LOGIN"Selamat datang di apartemen baru kita, Mas Skala," ujarnya sambil menepuk ringan sprei di samping tubuh Skala. "Semoga kamu betah ya. Nggak ada dokter, nggak ada perawat... cuma aku, istri kamu yang cantik dan seksi ini."
Ia tersenyum kecil, meski lelah masih tersisa di wajahnya. Butuh waktu berminggu-minggu lobi dan tanda tangan formulir agar pihak rumah sakit akhirnya mengizinkan Skala dipindahkan. Setelah kondisi vitalnya stabil dan alat bantu napas dilepas, dokter menyebut Skala hanya tinggal menunggu “momen sadar” — tubuhnya sudah bisa dirawat di rumah, selama perawatannya rutin dan lingkungannya tenang. Ia menatap laki-laki itu lama. Udara di apartemen itu bagai tak bernyawa, melihat wajah Skala yang diam di bawah sorotan lampu redup membuat dadanya terasa aneh. Ia cepat-cepat mengalihkan pikiran, lalu mengambil baskom berisi air hangat di meja kecil. "Dokter bilang, pasien kayak kamu harus tetap dijaga kebersihannya." Ia menghela napas, menggulung lengan piyamanya sampai siku. "Tapi ya ampun, Mas. Aku istri, bukan perawat. Kalau tau gini, aku dulu sekolah keperawatan aja sekalian." Luina mencelupkan handuk kecil ke air, memerasnya pelan, lalu mulai mengelap tangan Skala. Gerakannya hati-hati, meski mulutnya tetap sibuk mengomel. "Nih, tangan kamu dingin banget. Jangan-jangan kamu sengaja diem terus biar aku ngerawat kamu tiap hari ya?” Ia berpindah ke lengan, lalu dada bagian atas. Jemarinya sempat berhenti di sana — hanya sebentar, tapi cukup untuk membuatnya menelan ludah pelan. "Uh... badan kamu masih keras aja padahal nggak ngapa-ngapain, ya," gumamnya cepat, lalu menepuk pipinya sendiri pelan. "Fokus, Luina. Fokus." Ia terkekeh kecil, menatap wajah Skala lama. "Kamu tuh sadar nggak sih, kalau aku udah repot begini? Aku nggak cuma jagain kamu, tapi juga ngurus semua administrasi, belanja, sampai ngatur apartemen ini biar kamu bisa nyaman. Padahal katanya pernikahan kita cuma formalitas, loh." Luina berhenti sebentar, mengelap sisa air di kulit Skala dengan handuk kering. "Kalau kamu bangun nanti, aku mau denger ucapan terima kasih. Minimal, traktir aku makan keren. Atau beliin tas baru juga boleh." Monitor kecil di samping ranjang menunjukkan ritme jantung yang stabil. Luina memperhatikannya sekilas, lalu tersenyum miring. "Nah, liat kan? Dengar nama 'tas baru' aja jantung kamu langsung normal." Ia tertawa kecil, lalu kembali fokus membersihkan leher dan wajah Skala dengan gerakan lembut. Setelah selesai, ia duduk di tepi ranjang, menatap hasil kerjanya dengan puas. "Ganteng banget sih kamu," katanya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. "Sayang aja, masih sekarat." “Coba kalau bangun. Udah ciuman gak sih kita?” Luina terkekeh kecil. “Bercanda.” Luina menyandarkan tubuhnya di sandaran ranjang, menatap wajah Skala dari jarak dekat. "Tapi ya, kalau kamu sadar nanti... jangan geer dulu. Aku ngerawat kamu bukan karena cinta, tapi karena bosan aja. Ngerti, Mas?" Namun, begitu ia hendak berdiri, jemarinya tanpa sadar menyentuh tangan Skala sekali lagi. Kali ini genggamannya bertahan sedikit lebih lama dari seharusnya. "...Tapi kalau kamu denger," bisiknya lirih, "bangun deh pelan-pelan. Aku udah nggak tahan ngobrol