공유

Bab 3

작가: Kata Semesta
last update 최신 업데이트: 2025-11-12 16:17:04

"Kalau semua aset dan perusahaan diserahin ke aku... bukannya itu berarti semua ini akan jadi milik aku kalau Mas Skala nggak pernah bangun?" batinnya.

Luina menatap tangannya sendiri, lalu menutup mata. Untuk sesaat, rasa takut dan keserakahan bertarung di dalam dadanya—dan tidak ada yang menang.

"Luina... kita lihat Skala dulu yuk, dia yang peluk kamu saat kejadian.” ujar mamanya mengajaknya

Kalimat terakhir yang keluar dari mulut sang Mama membuat dada Luina terasa sesak entah kenapa.

Luina terdiam. Hening yang tercipta di ruangan itu terasa aneh—seolah udara di sekelilingnya menebal. Ia mencoba menertawakan kalimat itu di dalam hati, tapi justru merasa perih.

Kilasan kecelakaan itu datang tiba-tiba—tajam, bergetar, dan menyakitkan.

Semuanya terjadi begitu cepat, begitu kacau.

Saat Skala melepas sabuk pengamannya, dan tanpa berpikir, menarik tubuh Luina ke arahnya.

Semuanya terjadi begitu cepat—sentuhan dingin di kulit, aroma cologne samar yang tertinggal di jasnya, dan detik berikutnya…

Dentuman keras menghantam sisi mobil mereka.

Kaca pecah.

Logam beradu.

Cahaya seolah lenyap dari pandangan.

Tubuh Skala menghantam dashboard dengan keras, tapi pelukannya tidak pernah lepas. Ia menunduk, menutupi kepala Luina dengan dadanya, menahan semua benturan yang seharusnya menghancurkan tubuh gadis itu.

Luina hanya sempat mendengar napas terakhirnya—berat, pelan, dan penuh rasa sakit.

Setelah itu, semuanya gelap.

Napas Luina kini terengah di dunia nyata.

Matanya terbuka lebar, tapi pandangannya kosong menatap ke lantai kamar rumah sakit. Ia tak sanggup. Alih-alih menghampiri, ia menahan diri.

Begitu kedua orang tuanya keluar dari ruangan untuk lebih dulu melihat Skala, pintu menutup pelan di belakang mereka.

Keheningan langsung merayap masuk, seperti kabut dingin yang membungkus seluruh kamar.

Suara detak jam dinding terdengar jelas. Mesin infus berdesis lembut.

Luina menarik napas panjang, menatap langit-langit putih di atasnya.

Luina mencoba memejamkan mata, tapi kilasan wajah Skala muncul lagi—samar, pucat, berdarah, tapi dengan tatapan yang... tenang.

Tatapan terakhir yang ia lihat sebelum semuanya menjadi gelap.

Tanpa sadar, air matanya menetes. Bukan tangisan keras, bukan histeris.

Hanya setetes air bening yang jatuh diam-diam ke atas selimut rumah sakit.

Luina mengusapnya cepat, seolah menolak kelemahan itu.

"Bodoh," gumamnya, lirih. "Ngapain juga nangisin orang yang bahkan belum aku kenal..."

Ia menatap ke arah jendela kamar yang separuh tertutup tirai, memperhatikan pantulan samar wajahnya di kaca—pucat, mata sayu, tapi masih berusaha tampak kuat.

"Ngapain juga lihat orang yang nggak bakal sadar..." lanjutnya, suaranya menggantung di udara. Tapi setelah itu, hening lagi.

Ia mencoba berbaring, menutup mata, tapi setiap kali kelopak itu tertutup, bayangan tadi kembali—Skala yang memeluknya, darah di pelipis pria itu, dan suara napas terakhir yang terasa begitu dekat di telinganya.

Sekujur tubuh Luina menegang. Ia menarik napas cepat, menegakkan tubuh lagi dengan wajah gelisah.

"Kenapa aku malah sedih sih..." desisnya.

"Cuma lihat sebentar aja... habis itu balik ke sini lagi," katanya lagi, lebih kepada dirinya sendiri, seolah sedang menegosiasikan alasan agar langkahnya masuk akal.

Langkah Luina terhenti tepat di depan pintu kaca ICU. Ia menatap tulisan itu lama, seolah sedang menimbang sesuatu yang tidak terlihat.

Telapak tangannya yang dingin terangkat pelan, menyentuh gagang pintu logam yang terasa berat di genggaman.

Jantungnya berdebar cepat.

Sekilas, ia melihat pantulan wajahnya sendiri di kaca—pucat, mata sembab, senyum tipis yang ia paksakan untuk terlihat tenang.

Suara mesin medis dan detak monitor langsung menyambutnya, mengisi seluruh telinganya dengan bunyi ritmis yang menegangkan.

Udara di dalam terasa jauh lebih dingin, nyaris steril, membuat bulu kuduknya berdiri.

Luina melangkah masuk perlahan.

Di sana, Skala terbaring. Wajahnya tenang, nyaris tanpa warna. Masker oksigen terpasang di hidung, kabel-kabel medis menjalar di dadanya, dan bunyi monitor jantung berdetak stabil di sisi ranjangnya.

