Share

Bangun, Suamiku! Mari Bercinta
Bangun, Suamiku! Mari Bercinta
Author: Kata Semesta

Bab 1

Author: Kata Semesta
last update Last Updated: 2025-11-12 16:15:45

“Kamu—gak gay, kan?”

Pertanyaan Luina membuat Skala menengok ke arahnya sekilas. Padahal belum juga urung mereka turun dari panggung pernikahan.

“Kalau iya, kamu bisa bicarakan ke aku,” lanjut Luina, tetap tersenyum pada tamu-tamu yang lewat. “Soalnya waktu perjodohan ini kamu gak sedikit pun menolak.”

Skala tidak langsung menjawab. Hanya berdiri tegap, pandangan lurus ke depan seperti batu di tengah arus.

Kilau lampu kristal menari di atas kepala, memantulkan cahaya ke segala arah seperti serpihan bintang yang jatuh ke bumi. Musik lembut mengalun, mengiringi langkah-langkah para tamu yang datang dengan senyum, doa, dan ucapan selamat.

Namun di balik senyum yang mereka paksakan, ada dua hati yang menolak untuk menyatu.

Pernikahan itu bukan pilihan. Bagi Skala, itu adalah kewajiban. Bagi Luinara, itu adalah perangkap.

Dua keluarga perusahaan besar baru saja menandatangani kesepakatan merger. Dan pernikahan mereka adalah meterai hidup yang memastikan saham gabungan tetap utuh.

“Luinara Giselma.” panggil Skala. “Saya juga terpaksa dengan pernikahan ini.”

Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah pria di sampingnya.

“Terpaksa, tapi tetap mau? Kamu gak kehilangan muka, kan, jadi orang dijodohin cuma karena ayahmu butuh merger?”

Skala tidak menoleh. Tidak menjawab.

Luinara menatapnya lama. “Dari tampang kamu yang cakep ini, gak mungkin kamu jomblo dan mau dijodohin gitu aja.”

Ia tersenyum miring, tapi senyum itu tidak sampai ke mata. “Jadi, kenapa kamu masih terima perjodohan ini?”

Ia berdiri tegap, pandangannya lurus ke depan, wajahnya setenang permukaan danau yang tidak bergerak. Seolah apa pun yang keluar dari mulut Luina hanyalah angin yang berdesir tanpa arti. “Kalau kamu gak gay.”

Luina mendecakkan bibirnya kesal. Ia menoleh ke samping, menggerutu sendiri, membiarkan kata-kata kecilnya lepas ke udara. Senyum itu tetap tersimpan, tapi di dalam hatinya, rasa frustrasi menumpuk.

Ia menyesal harus menekannya sendiri, menikah dengan pria yang nyaris asing baginya.

Skala hanya menoleh sebentar ke Luina, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke para tamu.

"Dengerin baik-baik ya, aku nggak bakal biarin kamu nanti sentuh-sentuh aku! Yang boleh sentuh aku itu orang yang aku cinta! Jadi jangan berharap apa-apa dalam pernikahan ini!" bisik Luina lagi pada Skala, kali ini sedikit lebih keras, tapi tetap tidak ada reaksi apapun dari pria itu.

Skala hanya bergumam kecil. Setelah acara selesai, mereka meninggalkan gedung pernikahan.

Mobil hitam Skala sudah menunggu, berkilau di bawah lampu jalan, seolah menegaskan status sang pemilik. Luina masuk ke dalamnya dengan langkah tergesa-gesa, masih membawa sisa emosi dari pesta yang memaksa itu.

Sepanjang perjalanan, Luina tidak berhenti menggerutu. "Aku mau di apartemen kamu. Semua yang aku butuh sudah harus tersedia ya," ujarnya, setengah menuntut.

“Terus— kartu kredit kamu, jadi kan kasih ke aku?”

"Iya," jawab Skala singkat.

"Aku juga mau tidurnya pisah! Jangan sering-sering ketemu. Jangan ambil kesempatan," lanjut Luina, menekankan nada perintahnya.

Skala menarik napas panjang. "Ya," jawabnya lagi, tenang dan monoton.

Luina menggerutu, suaranya terdengar nyaris tenggelam di antara deru mesin mobil. "Kamu tuh ga punya mulut, ya?” lanjutnya, frustrasi semakin memuncak.

Skala hanya menoleh sebentar ke arah Luina, bibirnya bergerak seakan ingin membalas, tapi akhirnya hanya satu kata singkat yang terucap, dingin dan formal.

"Mulut kamu di lem kali ya, Mas?” gerutunya.

