Share

Bab 4

Author: Kata Semesta
last update Last Updated: 2025-11-12 16:18:08

Tiga hari berlalu sejak Luina pertama kali menatap Skala di ruang ICU.

Dan dalam tiga hari itu, banyak hal berubah.

Sekarang ia duduk di ruang kerja besar yang dulunya milik Skala—dinding kayu gelap, rak buku berisi berkas perusahaan, dan aroma khas kopi hitam yang masih tertinggal di udara.

Luina menatap tulisan itu lama, perasaan campur aduk menyelusup ke dadanya. Ada rasa aneh—bukan bahagia, bukan juga sedih. Mungkin... sesuatu di antara keduanya.

Cahaya matahari menembus tirai, jatuh di wajahnya.

Di luar, karyawan lalu lalang dengan langkah cepat. Mereka semua tahu, posisi Skala kini digantikan oleh istrinya—perempuan muda yang sebelumnya hampir tidak pernah muncul di hadapan publik.

Pintu ruangannya diketuk pelan.

"Masuk," ucap Luina.

Seorang pria paruh baya masuk, membawa beberapa map tebal.

"Ini berkas laporan dari divisi keuangan, Bu. Dan ini juga... dokumen peralihan aset pribadi almar—eh, maksud saya, Pak Skala."

Luina menatap cepat pria itu, senyum tipis di bibirnya tidak goyah.

"Pak Skala belum meninggal, Pak Rendra. Jadi jangan pakai kata almarhum di depan saya."

Pak Rendra menelan ludah. "I-ya, Bu. Maaf, saya khilaf."

"Taruh aja di meja."

Nada Luina datar, tapi matanya menatap penuh perhitungan ke tumpukan berkas itu—seolah sudah tahu di antara kertas-kertas itu tersimpan kekuatan baru miliknya.

Begitu Pak Rendra keluar, Luina menatap jendela lagi, lalu berbisik pelan, hampir seperti membujuk dirinya sendiri.

"Kalau Mas Skala nggak bangun... berarti semua ini akan jadi punya aku, kan?"

Senyum samar muncul di ujung bibirnya.

Bukan senyum jahat, tapi senyum seseorang yang baru saja sadar betapa mudah dunia bisa berubah hanya dalam satu kecelakaan.

Namun entah kenapa, di sela senyum itu... ada rasa perih yang belum ia pahami.

**

Langkah kaki Luina bergema di koridor rumah sakit yang sudah mulai sepi menjelang malam.

Lampu-lampu putih di langit-langit terasa terlalu terang, kontras dengan wajahnya yang sedikit lelah. Begitu tiba di depan ruang rawat VIP, ia berhenti sejenak, merapikan rambutnya lewat pantulan kaca di dinding, lalu menarik napas panjang.

Luina mendorong pintu perlahan. Suasana ruangan itu tenang, hanya suara mesin monitor jantung Skala yang terdengar ritmis. Tubuh laki-laki itu masih terbaring di ranjang, selang infus menempel di tangannya, wajahnya tenang — seperti sedang tidur panjang tanpa mimpi.

Luina berjalan mendekat, meletakkan tas dan blazernya di sofa dekat jendela. Ia menatap Skala beberapa detik, lalu duduk di kursi di samping ranjangnya.

“Hai,” panggilnya pelan, jemarinya menyentuh tangan Skala yang dingin. “Hari ini capek banget, tau nggak? Aku kerja keras... ngabisin duit kamu, dong.”

“Dikit— lima belas juta doang sih?”

Ia terkekeh kecil, menatap wajah Skala yang diam. “Tenang aja, Mas. Aku nggak beli yang aneh-aneh kok. Aku tadi beli peralatan rumah sama spa dua jutaan gitu,” ujarnya santai.

Matanya kemudian melunak.

“Kalau kamu nggak bangun masa kayak gini banget nasib pernikahan aku. Ya... walaupun kita nggak saling cinta, nggak saling kenal, masa baru nikah udah jadi janda?” ucap Luina.

Tangannya terulur, menyentuh lengan Skala pelan. “Mas, tolong cepet sadar deh. Orang aku mau nikah untuk bebas, kenapa harus jadi ngurusin kamu, sih?”

Ia bersandar lagi, mendesah panjang. “Tapi ya... kalau kamu tetep tidur terus, setidaknya aku bisa pakai kartu kamu lagi buat belanja. Jadi, ya... jangan bangun dulu juga nggak apa-apa sih,” lanjutnya dengan senyum miring.

