LOGINLuina mencoba menarik napas, tapi udara di ruangan itu terasa terlalu tipis dan panas. Setelah berhasil membersihkan area pinggul, tiba waktunya untuk menjalankan kode "Ya" dari Skala. Tugas yang seharusnya higienis kini terasa seperti aksi provokasi yang berbahaya.
Luina menatap selimut tebal itu, lalu menatap wajah Skala yang masih tenang, meski pelipisnya sedikit berkeringat. "Oke, Mas. Jangan salahin aku kalau kamu...," bisik Luina, menuduh Skala padahal ia yang paling gugup. "Eh? Ini kok ada yang bangun? Apa selimut kamu ya?" Dengan tangan yang gemetar hebat, Luina perlahan mengangkat selimut. Ia membalikkan tubuh Skala sedikit, memaksakan dirinya untuk bersikap profesional. Ia mulai menurunkan celana seraya memejamkan mata. Ia harus fokus pada tugasnya. Namun, Luina adalah Luina. Rasa penasaran dan isengnya selalu lebih kuat dari rasa malunya. Saat ia membuka matanya dan membersihkan pelan. Sebuah ide gila melintas di kepalanya. Karena ia tahu Skala mendengarnya, mengapa tidak sekalian menguji batas pria itu? Luina menghentikan gerakannya, membiarkan handuk di tangannya. Ia mencondongkan tubuhnya, menatap lurus ke wajah Skala. Dengan gerakan yang sangat hati-hati, ia memberanikan diri menurunkan bagian bawah celana milik Skala. Menatapnya lamat. "Oh... bentukannya gini?""Ini....tuh apa ya?" tukasnya.
Wajahnya seketika memerah total, ia merasa jantungnya sendiri akan meledak. Ia meraba kala matanya menangkap memori itu. Seperti itu bagian bawah punya pria.
Mengapa punya Skala agak keras? Maksudku.... Ini menegang atau ada... ini apa?
"Nah, sekarang aku beneran nggak fokus," gumam Luina, menarik tangannya cepat. Tepat saat tangan Luina menjauh, bunyi monitor berteriak kencang! Bip-bip-bip-bip! Detak jantung Skala melonjak ke batas atas. Keringat dingin membasahi pelipis Skala. Jari telunjuk di tangan kirinya bergerak cepat dan tak beraturan, mencengkeram sprei. Luina panik setengah mati. Ia buru-buru menutupi Skala dengan selimut, lalu meraih tangan Skala yang mencengkeram. "Mas! Hei! Jangan bangun sekarang! Jangan! Aku... aku minta maaf! Aku cuma bercanda! Jangan bercanda!" Luina memohon, suaranya tercekat. Ia mencondongkan tubuhnya ke wajah Skala yang tampak tegang. "Tolong, Mas! Turunin detaknya! Aku janji nggak akan main-main lagi! Aku janji nggak akan sentuh kamu di sana lagi sebelum kamu sadar!" Detak monitor perlahan mulai mereda, meskipun masih lebih cepat dari biasanya. Skala tetap diam, namun ketegangan di wajahnya belum hilang sepenuhnya. Luina bersandar di sandaran kursi, memegangi dadanya. "Ya ampun, Mas. Kamu... kamu bikin aku takut mati," Luina menghela napas panjang, lalu senyum konyol muncul di wajahnya. "Tapi well, setidaknya...... kita sah kan? Jadi aku gak dosa bersihin bawah kamu kan?" ***** Bel pintu apartemen berbunyi. Luina melirik jam di ponsel, sudah pukul sepuluh pagi. Itu pasti Dokter Handoko, dokter keluarga yang rutin memeriksa Skala. Luina buru-buru berdiri, merapikan piyamanya yang sedikit terbuka dan mengusap wajahnya, menghilangkan sisa-sisa keringat dan rona merah. "Gawat. Jangan sampai dokter curiga," gumam Luina. Ia berjalan ke pintu dan membukanya. Dokter Handoko, seorang