Share

Bab 7

Author: Kata Semesta
last update Last Updated: 2025-11-13 19:53:27

Luina duduk di sofa yang empuk, jarinya mulai menari di layar ponsel.

  "Oke, Mas Skala. Kamu minta game panas, aku kasih game panas," gumam Luina, membuka aplikasi belanja online. Ia mengetikkan kata kunci dengan keberanian baru. Ia tidak lagi peduli dengan riwayat pencariannya,  fokusnya adalah mencari stimulus paling efektif.

  Luina menelusuri berbagai judul novel romantis erotis. Ia menolak novel dengan sampul yang terlalu dramatis dan mencari yang fokus pada ketegangan, slow burn, dan pastinya, memiliki protagonis pria yang kaku dan misterius—seperti suaminya.

  "Yang ini...," Luina membaca deskripsinya. "Bagus, ada bos kaku yang diam-diam punya hasrat besar. Cocok banget sama kamu, Mas."

  Ia memilih tiga judul berbeda, memastikan ada variasi alur yang cukup untuk menjaga Skala tetap "penasaran." Luina memilih opsi pengiriman tercepat, mendesak penjual agar buku itu tiba sore ini.

  Setelah pesanan selesai, Luina kembali menatap Skala yang terbaring. Ia mendekati ranjang, mengambil tangan kiri Skala—tangan yang menjadi medium komunikasi rahasia mereka.

  "Dengar baik-baik, Partner," bisik Luina, menggenggam jari telunjuk Skala. "Buku itu akan datang sore ini. Kita akan mulai sesi baca malam ini juga."

  Ia memberikan aturan baru, mengantisipasi reaksi ekstrem seperti tadi pagi.

  "Kalau ceritanya terlalu panas, dan kamu merasa detak jantung kamu mau loncat lagi... gerakin jari kamu dua kali," Luina menjelaskan, nadanya kini adalah perpaduan antara istri yang merawat dan komandan yang memberi instruksi. "Dua kali berarti, 'Cukup, aku nggak kuat!' Paham?"

  Luina menunggu. Ia merasakan ketegangan yang menyenangkan, menantikan kode dari pria yang seharusnya tidak bisa merespons.

  Satu detik. Dua detik.

  Jari telunjuk Skala bergerak, sekali.

  Luina tersenyum puas. "Bagus. Kamu setuju sama aturan mainnya."

  Ia melepaskan tangan Skala, mengambil bantal dan memukulnya pelan ke wajah Skala dengan kehati-hatian. "Awas ya kalau kamu bohong dan diam-diam senang. Aku akan balas dendam kalau kamu sadar nanti."

  Tiga buku yang dipesan kilat oleh Luina sudah tergeletak di meja samping, dibungkus plastik tebal agar tidak terlihat isinya. Luina mengambil salah satu buku dan duduk di kursi samping ranjang Skala.

  Ia meraih tangan Skala, menggenggamnya, sebagai titik kontak dan sebagai pengingat akan kode yang telah mereka sepakati.

  "Oke, Mas. Waktunya terapi," bisik Luina. Ia menarik napas panjang, membuka bungkus buku, dan mulai membaca dari bab kedua.

  Luina mulai menggunakan intonasi yang lebih dramatis, menyalurkan emosi karakter wanita itu ke dalam suaranya. Ia membaca bagian tentang ciuman pertama mereka, deskripsi tentang kehangatan yang mendadak meletus di tengah kekakuan.

  Namun, hasilnya... nihil.

  Detak monitor tetap stabil.

  Jari telunjuk di tangan Skala yang ia genggam, tetap diam.

  Luina menghela napas kesal, menutup buku itu dengan keras hingga menghasilkan bunyi plak!

  "Mas Skala! Kamu ini gimana sih?" protes Luina, suaranya naik satu oktaf. "Aku udah capek-capek baca cerita se-'panas' ini, tapi kamu nggak bereaksi sama sekali?"

  Ia menatap Skala. Pria itu tampak damai, seolah sedang mendengarkan dongeng pengantar tidur, bukan novel erotis.

  "Kamu bohong ya? Kamu sebenarnya nggak dengerin aku, kan? Atau kamu beneran... nggak suka?" Luina merasa kesal. Semua keberaniannya, semua rasa malunya, seolah sia-sia.

