LOGINLuina duduk di sofa yang empuk, jarinya mulai menari di layar ponsel.
"Oke, Mas Skala. Kamu minta game panas, aku kasih game panas," gumam Luina, membuka aplikasi belanja online. Ia mengetikkan kata kunci dengan keberanian baru. Ia tidak lagi peduli dengan riwayat pencarian; fokusnya adalah mencari stimulus paling efektif. Luina menelusuri berbagai judul novel romantis erotis. Ia menolak novel dengan sampul yang terlalu dramatis dan mencari yang fokus pada ketegangan, slow burn, dan pastinya, memiliki protagonis pria yang kaku dan misterius—seperti suaminya. "Yang ini...," Luina membaca deskripsinya. "Bagus, ada bos kaku yang diam-diam punya hasrat besar. Cocok banget sama kamu, Mas." Ia memilih tiga judul berbeda, memastikan ada variasi alur yang cukup untuk menjaga Skala tetap "penasaran." Luina memilih opsi pengiriman tercepat, mendesak penjual agar buku itu tiba sore ini. Pesan ke Penjual: Mohon bungkus dengan sangat rapat dan tebal. Ini untuk terapi. Setelah pesanan selesai, Luina kembali menatap Skala yang terbaring. Ia mendekati ranjang, mengambil tangan kiri Skala—tangan yang menjadi medium komunikasi rahasia mereka. "Dengar baik-baik, Partner," bisik Luina, menggenggam jari telunjuk Skala. "Buku itu akan datang sore ini. Kita akan mulai sesi baca malam ini juga." Ia memberikan aturan baru, mengantisipasi reaksi ekstrem seperti tadi pagi. "Kalau ceritanya terlalu panas, dan kamu merasa detak jantung kamu mau loncat lagi... gerakin jari kamu dua kali," Luina menjelaskan, nadanya kini adalah perpaduan antara istri yang merawat dan komandan yang memberi instruksi. "Dua kali berarti, 'Cukup, aku nggak kuat!' Paham?" Luina menunggu. Ia merasakan ketegangan yang menyenangkan, menantikan kode dari pria yang seharusnya tidak bisa merespons. Satu detik. Dua detik. Jari telunjuk Skala bergerak, sekali. Luina tersenyum puas. "Bagus. Kamu setuju sama aturan mainnya." Ia melepaskan tangan Skala, mengambil bantal dan memukulnya pelan ke wajah Skala dengan kehati-hatian. "Awas ya kalau kamu bohong dan diam-diam senang. Aku akan balas dendam kalau kamu sadar nanti." ***** Tiga buku yang dipesan kilat oleh Luina sudah tergeletak di meja samping, dibungkus plastik tebal agar tidak terlihat isinya. Luina mengambil salah satu buku dan duduk di kursi samping ranjang Skala. Ia meraih tangan Skala, menggenggamnya, sebagai titik kontak dan sebagai pengingat akan kode yang telah mereka sepakati. "Oke, Mas. Waktunya terapi," bisik Luina. Ia menarik napas panjang, membuka bungkus buku, dan mulai membaca dari bab kedua. Luina mulai menggunakan intonasi yang lebih dramatis, menyalurkan emosi karakter wanita itu ke dalam suaranya. Ia membaca bagian tentang ciuman pertama mereka, deskripsi tentang kehangatan yang mendadak meletus di tengah kekakuan. Namun, hasilnya... nihil. Detak monitor tetap stabil. Jari telunjuk di tangan Skala yang ia genggam, tetap diam. Luina menghela napas kesal, menutup buku itu dengan keras hingga menghasilkan bunyi plak! "Mas Skala! Kamu ini gimana sih?" protes Luina, suaranya naik satu oktaf. "Aku udah capek-capek baca cerita se-'panas' ini, sampai aku sendiri yang malu, tapi kamu nggak bereaksi sama sekali?" Ia menatap Skala. Pria itu tampak damai, seolah sedang mendengarkan dongeng pengantar tidur, bukan novel erotis. "Kamu bohong ya? Kamu sebenarnya nggak dengerin aku, kan? Atau kamu beneran... nggak suka?" Luina merasa kesal. Semua keberaniannya, semua rasa malunya, seolah sia-sia. Luina meletakkan buku itu, lalu