Skala tetap diam, menatap lurus ke depan, wajahnya tenang, seolah tidak peduli dengan perkataan perempuan yang kini duduk di sampingnya.

“Berarti kamu gay.”

Sekali lagi perempuan ini bicara, Skala tahu ia akan benar-benar kehilangan kesabaran. Namun sebelum amarah sempat naik ke permukaan. Lampu depannya menyilaukan mata, suara klakson menjerit menusuk telinga—

"Mas Skala! Awas!”

Skala buru-buru menginjak rem, memutar setir secepat mungkin untuk menghindari tabrakan. Namun truk itu terlalu cepat, dan mobil mewah yang mereka tumpangi lebih dulu dihantam dengan keras.

Refleks, Skala langsung melepas sabuk pengamannya dan memeluk tubuh Luina. "Luina!" teriaknya, suaranya tegang dan penuh panik.

Dentuman logam yang keras mengguncang tubuh mereka. Mobil menghantam pembatas jalan dengan keras, kaca pecah berhamburan, dan kendaraan terbalik dengan suara gemuruh yang membuat jantung Luina seakan berhenti. Udara dipenuhi aroma terbakar, debu, dan logam.

Luina menutup mata, menahan napas, tubuhnya menempel erat pada Skala. Panik, ketakutan, dan adrenalin bercampur menjadi satu. Tangannya menggenggam Skala sekuat tenaga, berharap ada yang bisa menahan mereka dari kehancuran.

"To... lo... ng..."

Mata Luina terbelalak ketika melihat Skala yang berdarah-darah dan tak bergerak. Ia ingin menyentuhnya, memanggil namanya, tapi kepalanya mendadak pusing, dunia berputar, dan akhirnya semuanya menjadi gelap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 76

    Pintu ruang rawat diketuk pelan, lalu terbuka. Seorang perawat masuk sambil mendorong troli kecil. Di atasnya, semangkuk bubur hangat dan satu botol air mineral tertata rapi. “Permisi, Bu Luina,” ucap perawat itu lembut. “Ini buburnya ya. Dokter minta Ibu makan sedikit dulu biar tenaganya balik.” Luina melirik bubur itu sekilas, lalu menggeleng pelan. “Aku nggak lapar…” ucapnya lirih. “Perut aku masih nggak enak, rasanya mual dikit.” Perawat tersenyum maklum. “Nggak apa-apa, Bu. Dimakan sedikit aja, beberapa sendok. Penting buat Ibu dan bayinya.” Setelah meletakkan bubur di meja kecil, perawat itu pamit keluar, meninggalkan Luina dan Skala. Begitu pintu tertutup, Skala langsung mendekat. Ia menarik meja kecil lebih dekat ke ranjang, lalu mengambil mangkuk bubur itu. “Sayang… Cuma sedikit aja, ya. Satu dua sendok,” bujuk Skala. Luina menggeleng lagi, memalingkan wajah. “Mas… aku beneran nggak pengen. Takut malah muntah.” Skala menghela napas, lalu duduk di sisi ranjang.

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 75

    Luina duduk bersandar di bantal yang sudah diatur Skala sedemikian rupa agar merasa nyaman. Skala duduk di sampingnya, membaca buku. “Mas… aku mau haus…” ucap Luina pelan, ia masih merasa lemas. Skala langsung menutup bukunya dan sigap bangkit. “Mas ambilin air hangat ya. Kamu mau infused water yang ada lemonnya? Tadi Mas minta suster siapin.” “Air biasa aja, Mas. Aku nggak mau yang asem-asem,” jawab Luina, sedikit meringis. Skala tersenyum lembut. “Siap, Sayang. Apapun buat calon Mama,” ucapnya, mengambilkan air mineral dari nakas dan membantunya minum. Setelah Luina merasa lebih nyaman, Skala kembali duduk di sampingnya, mengusap perut Luina dengan lembut. “Kita harus jaga dia baik-baik, ya Sayang. Nggak ada stres, nggak ada capek, semuanya Mas yang urus.” “Kok aku nggak berasa hamil ya, Mas?” ucap Luina, ia terdengar sedikit bingung. “Maksudnya aku nggak merasa mual atau ciri-ciri hamil, Mas.” Skala tertawa pelan. “Memang nggak semua perempuan langsung merasakan mual,