  Luina meletakkan buku itu, lalu menatap Skala dengan tatapan penuh tantangan. Matanya kini berkilat, memunculkan sisi Luina yang paling nekat.

  Luina berdiri, memajukan kursinya, dan mencondongkan tubuhnya ke atas Skala. Ia menatap wajah pria itu lama-lama.  Rahang tegas. Hidung lurus. Cara Skala tak bergerak pun—membuat nyalinya justru semakin terpancing. 

Luina menelan ludah. Tangannya terangkat… awalnya ragu.  Lalu jemarinya menyentuh sudut bibir Skala. Halus. Hampir seperti ia sendiri takut pada keberaniannya.

Luina menatap bibir itu lebih dekat.  Lebih dekat lagi.

“Aku penasaran…” gumamnya lirih.

Jemarinya menelusuri garis rahang Skala, lalu kembali ke bibirnya.

Ia menggeser ibu jarinya perlahan—gerakan kecil, tapi cukup untuk membuat udara di antara mereka memanas.

Tanpa sengaja, tubuh Luina condong lebih rendah. Dan tiba-tiba— Bibirnya menyentuh bibir Skala.

  Ia membiarkan rambutnya jatuh di untaian wajah Skala. Begitu bibir mereka bersentuhan, Luina terdiam. Bibir Skala terasa dingin, tetapi lembut. Luina merasakan gejolak aneh di perutnya.

  Ia menarik diri dengan cepat, wajahnya memerah total. Ia terhuyung mundur ke kursinya, menatap Skala dengan mata terbelalak.

Ia memarahi dirinya sendiri dalam hati.

Gila. 

  Luina menatap Skala, yang wajahnya masih kaku. Detak monitor... tetap stabil.

Namun detik kemudian,  detak monitor di samping ranjang tiba-tiba memecah keheningan dengan suara BIP! BIP! BIP!

  Detak jantung Skala melonjak! Bukan lonjakan panik, melainkan lonjakan hasrat, mirip responsnya pagi tadi!

  Luina menarik wajahnya menjauh, megap-megap kehabisan napas dan terkejut.

  Ia menatap Skala. Wajah pria itu, yang semula tenang, kini tampak tegang. Luina melihat bibir Skala, yang basah karena ciumannya, bergetar sangat halus.

  Dan di tangan kirinya, jari telunjuk Skala bergerak, sekali, lalu sekali lagi, dan sekali lagi: tap-tap-tap.

  Bukan dua, bukan satu. Tapi tiga!

  Luina membeku, mencoba menafsirkan kode baru ini.

  "Tiga gerakan... Mas Skala! Itu kode apa?! 'Lagi'? 'Jangan berhenti'?"

 Detak monitor di samping ranjang meledak! Suaranya menjadi teriakan alarm panjang, BIP-BIP-BIP-BIP! jauh lebih kencang dari sebelumnya.

  Luina menarik wajahnya menjauh, terkejut.

  Saat ia menatap Skala, matanya terbelalak karena panik.

  Tubuh Skala menegang keras. Jari-jari di tangan kirinya mencengkeram sprei hingga buku-buku jarinya memutih. Kepalanya bergerak keras ke samping.

  "Mas! Mas Skala?!"

  Tubuh Skala mulai kejang. Tubuhnya melengkung, bergerak tidak terkendali di atas ranjang. Matanya masih terpejam, tapi ekspresi wajahnya tampak kesakitan dan terkejut.

  "Ya Tuhan!" Luina berteriak panik. "Kejang! Kejang!"

  Luina mencoba meraih bahu Skala, berusaha menahannya agar tidak melukai diri sendiri, tetapi kekuatan kejang itu terlalu besar. 

  Luina panik total. Ia mencengkram tangan Skala yang kejang, air mata mulai menggenang di matanya.

  "Mas Skala! Berhenti! Tolong berhenti!" Luina memohon, suaranya putus asa.

  Ia melirik monitor—angka detak jantung dan tekanan darah berada di zona merah yang mengkhawatirkan. Alarm terus berbunyi nyaring, memekakkan telinga.