menatap Skala dengan tatapan penuh tantangan. Matanya kini berkilat, memunculkan sisi Luina yang paling nekat. "Oke. Kamu mau main-main sama aku?" tantang Luina. "Kamu pikir suara aja nggak cukup? Kamu mau bukti yang lebih nyata?" Luina berdiri, memajukan kursinya, dan mencondongkan tubuhnya ke atas Skala. Ia membiarkan rambutnya jatuh ke samping, lalu dengan gerakan cepat, Luina mencium bibir Skala. Ciuman itu awalnya dimaksudkan sebagai hukuman dan kejutan—sedikit kasar, penuh tantangan. Tapi begitu bibir mereka bersentuhan, Luina terdiam. Bibir Skala terasa dingin, tetapi lembut. Luina merasakan gejolak aneh di perutnya. Ia menarik diri dengan cepat, wajahnya memerah total. Ia terhuyung mundur ke kursinya, menatap Skala dengan mata terbelalak. "Ya ampun! Luina! Apa yang kamu lakuin?!" ia memarahi dirinya sendiri dalam hati. Luina menatap Skala, yang wajahnya masih kaku. Detak monitor... tetap stabil. Luina frustrasi. "Nggak adil! Kamu nggak adil, Mas!" Ia menutup matanya, mengambil napas, lalu kembali mendekati Skala. Ia memejamkan mata, memegang kedua sisi kepala Skala dengan tangannya, dan menciumnya lagi. Kali ini, ciuman Luina berubah. Ia memberinya ciuman yang lebih dalam, lebih lama, mencampurkan semua rasa kesal, penasaran, dan gejolak yang ia rasakan. Detak monitor di samping ranjang tiba-tiba memecah keheningan dengan suara BIP! BIP! BIP! Detak jantung Skala melonjak! Bukan lonjakan panik, melainkan lonjakan hasrat, mirip responsnya pagi tadi! Luina menarik wajahnya menjauh, megap-megap kehabisan napas dan terkejut. Ia menatap Skala. Wajah pria itu, yang semula tenang, kini tampak tegang. Luina melihat bibir Skala, yang basah karena ciumannya, bergetar sangat halus. Dan di tangan kirinya, jari telunjuk Skala bergerak, sekali, lalu sekali lagi, dan sekali lagi: tap-tap-tap. Bukan dua, bukan satu. Tapi tiga! Luina membeku, mencoba menafsirkan kode baru ini. "Tiga gerakan... Mas Skala! Itu kode apa?! 'Lagi'? 'Jangan berhenti'?" Luina memajukan kursinya, mencondongkan tubuhnya di atas Skala lagi. Kali ini, tidak ada lagi keraguan. "Oke, Mas Kaku. Aku akan buktiin kalau aku bisa bikin kamu bangun," bisik Luina. Ia memegang rahang Skala, mendekatkan wajahnya, dan mencium bibir itu lagi. Ciuman kali ini jauh lebih dalam, lebih lama. Luina membuka mulutnya sedikit, menyentuh bibir dingin Skala dengan lidahnya, menuntut respons. Ia mencurahkan semua hasrat terpendam dan rasa ingin menang dalam aksinya. Luina menarik diri sejenak, wajahnya merah membara. Ia melihat wajah Skala. Keringat membanjiri pelipis pria itu. Luina tidak berhenti. Ia memindahkan ciumannya ke leher Skala, mencium dan menggigit kecil area di bawah rahangnya, seolah mencoba menemukan titik sensitif yang tersembunyi. "Bangun, Mas! Bangun dan lawan aku!" Luina berbisik, napasnya hangat di kulit dingin Skala. Detak monitor di samping ranjang meledak! Suaranya menjadi teriakan alarm panjang, BIP-BIP-BIP-BIP! jauh lebih kencang dari sebelumnya. Luina menarik wajahnya menjauh, terkejut. Saat ia menatap Skala, matanya terbelalak karena panik. Tubuh Skala menegang keras. Jari-jari di tangan kirinya mencengkeram sprei hingga buku-buku jarinya memutih. Kepalanya bergerak keras ke samping. "Mas! Mas Skala?!" Tubuh Skala mulai kejang. Tubuhnya melengkung, bergerak tidak terkendali di atas ranjang. Matanya masih terpejam, tapi ekspresi wajahnya tampak kesakitan dan terkejut. "Ya Tuhan!" Luina berteriak panik. "Kejang! Kejang!" Luina mencoba meraih bahu Skala, berusaha