“Bangun kamu! Bangun!! Dasar anak tak tau diri! Sudah jam berapa ini!!” bentak Mira usai mengguyur air dingin pada Rachel yang langsung terjingkat.
Napas Rachel sempat terengah sembari menahan dinginnya air yang mengguyur tubuhnya. Tangannya bergetar sembari terus meringkuk tubuhnya yang kedinginan. Rachel Lovania, gadis yang sudah menyandang status yatim piatu itu kini harus tinggal bersama Om dan Tantenya. Keluarga baru yang kini berperan sebagai pengganti orang tuanya. Sepasang suami istri yang tidak selalu memperlalukan Rachel dengan baik layaknya seorang anak, bahkan tak jauh lebih baik dari seonggok sampah yang sudah dibuang. Gadis yang masih berusia 20 tahun itu baru saja mendapatkan pekerjaan sebagai kurir makanan di sebuah restoran cepat saji yang tak jauh dari tempatnya tinggalnya. Gadis berpostur gemuk, bermata cekung dan berkulit sawo matang itu harus bekerja keras karena beasiswa yang ia dapatkan harus diberikan pada Aliya. Saudara sepupunya sendiri. Tambah lagi Om dan Tantenya yang tidak punya biaya, membuat harapan Rachel untuk kuliah semakin pupus. Tak banyak yang bisa ia lakukan selain pasrah dengan keadaan. Suara ayam jantan berkokok menjelang subuh memekakkan telinga Rachel dibarengi gerimis kala itu yang semakin deras membuatnya masih ingin bersembunyi di balik selimutnya yang hangat. Sekian detik kemudian suara itu berganti rintik hujan yang bergesekan dengan genteng rumahnya yang kembali membuat Rachel tak ingin bangun. Mendengar segala ocehan dan luapan emosi Mira, ingin sekali rasanya Rachel menutup kedua telinga menggunakan bantal guling dan kembali melanjutkan tidur. Apalagi cuaca pagi yang sangat dingin membuatnya hanyut dalam kehangatan selimutnya yang sedikit tebal. Kaki dan tangannya yang semula baik-baik saja pun kini mulai semakin menggigil kedinginan. Tak berselang lama tiba-tiba terdengar derap langkah kaki yang seperti mengarah ke kamar Rachel. Hentakan langkah itu terdengar semakin jelas dan terhenti tepat di depan pintu kamarnya. Tiba-tiba... BRAAAKK Usai menggebrak pintu kamar Rachel, tak berselang lama sisa air di ember yang dibawanya pun kembali diguyurkan pada Rachel yang masih terlihat kalut. Guyuran cairan bening itu seketika membuat tubuh Rachel semakin basah kuyup. “Ta-tante..” “Bersih-bersih dan bikin sarapan sana! Numpang itu harusnya sadar diri!” Bentak Mira sembari membanting ember yang tadi dibawanya. “Bukankah aku keponakan Tante?” pungkas Rachel yang berusaha meluapkan isi hatinya. “Trus kenapa! Tidak ku buang di jalanan saja seharusnya kau sudah bersyukur! Satu yang harus kau ingat Rachel. Aku tak mau memelihara benalu di rumahku. Jika kau masih ingin tinggal di sini, kau harus menuruti semua perintahku”. Tak berselang lama terdengar derap langkah kakinya yang keluar dari kamar Rachel sembari mendengus kasar. Tak sepatah katapun terucap dari bibir Rachel. Guyuran air dingin itu seolah menyamarkan cairan bening yang terus mengalir di kelopak matanya. Sesekali ia menyeka cairan itu yang tak berhenti mengalir. Rachel yang sudah lama tinggal bersama Om dan Tantenya sudah biasa jika harus menjalankan pekerjaan rumah sebelum berangkat kerja. Dan itu selalu ia lakukan saat masih sekolah dulu hingga saat ini. Tak jarang ia mendapatkan perlakuan kasar dari Tantenya yang terpaksa merawat Rachel yang orang tuanya