Luina berhenti di sisi ranjang.

Beberapa detik pertama, ia hanya berdiri diam, menatap pria itu tanpa tahu harus bereaksi bagaimana.

“Mas Skala...” panggilnya pelan.

Tidak ada jawaban, tentu saja.

Hanya bunyi bip... bip... bip dari monitor jantung yang stabil, seolah menjadi satu-satunya tanda bahwa pria itu masih hidup di dunia yang sama dengannya.

Luina menelan ludah.

Tubuhnya terasa ringan sekaligus berat, seperti tidak sepenuhnya berada di sana. Ia menarik kursi perlahan dan duduk di sisi ranjang, menatap wajah yang dulu hampir tidak sempat ia kenali sebagai suaminya.

Untuk pertama kalinya, ia bisa melihat Skala dari jarak sedekat itu—

Garis rahangnya tegas, bulu matanya panjang, dan meski tubuhnya tampak lemah, pria itu benar-benar terlihat berwibawa.

“Kalau dilihat-lihat kamu ganteng sih, Mas. Walaupun umur kamu tiga puluh tahun, tapi aku nggak bisa bohong, kalau kamu menarik.”

Kalimat itu keluar begitu saja dari bibir Luina, tanpa sadar.

Begitu kata-kata itu menggantung di udara, pipinya langsung memanas. Ia buru-buru menunduk, menggenggam ujung selimut Skala agar tangannya tidak gemetar.

“Ngapain sih aku ngomong kayak gitu...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

Tapi kemudian matanya kembali menatap wajah Skala—lebih lama kali ini.

“Padahal aku sempat bilang nggak mau kamu sentuh aku dan nuding kamu gay. Tapi ternyata... kamu malah meluk aku. Dasar tukang ambil kesempatan dalam kesempitan!” oceh Luina.

Semua beban mulai terasa di pundaknya.

Luina mengurungkan langkahnya untuk keluar, ia mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah Skala. Perlahan tangannya menyentuh rahang wajahnya, merambat ke dagu. Berhenti di antara bibir.

“Kata Mama sama Papa, Mas Skala belum pernah pacaran. Makanya aku bilang, kamu gak gay kan?” ucap Luina.

Baru setelah itu, Luina tersadar akan semua yang baru saja ia katakan. Ia buru-buru menggeleng kecil, menarik tangannya dari bibir Skala.

“Ya ampun, aku ngomong apa sih... Luina, nggak boleh gini! Harus ingat, semua laki-laki tuh sama aja kayak mantan kamu! Tukang selingkuh! Suka mainin perempuan!” ucap Luina.

Luina menghembuskan napas panjang, lalu menepuk dadanya sendiri pelan.

Dengan langkah cepat, Luina keluar dari ruang ICU—meninggalkan dinginnya udara yang kini terasa lebih sunyi daripada sebelumnya.

이 책을.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 77

    Ajeng duduk di balik meja kasir, dagunya bertumpu di telapak tangan. Tatapannya kosong menembus etalase kue yang masih terisi rapi. Biasanya, di malam seperti ini, ia hanya bisa melihat unggahan orang-orang di media sosial—tertawa, bersulang, merayakan pergantian tahun bersama pasangan atau keluarga. Tidak ada satu pun pesan masuk di ponselnya. Ajeng menghela napas pelan. “Ya sudahlah… mungkin emang jodoh gue sama oven dan adonan,” gumamnya lirih, berusaha bercanda dengan diri sendiri. Tiba-tiba— Kring… Bel kecil di pintu toko berbunyi. Ajeng langsung melihat ke arah pintu. Senyum lebar langsung merekah saat melihat orang yang melangkah masuk—Farhan. "Toko kamu masih buka? Saya pikir udah tutup," sapa Farhan, melangkah mendekati meja kasir. Ajeng segera mera

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 76

    Pintu ruang rawat diketuk pelan, lalu terbuka. Seorang perawat masuk sambil mendorong troli kecil. Di atasnya, semangkuk bubur hangat dan satu botol air mineral tertata rapi. “Permisi, Bu Luina,” ucap perawat itu lembut. “Ini buburnya ya. Dokter minta Ibu makan sedikit dulu biar tenaganya balik.” Luina melirik bubur itu sekilas, lalu menggeleng pelan. “Aku nggak lapar…” ucapnya lirih. “Perut aku masih nggak enak, rasanya mual dikit.” Perawat tersenyum maklum. “Nggak apa-apa, Bu. Dimakan sedikit aja, beberapa sendok. Penting buat Ibu dan bayinya.” Setelah meletakkan bubur di meja kecil, perawat itu pamit keluar, meninggalkan Luina dan Skala. Begitu pintu tertutup, Skala langsung mendekat. Ia menarik meja kecil lebih dekat ke ranjang, lalu mengambil mangkuk bubur itu. “Sayang… Cuma sedikit aja, ya. Satu dua sendok,” bujuk Skala. Luina menggeleng lagi, memalingkan wajah. “Mas… aku beneran nggak pengen. Takut malah muntah.” Skala menghela napas, lalu duduk di sisi ranjang.