menahannya agar tidak melukai diri sendiri, tetapi kekuatan kejang itu terlalu besar. Luina panik total. Ia mencengkeram tangan Skala yang kejang, air mata mulai menggenang di matanya. "Mas Skala! Berhenti! Tolong berhenti!" Luina memohon, suaranya putus asa. Ia melirik monitor—angka detak jantung dan tekanan darah berada di zona merah yang mengkhawatirkan. Alarm terus berbunyi nyaring, memekakkan telinga. Luina tersadar. Ia harus mencari bantuan. Ia melepaskan genggaman Skala, meraih ponselnya yang tergeletak di ranjang, dan dengan tangan gemetar hebat, ia menelepon Dokter Handoko. "Dokter! Dokter Handoko! Tolong cepat datang ke apartemen! Mas Skala... Mas Skala kejang! Dia kejang." Luina berteriak histeris di telepon. Ia menjatuhkan ponselnya ke lantai, kembali ke sisi ranjang, dan hanya bisa menatap suaminya yang sedang berjuang, sementara Luina diliputi rasa bersalah yang luar biasa. Aku yang melakukannya. Aku yang terlalu jauh.Terus dibaca kelanjutannya ya kakak-kakak dan jangan lupa follow akun author❤️
Luina duduk di sofa yang empuk, jarinya mulai menari di layar ponsel. "Oke, Mas Skala. Kamu minta game panas, aku kasih game panas," gumam Luina, membuka aplikasi belanja online. Ia mengetikkan kata kunci dengan keberanian baru. Ia tidak lagi peduli dengan riwayat pencarian; fokusnya adalah mencari stimulus paling efektif. Luina menelusuri berbagai judul novel romantis erotis. Ia menolak novel dengan sampul yang terlalu dramatis dan mencari yang fokus pada ketegangan, slow burn, dan pastinya, memiliki protagonis pria yang kaku dan misterius—seperti suaminya. "Yang ini...," Luina membaca deskripsinya. "Bagus, ada bos kaku yang diam-diam punya hasrat besar. Cocok banget sama kamu, Mas." Ia memilih tiga judul berbeda, memastikan ada variasi alur yang cukup untuk menjaga Skala tetap "penasaran." Luina memilih opsi pengiriman tercepat, mendesak penjual agar buku itu tiba sore ini. Pesan ke Penjual: Mohon bungkus dengan sangat rapat dan tebal. Ini untuk terapi. Setelah pesanan s
Luina mencoba menarik napas, tapi udara di ruangan itu terasa terlalu tipis dan panas. Setelah berhasil membersihkan area pinggul, tiba waktunya untuk menjalankan kode "Ya" dari Skala. Tugas yang seharusnya higienis kini terasa seperti aksi provokasi yang berbahaya. Luina menatap selimut tebal itu, lalu menatap wajah Skala yang masih tenang, meski pelipisnya sedikit berkeringat. "Oke, Mas. Jangan salahin aku kalau kamu...," bisik Luina, menuduh Skala padahal ia yang paling gugup. "Eh? Ini kok ada yang bangun? Apa selimut kamu ya?" Dengan tangan yang gemetar hebat, Luina perlahan mengangkat selimut. Ia membalikkan tubuh Skala sedikit, memaksakan dirinya untuk bersikap profesional. Ia mulai menurunkan celana seraya memejamkan mata. Ia harus fokus pada tugasnya. Namun, Luina adalah Luina. Rasa penasaran dan isengnya selalu lebih kuat dari rasa malunya. Saat ia membuka matanya dan membersihkan pelan. Sebuah ide gila melintas di kepalanya. Karena ia tahu Skala mendengarnya, menga