tidak meninggalkan harta sepeser pun untuknya. Rumah kayu sederhana yang beralaskan esbes itu sering kali bocor ketika hujan dan kembali membuat percikan air di dalam rumah. Tak jarang sprai kamar Rachel basah hingga beberapa ember berjejer untuk menampung air yang berjatuhan karena esbes bocor. Hari ini adalah hari pertama Rachel bekerja di sebuah restoran cepat saji sebagai kurir pengantar makanan. Di usianya yang masih terbilang sangat muda ia memutuskan untuk langsung bekerja karena beasiswa yang berhasil ia dapatkan harus di serahkan untuk sepupunya. “Huuufft.... Capek banget” Ujar Rachel usai melirik jam dinding kamar yang sudah menunjukkan pukul 05.30 pagi. “Untung udah selesai semua” ujarnya kembali sebelum bersiap-siap untuk berangkat kerja. Usai menyelesaikan pekerjaan rumah, ia pun langsung bergegas berangkat kerja. Karena jarak rumah Rachel yang tak terlalu jauh ke restoran itu Rachel memutuskan untuk berjalan kaki agar bisa menghemat ongkos. Hirup pikuk kendaraan berlalu lalang semakin terlihat jelas di pelupuk matanya. Debu dan polusi yang bertebaran kemana-mana mengingatkan kondisi Rachel saat ini yang tak jauh berbeda darinya saat berada di rumah. Tak sadar cairan bening itu kembali menetes di kelopak matanya. “Sehina itukah aku dimata Tante Mira?” gumamnya dalam hati. Sesekali ia menatap ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 07.45 Rachel segera mempercepat langkahnya agar tidak terlambat ke tempat kerjanya yang baru. Beberapa saat kemudian terlihat bangunan megah yang di setiap sisinya tampak beberapa tenda kecil dan terlihat beberapa orang sedang berbincang di sana sembari menikmati hidangannya. Rachel kembali mengedarkan matanya dan terlihat kendaraan banyak yang berdatangan bahkan beberapa keluar dari tempat itu. *** Rachel langsung bergegas masuk ke ruang ganti karyawan. Di sana ia langsung mengenakan atribut lengkap yang bercorak merah dan bertuliskan sesuai dengan nama brand tempat ia bekerja. “Hai, anak baru ya?” “Eh iyaa Kak, kenalin saya Rachel” “Oh hai, Rachel. Kamu bagian nganterin makanan kan? Ntar ngambilnya di sana ya” “Baik Kak, terimakasih” Mengenal sedikit lebih jauh tentang dunia F&B Rachel yang masih sangat baru sekaligus introvert sangat kesulitan beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan teman-teman kerjanya. Tapi ia berusaha keras untuk tetap menjalankan tugasnya dengan baik. “Rachel, kamu tolong anter ke alamat ini ya. Nanti jika kau bingung tanya saja dengan orang-orang yang tinggal di sekitarnya”. “Baik Kak”. “Ingat ya, beliau ini pelanggan setia kita. Jadi jangan sampai membuat kesalahan” ujar Pak Dio sebagai supervisor di restoran itu. Rachel menganggukkan kepalanya sebelum akhirnya bergegas pergi. Kali ini dia mengantarkan makanan itu berdua dengan rekannya. Beberapa kotak paket makanan sudah tertata rapi di mobil khusus delivery. Sudah beberapa paket makanan diantar ke alamat tujuan. Tak terasa sudah tinggal satu alamat lagi yang masih tersisa. “Kita sekarang tinggal nganter ke mana?” “Ke sini Mang...” ujar Rachel sembari menyodorkan sebuah catatan kecil yang tadi ia terima dari seniornya. “Ya sudah, ayo naik” pungkasnya sembari menyuruh Rachel naik ke mobil. Hari ini Rachel mengantarkan makanan berdua dengan mang Udin seorang driver yang khusus bagian delivery di restoran