Share

Bab 2

Author: Kata Semesta
last update Last Updated: 2025-11-12 16:16:19

Cahaya putih menyilaukan menusuk kelopak matanya. Suara samar mesin medis, detak monitor, dan langkah kaki para perawat berpadu menjadi satu, menciptakan ruang hening yang menyesakkan.

Luina membuka mata perlahan.

Langit-langit putih. Bau antiseptik.

Tangannya dibalut perban ringan. Tubuhnya terasa berat, tapi tak ada rasa sakit berarti—hanya pegal yang samar.

"Syukurlah, Ny. Luina sudah sadar," ucap seorang perawat begitu melihat matanya terbuka.

Luina mengerjap bingung.

Skala? Butuh beberapa detik sebelum ingatan itu menampar keras kepalanya—suara benturan, cahaya lampu truk, teriakan, darah, dan...

"Skala!" serunya refleks, mencoba bangun. Tapi perawat buru-buru menahannya.

"Tenang dulu, Bu. Kondisi Anda masih belum stabil."

"Aku tanya, dimana dia?" nafasnya mulai tersengal. "Dia—dia berdarah waktu itu... dia—"

Dokter datang tergesa. Wajahnya tenang, tapi suaranya berhati-hati.

"Suami Anda... masih dirawat di ruang ICU. Kondisinya kritis ketika dibawa ke sini, tapi sekarang sudah stabil. Namun..."

Luina menatap tajam, menunggu kelanjutan kalimat itu.

"Namun, beliau belum sadar. Kami menyebutnya koma pasca trauma kepala berat. Benturan keras membuat aktivitas otaknya menurun drastis."

Koma.

Kata itu terasa seperti palu besar yang menghantam telinganya.

Luina membeku. Antara ngeri dan tak percaya. "Tapi... dia bisa bangun, kan?"

"Bisa, tapi... kami tidak tahu kapan."

Dokter pergi, meninggalkan Luina sendiri dengan suara mesin infus yang monoton.

Ia menatap keluar jendela kamar rawat yang diterangi lampu malam rumah sakit.

Dalam hati kecilnya, di sela rasa ngeri yang aneh. "Aku—aku… belum siap jadi janda!”

**

"Bagaimana... kondisi Skala?" tanya ayah mertuanya sesaat menghampiriya.

Suasana kamar seketika menegang.

Mama Luina menatap ke arah dokter, lalu ke arah Luina—tidak ada yang berani menjawab duluan.

"Pasien atas nama Skala masih belum sadar, Pak. Kami melakukan semua yang bisa kami lakukan, tapi keadaannya... belum banyak berubah." ujar dokter yang memulai.

Mertua Luina menghela napas panjang. Wajahnya tertunduk, jemarinya menggenggam topi yang dibawanya sejak tadi. "Saya sudah siap dengan segala kemungkinan," ucapnya, lirih tapi tegas. "Tapi... dia anak saya satu-satunya."

Keheningan menggantung di udara.

Luina hanya bisa menatap pria tua itu tanpa suara. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mencubit—entah rasa bersalah, atau sekadar rasa canggung karena ia tidak tahu harus bersikap apa di depan ayah mertuanya yang kehilangan harapan.

Kemudian mertuanya melangkah mendekat ke tempat tidur Luina. Tatapannya menajam, tapi bukan marah—lebih seperti menilai.

"Kamu nggak luka parah, kan?" tanyanya.

Luina menggeleng pelan. "Cuma sedikit lecet."

"Syukurlah."

Pria itu menarik napas panjang, lalu menatap keluar jendela. "Kecelakaan itu... berat. Saya nggak tahu bagaimana bisa kamu selamat, sementara Skala..." ia berhenti di sana, menggantung kalimatnya dengan getir.

Ia tahu semua orang berharap Skala bangun. Tapi di balik wajahnya yang datar, pikirannya justru penuh kekacauan.

Ia menatap tangannya yang masih terbalut perban, lalu bergumam dalam hatinya. "Aku harus senang atau sedih ya dengar Mas Skala koma?"

"Luina... selama Skala koma, Ayah minta tolong ya, kamu yang urus perusahaan Skala, Ayah titip juga Skala ke kamu," ucap mertuanya membuatnya mendongak.

Wajah Luina menegang mendengar kalimat itu.

Suaranya terdengar samar, tapi setiap katanya terasa berat—menjatuh tepat di dada Luina yang belum benar-benar pulih.