"Selamat datang di apartemen baru kita, Mas Skala," ujarnya sambil menepuk ringan sprei di samping tubuh Skala. "Semoga kamu betah ya. Nggak ada dokter, nggak ada perawat... cuma aku, istri kamu yang cantik dan seksi ini." Ia tersenyum kecil, meski lelah masih tersisa di wajahnya. Butuh waktu berminggu-minggu lobi dan tanda tangan formulir agar pihak rumah sakit akhirnya mengizinkan Skala dipindahkan. Setelah kondisi vitalnya stabil dan alat bantu napas dilepas, dokter menyebut Skala hanya tinggal menunggu “momen sadar” — tubuhnya sudah bisa dirawat di rumah, selama perawatannya rutin dan lingkungannya tenang. Ia menatap laki-laki itu lama. Udara di apartemen itu bagai tak bernyawa, melihat wajah Skala yang diam di bawah sorotan lampu redup membuat dadanya terasa aneh. Ia cepat-cepat mengalihkan pikiran, lalu mengambil baskom berisi air hangat di meja kecil. "Dokter bilang, pasien kayak kamu harus tetap dijaga kebersihannya." Ia menghela napas, menggulung lengan piyamanya samp
Tiga hari berlalu sejak Luina pertama kali menatap Skala di ruang ICU. Dan dalam tiga hari itu, banyak hal berubah. Sekarang ia duduk di ruang kerja besar yang dulunya milik Skala—dinding kayu gelap, rak buku berisi berkas perusahaan, dan aroma khas kopi hitam yang masih tertinggal di udara. Luina menatap tulisan itu lama, perasaan campur aduk menyelusup ke dadanya. Ada rasa aneh—bukan bahagia, bukan juga sedih. Mungkin... sesuatu di antara keduanya. Cahaya matahari menembus tirai, jatuh di wajahnya. Di luar, karyawan lalu lalang dengan langkah cepat. Mereka semua tahu, posisi Skala kini digantikan oleh istrinya—perempuan muda yang sebelumnya hampir tidak pernah muncul di hadapan publik. Pintu ruangannya diketuk pelan. "Masuk," ucap Luina. Seorang pria paruh baya masuk, membawa beberapa map tebal. "Ini berkas laporan dari divisi keuangan, Bu. Dan ini juga... dokumen peralihan aset pribadi almar—eh, maksud saya, Pak Skala." Luina menatap cepat pria itu, senyum tipis di bibirn
"Kalau semua aset dan perusahaan diserahin ke aku... bukannya itu berarti semua ini akan jadi milik aku kalau Mas Skala nggak pernah bangun?" batinnya.Luina menatap tangannya sendiri, lalu menutup mata. Untuk sesaat, rasa takut dan keserakahan bertarung di dalam dadanya—dan tidak ada yang menang."Luina... kita lihat Skala dulu yuk, dia yang peluk kamu saat kejadian.” ujar mamanya mengajaknyaKalimat terakhir yang keluar dari mulut sang Mama membuat dada Luina terasa sesak entah kenapa.Luina terdiam. Hening yang tercipta di ruangan itu terasa aneh—seolah udara di sekelilingnya menebal. Ia mencoba menertawakan kalimat itu di dalam hati, tapi justru merasa perih.Kilasan kecelakaan itu datang tiba-tiba—tajam, bergetar, dan menyakitkan.Semuanya terjadi begitu cepat, begitu kacau.Saat Skala melepas sabuk pengamannya, dan tanpa berpikir, menarik tubuh Luina ke arahnya.Semuanya terjadi begitu cepat—sentuhan dingin di kulit, aroma cologne samar yang tertinggal di jasnya, dan detik berik
Cahaya putih menyilaukan menusuk kelopak matanya. Suara samar mesin medis, detak monitor, dan langkah kaki para perawat berpadu menjadi satu, menciptakan ruang hening yang menyesakkan.Luina membuka mata perlahan.Langit-langit putih. Bau antiseptik.Tangannya dibalut perban ringan. Tubuhnya terasa berat, tapi tak ada rasa sakit berarti—hanya pegal yang samar."Syukurlah, Ny. Luina sudah sadar," ucap seorang perawat begitu melihat matanya terbuka.Luina mengerjap bingung. Skala? Butuh beberapa detik sebelum ingatan itu menampar keras kepalanya—suara benturan, cahaya lampu truk, teriakan, darah, dan..."Skala!" serunya refleks, mencoba bangun. Tapi perawat buru-buru menahannya."Tenang dulu, Bu. Kondisi Anda masih belum stabil.""Aku tanya, dimana dia?" nafasnya mulai tersengal. "Dia—dia berdarah waktu itu... dia—"Dokter datang tergesa. Wajahnya tenang, tapi suaranya berhati-hati."Suami Anda... masih dirawat di ruang ICU. Kondisinya kritis ketika dibawa ke sini, tapi sekarang sudah







