Share

Bab 5

Author: Kata Semesta
last update Last Updated: 2025-11-12 16:19:00

"Selamat datang di apartemen baru kita, Mas Skala," ujarnya sambil menepuk ringan sprei di samping tubuh Skala. "Semoga kamu betah ya. Nggak ada dokter, nggak ada perawat... cuma aku, istri kamu yang cantik dan seksi ini."

Ia tersenyum kecil, meski lelah masih tersisa di wajahnya. Butuh waktu berminggu-minggu lobi dan tanda tangan formulir agar pihak rumah sakit akhirnya mengizinkan Skala dipindahkan.

Setelah kondisi vitalnya stabil dan alat bantu napas dilepas, dokter menyebut Skala hanya tinggal menunggu “momen sadar” — tubuhnya sudah bisa dirawat di rumah, selama perawatannya rutin dan lingkungannya tenang.

Ia menatap laki-laki itu lama. Udara di apartemen itu bagai tak bernyawa, melihat wajah Skala yang diam di bawah sorotan lampu redup membuat dadanya terasa aneh. Ia cepat-cepat mengalihkan pikiran, lalu mengambil baskom berisi air hangat di meja kecil.

"Dokter bilang, pasien kayak kamu harus tetap dijaga kebersihannya." Ia menghela napas, menggulung lengan piyamanya sampai siku. "Tapi ya ampun, Mas. Aku istri, bukan perawat. Kalau tau gini, aku dulu sekolah keperawatan aja sekalian."

Luina mencelupkan handuk kecil ke air, memerasnya pelan, lalu mulai mengelap tangan Skala. Gerakannya hati-hati, meski mulutnya tetap sibuk mengomel.

"Nih, tangan kamu dingin banget. Jangan-jangan kamu sengaja diem terus biar aku ngerawat kamu tiap hari ya?”

Ia berpindah ke lengan, lalu dada bagian atas. Jemarinya sempat berhenti di sana — hanya sebentar, tapi cukup untuk membuatnya menelan ludah pelan. "Uh... badan kamu masih keras aja padahal nggak ngapa-ngapain, ya," gumamnya cepat, lalu menepuk pipinya sendiri pelan. "Fokus, Luina. Fokus."

Ia terkekeh kecil, menatap wajah Skala lama. "Kamu tuh sadar nggak sih, kalau aku udah repot begini? Aku nggak cuma jagain kamu, tapi juga ngurus semua administrasi, belanja, sampai ngatur apartemen ini biar kamu bisa nyaman. Padahal katanya pernikahan kita cuma formalitas, loh."

Luina berhenti sebentar, mengelap sisa air di kulit Skala dengan handuk kering. "Kalau kamu bangun nanti, aku mau denger ucapan terima kasih. Minimal, traktir aku makan keren. Atau beliin tas baru juga boleh."

Monitor kecil di samping ranjang menunjukkan ritme jantung yang stabil. Luina memperhatikannya sekilas, lalu tersenyum miring. "Nah, liat kan? Dengar nama 'tas baru' aja jantung kamu langsung normal."

Ia tertawa kecil, lalu kembali fokus membersihkan leher dan wajah Skala dengan gerakan lembut. Setelah selesai, ia duduk di tepi ranjang, menatap hasil kerjanya dengan puas.

"Ganteng banget sih kamu," katanya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. "Sayang aja, masih sekarat."

“Coba kalau bangun. Udah ciuman gak sih kita?”

Luina terkekeh kecil. “Bercanda.”

Luina menyandarkan tubuhnya di sandaran ranjang, menatap wajah Skala dari jarak dekat. "Tapi ya, kalau kamu sadar nanti... jangan geer dulu. Aku ngerawat kamu bukan karena cinta, tapi karena bosan aja. Ngerti, Mas?"

Namun, begitu ia hendak berdiri, jemarinya tanpa sadar menyentuh tangan Skala sekali lagi. Kali ini genggamannya bertahan sedikit lebih lama dari seharusnya.

"...Tapi kalau kamu denger," bisiknya lirih, "bangun deh pelan-pelan. Aku udah nggak tahan ngobrol sendirian."

Ia cepat-cepat melepaskan genggaman itu, berdiri sambil menghela napas panjang. ”Selain ngobrol, besok besok aku bacain buku aja ya atas saran dokter?”

“Buku apa yang kamu suka? Buku…….. yang panas-panas gitu kamu suka kali ya?”

Ia tersenyum miring. “Siapa tau bangun, kan?”

“Oke! Aku beliin bukunya!”

Dan saat Luina berjalan mengambil handphonenya, layar monitor di sisi ranjang tiba-tiba berbunyi lembut — detak jantung Skala naik sedikit.