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 75

    Skala melangkah perlahan memasuki ruang perawatan Luina. Istrinya terlihat lemah, terbaring dengan infus terpasang di tangannya. Luina tersenyum getir melihat Skala. “Mas…” panggil Luina, suaranya pelan. “Maaf ya, harusnya kita nggak usah ke kafe tadi.” Skala segera mendekat, meraih tangan Luina, dan menciumnya lama. “Ssstt… jangan salahin diri kamu, Sayang. Mas yang salah karena nggak mencegah kamu,” ucapnya, mencoba menahan emosi. Luina menatap Skala, terlihat cemas. “Aku kenapa, Mas? Perut aku kenapa tadi sakit banget. Apa aku sakit parah?” Skala duduk di sisi ranjang, meraih kedua tangan Luina dan menggenggamnya hangat. Ia mengusap pipi Luina dengan ibu jarinya. “Sayang, kamu nggak sakit parah. Justru, kamu sekarang lagi dapat hadiah paling indah dari Tuhan,” ucap Skala, matanya berkaca-kaca menahan haru. Luina mengerutkan dahi, bingung. “Hadiah apa, Mas?” Skala membungkuk, menyentuh lembut perut rata Luina. “Kamu… kamu hamil, Sayang. Dokter bilang usia kandungan k

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 74

    Skala tidak membuang waktu. Dengan panik, ia langsung menggendong Luina di pelukannya, sedikit berlari menuruni anak tangga. Jantungnya berdebar kencang. Saat Skala hampir mencapai pintu utama vila, pintu itu terbuka, dan ia terhenti. Papanya, Axel, Sarah, serta saudaranya yang lain, baru saja pulang dari air terjun. Mereka semua terkejut melihat Luina yang terkulai tidak sadarkan diri di gendongan Skala. “Skala! Luina kenapa?” tanya Pak Aditya, suara cemasnya menggema di hall vila. “Aku nggak tahu, Pa. Tiba-tiba dia bilang sakit perut banget dan langsung pingsan,” jawab Skala, napasnya tersengal. “Aku mau ke rumah sakit,” tambah Skala, lalu kembali melangkah cepat, melewati kerumunan yang terkejut itu menuju mobilnya. “Papa ikut, Skala!” ucap Pak Aditya, tanpa ragu mengejar putranya, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Seketika orang-orang yang berada di sana terdiam, saling pandang karena bingung dan cemas. “Semoga Luina baik-baik aja,” ucap Desi lir

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 73

    Skala mengikuti navigasi, dan tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah kafe kecil yang dikelilingi kebun teh dengan pemandangan pegunungan yang menakjubkan. Suasananya sepi dan tenang, jauh dari keramaian vila. Mereka memilih tempat duduk di teras dengan pemandangan terbaik. Skala segera memesankan Luina teh hangat madu dan semangkuk sup krim. “Teh hangat, nggak kopi dingin. Aku nggak mau kamu sakit lagi,” ucap Skala. Luina mendengus. “Iya deh, Mas. My personal doctor,” candanya. Setelah beberapa saat menikmati keindahan alam dan kehangatan sup, Skala menatap Luina lekat-lekat. “Sayang, kamu masih kepikirin siapa yang neror kamu nggak?” tanya Skala, nadanya serius. Wajah Luina yang baru saja membaik seketika meredup. Ia menggenggam tangan Skala lebih erat. “Mas… jangan bahas itu lagi, aku udah nggak mau ingat kejadian itu, aku mohon…” lirih Luina. Skala segera menyadari kesalahannya. Ia seharusnya tidak mengungkit hal itu saat Luina sedang dalam masa pemulihan. “Maa

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 72

    Axel tampak santai, ia bercanda tawa dengan Reno dan Desi seolah tidak ada beban. Tante Ida dan Tante Sari sibuk menyiapkan bekal piknik yang berlimpah di pinggir sungai, mengatur tikar dan makanan. Sementara yang lain menikmati keindahan alam, Sarah duduk sedikit menjauh di dekat sebuah batu besar. Wajahnya terlihat pucat. Ia memegangi perutnya yang terasa tidak nyaman. Axel yang melihat Sarah sedikit terasing, menghampirinya. “Kamu kenapa? Nggak ikut gabung?” Sarah meringis. “Nggak tahu, Xel. Perut aku kembung banget, terus mual. Kayaknya aku masuk angin,” keluhnya. Axel hanya mengangguk, tanpa menunjukkan kepedulian yang mendalam. “Yaudah, kamu jangan minum es. Cari tempat yang hangat,” jawab Axel, lalu kembali ke Reno dan Desi untuk melanjutkan obrolan mereka, meninggalkan Sarah yang masih mual. Sarah mendesah. Mualnya semakin menjadi-jadi. Ia mencoba memijat pelipisnya. Dalam benaknya, ia mulai mengingat kembali hal-hal aneh yang ia rasakan belakangan ini. “Mual beg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status