cepat saji itu. Selama perjalanan, Mang Udin tak henti-hentinya selalu mengingatkan Rachel untuk terus berhati-hati saat mengantar makanan ke alamat Perusahaan yang itu. “Memangnya kenapa Mang? Tadi Pak Dio juga bicara seperti itu. Beliau juga sempat bilang kalau ini pelanggan setia kita. Benarkah begitu?” “Sebenarnya tidak hanya itu Rachel. Suatu saat nanti kau pasti akan tahu." Rachel masih tak mengerti ada apa sebenarnya dengan pelanggannya yang satu ini. Karena melihat gerak-gerik Mang Udin sedikit terlihat raut wajah yang tak biasa, bahkan cenderung menutupi rasa cemas berlebihan. Sebenarnya apa yang sedang disembunyikan dariku? Gumam Rachel dalam hati. Pria berusia 37 tahun itu sesekali terlihat menyeka peluhnya yang terus membasahi dahi. Terlebih saat ia menghentikan mobilnya tepat di depan Perusahaan besar yang sangat mewah dan megah itu. Perusahaan yang terletak di ujung itu terbentang luas pagar keamanan yang diujungnya terdapat kawat duri. Perusahaan itu terlihat cantik tapi juga menyeramkan. Terlebih saat melihat beberapa pria berbadan besar berjejer di sana. Mereka menatap Rachel dan Mang Udin dengan tatapan tajam. Dengan pakaian serba hitam dan berbadan tegap bak Paspampres yang sedang mengawal presiden. Rachel yang awalnya biasa saja pun kini ikut merasakan ketakutan yang luar biasa mengingat pesan Pak Dio dan Mang Udin sebelumnya. Tapi Rachel tak punya pilihan lain dan berusaha untuk tetap profesional. Usai mengambil paket makanan itu ia menyempatkan diri untuk sedikit menghela napasnya karena sedikit gugup. Dengan derap langkah kaki yang bergetar Rachel terus melangkah hingga berada tepat di depan salah seorang pengawal itu. “Permisi Pak, maaf saya mau mengantarkan makanan untuk Pak Antonio Dirgantara”. Tak terdengar sedikit pun kalimat terucap dari bibir pria berbadan besar itu, bahkan ia terus menatap tajam ke arah Rachel. Hingga akhirnya... “Ikuti aku!” Dengan segenap nyali yang masih tersisa, Rachel pun langsung mengikuti pria itu dibelakang. Dan setelah masuk, Rachel mulai janggal dengan perusahaan itu. Selain letaknya di ujung dan di tempat yang cenderung sangat sepi, sama sekali tak terlihat karyawan yang berlalu lalang. Bahkan sama sekali tak terdengar suara mesin menyala di sana. Semua tampak sepi dan misterius. Hanya ada para pengawal berbadan besar yang terus mengamati setiap langkah Rachel yang mengikuti salah satu kawanan mereka untuk mengantarkan makanan. Hingga tiba di sebuah lorong yang berada di sudut perusahaan itu. Dada Rachel mulai bergemuruh usai melihat bahwa di lorong itu ada sebuah tempat tersembunyi yang merupakan kantor sang Bos perusahaan. Setelah sampai. Sang ajudan pun langsung menekan tombol bel pintu itu dan setelah pintu terbuka otomatis. Sama sekali tak terlihat sosok bos perusahaan itu. Karena bangkunya mengahadap ke arah tembok kantornya. “Tuan, makanan pesanan anda sudah datang” ujar sang ajudan. “Bawa kemari” ujarnya singkat tanpa menunjukkan wajahnya. Hanya lambaian salah satu tangannya yang memberi kode agar ajudannya itu pergi meninggalkannya. “Siapp!” sang ajudan yang sudah paham pun langsung meninggalkan tempat itu. “Masuklah! Jangan macam-macam. Atau kau akan ku buat menyesal!” Bisik pria itu sebelum menyuruh Rachel untuk masuk. Rachel hanya sedikit menganggukkan kepalanya. Dan setelah masuk, pintu