Share

Bab 6

Author: Kata Semesta
last update Last Updated: 2025-11-13 11:01:26

Luina mencoba menarik napas, tapi udara di ruangan itu terasa terlalu tipis dan panas. Setelah berhasil membersihkan area pinggul, tiba waktunya untuk menjalankan kode "Ya" dari Skala. Tugas yang seharusnya higienis kini terasa seperti aksi provokasi yang berbahaya.

Luina menatap selimut tebal itu, lalu menatap wajah Skala yang masih tenang, meski pelipisnya sedikit berkeringat.

"Oke, Mas. Jangan salahin aku kalau kamu...," bisik Luina, menuduh Skala padahal ia yang paling gugup. "Eh? Ini kok ada yang bangun? Apa selimut kamu ya?"

Dengan tangan yang gemetar hebat, Luina perlahan mengangkat selimut. Ia membalikkan tubuh Skala sedikit, memaksakan dirinya untuk bersikap profesional.

Ia mulai menurunkan celana seraya memejamkan mata. Ia harus fokus pada tugasnya. Namun, Luina adalah Luina. Rasa penasaran dan isengnya selalu lebih kuat dari rasa malunya.

Saat ia membuka matanya dan membersihkan pelan. Sebuah ide gila melintas di kepalanya. Karena ia tahu Skala mendengarnya, mengapa tidak sekalian menguji batas pria itu?

Luina menghentikan gerakannya, membiarkan handuk di tangannya. Ia mencondongkan tubuhnya, menatap lurus ke wajah Skala.

Dengan gerakan yang sangat hati-hati, ia memberanikan diri menurunkan bagian bawah celana milik Skala. Menatapnya lamat. "Oh... bentukannya gini?"

"Ini....tuh apa ya?" tukasnya.

Wajahnya seketika memerah total, ia merasa jantungnya sendiri akan meledak. Ia meraba kala matanya menangkap memori itu. Seperti itu bagian bawah punya pria.

Mengapa punya Skala agak keras? Maksudku.... Ini menegang atau ada... ini apa?

"Nah, sekarang aku beneran nggak fokus," gumam Luina, menarik tangannya cepat.

Tepat saat tangan Luina menjauh, bunyi monitor berteriak kencang!

Bip-bip-bip-bip! Detak jantung Skala melonjak ke batas atas.

Keringat dingin membasahi pelipis Skala. Jari telunjuk di tangan kirinya bergerak cepat dan tak beraturan, mencengkeram sprei.

Luina panik setengah mati. Ia buru-buru menutupi Skala dengan selimut, lalu meraih tangan Skala yang mencengkeram.

"Mas! Hei! Jangan bangun sekarang! Jangan! Aku... aku minta maaf! Aku cuma bercanda! Jangan bercanda!" Luina memohon, suaranya tercekat.

Ia mencondongkan tubuhnya ke wajah Skala yang tampak tegang.

"Tolong, Mas! Turunin detaknya! Aku janji nggak akan main-main lagi! Aku janji nggak akan sentuh kamu di sana lagi sebelum kamu sadar!"

Detak monitor perlahan mulai mereda, meskipun masih lebih cepat dari biasanya. Skala tetap diam, namun ketegangan di wajahnya belum hilang sepenuhnya.

Luina bersandar di sandaran kursi, memegangi dadanya.

"Ya ampun, Mas. Kamu... kamu bikin aku takut mati," Luina menghela napas panjang, lalu senyum konyol muncul di wajahnya.

"Tapi well, setidaknya...... kita sah kan? Jadi aku gak dosa bersihin bawah kamu kan?"

*****

Bel pintu apartemen berbunyi. Luina melirik jam di ponsel, sudah pukul sepuluh pagi. Itu pasti Dokter Handoko, dokter keluarga yang rutin memeriksa Skala.

Luina buru-buru berdiri, merapikan piyamanya yang sedikit terbuka dan mengusap wajahnya, menghilangkan sisa-sisa keringat dan rona merah.

