LOGIN
“Kamu—gak gay, kan?”
Pertanyaan Luina membuat Skala menengok ke arahnya sekilas. Padahal belum juga urung mereka turun dari panggung pernikahan. “Kalau iya, kamu bisa bicarakan ke aku,” lanjut Luina, tetap tersenyum pada tamu-tamu yang lewat. “Soalnya waktu perjodohan ini kamu gak sedikit pun menolak.” Skala tidak langsung menjawab. Hanya berdiri tegap, pandangan lurus ke depan seperti batu di tengah arus. Kilau lampu kristal menari di atas kepala, memantulkan cahaya ke segala arah seperti serpihan bintang yang jatuh ke bumi. Musik lembut mengalun, mengiringi langkah-langkah para tamu yang datang dengan senyum, doa, dan ucapan selamat. Namun di balik senyum yang mereka paksakan, ada dua hati yang menolak untuk menyatu. Pernikahan itu bukan pilihan. Bagi Skala, itu adalah kewajiban. Bagi Luinara, itu adalah perangkap. Dua keluarga perusahaan besar baru saja menandatangani kesepakatan merger. Dan pernikahan mereka adalah meterai hidup yang memastikan saham gabungan tetap utuh. “Luinara Giselma.” panggil Skala. “Saya juga terpaksa dengan pernikahan ini.” Ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah pria di sampingnya. “Terpaksa, tapi tetap mau? Kamu gak kehilangan muka, kan, jadi orang dijodohin cuma karena ayahmu butuh merger?” Skala tidak menoleh. Tidak menjawab. Luinara menatapnya lama. “Dari tampang kamu yang cakep ini, gak mungkin kamu jomblo dan mau dijodohin gitu aja.” Ia tersenyum miring, tapi senyum itu tidak sampai ke mata. “Jadi, kenapa kamu masih terima perjodohan ini?” Ia berdiri tegap, pandangannya lurus ke depan, wajahnya setenang permukaan danau yang tidak bergerak. Seolah apa pun yang keluar dari mulut Luina hanyalah angin yang berdesir tanpa arti. “Kalau kamu gak gay.” Luina mendecakkan bibirnya kesal. Ia menoleh ke samping, menggerutu sendiri, membiarkan kata-kata kecilnya lepas ke udara. Senyum itu tetap tersimpan, tapi di dalam hatinya, rasa frustrasi menumpuk. Ia menyesal harus menekannya sendiri, menikah dengan pria yang nyaris asing baginya. Skala hanya menoleh sebentar ke Luina, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke para tamu. "Dengerin baik-baik ya, aku nggak bakal biarin kamu nanti sentuh-sentuh aku! Yang boleh sentuh aku itu orang yang aku cinta! Jadi jangan berharap apa-apa dalam pernikahan ini!" bisik Luina lagi pada Skala, kali ini sedikit lebih keras, tapi tetap tidak ada reaksi apapun dari pria itu. Skala hanya bergumam kecil. Setelah acara selesai, mereka meninggalkan gedung pernikahan. Mobil hitam Skala sudah menunggu, berkilau di bawah lampu jalan, seolah menegaskan status sang pemilik. Luina masuk ke dalamnya dengan langkah tergesa-gesa, masih membawa sisa emosi dari pesta yang memaksa itu. Sepanjang perjalanan, Luina tidak berhenti menggerutu. "Aku mau di apartemen kamu. Semua yang aku butuh sudah harus tersedia ya," ujarnya, setengah menuntut. “Terus— kartu kredit kamu, jadi kan kasih ke aku?” "Iya," jawab Skala singkat. "Aku juga mau tidurnya pisah! Jangan sering-sering ketemu. Jangan ambil kesempatan," lanjut Luina, menekankan nada perintahnya. Skala menarik napas panjang. "Ya," jawabnya lagi, tenang dan monoton. Luina menggerutu, suaranya terdengar nyaris tenggelam di antara deru mesin mobil. "Kamu tuh ga punya mulut, ya?” lanjutnya, frustrasi semakin memuncak. Skala hanya menoleh sebentar ke arah Luina, bibirnya bergerak seakan ingin membalas, tapi akhirnya hanya satu kata singkat yang terucap, dingin dan formal. "Mulut kamu di lem kali ya, Mas?” gerutunya. Skala tetap diam, menatap lurus ke depan, wajahnya tenang, seolah tidak peduli dengan perkataan perempuan yang kini duduk