*****

Luina duduk di tepi ranjang sambil menguap lebar.

"Pagi-pagi udah mandiin anak orang," gumamnya dengan nada malas, tapi tangannya sudah mencelupkan kain kecil ke baskom air hangat. “Anak sendiri aja belum ada. Haduh mas Skala?”

Ia menghela napas panjang. "Kamu tuh enak banget ya... tidur seharian, nggak kerja, bobo aja gitu. Gantian mau mas?”

Kain di tangannya bergerak lembut, mengusap kulit tangan Skala yang dingin tapi terasa hidup.

"Lihat tuh, tangan kamu– dingin banget beda kaya mulut kamu yang pedes." ujarnya sambil mendengus kecil. "Tapi sekarang, entah kenapa... jadi kasian juga liat kamu begini."

Ia memindahkan handuk ke bagian lain tubuh Skala dengan gerakan pelan. "Kamu tau nggak, aku tuh bisa aja nyuruh perawat ngelakuin ini. Tapi nggak, aku yang ngelakuin sendiri. Padahal aku bisa aja rebahan sambil maskeran."

Senyum tipis muncul di wajahnya. "Cuma... ya, kalau aku nggak ngurus kamu, siapa lagi?"

Ia berhenti sejenak, memperhatikan wajah Skala yang diam. Ada sesuatu di sana — entah kedamaian atau rasa tenang yang malah bikin Luina kesal sendiri.

“Coba kamu bangun, biar bisa balesin omongan aku. Aku beneran butuh lawan debat."

Ia beralih ke bahu Skala yang bidang. Jemarinya berhenti sebentar.

"Ngomong-ngomong, makasih lho bahunya," gumam Luina, suaranya melunak tanpa sadar. "Waktu kecelakaan, aku tahu kamu yang nahan semua benturan.”

Luina melanjutkan ke bagian dada. Ia menarik piyama Skala sedikit ke bawah, lalu membersihkan area leher dan tulang selangka. Matanya tak sengaja terpaku pada bentuk otot dada Skala yang meskipun sedang terbaring, tetap terlihat kencang.

Ia menelan ludah. "Oke, Luina, fokus. Ini cuma otot, Luina. Otot," bisiknya pada dirinya sendiri.

Ia mengambil handuk kering dan mulai mengeringkan. Saat ia mengeringkan dada bagian atas, rasa penasaran itu muncul lagi.

"Kamu gym gak sih, Mas?" tanyanya pelan. "Padahal kamu koma,tapi kenapa agak keras gitu ya? Atau... kamu beneran gay makanya badan kamu bagus tapi nggak punya pacar?"

Luina sengaja menekan jarinya sedikit ke dada Skala. Detak monitor mulai naik, bip lebih cepat.

"Marah ya dibilang gay? Makanya bangun, terus buktiin ke aku." ejek Luina. Ia menarik tangannya cepat, tapi senyum puas muncul di bibirnya. "

Ia lalu beralih membersihkan wajah Skala. Gerakannya menjadi sangat lembut saat mengelap kening, hidung, dan pipi.

"Oke, bagian atas udah.”

"Mas... menurut kamu, aku perlu bersihin bagian bawah kamu nggak?" tanya Luina, nadanya setengah menggoda.

Tidak ada respons dari monitor. Detaknya stabil. “Kalau aku bersihin yang bawah,” bisiknya sambil tersenyum miring, “Kamu bangun nggak, Mas?”

Luina menyentuh ujung selimut yang menutupi bagian bawah Skala, lalu menarik tangannya cepat. Wajahnya langsung memerah.

Ia menimbang apakah ini akan masuk pelecehan kalau belum ada jawaban?

"Gini aja deh, Mas. Aku butuh instruksi dari kamu. Kalau kamu ngizinin aku bersihin bagian bawah kamu, detak jantung kamu naik tiga kali."

Luina menatap tangan kanan Skala yang terbaring di samping. Ia menunggu, nafasnya tertahan. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena sensasi bermain game rahasia ini.

Satu detik. Dua detik.

Detak monitor tetap stabil.

“Kamu nggak mau ya? Berarti aku nggak usah ya."

Namun, saat Luina hendak berdiri dan mengambil telepon untuk memanggil perawat datang besok pagi, ia melihat pergerakan lagi.

Bukan monitor detak jantung.

Jari telunjuk tangan kiri Skala bergerak, kali ini sedikit lebih kuat. Luina jelas melihatnya.

Luina membeku di tempat. Ia kembali duduk, menatap Skala dengan intens.

Luina mencoba menafsirkan gerakan Skala yang baru ada perubahan.