itu otomatis tertutup. “Ma-maaf Tu-tuaan i-i-ini...” “Jangan takut, ambil ini dan pergilah” Ujar pria itu yang hanya meletakkan beberapa lembar uang untuk membayar pesanan itu sebelum Rachel diizinkan untuk pergi. Rachel yang sudah keringat dingin pun langsung mengambil uang itu lalu pergi. Beberapa saat setelah keluar tiba-tiba terdengar suara gemuruh seseorang yang seperti sedang menahan rasa sakit. Rachel pun memberanikan diri untuk mencari sumber suara itu, hingga akhirnya ia melihat seorang Kakek yang terlihat hampir pingsan sembari memegangi dadanya. “Astaghfirullahalazim Kakek, Kakek kenapa?”Dalam dingin dan gelapnya malam yang mencekam di penjara, Rachel meringkuk di sudut sel. Dinding-dinding lembap memantulkan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Penjara itu tidak menyediakan lampu di setiap sel, hanya bergantung pada kilatan cahaya redup dari lorong utama setiap kali seorang napi melewati jalannya. Rachel, yang ditempatkan di sel paling ujung, merasakan keheningan yang jauh lebih pekat dibandingkan tempat lainnya. Aura gelap menyelimuti ruangan kecil itu, seolah menyembunyikan sesuatu yang tidak kasat mata. Sesekali ia merasa seperti ada bayangan bergerak di sudut pandangnya, membuat bulu kuduknya meremang tanpa alasan. Setiap kali langkah kaki berat terdengar di kejauhan, cahaya lampu lorong menari-nari di jeruji besinya. Namun, alih-alih merasa aman, kilatan itu justru menambah kesan mencekam. “Kenapa aku harus ada di sini?” pikir Rachel, sembari merapatkan tubuhnya pada dinding dingin. Di tengah keheningan itu, suara samar-samar dari sel sebelah mula
Di sela-sela interogasi yang melelahkan, Rachel mulai merasa seperti terjebak di labirin tanpa jalan keluar. Kebenaran yang ia tahu seperti tak berdaya melawan dugaan yang mereka bangun. Tekanan itu membuat tubuhnya gemetar, dan hatinya dipenuhi rasa putus asa. Namun, satu hal yang pasti Rachel tahu ia harus bertahan. Jika ia menyerah sekarang, maka semuanya benar-benar akan berakhir buruk baginya. "Baiklah, untuk sementara ini kamu akan kami tahan sampai ada seseorang yang mampu membuktikan bahwa kamu benar-benar tidak bersalah,” ujar salah seorang polisi dengan nada dingin, tatapannya tajam menusuk ke arah Rachel. Rachel hanya mampu menatap kosong, tubuhnya terasa lemas. Kalimat itu menghantamnya seperti palu godam. Seketika matanya berkaca-kaca, dan air mata yang selama ini ia tahan kini jatuh berlinang tanpa bisa dihentikan. “Bagaimana mungkin ada seseorang yang bisa menolongku?” pikir Rachel dalam hati, rasa putus asa mulai menyelimuti dirinya. Kejadian malam itu hanya mel
“Angkat tangan! Jangan bergerak!!” Suara bentakan yang tegas dan memekakkan telinga membuat Rachel terhenyak. Beberapa pria berpakaian hitam mengacungkan pistol ke arahnya tanpa ragu sedikit pun.“Hari ini, kamu resmi kami tangkap!” ucap salah satu dari mereka dengan nada dingin yang tak menyisakan ruang untuk pembelaan.Rachel berdiri terpaku, tubuhnya gemetar hebat. Tangannya perlahan terangkat, mengikuti perintah mereka. Tapi matanya sudah mulai memanas, penuh dengan air mata yang siap jatuh kapan saja. Ia merasa seperti seorang narapidana yang divonis tanpa sempat membela diri.“Aku tidak bersalah... Aku tidak tahu apa-apa,” gumamnya, hampir tak terdengar. Kata-kata itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri, seolah mencoba menguatkan hati yang kini terasa remuk.Tubuh Rachel yang semula bergetar kini mulai kehilangan tenaga. Lututnya melemah, dan ia perlahan jatuh ke lantai dengan napas yang tersengal. Apakah ini akhirnya? Pikirnya, sambil menatap wajah-wajah dingin di depannya.C