"Urus... perusahaan?" ulangnya pelan, seolah tak yakin dengan pendengarannya sendiri.

"Aku–?"

“Semua aset, semua tanggung jawab—akan dialihkan ke kamu sampai Skala sadar."

Luina menatapnya lama. Ada sesuatu dalam sorot mata pria tua itu yang membuatnya sulit menolak, yaitu rasa percaya yang tulus, sekaligus kesedihan yang dalam. Tapi bagi Luina, kalimat itu terasa seperti pisau bermata dua.

Di satu sisi...

itu berarti kebebasan. Kekuasaan.

Namun di sisi lain, tanggung jawab itu datang bersamaan dengan beban nama besar seorang suami yang bahkan belum sempat ia kenal.

Pria itu menatap Luina sekali lagi sebelum berbalik pergi.

Namun sebelum keluar dari pintu, ia sempat berhenti sejenak. Suaranya kali ini lirih—nyaris seperti doa.

"Kalau Skala bisa lihat kamu sekarang, mungkin dia akan lega. Karena kamu selamat."

Pintu tertutup perlahan, meninggalkan hening panjang di kamar itu.

Luina memandangi pintu yang baru saja ditutup ayah mertuanya, lalu menghembuskan napas panjang.

"Selamat?" gumamnya pelan. "Atau... terjebak?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 7

    Luina duduk di sofa yang empuk, jarinya mulai menari di layar ponsel. "Oke, Mas Skala. Kamu minta game panas, aku kasih game panas," gumam Luina, membuka aplikasi belanja online. Ia mengetikkan kata kunci dengan keberanian baru. Ia tidak lagi peduli dengan riwayat pencarian; fokusnya adalah mencari stimulus paling efektif. Luina menelusuri berbagai judul novel romantis erotis. Ia menolak novel dengan sampul yang terlalu dramatis dan mencari yang fokus pada ketegangan, slow burn, dan pastinya, memiliki protagonis pria yang kaku dan misterius—seperti suaminya. "Yang ini...," Luina membaca deskripsinya. "Bagus, ada bos kaku yang diam-diam punya hasrat besar. Cocok banget sama kamu, Mas." Ia memilih tiga judul berbeda, memastikan ada variasi alur yang cukup untuk menjaga Skala tetap "penasaran." Luina memilih opsi pengiriman tercepat, mendesak penjual agar buku itu tiba sore ini. Pesan ke Penjual: Mohon bungkus dengan sangat rapat dan tebal. Ini untuk terapi. Setelah pesanan s

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 6

    Luina mencoba menarik napas, tapi udara di ruangan itu terasa terlalu tipis dan panas. Setelah berhasil membersihkan area pinggul, tiba waktunya untuk menjalankan kode "Ya" dari Skala. Tugas yang seharusnya higienis kini terasa seperti aksi provokasi yang berbahaya. Luina menatap selimut tebal itu, lalu menatap wajah Skala yang masih tenang, meski pelipisnya sedikit berkeringat. "Oke, Mas. Jangan salahin aku kalau kamu...," bisik Luina, menuduh Skala padahal ia yang paling gugup. "Eh? Ini kok ada yang bangun? Apa selimut kamu ya?" Dengan tangan yang gemetar hebat, Luina perlahan mengangkat selimut. Ia membalikkan tubuh Skala sedikit, memaksakan dirinya untuk bersikap profesional. Ia mulai menurunkan celana seraya memejamkan mata. Ia harus fokus pada tugasnya. Namun, Luina adalah Luina. Rasa penasaran dan isengnya selalu lebih kuat dari rasa malunya. Saat ia membuka matanya dan membersihkan pelan. Sebuah ide gila melintas di kepalanya. Karena ia tahu Skala mendengarnya, menga