"Gawat. Jangan sampai dokter curiga," gumam Luina.

Ia berjalan ke pintu dan membukanya. Dokter Handoko, seorang pria paruh baya yang ramah dengan membawa tas kulit kecil, berdiri di depan pintu.

"Selamat pagi, Bu Luina. Bagaimana kondisi Pak Skala hari ini?" tanya Dokter Handoko dengan senyum formal.

"Selamat pagi, Dokter. Kondisinya... stabil. Tadi pagi saya sudah selesai membersihkannya," jawab Luina, nadanya dipaksakan datar dan profesional.

Dokter Handoko mengangguk, lalu masuk ke kamar Skala. Luina mengikutinya, tangannya terkepal di belakang punggungnya.

Dokter Handoko memeriksa mata Skala dengan senter kecil, memeriksa selang infus yang tersisa, meskipun hanya cairan vitamin, dan yang paling penting, memeriksa monitor detak jantung dan tekanan darah.

"Hm," gumam dokter sambil melihat layar monitor. "Detak jantungnya bagus, tekanan darahnya juga normal. Tidak ada tanda-tanda infeksi."

Luina merasa lega, tapi ia harus berhati-hati.

"Tadi... sekitar setengah jam yang lalu, monitornya sempat berbunyi sangat cepat, Dokter. Saya panik," Luina mencoba memancing, ingin tahu apakah lonjakan tadi meninggalkan jejak.

Dokter Handoko melihat riwayat di monitor. "Oh, ya. Ada lonjakan detak jantung yang cukup signifikan. Tapi sebentar saja, hanya sekitar dua menit. Setelah itu langsung turun drastis."

Dokter Handoko lalu menoleh pada Luina dengan senyum penuh arti. "Itu bagus, Bu Luina. Seperti yang saya katakan, peningkatan aktivitas jantung atau gelombang otak adalah pertanda baik. Itu menunjukkan bahwa Pak Skala merespons interaksi di sekitarnya."

"Mer... merespons interaksi?" Luina mengulanginya, berpura-pura terkejut.

"Tentu saja. Mungkin saat itu Ibu sedang berbicara dengannya, atau menyentuhnya. Semakin pribadi interaksi itu, semakin kuat responsnya," jelas Dokter Handoko, sama sekali tidak menyadari betapa 'pribadi' interaksi barusan.

"Ibu tahu," lanjut dokter sambil menepuk bahu Luina. "Pasien koma sering kali mengalami lucid dream atau mimpi sadar, dan sentuhan atau suara dari orang terkasih bisa menarik mereka keluar. Teruslah berinteraksi, Bu. Itu terapi yang paling efektif. Beri dia stimulus yang kuat, sesuatu yang bisa memancing memorinya, atau emosinya."

Luina mengangguk-angguk, wajahnya kini dipenuhi cahaya ide. Ia mendapatkan izin medis untuk melanjutkan 'permainan'nya.

Dokter Handoko lalu memberikan resep vitamin dan instruksi rutin. Setelah Dokter Handoko pergi, Luina mengunci pintu dan berbalik menatap Skala. Senyumnya kini bukan lagi senyum polos, melainkan senyum penuh arti dan sedikit licik.

"Dengar, Mas Skala," bisik Luina, mencondongkan tubuhnya hingga bibirnya nyaris menyentuh telinga Skala. "Dokter bilang, interaksi yang paling pribadi itu adalah terapi paling efektif. Dan kamu barusan memberiku kode bahwa kamu suka dengan interaksi pribadi yang paling pribadi."

Luina berjalan ke meja, mengambil ponselnya.

"Aku janji nggak akan main-main lagi dengan sentuhan sebelum kamu sadar. Tapi... aku nggak janji untuk berhenti memberikan stimulus," kata Luina.

Ia menatap Skala dari ujung kaki sampai kepala. Pria itu tampan, memiliki abs kotak-kotak, dan kaku—sampai ia diberi godaan. Luina sadar, ia memiliki mainan baru yang sangat menarik di depannya.