Mengingat apa yang dilontarkan polisi itu, Rachel merasa pikirannya semakin kacau. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terus berputar di benaknya, menggema tanpa henti. Malam itu, meski tubuhnya sudah berbaring di tempat tidur, pikirannya tak kunjung tenang. Bahkan setelah berkali-kali mencoba memejamkan mata, rasa cemas itu tetap tak mau pergi.Bayangan tentang penjara dan status sebagai narapidana menghantuinya. Ia membayangkan jeruji besi yang dingin, tatapan penuh kecurigaan dari orang-orang di sekitarnya, dan hidup yang berubah selamanya. Sesuatu yang ia tak pernah bayangkan sebelumnya kini terasa begitu nyata dan menakutkan.Rachel memutar tubuhnya, mencoba menemukan posisi yang nyaman. Namun, setiap kali ia mencoba mengalihkan pikiran, bayangan itu kembali muncul. Seolah-olah ada kekuatan tak kasat mata yang terus menariknya kembali pada mimpi buruk itu.Sesekali, matanya mengerjap, dan ia menatap langit-langit kamar kosnya yang redup. Ia mencoba mengingat apa yang sebenarny
Mendengar suara langkah mendekat dan sebuah tepukan di pundaknya, jantung Rachel mulai berdegup kencang. Suara itu seolah menggema di telinganya, membangkitkan kembali ingatan mimpinya yang mengerikan semalam. Ia merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun cuaca siang itu terik. Tangannya mulai bergetar, dan ia menggenggam erat tas kecil yang dibawanya, seolah itu adalah satu-satunya pegangan yang bisa membuatnya tetap berdiri. Rasa takut perlahan merayap naik, mencengkram dirinya dalam ketegangan yang tak tertahankan. Rachel tidak langsung menoleh ke arah orang yang menepuknya. Ada keraguan yang begitu besar di hatinya sebagian dari dirinya takut bahwa orang itu adalah salah satu sosok dari mimpi buruknya. Namun, rasa penasaran perlahan mendorongnya untuk melirik. Perlahan, ia memutar kepalanya sedikit, cukup untuk melihat dari sudut matanya. Sosok itu tampak berdiri tenang di belakangnya, mengenakan pakaian biasa, tapi Rachel tidak bisa menyingkirkan rasa khawat
Ketegangan di udara semakin terasa, membuat suasana mencekam. Hingga akhirnya, dengan tubuh gemetar, Rachel menyerah pada keadaan. Ia mengangkat kedua tangannya perlahan, tanda menyerah yang mengiris harga dirinya. “Baiklah... saya ikut,” gumamnya dengan suara parau, seolah kehilangan semangat. Salah satu dari mereka memegang pergelangan tangannya dengan tegas, tapi tidak kasar. Rachel mengikuti langkah mereka, matanya sesekali menatap sekeliling, berharap ada seseorang yang datang membantu atau setidaknya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi malam tetap sunyi, hanya jejak langkah mereka yang menggema di lorong kos yang sempit. Rachel tahu, hidupnya baru saja memasuki babak yang jauh lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan. Saat Rachel melangkah keluar dari kos, diapit oleh para polisi, pandangannya tertuju pada mobil yang menunggu di ujung jalan. Namun, tiba-tiba, dari kejauhan, sebuah kehadiran menarik perhatiannya. Sepasang mata tajam memancarkan sorot dingin,