sendirian." Ia cepat-cepat melepaskan genggaman itu, berdiri sambil menghela napas panjang. ”Selain ngobrol, besok besok aku bacain buku aja ya atas saran dokter?” “Buku apa yang kamu suka? Buku…….. yang panas-panas gitu kamu suka kali ya?” Ia tersenyum miring. “Siapa tau bangun, kan?” “Oke! Aku beliin bukunya!” Dan saat Luina berjalan mengambil handphonenya, layar monitor di sisi ranjang tiba-tiba berbunyi lembut — detak jantung Skala naik sedikit. ***** Luina duduk di tepi ranjang sambil menguap lebar. "Pagi-pagi udah mandiin anak orang," gumamnya dengan nada malas, tapi tangannya sudah mencelupkan kain kecil ke baskom air hangat. “Anak sendiri aja belum ada. Haduh mas Skala?” Ia menghela napas panjang. "Kamu tuh enak banget ya... tidur seharian, nggak kerja, bobo aja gitu. Gantian mau mas?” Kain di tangannya bergerak lembut, mengusap kulit tangan Skala yang dingin tapi terasa hidup. "Lihat tuh, tangan kamu– dingin banget beda kaya mulut kamu yang pedes." ujarnya sambil mendengus kecil. "Tapi sekarang, entah kenapa... jadi kasian juga liat kamu begini." Ia memindahkan handuk ke bagian lain tubuh Skala dengan gerakan pelan. "Kamu tau nggak, aku tuh bisa aja nyuruh perawat ngelakuin ini. Tapi nggak, aku yang ngelakuin sendiri. Padahal aku bisa aja rebahan sambil maskeran." Senyum tipis muncul di wajahnya. "Cuma... ya, kalau aku nggak ngurus kamu, siapa lagi?" Ia berhenti sejenak, memperhatikan wajah Skala yang diam. Ada sesuatu di sana — entah kedamaian atau rasa tenang yang malah bikin Luina kesal sendiri. “Coba kamu bangun, biar bisa balesin omongan aku. Aku beneran butuh lawan debat." Ia beralih ke bahu Skala yang bidang. Jemarinya berhenti sebentar. "Ngomong-ngomong, makasih lho bahunya," gumam Luina, suaranya melunak tanpa sadar. "Waktu kecelakaan, aku tahu kamu yang nahan semua benturan.” Luina melanjutkan ke bagian dada. Ia menarik piyama Skala sedikit ke bawah, lalu membersihkan area leher dan tulang selangka. Matanya tak sengaja terpaku pada bentuk otot dada Skala yang meskipun sedang terbaring, tetap terlihat kencang. Ia menelan ludah. "Oke, Luina, fokus. Ini cuma otot, Luina. Otot," bisiknya pada dirinya sendiri. Ia mengambil handuk kering dan mulai mengeringkan. Saat ia mengeringkan dada bagian atas, rasa penasaran itu muncul lagi. "Kamu gym gak sih, Mas?" tanyanya pelan. "Padahal kamu koma,tapi kenapa agak keras gitu ya? Atau... kamu beneran gay makanya badan kamu bagus tapi nggak punya pacar?" Luina sengaja menekan jarinya sedikit ke dada Skala. Detak monitor mulai naik, bip lebih cepat. "Marah ya dibilang gay? Makanya bangun, terus buktiin ke aku." ejek Luina. Ia menarik tangannya cepat, tapi senyum puas muncul di bibirnya. " Ia lalu beralih membersihkan wajah Skala. Gerakannya menjadi sangat lembut saat mengelap kening, hidung, dan pipi. "Oke, bagian atas udah.” "Mas... menurut kamu, aku perlu bersihin bagian bawah kamu nggak?" tanya Luina, nadanya setengah menggoda. Tidak ada respons dari monitor. Detaknya stabil. “Kalau aku bersihin yang bawah,” bisiknya sambil tersenyum miring, “Kamu bangun nggak, Mas?”Luina menyentuh ujung selimut yang menutupi bagian bawah Skala, lalu menarik tangannya cepat. Wajahnya langsung memerah.