"Stimulus yang kuat ya, Mas?" Luina mulai berpikir. "Kalau sentuhan bikin kamu panik, berarti aku harus pakai suara. Tapi bukan omelan, bukan cerita formal..."

Tiba-tiba ia teringat dengan janji buku panas yang ia lontarkan.

"Bingo!" Luina tersenyum lebar. Ia kembali mengambil ponselnya. "Aku akan beli bukunya. Kita lihat, hero kaku," tantang Luina. "Mana yang lebih kuat, hasrat kamu yang terpendam, atau koma kamu? Aku akan bikin kamu bangun hanya karena penasaran dengan kelanjutan ceritanya!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 7

    Luina duduk di sofa yang empuk, jarinya mulai menari di layar ponsel. "Oke, Mas Skala. Kamu minta game panas, aku kasih game panas," gumam Luina, membuka aplikasi belanja online. Ia mengetikkan kata kunci dengan keberanian baru. Ia tidak lagi peduli dengan riwayat pencarian; fokusnya adalah mencari stimulus paling efektif. Luina menelusuri berbagai judul novel romantis erotis. Ia menolak novel dengan sampul yang terlalu dramatis dan mencari yang fokus pada ketegangan, slow burn, dan pastinya, memiliki protagonis pria yang kaku dan misterius—seperti suaminya. "Yang ini...," Luina membaca deskripsinya. "Bagus, ada bos kaku yang diam-diam punya hasrat besar. Cocok banget sama kamu, Mas." Ia memilih tiga judul berbeda, memastikan ada variasi alur yang cukup untuk menjaga Skala tetap "penasaran." Luina memilih opsi pengiriman tercepat, mendesak penjual agar buku itu tiba sore ini. Pesan ke Penjual: Mohon bungkus dengan sangat rapat dan tebal. Ini untuk terapi. Setelah pesanan s

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 6

    Luina mencoba menarik napas, tapi udara di ruangan itu terasa terlalu tipis dan panas. Setelah berhasil membersihkan area pinggul, tiba waktunya untuk menjalankan kode "Ya" dari Skala. Tugas yang seharusnya higienis kini terasa seperti aksi provokasi yang berbahaya. Luina menatap selimut tebal itu, lalu menatap wajah Skala yang masih tenang, meski pelipisnya sedikit berkeringat. "Oke, Mas. Jangan salahin aku kalau kamu...," bisik Luina, menuduh Skala padahal ia yang paling gugup. "Eh? Ini kok ada yang bangun? Apa selimut kamu ya?" Dengan tangan yang gemetar hebat, Luina perlahan mengangkat selimut. Ia membalikkan tubuh Skala sedikit, memaksakan dirinya untuk bersikap profesional. Ia mulai menurunkan celana seraya memejamkan mata. Ia harus fokus pada tugasnya. Namun, Luina adalah Luina. Rasa penasaran dan isengnya selalu lebih kuat dari rasa malunya. Saat ia membuka matanya dan membersihkan pelan. Sebuah ide gila melintas di kepalanya. Karena ia tahu Skala mendengarnya, menga

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 5

    "Selamat datang di apartemen baru kita, Mas Skala," ujarnya sambil menepuk ringan sprei di samping tubuh Skala. "Semoga kamu betah ya. Nggak ada dokter, nggak ada perawat... cuma aku, istri kamu yang cantik dan seksi ini." Ia tersenyum kecil, meski lelah masih tersisa di wajahnya. Butuh waktu berminggu-minggu lobi dan tanda tangan formulir agar pihak rumah sakit akhirnya mengizinkan Skala dipindahkan. Setelah kondisi vitalnya stabil dan alat bantu napas dilepas, dokter menyebut Skala hanya tinggal menunggu “momen sadar” — tubuhnya sudah bisa dirawat di rumah, selama perawatannya rutin dan lingkungannya tenang. Ia menatap laki-laki itu lama. Udara di apartemen itu bagai tak bernyawa, melihat wajah Skala yang diam di bawah sorotan lampu redup membuat dadanya terasa aneh. Ia cepat-cepat mengalihkan pikiran, lalu mengambil baskom berisi air hangat di meja kecil. "Dokter bilang, pasien kayak kamu harus tetap dijaga kebersihannya." Ia menghela napas, menggulung lengan piyamanya samp

