LOGINCahaya putih menyilaukan menusuk kelopak matanya. Suara samar mesin medis, detak monitor, dan langkah kaki para perawat berpadu menjadi satu, menciptakan ruang hening yang menyesakkan.
Luina membuka mata perlahan. Langit-langit putih. Bau antiseptik. Tangannya dibalut perban ringan. Tubuhnya terasa berat, tapi tak ada rasa sakit berarti—hanya pegal yang samar. "Syukurlah, Ny. Luina sudah sadar," ucap seorang perawat begitu melihat matanya terbuka. Luina mengerjap bingung. Skala? Butuh beberapa detik sebelum ingatan itu menampar keras kepalanya—suara benturan, cahaya lampu truk, teriakan, darah, dan... "Skala!" serunya refleks, mencoba bangun. Tapi perawat buru-buru menahannya. "Tenang dulu, Bu. Kondisi Anda masih belum stabil." "Aku tanya, dimana dia?" nafasnya mulai tersengal. "Dia—dia berdarah waktu itu... dia—" Dokter datang tergesa. Wajahnya tenang, tapi suaranya berhati-hati. "Suami Anda... masih dirawat di ruang ICU. Kondisinya kritis ketika dibawa ke sini, tapi sekarang sudah stabil. Namun..." Luina menatap tajam, menunggu kelanjutan kalimat itu. "Namun, beliau belum sadar. Kami menyebutnya koma pasca trauma kepala berat. Benturan keras membuat aktivitas otaknya menurun drastis." Koma. Kata itu terasa seperti palu besar yang menghantam telinganya. Luina membeku. Antara ngeri dan tak percaya. "Tapi... dia bisa bangun, kan?" "Bisa, tapi... kami tidak tahu kapan." Dokter pergi, meninggalkan Luina sendiri dengan suara mesin infus yang monoton. Ia menatap keluar jendela kamar rawat yang diterangi lampu malam rumah sakit. Dalam hati kecilnya, di sela rasa ngeri yang aneh. "Aku—aku… belum siap jadi janda!” ** "Bagaimana... kondisi Skala?" tanya ayah mertuanya sesaat menghampiriya. Suasana kamar seketika menegang. Mama Luina menatap ke arah dokter, lalu ke arah Luina—tidak ada yang berani menjawab duluan. "Pasien atas nama Skala masih belum sadar, Pak. Kami melakukan semua yang bisa kami lakukan, tapi keadaannya... belum banyak berubah." ujar dokter yang memulai. Mertua Luina menghela napas panjang. Wajahnya tertunduk, jemarinya menggenggam topi yang dibawanya sejak tadi. "Saya sudah siap dengan segala kemungkinan," ucapnya, lirih tapi tegas. "Tapi... dia anak saya satu-satunya." Keheningan menggantung di udara. Luina hanya bisa menatap pria tua itu tanpa suara. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mencubit—entah rasa bersalah, atau sekadar rasa canggung karena ia tidak tahu harus bersikap apa di depan ayah mertuanya yang kehilangan harapan. Kemudian mertuanya melangkah mendekat ke tempat tidur Luina. Tatapannya menajam, tapi bukan marah—lebih seperti menilai. "Kamu nggak luka parah, kan?" tanyanya. Luina menggeleng pelan. "Cuma sedikit lecet." "Syukurlah." Pria itu menarik napas panjang, lalu menatap keluar jendela. "Kecelakaan itu... berat. Saya nggak tahu bagaimana bisa kamu selamat, sementara Skala..." ia berhenti di sana, menggantung kalimatnya dengan getir. Ia tahu semua orang berharap Skala bangun. Tapi di balik wajahnya yang datar, pikirannya justru penuh kekacauan. Ia menatap tangannya yang masih terbalut perban, lalu bergumam dalam hatinya. "Aku harus senang atau sedih ya dengar Mas Skala koma?" "Luina... selama Skala koma, Ayah minta tolong ya, kamu yang urus perusahaan Skala, Ayah titip juga Skala ke kamu," ucap mertuanya membuatnya mendongak. Wajah Luina menegang mendengar kalimat itu. Suaranya terdengar samar, tapi setiap katanya terasa berat—menjatuh tepat di dada Luina yang belum benar-benar