LOGINTiga hari berlalu sejak Luina pertama kali menatap Skala di ruang ICU.
Dan dalam tiga hari itu, banyak hal berubah. Sekarang ia duduk di ruang kerja besar yang dulunya milik Skala—dinding kayu gelap, rak buku berisi berkas perusahaan, dan aroma khas kopi hitam yang masih tertinggal di udara. Luina menatap tulisan itu lama, perasaan campur aduk menyelusup ke dadanya. Ada rasa aneh—bukan bahagia, bukan juga sedih. Mungkin... sesuatu di antara keduanya. Cahaya matahari menembus tirai, jatuh di wajahnya. Di luar, karyawan lalu lalang dengan langkah cepat. Mereka semua tahu, posisi Skala kini digantikan oleh istrinya—perempuan muda yang sebelumnya hampir tidak pernah muncul di hadapan publik. Pintu ruangannya diketuk pelan. "Masuk," ucap Luina. Seorang pria paruh baya masuk, membawa beberapa map tebal. "Ini berkas laporan dari divisi keuangan, Bu. Dan ini juga... dokumen peralihan aset pribadi almar—eh, maksud saya, Pak Skala." Luina menatap cepat pria itu, senyum tipis di bibirnya tidak goyah. "Pak Skala belum meninggal, Pak Rendra. Jadi jangan pakai kata almarhum di depan saya." Pak Rendra menelan ludah. "I-ya, Bu. Maaf, saya khilaf." "Taruh aja di meja." Nada Luina datar, tapi matanya menatap penuh perhitungan ke tumpukan berkas itu—seolah sudah tahu di antara kertas-kertas itu tersimpan kekuatan baru miliknya. Begitu Pak Rendra keluar, Luina menatap jendela lagi, lalu berbisik pelan, hampir seperti membujuk dirinya sendiri. "Kalau Mas Skala nggak bangun... berarti semua ini akan jadi punya aku, kan?" Senyum samar muncul di ujung bibirnya. Bukan senyum jahat, tapi senyum seseorang yang baru saja sadar betapa mudah dunia bisa berubah hanya dalam satu kecelakaan. Namun entah kenapa, di sela senyum itu... ada rasa perih yang belum ia pahami. ** Langkah kaki Luina bergema di koridor rumah sakit yang sudah mulai sepi menjelang malam. Lampu-lampu putih di langit-langit terasa terlalu terang, kontras dengan wajahnya yang sedikit lelah. Begitu tiba di depan ruang rawat VIP, ia berhenti sejenak, merapikan rambutnya lewat pantulan kaca di dinding, lalu menarik napas panjang. Luina mendorong pintu perlahan. Suasana ruangan itu tenang, hanya suara mesin monitor jantung Skala yang terdengar ritmis. Tubuh laki-laki itu masih terbaring di ranjang, selang infus menempel di tangannya, wajahnya tenang — seperti sedang tidur panjang tanpa mimpi. Luina berjalan mendekat, meletakkan tas dan blazernya di sofa dekat jendela. Ia menatap Skala beberapa detik, lalu duduk di kursi di samping ranjangnya. “Hai,” panggilnya pelan, jemarinya menyentuh tangan Skala yang dingin. “Hari ini capek banget, tau nggak? Aku kerja keras... ngabisin duit kamu, dong.” “Dikit— lima belas juta doang sih?” Ia terkekeh kecil, menatap wajah Skala yang diam. “Tenang aja, Mas. Aku nggak beli yang aneh-aneh kok. Aku tadi beli peralatan rumah sama spa dua jutaan gitu,” ujarnya santai. Matanya kemudian melunak. “Kalau kamu nggak bangun masa kayak gini banget nasib pernikahan aku. Ya... walaupun kita nggak saling cinta, nggak saling kenal, masa baru nikah udah jadi janda?” ucap Luina. Tangannya terulur, menyentuh lengan Skala pelan. “Mas, tolong cepet sadar deh. Orang aku mau nikah untuk bebas, kenapa harus jadi ngurusin kamu, sih?” Ia bersandar lagi, mendesah panjang. “Tapi ya... kalau kamu tetep tidur terus, setidaknya aku bisa pakai kartu kamu lagi buat belanja. Jadi, ya... jangan bangun dulu juga nggak apa-apa sih,” lanjutnya dengan senyum miring. Suara monitor berdetak stabil, seolah menjawab ejekannya dengan tenang. Luina hanya menatapnya sebentar. “Kamu