Suara monitor berdetak stabil, seolah menjawab ejekannya dengan tenang. Luina hanya menatapnya sebentar.

“Kamu lebay! Aku goda sedikit aja tadi udah bunyi kedip di monitor.”

Luina makin lama makin terbawa suasana. Dari yang awalnya hanya bercanda kecil, kini rasa bosannya berubah jadi keisengan murni. Ia menatap Skala yang tetap diam, lalu mendecak pelan.

Luina bersandar santai di kursinya sambil memainkan ujung jari Skala tanpa sadar. Ia menatap Skala lamat. Ia mendesah, lalu menepuk-nepuk lutut Skala pelan. “Tapi kalau koma gini, semua ototnya tetep aktif gak sih? Maksudku… semuaaa otot.”

Suara terakhir ia ucapkan pelan, sambil melirik bagian bawah selimut dengan ekspresi geli campur penasaran. Tapi otaknya malah makin aktif. Ia kemudian tersenyum kecil. “Tapi kalau dilihat-lihat, garis rahangnya tuh, aduh…bibir kamu juga menggoda banget.” bisiknya.

“Buat dicium.”

Namun, baru beberapa detik ia tertawa, suara bip dari monitor di samping ranjang tiba-tiba berubah ritmenya. Dari yang tadinya stabil dan tenang, kini jadi cepat dan beruntun.

“Eh?” Luina berhenti tertawa. Matanya langsung menatap layar monitor yang grafiknya bergerak liar.

“Mas... Skala?” panggilnya ragu. Ia meletakkan ponsel di meja, lalu mencondongkan tubuhnya mendekati ranjang.

Detak itu makin cepat. Bip-bip-bip!

Luina spontan berdiri. “Eh, jangan bercanda, Mas! Aku tadi Cuma ngomong lucu-lucuan!” katanya panik, separuh menyesal karena tadi sempat goda-goda iseng. Ia menatap wajah Skala yang masih tenang, tapi dadanya naik-turun sedikit lebih cepat dari sebelumnya.

Detak itu makin tak beraturan. Luina mulai kalang kabut. Ia menepuk pipi Skala pelan, suaranya bergetar di antara panik dan takut-takut. “Mas! Hei! Kalau kamu denger aku, bangun gak?!”

Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka. Seorang perawat masuk karena mendengar suara alarm monitor.

Detak monitor itu masih belum kembali stabil. Bunyi bip cepat dan tak beraturan terus terdengar, membuat suasana ruangan terasa tegang. Pintu terbuka dengan cepat, dua perawat dan seorang dokter segera masuk.

Salah satu perawat langsung memeriksa layar monitor, sementara yang lain mengecek infus dan tekanan darah.

“Ibu, ada apa?” tanya perawat cepat sambil menghampiri alat di sisi ranjang. Perawat itu mulai memeriksa monitor serta kondisi pasien. Setelah beberapa saat, detak itu mulai kembali normal.

“Kenapa dok?” jawab Luina dengan suara bergetar. “Tadi tiba-tiba aja mesinnya bunyi cepat. Padahal barusan saya Cuma—“ ia berhenti, menelan kata-katanya sendiri, merasa tidak perlu menjelaskan bahwa ia barusan sedang ngomong sendiri dengan suaminya yang koma.

Dokter mencondongkan tubuhnya ke arah Skala, memeriksa pupil matanya dengan senter kecil, lalu menatap monitor dengan alis berkerut. “Tekanan jantungnya naik mendadak. Tapi sejauh ini masih dalam batas aman.”

Perawat menambahkan, “Gelombang otak pasien juga menunjukkan aktivitas yang meningkat, Dok.”

Ucapan itu membuat Luina membeku di tempat. “Maksudnya... aktivitas otak meningkat?

“Ibu, lain kali jangan buat pasien kaget, ya, Bu.”

“Dia kan koma. Mana bisa kaget?” jawab Luina spontan, tapi suaranya kecil, hampir seperti pembelaan yang tidak yakin.

“Bisa jadi sedang merespons sesuatu,” jawab dokter hati-hati. “Tapi belum tentu sadar penuh. Kadang pasien koma bisa menunjukkan reaksi fisik terhadap suara, sentuhan, atau emosi tertentu.”

Luina menunduk, menatap tangan Skala yang masih digenggamnya erat. Jemarinya perlahan melonggar, tapi kemudian ia kembali menggenggam lebih kuat.