pria paruh baya yang ramah dengan membawa tas kulit kecil, berdiri di depan pintu. "Selamat pagi, Bu Luina. Bagaimana kondisi Pak Skala hari ini?" tanya Dokter Handoko dengan senyum formal. "Selamat pagi, Dokter. Kondisinya... stabil. Tadi pagi saya sudah selesai membersihkannya," jawab Luina, nadanya dipaksakan datar dan profesional. Dokter Handoko mengangguk, lalu masuk ke kamar Skala. Luina mengikutinya, tangannya terkepal di belakang punggungnya. Dokter Handoko memeriksa mata Skala dengan senter kecil, memeriksa selang infus yang tersisa, meskipun hanya cairan vitamin, dan yang paling penting, memeriksa monitor detak jantung dan tekanan darah. "Hm," gumam dokter sambil melihat layar monitor. "Detak jantungnya bagus, tekanan darahnya juga normal. Tidak ada tanda-tanda infeksi." Luina merasa lega, tapi ia harus berhati-hati. "Tadi... sekitar setengah jam yang lalu, monitornya sempat berbunyi sangat cepat, Dokter. Saya panik," Luina mencoba memancing, ingin tahu apakah lonjakan tadi meninggalkan jejak. Dokter Handoko melihat riwayat di monitor. "Oh, ya. Ada lonjakan detak jantung yang cukup signifikan. Tapi sebentar saja, hanya sekitar dua menit. Setelah itu langsung turun drastis." Dokter Handoko lalu menoleh pada Luina dengan senyum penuh arti. "Itu bagus, Bu Luina. Seperti yang saya katakan, peningkatan aktivitas jantung atau gelombang otak adalah pertanda baik. Itu menunjukkan bahwa Pak Skala merespons interaksi di sekitarnya." "Mer... merespons interaksi?" Luina mengulanginya, berpura-pura terkejut. "Tentu saja. Mungkin saat itu Ibu sedang berbicara dengannya, atau menyentuhnya. Semakin pribadi interaksi itu, semakin kuat responsnya," jelas Dokter Handoko, sama sekali tidak menyadari betapa 'pribadi' interaksi barusan. "Ibu tahu," lanjut dokter sambil menepuk bahu Luina. "Pasien koma sering kali mengalami lucid dream atau mimpi sadar, dan sentuhan atau suara dari orang terkasih bisa menarik mereka keluar. Teruslah berinteraksi, Bu. Itu terapi yang paling efektif. Beri dia stimulus yang kuat, sesuatu yang bisa memancing memorinya, atau emosinya." Luina mengangguk-angguk, wajahnya kini dipenuhi cahaya ide. Ia mendapatkan izin medis untuk melanjutkan 'permainan'nya. Dokter Handoko lalu memberikan resep vitamin dan instruksi rutin. Setelah Dokter Handoko pergi, Luina mengunci pintu dan berbalik menatap Skala. Senyumnya kini bukan lagi senyum polos, melainkan senyum penuh arti dan sedikit licik. "Dengar, Mas Skala," bisik Luina, mencondongkan tubuhnya hingga bibirnya nyaris menyentuh telinga Skala. "Dokter bilang, interaksi yang paling pribadi itu adalah terapi paling efektif. Dan kamu barusan memberiku kode bahwa kamu suka dengan interaksi pribadi yang paling pribadi." Luina berjalan ke meja, mengambil ponselnya. "Aku janji nggak akan main-main lagi dengan sentuhan sebelum kamu sadar. Tapi... aku nggak janji untuk berhenti memberikan stimulus," kata Luina. Ia menatap Skala dari ujung kaki sampai kepala. Pria itu tampan, memiliki abs kotak-kotak, dan kaku—sampai ia diberi godaan. Luina sadar, ia memiliki mainan baru yang sangat menarik di depannya. "Stimulus yang kuat ya, Mas?" Luina mulai berpikir. "Kalau sentuhan bikin