Ia menimbang apakah ini akan masuk pelecehan kalau belum ada jawaban? "Gini aja deh, Mas. Aku butuh instruksi dari kamu. Kalau kamu ngizinin aku bersihin bagian bawah kamu, detak jantung kamu naik tiga kali." Luina menatap tangan kanan Skala yang terbaring di samping. Ia menunggu, nafasnya tertahan. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut, tapi karena sensasi bermain game rahasia ini. Satu detik. Dua detik. Detak monitor tetap stabil. “Kamu nggak mau ya? Berarti aku nggak usah ya." Namun, saat Luina hendak berdiri dan mengambil telepon untuk memanggil perawat datang besok pagi, ia melihat pergerakan lagi. Bukan monitor detak jantung. Jari telunjuk tangan kiri Skala bergerak, kali ini sedikit lebih kuat. Luina jelas melihatnya. Luina membeku di tempat. Ia kembali duduk, menatap Skala dengan intens. Luina mencoba menafsirkan gerakan Skala yang baru ada perubahan. Ia mengambil tangan kiri Skala, menggenggamnya perlahan. "Mas Skala, kita harus sepakat. Satu gerakan jari itu 'Ya', dua gerakan itu 'Tidak'. Paham?" Luina menatap wajah Skala. Monitor berdetak cepat, bip-bip-bip. "Bagus! Kamu ngerti! Jadi setuju atau nggak aku bersihin bagian bawah kamu?" Luina menatap tangan Skala yang masih digenggamnya. Rasa penasaran dan canggung bercampur menjadi satu. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Jari telunjuk Skala bergerak, sekali. Luina tersentak, mata Luina melebar tak percaya. Satu gerakan 'Ya'. Wajah Luina langsung memerah, dari pipi hingga ke leher. Ia buru-buru melepaskan genggaman tangan Skala, tubuhnya sedikit menjauh dari ranjang. "Satu kali... 'Ya'?" ulang Luina, suaranya nyaris seperti jeritan tertahan. Detak monitor meningkat sedikit, bip lebih cepat, seolah menegaskan jawaban itu. Luina menelan ludah. Ia menatap Skala yang wajahnya tetap tenang, sementara pelipis dahinya mulai berkeringat bersamaan detak jantung yang tak karuan. "Ya ampun, Mas Skala! Kamu ini lagi koma, tapi kenapa... kenapa gini banget sih responsnya?" Luina mengomel. Ia menarik napas panjang, mencoba menguasai diri. Ia benar benar istri yang sah tanpa kontrak mengikatnya, ini adalah urusan kebersihan dan kesehatan. Tetapi ia tidak bisa mengabaikan bahwa ini juga menjadi permainan yang bahaya. “Berarti…. Jawabannya, iya kan?”Luina duduk di sofa yang empuk, jarinya mulai menari di layar ponsel. "Oke, Mas Skala. Kamu minta game panas, aku kasih game panas," gumam Luina, membuka aplikasi belanja online. Ia mengetikkan kata kunci dengan keberanian baru. Ia tidak lagi peduli dengan riwayat pencarian; fokusnya adalah mencari stimulus paling efektif. Luina menelusuri berbagai judul novel romantis erotis. Ia menolak novel dengan sampul yang terlalu dramatis dan mencari yang fokus pada ketegangan, slow burn, dan pastinya, memiliki protagonis pria yang kaku dan misterius—seperti suaminya. "Yang ini...," Luina membaca deskripsinya. "Bagus, ada bos kaku yang diam-diam punya hasrat besar. Cocok banget sama kamu, Mas." Ia memilih tiga judul berbeda, memastikan ada variasi alur yang cukup untuk menjaga Skala tetap "penasaran." Luina memilih opsi pengiriman tercepat, mendesak penjual agar buku itu tiba sore ini. Pesan ke Penjual: Mohon bungkus dengan sangat rapat dan tebal. Ini untuk terapi. Setelah pesanan s
Luina mencoba menarik napas, tapi udara di ruangan itu terasa terlalu tipis dan panas. Setelah berhasil membersihkan area pinggul, tiba waktunya untuk menjalankan kode "Ya" dari Skala. Tugas yang seharusnya higienis kini terasa seperti aksi provokasi yang berbahaya. Luina menatap selimut tebal itu, lalu menatap wajah Skala yang masih tenang, meski pelipisnya sedikit berkeringat. "Oke, Mas. Jangan salahin aku kalau kamu...," bisik Luina, menuduh Skala padahal ia yang paling gugup. "Eh? Ini kok ada yang bangun? Apa selimut kamu ya?" Dengan tangan yang gemetar hebat, Luina perlahan mengangkat selimut. Ia membalikkan tubuh Skala sedikit, memaksakan dirinya untuk bersikap profesional. Ia mulai menurunkan celana seraya memejamkan mata. Ia harus fokus pada tugasnya. Namun, Luina adalah Luina. Rasa penasaran dan isengnya selalu lebih kuat dari rasa malunya. Saat ia membuka matanya dan membersihkan pelan. Sebuah ide gila melintas di kepalanya. Karena ia tahu Skala mendengarnya, menga
