya. Demi melindungi Gladys dari sang ibu. Garis keturunan Verschane mengandung darah anggota mafia terkenal di dunia bawah. Dia bisa melenyapkan orang tanpa dunia tahu. “Aku harus berhati-hati,” gumam Henry gugup. "Kalau Mama tahu, dia pasti melenyapkan Gladys."Ia berjalan menuju kamar pribadi lalu menutup pintu dibelakangnya dan segera menghubungi Gladys. Tak sampai 2 detik, suara riang sang pujaan hati te
Hai! Aku kembali! Sambil menunggu ide untuk buku baru, kupikir ada baiknya menambahkan detail cerita ruwet yang terjadi antara Henry Lou dan Demitri Sharone Lou. Anak angkat yang bukan anak angkat. Buat kalian yang penasaran, ditunggu ya beberapa bab selanjutnya ^_^ Salam, Romero Un.
Tak lama setelah mengirim pesan mengenai kelahiran putranya, Max sudah mendapati dua pria tua itu di depan kaca ruang bayi. Max terkekeh geli. “Kalau sudah datang itu, kabari aku, Dad, Grandpa, Papa, Kakek!” Keempat lelaki tua itu menoleh dan tersenyum lebar. “Max! Gemas sekali putramu, Nak!” Netra Mozart sudah berair. Kayleon adalah cucu pertamanya. Pertama kali lagi, setelah kelahiran Lian, ia akan menggendong bayi mungil. Raymond mengangguk setuju. “Aku bisa lihat hidungnya mancung seperti Bebby. Tapi rambutnya sepertimu, Max!” “Sudah jelas! Keturunan keluarga Lou tidak pernah mengecewakan!” tukas Henry dengan bangganya. Kali ini Mozart tak berusaha membantah. Memang semua keluarga Lou tidak ada yang kecantikan dan ketampanannya di bawah rata-rata. Semua keturunannya berwajah sekelas model dunia. Termasuk Max dan Lian. “Ya, ya, ya. Terima kasih untuk gen kalian, Pa!” kekeh Mozart dengan tatapan yang melekat pada bayi mungil di dalam ruang kaca itu. “Lalu kapan aku bisa
“Bos, saya dan Tuan Demitri sudah mengurus media online yang mengunggah berita itu.” Lucas menjelaskan begitu Max tiba di mansion Mediterranean. “Apa perlu konferensi pers?”Sepanjang perjalanan, Max sudah menimbang hal ini. Keputusannya adalah diam. “Abaikan saja. Kalau mereka masih menyebarkan semua itu, biar saja. Jangan diurus lagi.”Dahi Luca berkerut. “Nggak mungkin, Bos. Ini menyangkut posisi Anda sebagai CEO Louvz pusat juga.”“Ini bukan kasus seperti korupsi.” Max menjelaskan. “Jadi, mau menjelaskan bagaimanapun, publik hanya ingin mendengar apa yang mereka dengar. Yang penting buatku, Bebby sudah paham masalahnya dan tidak termakan gosip.”Lucas sedikit tak setuju dengan keputusan Max. Semua ini pasti berdampak pada image perusahaan. “Tapi Bos, apa nggak bisa memberikan pernyataan bahwa Anda tidak berselingkuh?”Max mengangkat dua alis matanya. “Fine. Kalau menurutmu publik akan puas dengan pernyataan seperti itu. Aku akan buat video saja.”Lucas mengangguk. Setidaknya, ada