  Luina tersadar. Ia harus mencari bantuan.

  Ia melepaskan genggaman Skala, meraih ponselnya yang tergeletak di ranjang, dan dengan tangan gemetar hebat, ia menelepon Dokter Handoko.

  "Dokter! Dokter Handoko! Tolong cepat datang ke apartemen! Mas Skala... Mas Skala kejang! Dia kejang." Luina berteriak histeris di telepon.

  Ia menjatuhkan ponselnya ke lantai, kembali ke sisi ranjang, dan hanya bisa menatap suaminya yang sedang berjuang, sementara Luina diliputi rasa bersalah yang luar biasa.

  Aku yang melakukannya. Aku yang terlalu jauh.

Kata Semesta

Terus dibaca kelanjutannya ya kakak-kakak dan jangan lupa follow akun author❤️

| 1
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 76

    Pintu ruang rawat diketuk pelan, lalu terbuka. Seorang perawat masuk sambil mendorong troli kecil. Di atasnya, semangkuk bubur hangat dan satu botol air mineral tertata rapi. “Permisi, Bu Luina,” ucap perawat itu lembut. “Ini buburnya ya. Dokter minta Ibu makan sedikit dulu biar tenaganya balik.” Luina melirik bubur itu sekilas, lalu menggeleng pelan. “Aku nggak lapar…” ucapnya lirih. “Perut aku masih nggak enak, rasanya mual dikit.” Perawat tersenyum maklum. “Nggak apa-apa, Bu. Dimakan sedikit aja, beberapa sendok. Penting buat Ibu dan bayinya.” Setelah meletakkan bubur di meja kecil, perawat itu pamit keluar, meninggalkan Luina dan Skala. Begitu pintu tertutup, Skala langsung mendekat. Ia menarik meja kecil lebih dekat ke ranjang, lalu mengambil mangkuk bubur itu. “Sayang… Cuma sedikit aja, ya. Satu dua sendok,” bujuk Skala. Luina menggeleng lagi, memalingkan wajah. “Mas… aku beneran nggak pengen. Takut malah muntah.” Skala menghela napas, lalu duduk di sisi ranjang.

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 75

    Luina duduk bersandar di bantal yang sudah diatur Skala sedemikian rupa agar merasa nyaman. Skala duduk di sampingnya, membaca buku. “Mas… aku mau haus…” ucap Luina pelan, ia masih merasa lemas. Skala langsung menutup bukunya dan sigap bangkit. “Mas ambilin air hangat ya. Kamu mau infused water yang ada lemonnya? Tadi Mas minta suster siapin.” “Air biasa aja, Mas. Aku nggak mau yang asem-asem,” jawab Luina, sedikit meringis. Skala tersenyum lembut. “Siap, Sayang. Apapun buat calon Mama,” ucapnya, mengambilkan air mineral dari nakas dan membantunya minum. Setelah Luina merasa lebih nyaman, Skala kembali duduk di sampingnya, mengusap perut Luina dengan lembut. “Kita harus jaga dia baik-baik, ya Sayang. Nggak ada stres, nggak ada capek, semuanya Mas yang urus.” “Kok aku nggak berasa hamil ya, Mas?” ucap Luina, ia terdengar sedikit bingung. “Maksudnya aku nggak merasa mual atau ciri-ciri hamil, Mas.” Skala tertawa pelan. “Memang nggak semua perempuan langsung merasakan mual,

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 75

    Skala melangkah perlahan memasuki ruang perawatan Luina. Istrinya terlihat lemah, terbaring dengan infus terpasang di tangannya. Luina tersenyum getir melihat Skala. “Mas…” panggil Luina, suaranya pelan. “Maaf ya, harusnya kita nggak usah ke kafe tadi.” Skala segera mendekat, meraih tangan Luina, dan menciumnya lama. “Ssstt… jangan salahin diri kamu, Sayang. Mas yang salah karena nggak mencegah kamu,” ucapnya, mencoba menahan emosi. Luina menatap Skala, terlihat cemas. “Aku kenapa, Mas? Perut aku kenapa tadi sakit banget. Apa aku sakit parah?” Skala duduk di sisi ranjang, meraih kedua tangan Luina dan menggenggamnya hangat. Ia mengusap pipi Luina dengan ibu jarinya. “Sayang, kamu nggak sakit parah. Justru, kamu sekarang lagi dapat hadiah paling indah dari Tuhan,” ucap Skala, matanya berkaca-kaca menahan haru. Luina mengerutkan dahi, bingung. “Hadiah apa, Mas?” Skala membungkuk, menyentuh lembut perut rata Luina. “Kamu… kamu hamil, Sayang. Dokter bilang usia kandungan k