pulih. "Urus... perusahaan?" ulangnya pelan, seolah tak yakin dengan pendengarannya sendiri. "Aku–?" “Semua aset, semua tanggung jawab—akan dialihkan ke kamu sampai Skala sadar." Luina menatapnya lama. Ada sesuatu dalam sorot mata pria tua itu yang membuatnya sulit menolak, yaitu rasa percaya yang tulus, sekaligus kesedihan yang dalam. Tapi bagi Luina, kalimat itu terasa seperti pisau bermata dua. Di satu sisi... itu berarti kebebasan. Kekuasaan. Namun di sisi lain, tanggung jawab itu datang bersamaan dengan beban nama besar seorang suami yang bahkan belum sempat ia kenal. Pria itu menatap Luina sekali lagi sebelum berbalik pergi. Namun sebelum keluar dari pintu, ia sempat berhenti sejenak. Suaranya kali ini lirih—nyaris seperti doa. "Kalau Skala bisa lihat kamu sekarang, mungkin dia akan lega. Karena kamu selamat." Pintu tertutup perlahan, meninggalkan hening panjang di kamar itu. Luina memandangi pintu yang baru saja ditutup ayah mertuanya, lalu menghembuskan napas panjang. "Selamat?" gumamnya pelan. "Atau... terjebak?"Pintu ruang rawat diketuk pelan, lalu terbuka. Seorang perawat masuk sambil mendorong troli kecil. Di atasnya, semangkuk bubur hangat dan satu botol air mineral tertata rapi. “Permisi, Bu Luina,” ucap perawat itu lembut. “Ini buburnya ya. Dokter minta Ibu makan sedikit dulu biar tenaganya balik.” Luina melirik bubur itu sekilas, lalu menggeleng pelan. “Aku nggak lapar…” ucapnya lirih. “Perut aku masih nggak enak, rasanya mual dikit.” Perawat tersenyum maklum. “Nggak apa-apa, Bu. Dimakan sedikit aja, beberapa sendok. Penting buat Ibu dan bayinya.” Setelah meletakkan bubur di meja kecil, perawat itu pamit keluar, meninggalkan Luina dan Skala. Begitu pintu tertutup, Skala langsung mendekat. Ia menarik meja kecil lebih dekat ke ranjang, lalu mengambil mangkuk bubur itu. “Sayang… Cuma sedikit aja, ya. Satu dua sendok,” bujuk Skala. Luina menggeleng lagi, memalingkan wajah. “Mas… aku beneran nggak pengen. Takut malah muntah.” Skala menghela napas, lalu duduk di sisi ranjang.
Luina duduk bersandar di bantal yang sudah diatur Skala sedemikian rupa agar merasa nyaman. Skala duduk di sampingnya, membaca buku. “Mas… aku mau haus…” ucap Luina pelan, ia masih merasa lemas. Skala langsung menutup bukunya dan sigap bangkit. “Mas ambilin air hangat ya. Kamu mau infused water yang ada lemonnya? Tadi Mas minta suster siapin.” “Air biasa aja, Mas. Aku nggak mau yang asem-asem,” jawab Luina, sedikit meringis. Skala tersenyum lembut. “Siap, Sayang. Apapun buat calon Mama,” ucapnya, mengambilkan air mineral dari nakas dan membantunya minum. Setelah Luina merasa lebih nyaman, Skala kembali duduk di sampingnya, mengusap perut Luina dengan lembut. “Kita harus jaga dia baik-baik, ya Sayang. Nggak ada stres, nggak ada capek, semuanya Mas yang urus.” “Kok aku nggak berasa hamil ya, Mas?” ucap Luina, ia terdengar sedikit bingung. “Maksudnya aku nggak merasa mual atau ciri-ciri hamil, Mas.” Skala tertawa pelan. “Memang nggak semua perempuan langsung merasakan mual,