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 5

    "Selamat datang di apartemen baru kita, Mas Skala," ujarnya sambil menepuk ringan sprei di samping tubuh Skala. "Semoga kamu betah ya. Nggak ada dokter, nggak ada perawat... cuma aku, istri kamu yang cantik dan seksi ini." Ia tersenyum kecil, meski lelah masih tersisa di wajahnya. Butuh waktu berminggu-minggu lobi dan tanda tangan formulir agar pihak rumah sakit akhirnya mengizinkan Skala dipindahkan. Setelah kondisi vitalnya stabil dan alat bantu napas dilepas, dokter menyebut Skala hanya tinggal menunggu “momen sadar” — tubuhnya sudah bisa dirawat di rumah, selama perawatannya rutin dan lingkungannya tenang. Ia menatap laki-laki itu lama. Udara di apartemen itu bagai tak bernyawa, melihat wajah Skala yang diam di bawah sorotan lampu redup membuat dadanya terasa aneh. Ia cepat-cepat mengalihkan pikiran, lalu mengambil baskom berisi air hangat di meja kecil. "Dokter bilang, pasien kayak kamu harus tetap dijaga kebersihannya." Ia menghela napas, menggulung lengan piyamanya samp

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 4

    Tiga hari berlalu sejak Luina pertama kali menatap Skala di ruang ICU. Dan dalam tiga hari itu, banyak hal berubah. Sekarang ia duduk di ruang kerja besar yang dulunya milik Skala—dinding kayu gelap, rak buku berisi berkas perusahaan, dan aroma khas kopi hitam yang masih tertinggal di udara. Luina menatap tulisan itu lama, perasaan campur aduk menyelusup ke dadanya. Ada rasa aneh—bukan bahagia, bukan juga sedih. Mungkin... sesuatu di antara keduanya. Cahaya matahari menembus tirai, jatuh di wajahnya. Di luar, karyawan lalu lalang dengan langkah cepat. Mereka semua tahu, posisi Skala kini digantikan oleh istrinya—perempuan muda yang sebelumnya hampir tidak pernah muncul di hadapan publik. Pintu ruangannya diketuk pelan. "Masuk," ucap Luina. Seorang pria paruh baya masuk, membawa beberapa map tebal. "Ini berkas laporan dari divisi keuangan, Bu. Dan ini juga... dokumen peralihan aset pribadi almar—eh, maksud saya, Pak Skala." Luina menatap cepat pria itu, senyum tipis di bibirn

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 3

    "Kalau semua aset dan perusahaan diserahin ke aku... bukannya itu berarti semua ini akan jadi milik aku kalau Mas Skala nggak pernah bangun?" batinnya.Luina menatap tangannya sendiri, lalu menutup mata. Untuk sesaat, rasa takut dan keserakahan bertarung di dalam dadanya—dan tidak ada yang menang."Luina... kita lihat Skala dulu yuk, dia yang peluk kamu saat kejadian.” ujar mamanya mengajaknyaKalimat terakhir yang keluar dari mulut sang Mama membuat dada Luina terasa sesak entah kenapa.Luina terdiam. Hening yang tercipta di ruangan itu terasa aneh—seolah udara di sekelilingnya menebal. Ia mencoba menertawakan kalimat itu di dalam hati, tapi justru merasa perih.Kilasan kecelakaan itu datang tiba-tiba—tajam, bergetar, dan menyakitkan.Semuanya terjadi begitu cepat, begitu kacau.Saat Skala melepas sabuk pengamannya, dan tanpa berpikir, menarik tubuh Luina ke arahnya.Semuanya terjadi begitu cepat—sentuhan dingin di kulit, aroma cologne samar yang tertinggal di jasnya, dan detik berik

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 2

    Cahaya putih menyilaukan menusuk kelopak matanya. Suara samar mesin medis, detak monitor, dan langkah kaki para perawat berpadu menjadi satu, menciptakan ruang hening yang menyesakkan.Luina membuka mata perlahan.Langit-langit putih. Bau antiseptik.Tangannya dibalut perban ringan. Tubuhnya terasa berat, tapi tak ada rasa sakit berarti—hanya pegal yang samar."Syukurlah, Ny. Luina sudah sadar," ucap seorang perawat begitu melihat matanya terbuka.Luina mengerjap bingung. Skala? Butuh beberapa detik sebelum ingatan itu menampar keras kepalanya—suara benturan, cahaya lampu truk, teriakan, darah, dan..."Skala!" serunya refleks, mencoba bangun. Tapi perawat buru-buru menahannya."Tenang dulu, Bu. Kondisi Anda masih belum stabil.""Aku tanya, dimana dia?" nafasnya mulai tersengal. "Dia—dia berdarah waktu itu... dia—"Dokter datang tergesa. Wajahnya tenang, tapi suaranya berhati-hati."Suami Anda... masih dirawat di ruang ICU. Kondisinya kritis ketika dibawa ke sini, tapi sekarang sudah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status