lebay! Aku goda sedikit aja tadi udah bunyi kedip di monitor.” Luina makin lama makin terbawa suasana. Dari yang awalnya hanya bercanda kecil, kini rasa bosannya berubah jadi keisengan murni. Ia menatap Skala yang tetap diam, lalu mendecak pelan. Luina bersandar santai di kursinya sambil memainkan ujung jari Skala tanpa sadar. Ia menatap Skala lamat. Ia mendesah, lalu menepuk-nepuk lutut Skala pelan. “Tapi kalau koma gini, semua ototnya tetep aktif gak sih? Maksudku… semuaaa otot.” Suara terakhir ia ucapkan pelan, sambil melirik bagian bawah selimut dengan ekspresi geli campur penasaran. Tapi otaknya malah makin aktif. Ia kemudian tersenyum kecil. “Tapi kalau dilihat-lihat, garis rahangnya tuh, aduh…bibir kamu juga menggoda banget.” bisiknya. “Buat dicium.” Namun, baru beberapa detik ia tertawa, suara bip dari monitor di samping ranjang tiba-tiba berubah ritmenya. Dari yang tadinya stabil dan tenang, kini jadi cepat dan beruntun. “Eh?” Luina berhenti tertawa. Matanya langsung menatap layar monitor yang grafiknya bergerak liar. “Mas... Skala?” panggilnya ragu. Ia meletakkan ponsel di meja, lalu mencondongkan tubuhnya mendekati ranjang. Detak itu makin cepat. Bip-bip-bip! Luina spontan berdiri. “Eh, jangan bercanda, Mas! Aku tadi Cuma ngomong lucu-lucuan!” katanya panik, separuh menyesal karena tadi sempat goda-goda iseng. Ia menatap wajah Skala yang masih tenang, tapi dadanya naik-turun sedikit lebih cepat dari sebelumnya. Detak itu makin tak beraturan. Luina mulai kalang kabut. Ia menepuk pipi Skala pelan, suaranya bergetar di antara panik dan takut-takut. “Mas! Hei! Kalau kamu denger aku, bangun gak?!” Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka. Seorang perawat masuk karena mendengar suara alarm monitor. Detak monitor itu masih belum kembali stabil. Bunyi bip cepat dan tak beraturan terus terdengar, membuat suasana ruangan terasa tegang. Pintu terbuka dengan cepat, dua perawat dan seorang dokter segera masuk. Salah satu perawat langsung memeriksa layar monitor, sementara yang lain mengecek infus dan tekanan darah. “Ibu, ada apa?” tanya perawat cepat sambil menghampiri alat di sisi ranjang. Perawat itu mulai memeriksa monitor serta kondisi pasien. Setelah beberapa saat, detak itu mulai kembali normal. “Kenapa dok?” jawab Luina dengan suara bergetar. “Tadi tiba-tiba aja mesinnya bunyi cepat. Padahal barusan saya Cuma—“ ia berhenti, menelan kata-katanya sendiri, merasa tidak perlu menjelaskan bahwa ia barusan sedang ngomong sendiri dengan suaminya yang koma. Dokter mencondongkan tubuhnya ke arah Skala, memeriksa pupil matanya dengan senter kecil, lalu menatap monitor dengan alis berkerut. “Tekanan jantungnya naik mendadak. Tapi sejauh ini masih dalam batas aman.” Perawat menambahkan, “Gelombang otak pasien juga menunjukkan aktivitas yang meningkat, Dok.” Ucapan itu membuat Luina membeku di tempat. “Maksudnya... aktivitas otak meningkat? “Ibu, lain kali jangan buat pasien kaget, ya, Bu.” “Dia kan koma. Mana bisa kaget?” jawab Luina spontan, tapi suaranya kecil, hampir seperti pembelaan yang tidak yakin. “Bisa jadi sedang merespons sesuatu,” jawab dokter hati-hati. “Tapi belum tentu sadar penuh. Kadang pasien koma bisa menunjukkan reaksi fisik terhadap suara, sentuhan, atau emosi tertentu.” Luina menunduk, menatap tangan Skala yang masih digenggamnya erat. Jemarinya perlahan melonggar, tapi kemudian ia kembali menggenggam lebih kuat. Monitor berdetak sedikit lebih pelan, ritmenya mulai stabil. Dokter memperhatikan perubahan itu sekilas, lalu mengangguk kecil. “Bagus. Sekarang sudah kembali normal. Nggak perlu