Ia mengambil tangan kiri Skala, menggenggamnya perlahan.

"Mas Skala, kita harus sepakat. Satu gerakan jari itu 'Ya', dua gerakan itu 'Tidak'. Paham?"

Luina menatap wajah Skala. Monitor berdetak cepat, bip-bip-bip.

"Bagus! Kamu ngerti! Jadi setuju atau nggak aku bersihin bagian bawah kamu?"

Luina menatap tangan Skala yang masih digenggamnya. Rasa penasaran dan canggung bercampur menjadi satu.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

Jari telunjuk Skala bergerak, sekali.

Luina tersentak, mata Luina melebar tak percaya. Satu gerakan 'Ya'.

Wajah Luina langsung memerah, dari pipi hingga ke leher. Ia buru-buru melepaskan genggaman tangan Skala, tubuhnya sedikit menjauh dari ranjang.

"Satu kali... 'Ya'?" ulang Luina, suaranya nyaris seperti jeritan tertahan.

Detak monitor meningkat sedikit, bip lebih cepat, seolah menegaskan jawaban itu.

Luina menelan ludah. Ia menatap Skala yang wajahnya tetap tenang, sementara pelipis dahinya mulai berkeringat bersamaan detak jantung yang tak karuan.

"Ya ampun, Mas Skala! Kamu ini lagi koma, tapi kenapa... kenapa gini banget sih responsnya?" Luina mengomel.

Ia menarik napas panjang, mencoba menguasai diri. Ia benar benar istri yang sah tanpa kontrak mengikatnya, ini adalah urusan kebersihan dan kesehatan. Tetapi ia tidak bisa mengabaikan bahwa ini juga menjadi permainan yang bahaya.

“Berarti…. Jawabannya, iya kan?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 76

    Pintu ruang rawat diketuk pelan, lalu terbuka. Seorang perawat masuk sambil mendorong troli kecil. Di atasnya, semangkuk bubur hangat dan satu botol air mineral tertata rapi. “Permisi, Bu Luina,” ucap perawat itu lembut. “Ini buburnya ya. Dokter minta Ibu makan sedikit dulu biar tenaganya balik.” Luina melirik bubur itu sekilas, lalu menggeleng pelan. “Aku nggak lapar…” ucapnya lirih. “Perut aku masih nggak enak, rasanya mual dikit.” Perawat tersenyum maklum. “Nggak apa-apa, Bu. Dimakan sedikit aja, beberapa sendok. Penting buat Ibu dan bayinya.” Setelah meletakkan bubur di meja kecil, perawat itu pamit keluar, meninggalkan Luina dan Skala. Begitu pintu tertutup, Skala langsung mendekat. Ia menarik meja kecil lebih dekat ke ranjang, lalu mengambil mangkuk bubur itu. “Sayang… Cuma sedikit aja, ya. Satu dua sendok,” bujuk Skala. Luina menggeleng lagi, memalingkan wajah. “Mas… aku beneran nggak pengen. Takut malah muntah.” Skala menghela napas, lalu duduk di sisi ranjang.

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 75

    Luina duduk bersandar di bantal yang sudah diatur Skala sedemikian rupa agar merasa nyaman. Skala duduk di sampingnya, membaca buku. “Mas… aku mau haus…” ucap Luina pelan, ia masih merasa lemas. Skala langsung menutup bukunya dan sigap bangkit. “Mas ambilin air hangat ya. Kamu mau infused water yang ada lemonnya? Tadi Mas minta suster siapin.” “Air biasa aja, Mas. Aku nggak mau yang asem-asem,” jawab Luina, sedikit meringis. Skala tersenyum lembut. “Siap, Sayang. Apapun buat calon Mama,” ucapnya, mengambilkan air mineral dari nakas dan membantunya minum. Setelah Luina merasa lebih nyaman, Skala kembali duduk di sampingnya, mengusap perut Luina dengan lembut. “Kita harus jaga dia baik-baik, ya Sayang. Nggak ada stres, nggak ada capek, semuanya Mas yang urus.” “Kok aku nggak berasa hamil ya, Mas?” ucap Luina, ia terdengar sedikit bingung. “Maksudnya aku nggak merasa mual atau ciri-ciri hamil, Mas.” Skala tertawa pelan. “Memang nggak semua perempuan langsung merasakan mual,