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 74

    Skala tidak membuang waktu. Dengan panik, ia langsung menggendong Luina di pelukannya, sedikit berlari menuruni anak tangga. Jantungnya berdebar kencang. Saat Skala hampir mencapai pintu utama vila, pintu itu terbuka, dan ia terhenti. Papanya, Axel, Sarah, serta saudaranya yang lain, baru saja pulang dari air terjun. Mereka semua terkejut melihat Luina yang terkulai tidak sadarkan diri di gendongan Skala. “Skala! Luina kenapa?” tanya Pak Aditya, suara cemasnya menggema di hall vila. “Aku nggak tahu, Pa. Tiba-tiba dia bilang sakit perut banget dan langsung pingsan,” jawab Skala, napasnya tersengal. “Aku mau ke rumah sakit,” tambah Skala, lalu kembali melangkah cepat, melewati kerumunan yang terkejut itu menuju mobilnya. “Papa ikut, Skala!” ucap Pak Aditya, tanpa ragu mengejar putranya, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Seketika orang-orang yang berada di sana terdiam, saling pandang karena bingung dan cemas. “Semoga Luina baik-baik aja,” ucap Desi lir

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 73

    Skala mengikuti navigasi, dan tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah kafe kecil yang dikelilingi kebun teh dengan pemandangan pegunungan yang menakjubkan. Suasananya sepi dan tenang, jauh dari keramaian vila. Mereka memilih tempat duduk di teras dengan pemandangan terbaik. Skala segera memesankan Luina teh hangat madu dan semangkuk sup krim. “Teh hangat, nggak kopi dingin. Aku nggak mau kamu sakit lagi,” ucap Skala. Luina mendengus. “Iya deh, Mas. My personal doctor,” candanya. Setelah beberapa saat menikmati keindahan alam dan kehangatan sup, Skala menatap Luina lekat-lekat. “Sayang, kamu masih kepikirin siapa yang neror kamu nggak?” tanya Skala, nadanya serius. Wajah Luina yang baru saja membaik seketika meredup. Ia menggenggam tangan Skala lebih erat. “Mas… jangan bahas itu lagi, aku udah nggak mau ingat kejadian itu, aku mohon…” lirih Luina. Skala segera menyadari kesalahannya. Ia seharusnya tidak mengungkit hal itu saat Luina sedang dalam masa pemulihan. “Maa

  • Bangun, Suamiku! Mari Bercinta   Bab 72

    Axel tampak santai, ia bercanda tawa dengan Reno dan Desi seolah tidak ada beban. Tante Ida dan Tante Sari sibuk menyiapkan bekal piknik yang berlimpah di pinggir sungai, mengatur tikar dan makanan. Sementara yang lain menikmati keindahan alam, Sarah duduk sedikit menjauh di dekat sebuah batu besar. Wajahnya terlihat pucat. Ia memegangi perutnya yang terasa tidak nyaman. Axel yang melihat Sarah sedikit terasing, menghampirinya. “Kamu kenapa? Nggak ikut gabung?” Sarah meringis. “Nggak tahu, Xel. Perut aku kembung banget, terus mual. Kayaknya aku masuk angin,” keluhnya. Axel hanya mengangguk, tanpa menunjukkan kepedulian yang mendalam. “Yaudah, kamu jangan minum es. Cari tempat yang hangat,” jawab Axel, lalu kembali ke Reno dan Desi untuk melanjutkan obrolan mereka, meninggalkan Sarah yang masih mual. Sarah mendesah. Mualnya semakin menjadi-jadi. Ia mencoba memijat pelipisnya. Dalam benaknya, ia mulai mengingat kembali hal-hal aneh yang ia rasakan belakangan ini. “Mual beg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status