panik, Bu. Tapi... mungkin ini pertanda baik.” “Dan sepertinya suami ibu mengenali ibu, alangkah lebih baiknya jika ibu lebih sering menemani pasien, menjaganya, dan lebih sering mengajak pasien berinteraksi. Mungkin itu bisa membuat gelombang aktivitasnya meningkat dan pasien cepat sadar,” lanjut Dokter. Luina hanya mengangguk pelan, masih terpaku menatap wajah Skala yang tenang di balik cahaya redup lampu ruangan. Kata-kata dokter itu bergema di kepalanya—lebih sering menemani, lebih sering berinteraksi. “Ma-maksudnya saya jagain suami saya di sini?” tanya Luina. Luina hanya diam sesaat setelah mendengar penjelasan dokter. Matanya menatap wajah Skala yang terbaring tenang di ranjang itu, lalu beralih ke layar monitor yang perlahan kembali stabil. “Ibu,” kata perawat itu lembut, “walaupun pasien dalam keadaan koma, stimulasi suara, sentuhan, atau... hal-hal emosional, masih bisa bikin reaksi jantung meningkat. Jadi sebaiknya, kalau mau ngobrol, yang tenang aja, ya.” “Maksudnya?” ulang Luina dengan nada tercekat. “Tubuh kadang bisa tetap... merespons, Bu. Jadi hati-hati kalau stimulasi terlalu kuat,” kata perawat itu dengan nada datar tapi matanya menyimpan sesuatu. Luina terdiam. Wajahnya panas. Stimulus? Ya Tuhan…Pintu ruang rawat diketuk pelan, lalu terbuka. Seorang perawat masuk sambil mendorong troli kecil. Di atasnya, semangkuk bubur hangat dan satu botol air mineral tertata rapi. “Permisi, Bu Luina,” ucap perawat itu lembut. “Ini buburnya ya. Dokter minta Ibu makan sedikit dulu biar tenaganya balik.” Luina melirik bubur itu sekilas, lalu menggeleng pelan. “Aku nggak lapar…” ucapnya lirih. “Perut aku masih nggak enak, rasanya mual dikit.” Perawat tersenyum maklum. “Nggak apa-apa, Bu. Dimakan sedikit aja, beberapa sendok. Penting buat Ibu dan bayinya.” Setelah meletakkan bubur di meja kecil, perawat itu pamit keluar, meninggalkan Luina dan Skala. Begitu pintu tertutup, Skala langsung mendekat. Ia menarik meja kecil lebih dekat ke ranjang, lalu mengambil mangkuk bubur itu. “Sayang… Cuma sedikit aja, ya. Satu dua sendok,” bujuk Skala. Luina menggeleng lagi, memalingkan wajah. “Mas… aku beneran nggak pengen. Takut malah muntah.” Skala menghela napas, lalu duduk di sisi ranjang.
Luina duduk bersandar di bantal yang sudah diatur Skala sedemikian rupa agar merasa nyaman. Skala duduk di sampingnya, membaca buku. “Mas… aku mau haus…” ucap Luina pelan, ia masih merasa lemas. Skala langsung menutup bukunya dan sigap bangkit. “Mas ambilin air hangat ya. Kamu mau infused water yang ada lemonnya? Tadi Mas minta suster siapin.” “Air biasa aja, Mas. Aku nggak mau yang asem-asem,” jawab Luina, sedikit meringis. Skala tersenyum lembut. “Siap, Sayang. Apapun buat calon Mama,” ucapnya, mengambilkan air mineral dari nakas dan membantunya minum. Setelah Luina merasa lebih nyaman, Skala kembali duduk di sampingnya, mengusap perut Luina dengan lembut. “Kita harus jaga dia baik-baik, ya Sayang. Nggak ada stres, nggak ada capek, semuanya Mas yang urus.” “Kok aku nggak berasa hamil ya, Mas?” ucap Luina, ia terdengar sedikit bingung. “Maksudnya aku nggak merasa mual atau ciri-ciri hamil, Mas.” Skala tertawa pelan. “Memang nggak semua perempuan langsung merasakan mual,