kamu panik, berarti aku harus pakai suara. Tapi bukan omelan, bukan cerita formal..." Tiba-tiba ia teringat dengan janji buku panas yang ia lontarkan. "Bingo!" Luina tersenyum lebar. Ia kembali mengambil ponselnya. "Aku akan beli bukunya. Kita lihat, hero kaku," tantang Luina. "Mana yang lebih kuat, hasrat kamu yang terpendam, atau koma kamu? Aku akan bikin kamu bangun hanya karena penasaran dengan kelanjutan ceritanya!"Pintu ruang rawat diketuk pelan, lalu terbuka. Seorang perawat masuk sambil mendorong troli kecil. Di atasnya, semangkuk bubur hangat dan satu botol air mineral tertata rapi. “Permisi, Bu Luina,” ucap perawat itu lembut. “Ini buburnya ya. Dokter minta Ibu makan sedikit dulu biar tenaganya balik.” Luina melirik bubur itu sekilas, lalu menggeleng pelan. “Aku nggak lapar…” ucapnya lirih. “Perut aku masih nggak enak, rasanya mual dikit.” Perawat tersenyum maklum. “Nggak apa-apa, Bu. Dimakan sedikit aja, beberapa sendok. Penting buat Ibu dan bayinya.” Setelah meletakkan bubur di meja kecil, perawat itu pamit keluar, meninggalkan Luina dan Skala. Begitu pintu tertutup, Skala langsung mendekat. Ia menarik meja kecil lebih dekat ke ranjang, lalu mengambil mangkuk bubur itu. “Sayang… Cuma sedikit aja, ya. Satu dua sendok,” bujuk Skala. Luina menggeleng lagi, memalingkan wajah. “Mas… aku beneran nggak pengen. Takut malah muntah.” Skala menghela napas, lalu duduk di sisi ranjang.
Luina duduk bersandar di bantal yang sudah diatur Skala sedemikian rupa agar merasa nyaman. Skala duduk di sampingnya, membaca buku. “Mas… aku mau haus…” ucap Luina pelan, ia masih merasa lemas. Skala langsung menutup bukunya dan sigap bangkit. “Mas ambilin air hangat ya. Kamu mau infused water yang ada lemonnya? Tadi Mas minta suster siapin.” “Air biasa aja, Mas. Aku nggak mau yang asem-asem,” jawab Luina, sedikit meringis. Skala tersenyum lembut. “Siap, Sayang. Apapun buat calon Mama,” ucapnya, mengambilkan air mineral dari nakas dan membantunya minum. Setelah Luina merasa lebih nyaman, Skala kembali duduk di sampingnya, mengusap perut Luina dengan lembut. “Kita harus jaga dia baik-baik, ya Sayang. Nggak ada stres, nggak ada capek, semuanya Mas yang urus.” “Kok aku nggak berasa hamil ya, Mas?” ucap Luina, ia terdengar sedikit bingung. “Maksudnya aku nggak merasa mual atau ciri-ciri hamil, Mas.” Skala tertawa pelan. “Memang nggak semua perempuan langsung merasakan mual,
Skala melangkah perlahan memasuki ruang perawatan Luina. Istrinya terlihat lemah, terbaring dengan infus terpasang di tangannya. Luina tersenyum getir melihat Skala. “Mas…” panggil Luina, suaranya pelan. “Maaf ya, harusnya kita nggak usah ke kafe tadi.” Skala segera mendekat, meraih tangan Luina, dan menciumnya lama. “Ssstt… jangan salahin diri kamu, Sayang. Mas yang salah karena nggak mencegah kamu,” ucapnya, mencoba menahan emosi. Luina menatap Skala, terlihat cemas. “Aku kenapa, Mas? Perut aku kenapa tadi sakit banget. Apa aku sakit parah?” Skala duduk di sisi ranjang, meraih kedua tangan Luina dan menggenggamnya hangat. Ia mengusap pipi Luina dengan ibu jarinya. “Sayang, kamu nggak sakit parah. Justru, kamu sekarang lagi dapat hadiah paling indah dari Tuhan,” ucap Skala, matanya berkaca-kaca menahan haru. Luina mengerutkan dahi, bingung. “Hadiah apa, Mas?” Skala membungkuk, menyentuh lembut perut rata Luina. “Kamu… kamu hamil, Sayang. Dokter bilang usia kandungan k