Monitor berdetak sedikit lebih pelan, ritmenya mulai stabil. Dokter memperhatikan perubahan itu sekilas, lalu mengangguk kecil. “Bagus. Sekarang sudah kembali normal. Nggak perlu panik, Bu. Tapi... mungkin ini pertanda baik.”

“Dan sepertinya suami ibu mengenali ibu, alangkah lebih baiknya jika ibu lebih sering menemani pasien, menjaganya, dan lebih sering mengajak pasien berinteraksi. Mungkin itu bisa membuat gelombang aktivitasnya meningkat dan pasien cepat sadar,” lanjut Dokter.

Luina hanya mengangguk pelan, masih terpaku menatap wajah Skala yang tenang di balik cahaya redup lampu ruangan. Kata-kata dokter itu bergema di kepalanya—lebih sering menemani, lebih sering berinteraksi.

“Ma-maksudnya saya jagain suami saya di sini?” tanya Luina.

Luina hanya diam sesaat setelah mendengar penjelasan dokter. Matanya menatap wajah Skala yang terbaring tenang di ranjang itu, lalu beralih ke layar monitor yang perlahan kembali stabil.

“Ibu,” kata perawat itu lembut, “walaupun pasien dalam keadaan koma, stimulasi suara, sentuhan, atau... hal-hal emosional, masih bisa bikin reaksi jantung meningkat. Jadi sebaiknya, kalau mau ngobrol, yang tenang aja, ya.”

“Maksudnya?” ulang Luina dengan nada tercekat.

“Tubuh kadang bisa tetap... merespons, Bu. Jadi hati-hati kalau stimulasi terlalu kuat,” kata perawat itu dengan nada datar tapi matanya menyimpan sesuatu.

Luina terdiam. Wajahnya panas. Stimulus? Ya Tuhan…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 7

    Luina duduk di sofa yang empuk, jarinya mulai menari di layar ponsel. "Oke, Mas Skala. Kamu minta game panas, aku kasih game panas," gumam Luina, membuka aplikasi belanja online. Ia mengetikkan kata kunci dengan keberanian baru. Ia tidak lagi peduli dengan riwayat pencarian; fokusnya adalah mencari stimulus paling efektif. Luina menelusuri berbagai judul novel romantis erotis. Ia menolak novel dengan sampul yang terlalu dramatis dan mencari yang fokus pada ketegangan, slow burn, dan pastinya, memiliki protagonis pria yang kaku dan misterius—seperti suaminya. "Yang ini...," Luina membaca deskripsinya. "Bagus, ada bos kaku yang diam-diam punya hasrat besar. Cocok banget sama kamu, Mas." Ia memilih tiga judul berbeda, memastikan ada variasi alur yang cukup untuk menjaga Skala tetap "penasaran." Luina memilih opsi pengiriman tercepat, mendesak penjual agar buku itu tiba sore ini. Pesan ke Penjual: Mohon bungkus dengan sangat rapat dan tebal. Ini untuk terapi. Setelah pesanan s

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 6

    Luina mencoba menarik napas, tapi udara di ruangan itu terasa terlalu tipis dan panas. Setelah berhasil membersihkan area pinggul, tiba waktunya untuk menjalankan kode "Ya" dari Skala. Tugas yang seharusnya higienis kini terasa seperti aksi provokasi yang berbahaya. Luina menatap selimut tebal itu, lalu menatap wajah Skala yang masih tenang, meski pelipisnya sedikit berkeringat. "Oke, Mas. Jangan salahin aku kalau kamu...," bisik Luina, menuduh Skala padahal ia yang paling gugup. "Eh? Ini kok ada yang bangun? Apa selimut kamu ya?" Dengan tangan yang gemetar hebat, Luina perlahan mengangkat selimut. Ia membalikkan tubuh Skala sedikit, memaksakan dirinya untuk bersikap profesional. Ia mulai menurunkan celana seraya memejamkan mata. Ia harus fokus pada tugasnya. Namun, Luina adalah Luina. Rasa penasaran dan isengnya selalu lebih kuat dari rasa malunya. Saat ia membuka matanya dan membersihkan pelan. Sebuah ide gila melintas di kepalanya. Karena ia tahu Skala mendengarnya, menga