"Selamat datang di apartemen baru kita, Mas Skala," ujarnya sambil menepuk ringan sprei di samping tubuh Skala. "Semoga kamu betah ya. Nggak ada dokter, nggak ada perawat... cuma aku, istri kamu yang cantik dan seksi ini." Ia tersenyum kecil, meski lelah masih tersisa di wajahnya. Butuh waktu berminggu-minggu lobi dan tanda tangan formulir agar pihak rumah sakit akhirnya mengizinkan Skala dipindahkan. Setelah kondisi vitalnya stabil dan alat bantu napas dilepas, dokter menyebut Skala hanya tinggal menunggu “momen sadar” — tubuhnya sudah bisa dirawat di rumah, selama perawatannya rutin dan lingkungannya tenang. Ia menatap laki-laki itu lama. Udara di apartemen itu bagai tak bernyawa, melihat wajah Skala yang diam di bawah sorotan lampu redup membuat dadanya terasa aneh. Ia cepat-cepat mengalihkan pikiran, lalu mengambil baskom berisi air hangat di meja kecil. "Dokter bilang, pasien kayak kamu harus tetap dijaga kebersihannya." Ia menghela napas, menggulung lengan piyamanya samp
Tiga hari berlalu sejak Luina pertama kali menatap Skala di ruang ICU. Dan dalam tiga hari itu, banyak hal berubah. Sekarang ia duduk di ruang kerja besar yang dulunya milik Skala—dinding kayu gelap, rak buku berisi berkas perusahaan, dan aroma khas kopi hitam yang masih tertinggal di udara. Luina menatap tulisan itu lama, perasaan campur aduk menyelusup ke dadanya. Ada rasa aneh—bukan bahagia, bukan juga sedih. Mungkin... sesuatu di antara keduanya. Cahaya matahari menembus tirai, jatuh di wajahnya. Di luar, karyawan lalu lalang dengan langkah cepat. Mereka semua tahu, posisi Skala kini digantikan oleh istrinya—perempuan muda yang sebelumnya hampir tidak pernah muncul di hadapan publik. Pintu ruangannya diketuk pelan. "Masuk," ucap Luina. Seorang pria paruh baya masuk, membawa beberapa map tebal. "Ini berkas laporan dari divisi keuangan, Bu. Dan ini juga... dokumen peralihan aset pribadi almar—eh, maksud saya, Pak Skala." Luina menatap cepat pria itu, senyum tipis di bibirn
"Kalau semua aset dan perusahaan diserahin ke aku... bukannya itu berarti semua ini akan jadi milik aku kalau Mas Skala nggak pernah bangun?" batinnya.Luina menatap tangannya sendiri, lalu menutup mata. Untuk sesaat, rasa takut dan keserakahan bertarung di dalam dadanya—dan tidak ada yang menang."Luina... kita lihat Skala dulu yuk, dia yang peluk kamu saat kejadian.” ujar mamanya mengajaknyaKalimat terakhir yang keluar dari mulut sang Mama membuat dada Luina terasa sesak entah kenapa.Luina terdiam. Hening yang tercipta di ruangan itu terasa aneh—seolah udara di sekelilingnya menebal. Ia mencoba menertawakan kalimat itu di dalam hati, tapi justru merasa perih.Kilasan kecelakaan itu datang tiba-tiba—tajam, bergetar, dan menyakitkan.Semuanya terjadi begitu cepat, begitu kacau.Saat Skala melepas sabuk pengamannya, dan tanpa berpikir, menarik tubuh Luina ke arahnya.Semuanya terjadi begitu cepat—sentuhan dingin di kulit, aroma cologne samar yang tertinggal di jasnya, dan detik berik
Cahaya putih menyilaukan menusuk kelopak matanya. Suara samar mesin medis, detak monitor, dan langkah kaki para perawat berpadu menjadi satu, menciptakan ruang hening yang menyesakkan.Luina membuka mata perlahan.Langit-langit putih. Bau antiseptik.Tangannya dibalut perban ringan. Tubuhnya terasa berat, tapi tak ada rasa sakit berarti—hanya pegal yang samar."Syukurlah, Ny. Luina sudah sadar," ucap seorang perawat begitu melihat matanya terbuka.Luina mengerjap bingung. Skala? Butuh beberapa detik sebelum ingatan itu menampar keras kepalanya—suara benturan, cahaya lampu truk, teriakan, darah, dan..."Skala!" serunya refleks, mencoba bangun. Tapi perawat buru-buru menahannya."Tenang dulu, Bu. Kondisi Anda masih belum stabil.""Aku tanya, dimana dia?" nafasnya mulai tersengal. "Dia—dia berdarah waktu itu... dia—"Dokter datang tergesa. Wajahnya tenang, tapi suaranya berhati-hati."Suami Anda... masih dirawat di ruang ICU. Kondisinya kritis ketika dibawa ke sini, tapi sekarang sudah