di sampingnya. “Berarti kamu gay.” Sekali lagi perempuan ini bicara, Skala tahu ia akan benar-benar kehilangan kesabaran. Namun sebelum amarah sempat naik ke permukaan. Lampu depannya menyilaukan mata, suara klakson menjerit menusuk telinga— "Mas Skala! Awas!” Skala buru-buru menginjak rem, memutar setir secepat mungkin untuk menghindari tabrakan. Namun truk itu terlalu cepat, dan mobil mewah yang mereka tumpangi lebih dulu dihantam dengan keras. Refleks, Skala langsung melepas sabuk pengamannya dan memeluk tubuh Luina. "Luina!" teriaknya, suaranya tegang dan penuh panik. Dentuman logam yang keras mengguncang tubuh mereka. Mobil menghantam pembatas jalan dengan keras, kaca pecah berhamburan, dan kendaraan terbalik dengan suara gemuruh yang membuat jantung Luina seakan berhenti. Udara dipenuhi aroma terbakar, debu, dan logam. Luina menutup mata, menahan napas, tubuhnya menempel erat pada Skala. Panik, ketakutan, dan adrenalin bercampur menjadi satu. Tangannya menggenggam Skala sekuat tenaga, berharap ada yang bisa menahan mereka dari kehancuran. "To... lo... ng..." Mata Luina terbelalak ketika melihat Skala yang berdarah-darah dan tak bergerak. Ia ingin menyentuhnya, memanggil namanya, tapi kepalanya mendadak pusing, dunia berputar, dan akhirnya semuanya menjadi gelap.Luina duduk di sofa yang empuk, jarinya mulai menari di layar ponsel. "Oke, Mas Skala. Kamu minta game panas, aku kasih game panas," gumam Luina, membuka aplikasi belanja online. Ia mengetikkan kata kunci dengan keberanian baru. Ia tidak lagi peduli dengan riwayat pencarian; fokusnya adalah mencari stimulus paling efektif. Luina menelusuri berbagai judul novel romantis erotis. Ia menolak novel dengan sampul yang terlalu dramatis dan mencari yang fokus pada ketegangan, slow burn, dan pastinya, memiliki protagonis pria yang kaku dan misterius—seperti suaminya. "Yang ini...," Luina membaca deskripsinya. "Bagus, ada bos kaku yang diam-diam punya hasrat besar. Cocok banget sama kamu, Mas." Ia memilih tiga judul berbeda, memastikan ada variasi alur yang cukup untuk menjaga Skala tetap "penasaran." Luina memilih opsi pengiriman tercepat, mendesak penjual agar buku itu tiba sore ini. Pesan ke Penjual: Mohon bungkus dengan sangat rapat dan tebal. Ini untuk terapi. Setelah pesanan s
Luina mencoba menarik napas, tapi udara di ruangan itu terasa terlalu tipis dan panas. Setelah berhasil membersihkan area pinggul, tiba waktunya untuk menjalankan kode "Ya" dari Skala. Tugas yang seharusnya higienis kini terasa seperti aksi provokasi yang berbahaya. Luina menatap selimut tebal itu, lalu menatap wajah Skala yang masih tenang, meski pelipisnya sedikit berkeringat. "Oke, Mas. Jangan salahin aku kalau kamu...," bisik Luina, menuduh Skala padahal ia yang paling gugup. "Eh? Ini kok ada yang bangun? Apa selimut kamu ya?" Dengan tangan yang gemetar hebat, Luina perlahan mengangkat selimut. Ia membalikkan tubuh Skala sedikit, memaksakan dirinya untuk bersikap profesional. Ia mulai menurunkan celana seraya memejamkan mata. Ia harus fokus pada tugasnya. Namun, Luina adalah Luina. Rasa penasaran dan isengnya selalu lebih kuat dari rasa malunya. Saat ia membuka matanya dan membersihkan pelan. Sebuah ide gila melintas di kepalanya. Karena ia tahu Skala mendengarnya, menga