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 75

    Skala melangkah perlahan memasuki ruang perawatan Luina. Istrinya terlihat lemah, terbaring dengan infus terpasang di tangannya. Luina tersenyum getir melihat Skala. “Mas…” panggil Luina, suaranya pelan. “Maaf ya, harusnya kita nggak usah ke kafe tadi.” Skala segera mendekat, meraih tangan Luina, dan menciumnya lama. “Ssstt… jangan salahin diri kamu, Sayang. Mas yang salah karena nggak mencegah kamu,” ucapnya, mencoba menahan emosi. Luina menatap Skala, terlihat cemas. “Aku kenapa, Mas? Perut aku kenapa tadi sakit banget. Apa aku sakit parah?” Skala duduk di sisi ranjang, meraih kedua tangan Luina dan menggenggamnya hangat. Ia mengusap pipi Luina dengan ibu jarinya. “Sayang, kamu nggak sakit parah. Justru, kamu sekarang lagi dapat hadiah paling indah dari Tuhan,” ucap Skala, matanya berkaca-kaca menahan haru. Luina mengerutkan dahi, bingung. “Hadiah apa, Mas?” Skala membungkuk, menyentuh lembut perut rata Luina. “Kamu… kamu hamil, Sayang. Dokter bilang usia kandungan k

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 74

    Skala tidak membuang waktu. Dengan panik, ia langsung menggendong Luina di pelukannya, sedikit berlari menuruni anak tangga. Jantungnya berdebar kencang. Saat Skala hampir mencapai pintu utama vila, pintu itu terbuka, dan ia terhenti. Papanya, Axel, Sarah, serta saudaranya yang lain, baru saja pulang dari air terjun. Mereka semua terkejut melihat Luina yang terkulai tidak sadarkan diri di gendongan Skala. “Skala! Luina kenapa?” tanya Pak Aditya, suara cemasnya menggema di hall vila. “Aku nggak tahu, Pa. Tiba-tiba dia bilang sakit perut banget dan langsung pingsan,” jawab Skala, napasnya tersengal. “Aku mau ke rumah sakit,” tambah Skala, lalu kembali melangkah cepat, melewati kerumunan yang terkejut itu menuju mobilnya. “Papa ikut, Skala!” ucap Pak Aditya, tanpa ragu mengejar putranya, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Seketika orang-orang yang berada di sana terdiam, saling pandang karena bingung dan cemas. “Semoga Luina baik-baik aja,” ucap Desi lir

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 73

    Skala mengikuti navigasi, dan tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah kafe kecil yang dikelilingi kebun teh dengan pemandangan pegunungan yang menakjubkan. Suasananya sepi dan tenang, jauh dari keramaian vila. Mereka memilih tempat duduk di teras dengan pemandangan terbaik. Skala segera memesankan Luina teh hangat madu dan semangkuk sup krim. “Teh hangat, nggak kopi dingin. Aku nggak mau kamu sakit lagi,” ucap Skala. Luina mendengus. “Iya deh, Mas. My personal doctor,” candanya. Setelah beberapa saat menikmati keindahan alam dan kehangatan sup, Skala menatap Luina lekat-lekat. “Sayang, kamu masih kepikirin siapa yang neror kamu nggak?” tanya Skala, nadanya serius. Wajah Luina yang baru saja membaik seketika meredup. Ia menggenggam tangan Skala lebih erat. “Mas… jangan bahas itu lagi, aku udah nggak mau ingat kejadian itu, aku mohon…” lirih Luina. Skala segera menyadari kesalahannya. Ia seharusnya tidak mengungkit hal itu saat Luina sedang dalam masa pemulihan. “Maa

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 72

    Axel tampak santai, ia bercanda tawa dengan Reno dan Desi seolah tidak ada beban. Tante Ida dan Tante Sari sibuk menyiapkan bekal piknik yang berlimpah di pinggir sungai, mengatur tikar dan makanan. Sementara yang lain menikmati keindahan alam, Sarah duduk sedikit menjauh di dekat sebuah batu besar. Wajahnya terlihat pucat. Ia memegangi perutnya yang terasa tidak nyaman. Axel yang melihat Sarah sedikit terasing, menghampirinya. “Kamu kenapa? Nggak ikut gabung?” Sarah meringis. “Nggak tahu, Xel. Perut aku kembung banget, terus mual. Kayaknya aku masuk angin,” keluhnya. Axel hanya mengangguk, tanpa menunjukkan kepedulian yang mendalam. “Yaudah, kamu jangan minum es. Cari tempat yang hangat,” jawab Axel, lalu kembali ke Reno dan Desi untuk melanjutkan obrolan mereka, meninggalkan Sarah yang masih mual. Sarah mendesah. Mualnya semakin menjadi-jadi. Ia mencoba memijat pelipisnya. Dalam benaknya, ia mulai mengingat kembali hal-hal aneh yang ia rasakan belakangan ini. “Mual beg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status