Skala melangkah perlahan memasuki ruang perawatan Luina. Istrinya terlihat lemah, terbaring dengan infus terpasang di tangannya. Luina tersenyum getir melihat Skala. “Mas…” panggil Luina, suaranya pelan. “Maaf ya, harusnya kita nggak usah ke kafe tadi.” Skala segera mendekat, meraih tangan Luina, dan menciumnya lama. “Ssstt… jangan salahin diri kamu, Sayang. Mas yang salah karena nggak mencegah kamu,” ucapnya, mencoba menahan emosi. Luina menatap Skala, terlihat cemas. “Aku kenapa, Mas? Perut aku kenapa tadi sakit banget. Apa aku sakit parah?” Skala duduk di sisi ranjang, meraih kedua tangan Luina dan menggenggamnya hangat. Ia mengusap pipi Luina dengan ibu jarinya. “Sayang, kamu nggak sakit parah. Justru, kamu sekarang lagi dapat hadiah paling indah dari Tuhan,” ucap Skala, matanya berkaca-kaca menahan haru. Luina mengerutkan dahi, bingung. “Hadiah apa, Mas?” Skala membungkuk, menyentuh lembut perut rata Luina. “Kamu… kamu hamil, Sayang. Dokter bilang usia kandungan k
Skala tidak membuang waktu. Dengan panik, ia langsung menggendong Luina di pelukannya, sedikit berlari menuruni anak tangga. Jantungnya berdebar kencang. Saat Skala hampir mencapai pintu utama vila, pintu itu terbuka, dan ia terhenti. Papanya, Axel, Sarah, serta saudaranya yang lain, baru saja pulang dari air terjun. Mereka semua terkejut melihat Luina yang terkulai tidak sadarkan diri di gendongan Skala. “Skala! Luina kenapa?” tanya Pak Aditya, suara cemasnya menggema di hall vila. “Aku nggak tahu, Pa. Tiba-tiba dia bilang sakit perut banget dan langsung pingsan,” jawab Skala, napasnya tersengal. “Aku mau ke rumah sakit,” tambah Skala, lalu kembali melangkah cepat, melewati kerumunan yang terkejut itu menuju mobilnya. “Papa ikut, Skala!” ucap Pak Aditya, tanpa ragu mengejar putranya, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Seketika orang-orang yang berada di sana terdiam, saling pandang karena bingung dan cemas. “Semoga Luina baik-baik aja,” ucap Desi lir
Skala mengikuti navigasi, dan tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah kafe kecil yang dikelilingi kebun teh dengan pemandangan pegunungan yang menakjubkan. Suasananya sepi dan tenang, jauh dari keramaian vila. Mereka memilih tempat duduk di teras dengan pemandangan terbaik. Skala segera memesankan Luina teh hangat madu dan semangkuk sup krim. “Teh hangat, nggak kopi dingin. Aku nggak mau kamu sakit lagi,” ucap Skala. Luina mendengus. “Iya deh, Mas. My personal doctor,” candanya. Setelah beberapa saat menikmati keindahan alam dan kehangatan sup, Skala menatap Luina lekat-lekat. “Sayang, kamu masih kepikirin siapa yang neror kamu nggak?” tanya Skala, nadanya serius. Wajah Luina yang baru saja membaik seketika meredup. Ia menggenggam tangan Skala lebih erat. “Mas… jangan bahas itu lagi, aku udah nggak mau ingat kejadian itu, aku mohon…” lirih Luina. Skala segera menyadari kesalahannya. Ia seharusnya tidak mengungkit hal itu saat Luina sedang dalam masa pemulihan. “Maa
Axel tampak santai, ia bercanda tawa dengan Reno dan Desi seolah tidak ada beban. Tante Ida dan Tante Sari sibuk menyiapkan bekal piknik yang berlimpah di pinggir sungai, mengatur tikar dan makanan. Sementara yang lain menikmati keindahan alam, Sarah duduk sedikit menjauh di dekat sebuah batu besar. Wajahnya terlihat pucat. Ia memegangi perutnya yang terasa tidak nyaman. Axel yang melihat Sarah sedikit terasing, menghampirinya. “Kamu kenapa? Nggak ikut gabung?” Sarah meringis. “Nggak tahu, Xel. Perut aku kembung banget, terus mual. Kayaknya aku masuk angin,” keluhnya. Axel hanya mengangguk, tanpa menunjukkan kepedulian yang mendalam. “Yaudah, kamu jangan minum es. Cari tempat yang hangat,” jawab Axel, lalu kembali ke Reno dan Desi untuk melanjutkan obrolan mereka, meninggalkan Sarah yang masih mual. Sarah mendesah. Mualnya semakin menjadi-jadi. Ia mencoba memijat pelipisnya. Dalam benaknya, ia mulai mengingat kembali hal-hal aneh yang ia rasakan belakangan ini. “Mual beg