"Selamat datang di apartemen baru kita, Mas Skala," ujarnya sambil menepuk ringan sprei di samping tubuh Skala. "Semoga kamu betah ya. Nggak ada dokter, nggak ada perawat... cuma aku, istri kamu yang cantik dan seksi ini." Ia tersenyum kecil, meski lelah masih tersisa di wajahnya. Butuh waktu berminggu-minggu lobi dan tanda tangan formulir agar pihak rumah sakit akhirnya mengizinkan Skala dipindahkan. Setelah kondisi vitalnya stabil dan alat bantu napas dilepas, dokter menyebut Skala hanya tinggal menunggu “momen sadar” — tubuhnya sudah bisa dirawat di rumah, selama perawatannya rutin dan lingkungannya tenang. Ia menatap laki-laki itu lama. Udara di apartemen itu bagai tak bernyawa, melihat wajah Skala yang diam di bawah sorotan lampu redup membuat dadanya terasa aneh. Ia cepat-cepat mengalihkan pikiran, lalu mengambil baskom berisi air hangat di meja kecil. "Dokter bilang, pasien kayak kamu harus tetap dijaga kebersihannya." Ia menghela napas, menggulung lengan piyamanya samp
Tiga hari berlalu sejak Luina pertama kali menatap Skala di ruang ICU. Dan dalam tiga hari itu, banyak hal berubah. Sekarang ia duduk di ruang kerja besar yang dulunya milik Skala—dinding kayu gelap, rak buku berisi berkas perusahaan, dan aroma khas kopi hitam yang masih tertinggal di udara. Luina menatap tulisan itu lama, perasaan campur aduk menyelusup ke dadanya. Ada rasa aneh—bukan bahagia, bukan juga sedih. Mungkin... sesuatu di antara keduanya. Cahaya matahari menembus tirai, jatuh di wajahnya. Di luar, karyawan lalu lalang dengan langkah cepat. Mereka semua tahu, posisi Skala kini digantikan oleh istrinya—perempuan muda yang sebelumnya hampir tidak pernah muncul di hadapan publik. Pintu ruangannya diketuk pelan. "Masuk," ucap Luina. Seorang pria paruh baya masuk, membawa beberapa map tebal. "Ini berkas laporan dari divisi keuangan, Bu. Dan ini juga... dokumen peralihan aset pribadi almar—eh, maksud saya, Pak Skala." Luina menatap cepat pria itu, senyum tipis di bibirn
"Kalau semua aset dan perusahaan diserahin ke aku... bukannya itu berarti semua ini akan jadi milik aku kalau Mas Skala nggak pernah bangun?" batinnya.Luina menatap tangannya sendiri, lalu menutup mata. Untuk sesaat, rasa takut dan keserakahan bertarung di dalam dadanya—dan tidak ada yang menang."Luina... kita lihat Skala dulu yuk, dia yang peluk kamu saat kejadian.” ujar mamanya mengajaknyaKalimat terakhir yang keluar dari mulut sang Mama membuat dada Luina terasa sesak entah kenapa.Luina terdiam. Hening yang tercipta di ruangan itu terasa aneh—seolah udara di sekelilingnya menebal. Ia mencoba menertawakan kalimat itu di dalam hati, tapi justru merasa perih.Kilasan kecelakaan itu datang tiba-tiba—tajam, bergetar, dan menyakitkan.Semuanya terjadi begitu cepat, begitu kacau.Saat Skala melepas sabuk pengamannya, dan tanpa berpikir, menarik tubuh Luina ke arahnya.Semuanya terjadi begitu cepat—sentuhan dingin di kulit, aroma cologne samar yang tertinggal di jasnya, dan detik berik
Cahaya putih menyilaukan menusuk kelopak matanya. Suara samar mesin medis, detak monitor, dan langkah kaki para perawat berpadu menjadi satu, menciptakan ruang hening yang menyesakkan.Luina membuka mata perlahan.Langit-langit putih. Bau antiseptik.Tangannya dibalut perban ringan. Tubuhnya terasa berat, tapi tak ada rasa sakit berarti—hanya pegal yang samar."Syukurlah, Ny. Luina sudah sadar," ucap seorang perawat begitu melihat matanya terbuka.Luina mengerjap bingung. Skala? Butuh beberapa detik sebelum ingatan itu menampar keras kepalanya—suara benturan, cahaya lampu truk, teriakan, darah, dan..."Skala!" serunya refleks, mencoba bangun. Tapi perawat buru-buru menahannya."Tenang dulu, Bu. Kondisi Anda masih belum stabil.""Aku tanya, dimana dia?" nafasnya mulai tersengal. "Dia—dia berdarah waktu itu... dia—"Dokter datang tergesa. Wajahnya tenang, tapi suaranya berhati-hati."Suami Anda... masih dirawat di ruang ICU. Kondisinya kritis ketika dibawa ke sini, tapi sekarang sudah