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 75

    Luina duduk bersandar di bantal yang sudah diatur Skala sedemikian rupa agar merasa nyaman. Skala duduk di sampingnya, membaca buku. “Mas… aku mau haus…” ucap Luina pelan, ia masih merasa lemas. Skala langsung menutup bukunya dan sigap bangkit. “Mas ambilin air hangat ya. Kamu mau infused water yang ada lemonnya? Tadi Mas minta suster siapin.” “Air biasa aja, Mas. Aku nggak mau yang asem-asem,” jawab Luina, sedikit meringis. Skala tersenyum lembut. “Siap, Sayang. Apapun buat calon Mama,” ucapnya, mengambilkan air mineral dari nakas dan membantunya minum. Setelah Luina merasa lebih nyaman, Skala kembali duduk di sampingnya, mengusap perut Luina dengan lembut. “Kita harus jaga dia baik-baik, ya Sayang. Nggak ada stres, nggak ada capek, semuanya Mas yang urus.” “Kok aku nggak berasa hamil ya, Mas?” ucap Luina, ia terdengar sedikit bingung. “Maksudnya aku nggak merasa mual atau ciri-ciri hamil, Mas.” Skala tertawa pelan. “Memang nggak semua perempuan langsung merasakan mual,

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 75

    Skala melangkah perlahan memasuki ruang perawatan Luina. Istrinya terlihat lemah, terbaring dengan infus terpasang di tangannya. Luina tersenyum getir melihat Skala. “Mas…” panggil Luina, suaranya pelan. “Maaf ya, harusnya kita nggak usah ke kafe tadi.” Skala segera mendekat, meraih tangan Luina, dan menciumnya lama. “Ssstt… jangan salahin diri kamu, Sayang. Mas yang salah karena nggak mencegah kamu,” ucapnya, mencoba menahan emosi. Luina menatap Skala, terlihat cemas. “Aku kenapa, Mas? Perut aku kenapa tadi sakit banget. Apa aku sakit parah?” Skala duduk di sisi ranjang, meraih kedua tangan Luina dan menggenggamnya hangat. Ia mengusap pipi Luina dengan ibu jarinya. “Sayang, kamu nggak sakit parah. Justru, kamu sekarang lagi dapat hadiah paling indah dari Tuhan,” ucap Skala, matanya berkaca-kaca menahan haru. Luina mengerutkan dahi, bingung. “Hadiah apa, Mas?” Skala membungkuk, menyentuh lembut perut rata Luina. “Kamu… kamu hamil, Sayang. Dokter bilang usia kandungan k

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 74

    Skala tidak membuang waktu. Dengan panik, ia langsung menggendong Luina di pelukannya, sedikit berlari menuruni anak tangga. Jantungnya berdebar kencang. Saat Skala hampir mencapai pintu utama vila, pintu itu terbuka, dan ia terhenti. Papanya, Axel, Sarah, serta saudaranya yang lain, baru saja pulang dari air terjun. Mereka semua terkejut melihat Luina yang terkulai tidak sadarkan diri di gendongan Skala. “Skala! Luina kenapa?” tanya Pak Aditya, suara cemasnya menggema di hall vila. “Aku nggak tahu, Pa. Tiba-tiba dia bilang sakit perut banget dan langsung pingsan,” jawab Skala, napasnya tersengal. “Aku mau ke rumah sakit,” tambah Skala, lalu kembali melangkah cepat, melewati kerumunan yang terkejut itu menuju mobilnya. “Papa ikut, Skala!” ucap Pak Aditya, tanpa ragu mengejar putranya, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Seketika orang-orang yang berada di sana terdiam, saling pandang karena bingung dan cemas. “Semoga Luina baik-baik aja,” ucap Desi lir

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 73

    Skala mengikuti navigasi, dan tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah kafe kecil yang dikelilingi kebun teh dengan pemandangan pegunungan yang menakjubkan. Suasananya sepi dan tenang, jauh dari keramaian vila. Mereka memilih tempat duduk di teras dengan pemandangan terbaik. Skala segera memesankan Luina teh hangat madu dan semangkuk sup krim. “Teh hangat, nggak kopi dingin. Aku nggak mau kamu sakit lagi,” ucap Skala. Luina mendengus. “Iya deh, Mas. My personal doctor,” candanya. Setelah beberapa saat menikmati keindahan alam dan kehangatan sup, Skala menatap Luina lekat-lekat. “Sayang, kamu masih kepikirin siapa yang neror kamu nggak?” tanya Skala, nadanya serius. Wajah Luina yang baru saja membaik seketika meredup. Ia menggenggam tangan Skala lebih erat. “Mas… jangan bahas itu lagi, aku udah nggak mau ingat kejadian itu, aku mohon…” lirih Luina. Skala segera menyadari kesalahannya. Ia seharusnya tidak mengungkit hal itu saat Luina sedang dalam masa pemulihan. “Maa

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status