Skala melangkah perlahan memasuki ruang perawatan Luina. Istrinya terlihat lemah, terbaring dengan infus terpasang di tangannya. Luina tersenyum getir melihat Skala. “Mas…” panggil Luina, suaranya pelan. “Maaf ya, harusnya kita nggak usah ke kafe tadi.” Skala segera mendekat, meraih tangan Luina, dan menciumnya lama. “Ssstt… jangan salahin diri kamu, Sayang. Mas yang salah karena nggak mencegah kamu,” ucapnya, mencoba menahan emosi. Luina menatap Skala, terlihat cemas. “Aku kenapa, Mas? Perut aku kenapa tadi sakit banget. Apa aku sakit parah?” Skala duduk di sisi ranjang, meraih kedua tangan Luina dan menggenggamnya hangat. Ia mengusap pipi Luina dengan ibu jarinya. “Sayang, kamu nggak sakit parah. Justru, kamu sekarang lagi dapat hadiah paling indah dari Tuhan,” ucap Skala, matanya berkaca-kaca menahan haru. Luina mengerutkan dahi, bingung. “Hadiah apa, Mas?” Skala membungkuk, menyentuh lembut perut rata Luina. “Kamu… kamu hamil, Sayang. Dokter bilang usia kandungan k
Skala tidak membuang waktu. Dengan panik, ia langsung menggendong Luina di pelukannya, sedikit berlari menuruni anak tangga. Jantungnya berdebar kencang. Saat Skala hampir mencapai pintu utama vila, pintu itu terbuka, dan ia terhenti. Papanya, Axel, Sarah, serta saudaranya yang lain, baru saja pulang dari air terjun. Mereka semua terkejut melihat Luina yang terkulai tidak sadarkan diri di gendongan Skala. “Skala! Luina kenapa?” tanya Pak Aditya, suara cemasnya menggema di hall vila. “Aku nggak tahu, Pa. Tiba-tiba dia bilang sakit perut banget dan langsung pingsan,” jawab Skala, napasnya tersengal. “Aku mau ke rumah sakit,” tambah Skala, lalu kembali melangkah cepat, melewati kerumunan yang terkejut itu menuju mobilnya. “Papa ikut, Skala!” ucap Pak Aditya, tanpa ragu mengejar putranya, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Seketika orang-orang yang berada di sana terdiam, saling pandang karena bingung dan cemas. “Semoga Luina baik-baik aja,” ucap Desi lir
Skala mengikuti navigasi, dan tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah kafe kecil yang dikelilingi kebun teh dengan pemandangan pegunungan yang menakjubkan. Suasananya sepi dan tenang, jauh dari keramaian vila. Mereka memilih tempat duduk di teras dengan pemandangan terbaik. Skala segera memesankan Luina teh hangat madu dan semangkuk sup krim. “Teh hangat, nggak kopi dingin. Aku nggak mau kamu sakit lagi,” ucap Skala. Luina mendengus. “Iya deh, Mas. My personal doctor,” candanya. Setelah beberapa saat menikmati keindahan alam dan kehangatan sup, Skala menatap Luina lekat-lekat. “Sayang, kamu masih kepikirin siapa yang neror kamu nggak?” tanya Skala, nadanya serius. Wajah Luina yang baru saja membaik seketika meredup. Ia menggenggam tangan Skala lebih erat. “Mas… jangan bahas itu lagi, aku udah nggak mau ingat kejadian itu, aku mohon…” lirih Luina. Skala segera menyadari kesalahannya. Ia seharusnya tidak mengungkit hal itu saat Luina sedang dalam masa pemulihan. “Maa
Axel tampak santai, ia bercanda tawa dengan Reno dan Desi seolah tidak ada beban. Tante Ida dan Tante Sari sibuk menyiapkan bekal piknik yang berlimpah di pinggir sungai, mengatur tikar dan makanan. Sementara yang lain menikmati keindahan alam, Sarah duduk sedikit menjauh di dekat sebuah batu besar. Wajahnya terlihat pucat. Ia memegangi perutnya yang terasa tidak nyaman. Axel yang melihat Sarah sedikit terasing, menghampirinya. “Kamu kenapa? Nggak ikut gabung?” Sarah meringis. “Nggak tahu, Xel. Perut aku kembung banget, terus mual. Kayaknya aku masuk angin,” keluhnya. Axel hanya mengangguk, tanpa menunjukkan kepedulian yang mendalam. “Yaudah, kamu jangan minum es. Cari tempat yang hangat,” jawab Axel, lalu kembali ke Reno dan Desi untuk melanjutkan obrolan mereka, meninggalkan Sarah yang masih mual. Sarah mendesah. Mualnya semakin menjadi-jadi. Ia mencoba memijat pelipisnya. Dalam benaknya, ia mulai mengingat kembali hal-hal aneh yang ia rasakan belakangan ini. “Mual beg