Skala tidak membuang waktu. Dengan panik, ia langsung menggendong Luina di pelukannya, sedikit berlari menuruni anak tangga. Jantungnya berdebar kencang. Saat Skala hampir mencapai pintu utama vila, pintu itu terbuka, dan ia terhenti. Papanya, Axel, Sarah, serta saudaranya yang lain, baru saja pulang dari air terjun. Mereka semua terkejut melihat Luina yang terkulai tidak sadarkan diri di gendongan Skala. “Skala! Luina kenapa?” tanya Pak Aditya, suara cemasnya menggema di hall vila. “Aku nggak tahu, Pa. Tiba-tiba dia bilang sakit perut banget dan langsung pingsan,” jawab Skala, napasnya tersengal. “Aku mau ke rumah sakit,” tambah Skala, lalu kembali melangkah cepat, melewati kerumunan yang terkejut itu menuju mobilnya. “Papa ikut, Skala!” ucap Pak Aditya, tanpa ragu mengejar putranya, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Seketika orang-orang yang berada di sana terdiam, saling pandang karena bingung dan cemas. “Semoga Luina baik-baik aja,” ucap Desi lir
Skala mengikuti navigasi, dan tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah kafe kecil yang dikelilingi kebun teh dengan pemandangan pegunungan yang menakjubkan. Suasananya sepi dan tenang, jauh dari keramaian vila. Mereka memilih tempat duduk di teras dengan pemandangan terbaik. Skala segera memesankan Luina teh hangat madu dan semangkuk sup krim. “Teh hangat, nggak kopi dingin. Aku nggak mau kamu sakit lagi,” ucap Skala. Luina mendengus. “Iya deh, Mas. My personal doctor,” candanya. Setelah beberapa saat menikmati keindahan alam dan kehangatan sup, Skala menatap Luina lekat-lekat. “Sayang, kamu masih kepikirin siapa yang neror kamu nggak?” tanya Skala, nadanya serius. Wajah Luina yang baru saja membaik seketika meredup. Ia menggenggam tangan Skala lebih erat. “Mas… jangan bahas itu lagi, aku udah nggak mau ingat kejadian itu, aku mohon…” lirih Luina. Skala segera menyadari kesalahannya. Ia seharusnya tidak mengungkit hal itu saat Luina sedang dalam masa pemulihan. “Maa
Axel tampak santai, ia bercanda tawa dengan Reno dan Desi seolah tidak ada beban. Tante Ida dan Tante Sari sibuk menyiapkan bekal piknik yang berlimpah di pinggir sungai, mengatur tikar dan makanan. Sementara yang lain menikmati keindahan alam, Sarah duduk sedikit menjauh di dekat sebuah batu besar. Wajahnya terlihat pucat. Ia memegangi perutnya yang terasa tidak nyaman. Axel yang melihat Sarah sedikit terasing, menghampirinya. “Kamu kenapa? Nggak ikut gabung?” Sarah meringis. “Nggak tahu, Xel. Perut aku kembung banget, terus mual. Kayaknya aku masuk angin,” keluhnya. Axel hanya mengangguk, tanpa menunjukkan kepedulian yang mendalam. “Yaudah, kamu jangan minum es. Cari tempat yang hangat,” jawab Axel, lalu kembali ke Reno dan Desi untuk melanjutkan obrolan mereka, meninggalkan Sarah yang masih mual. Sarah mendesah. Mualnya semakin menjadi-jadi. Ia mencoba memijat pelipisnya. Dalam benaknya, ia mulai mengingat kembali hal-hal aneh yang ia rasakan belakangan ini. “Mual beg