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 5

    "Selamat datang di apartemen baru kita, Mas Skala," ujarnya sambil menepuk ringan sprei di samping tubuh Skala. "Semoga kamu betah ya. Nggak ada dokter, nggak ada perawat... cuma aku, istri kamu yang cantik dan seksi ini." Ia tersenyum kecil, meski lelah masih tersisa di wajahnya. Butuh waktu berminggu-minggu lobi dan tanda tangan formulir agar pihak rumah sakit akhirnya mengizinkan Skala dipindahkan. Setelah kondisi vitalnya stabil dan alat bantu napas dilepas, dokter menyebut Skala hanya tinggal menunggu “momen sadar” — tubuhnya sudah bisa dirawat di rumah, selama perawatannya rutin dan lingkungannya tenang. Ia menatap laki-laki itu lama. Udara di apartemen itu bagai tak bernyawa, melihat wajah Skala yang diam di bawah sorotan lampu redup membuat dadanya terasa aneh. Ia cepat-cepat mengalihkan pikiran, lalu mengambil baskom berisi air hangat di meja kecil. "Dokter bilang, pasien kayak kamu harus tetap dijaga kebersihannya." Ia menghela napas, menggulung lengan piyamanya samp

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 4

    Tiga hari berlalu sejak Luina pertama kali menatap Skala di ruang ICU. Dan dalam tiga hari itu, banyak hal berubah. Sekarang ia duduk di ruang kerja besar yang dulunya milik Skala—dinding kayu gelap, rak buku berisi berkas perusahaan, dan aroma khas kopi hitam yang masih tertinggal di udara. Luina menatap tulisan itu lama, perasaan campur aduk menyelusup ke dadanya. Ada rasa aneh—bukan bahagia, bukan juga sedih. Mungkin... sesuatu di antara keduanya. Cahaya matahari menembus tirai, jatuh di wajahnya. Di luar, karyawan lalu lalang dengan langkah cepat. Mereka semua tahu, posisi Skala kini digantikan oleh istrinya—perempuan muda yang sebelumnya hampir tidak pernah muncul di hadapan publik. Pintu ruangannya diketuk pelan. "Masuk," ucap Luina. Seorang pria paruh baya masuk, membawa beberapa map tebal. "Ini berkas laporan dari divisi keuangan, Bu. Dan ini juga... dokumen peralihan aset pribadi almar—eh, maksud saya, Pak Skala." Luina menatap cepat pria itu, senyum tipis di bibirn

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 3

    "Kalau semua aset dan perusahaan diserahin ke aku... bukannya itu berarti semua ini akan jadi milik aku kalau Mas Skala nggak pernah bangun?" batinnya.Luina menatap tangannya sendiri, lalu menutup mata. Untuk sesaat, rasa takut dan keserakahan bertarung di dalam dadanya—dan tidak ada yang menang."Luina... kita lihat Skala dulu yuk, dia yang peluk kamu saat kejadian.” ujar mamanya mengajaknyaKalimat terakhir yang keluar dari mulut sang Mama membuat dada Luina terasa sesak entah kenapa.Luina terdiam. Hening yang tercipta di ruangan itu terasa aneh—seolah udara di sekelilingnya menebal. Ia mencoba menertawakan kalimat itu di dalam hati, tapi justru merasa perih.Kilasan kecelakaan itu datang tiba-tiba—tajam, bergetar, dan menyakitkan.Semuanya terjadi begitu cepat, begitu kacau.Saat Skala melepas sabuk pengamannya, dan tanpa berpikir, menarik tubuh Luina ke arahnya.Semuanya terjadi begitu cepat—sentuhan dingin di kulit, aroma cologne samar yang tertinggal di jasnya, dan detik berik

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 2

    Cahaya putih menyilaukan menusuk kelopak matanya. Suara samar mesin medis, detak monitor, dan langkah kaki para perawat berpadu menjadi satu, menciptakan ruang hening yang menyesakkan.Luina membuka mata perlahan.Langit-langit putih. Bau antiseptik.Tangannya dibalut perban ringan. Tubuhnya terasa berat, tapi tak ada rasa sakit berarti—hanya pegal yang samar."Syukurlah, Ny. Luina sudah sadar," ucap seorang perawat begitu melihat matanya terbuka.Luina mengerjap bingung. Skala? Butuh beberapa detik sebelum ingatan itu menampar keras kepalanya—suara benturan, cahaya lampu truk, teriakan, darah, dan..."Skala!" serunya refleks, mencoba bangun. Tapi perawat buru-buru menahannya."Tenang dulu, Bu. Kondisi Anda masih belum stabil.""Aku tanya, dimana dia?" nafasnya mulai tersengal. "Dia—dia berdarah waktu itu... dia—"Dokter datang tergesa. Wajahnya tenang, tapi suaranya berhati-hati."Suami Anda... masih dirawat di ruang ICU. Kondisinya kritis ketika dibawa ke sini, tapi sekarang sudah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status