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 4

    Tiga hari berlalu sejak Luina pertama kali menatap Skala di ruang ICU. Dan dalam tiga hari itu, banyak hal berubah. Sekarang ia duduk di ruang kerja besar yang dulunya milik Skala—dinding kayu gelap, rak buku berisi berkas perusahaan, dan aroma khas kopi hitam yang masih tertinggal di udara. Luina menatap tulisan itu lama, perasaan campur aduk menyelusup ke dadanya. Ada rasa aneh—bukan bahagia, bukan juga sedih. Mungkin... sesuatu di antara keduanya. Cahaya matahari menembus tirai, jatuh di wajahnya. Di luar, karyawan lalu lalang dengan langkah cepat. Mereka semua tahu, posisi Skala kini digantikan oleh istrinya—perempuan muda yang sebelumnya hampir tidak pernah muncul di hadapan publik. Pintu ruangannya diketuk pelan. "Masuk," ucap Luina. Seorang pria paruh baya masuk, membawa beberapa map tebal. "Ini berkas laporan dari divisi keuangan, Bu. Dan ini juga... dokumen peralihan aset pribadi almar—eh, maksud saya, Pak Skala." Luina menatap cepat pria itu, senyum tipis di bibirn

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 3

    "Kalau semua aset dan perusahaan diserahin ke aku... bukannya itu berarti semua ini akan jadi milik aku kalau Mas Skala nggak pernah bangun?" batinnya.Luina menatap tangannya sendiri, lalu menutup mata. Untuk sesaat, rasa takut dan keserakahan bertarung di dalam dadanya—dan tidak ada yang menang."Luina... kita lihat Skala dulu yuk, dia yang peluk kamu saat kejadian.” ujar mamanya mengajaknyaKalimat terakhir yang keluar dari mulut sang Mama membuat dada Luina terasa sesak entah kenapa.Luina terdiam. Hening yang tercipta di ruangan itu terasa aneh—seolah udara di sekelilingnya menebal. Ia mencoba menertawakan kalimat itu di dalam hati, tapi justru merasa perih.Kilasan kecelakaan itu datang tiba-tiba—tajam, bergetar, dan menyakitkan.Semuanya terjadi begitu cepat, begitu kacau.Saat Skala melepas sabuk pengamannya, dan tanpa berpikir, menarik tubuh Luina ke arahnya.Semuanya terjadi begitu cepat—sentuhan dingin di kulit, aroma cologne samar yang tertinggal di jasnya, dan detik berik

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 2

    Cahaya putih menyilaukan menusuk kelopak matanya. Suara samar mesin medis, detak monitor, dan langkah kaki para perawat berpadu menjadi satu, menciptakan ruang hening yang menyesakkan.Luina membuka mata perlahan.Langit-langit putih. Bau antiseptik.Tangannya dibalut perban ringan. Tubuhnya terasa berat, tapi tak ada rasa sakit berarti—hanya pegal yang samar."Syukurlah, Ny. Luina sudah sadar," ucap seorang perawat begitu melihat matanya terbuka.Luina mengerjap bingung. Skala? Butuh beberapa detik sebelum ingatan itu menampar keras kepalanya—suara benturan, cahaya lampu truk, teriakan, darah, dan..."Skala!" serunya refleks, mencoba bangun. Tapi perawat buru-buru menahannya."Tenang dulu, Bu. Kondisi Anda masih belum stabil.""Aku tanya, dimana dia?" nafasnya mulai tersengal. "Dia—dia berdarah waktu itu... dia—"Dokter datang tergesa. Wajahnya tenang, tapi suaranya berhati-hati."Suami Anda... masih dirawat di ruang ICU. Kondisinya kritis ketika dibawa ke sini, tapi sekarang sudah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status