LOGINLuina bergegas ke pintu, rambut acak-acakan, wajah penuh air mata dan bekas lipstick yang berantakan. Ia membuka pintu. Dokter Handoko dan seorang asistennya langsung masuk, raut wajah mereka tegang.
"Pak Skala di mana?!" Dokter Handoko langsung bergegas menuju kamar. Luina mengikutinya, cepat-cepat mencoba menyusun alibi. Dokter Handoko langsung menghampiri Skala. Pria itu kini terbaring lemas, bernapas berat, basah oleh keringat. Monitor menunjukkan detak jantung yang masih tinggi, tetapi sudah turun dari puncak kejang. Asisten dokter segera menyuntikkan obat penenang melalui jalur infus Skala. Dokter Handoko memegang pergelangan tangan Skala, memeriksa pupil matanya, dan menoleh pada Luina. Matanya penuh pertanyaan serius. "Bu Luina, apa yang terjadi? Ini kejang yang serius. Apakah Pak Skala baru saja terpapar suara keras? Atau ada stimulus visual yang tiba-tiba?" tanya Dokter Handoko, nadanya menuntut jawaban. Jantung Luina berdegup kencang, takut rahasia permainan gilanya terungkap. Jika ia mengatakan yang sebenarnya—bahwa ia mencium, menggigit, dan memohon Skala bangun karena thrill—ia akan dicap gila dan membahayakan suaminya. Luina menggeleng cepat, air mata palsu yang dicampur air mata asli mulai membanjiri wajahnya. "Nggak, Dokter! Saya... nggak tahu apa-apa, saya dari kamar mandi tadi, tiba-tiba lihat Mas Skala kejang," kata Luina, berusaha meyakinkan. Dokter Handoko menghela napas, tampak tidak sepenuhnya yakin, tetapi ia melihat kondisi Luina yang berantakan. Ia mungkin menganggap Luina terlalu syok untuk mengingat detail. "Baik, Bu Luina. Tenang. Kita sudah menstabilkan Pak Skala. Untung Ibu cepat menelpon." Dokter Handoko memandang asistennya. "Suster, siapkan cairan Dextrose dan pasang alat EEG portable. Kita perlu pantau aktivitas otaknya." Setelah beberapa menit yang tegang, Dokter Handoko akhirnya memberikan kesimpulan. "Kejang ini adalah respons kuat dari otaknya terhadap sesuatu. Tubuh Pak Skala sangat ingin merespons, Bu. Tetapi kali ini, responsnya kelebihan dosis." Dokter Handoko menatap Luina dengan tatapan peringatan. "Saya minta, untuk sementara ini, Ibu harus menjaga ketenangan total. Tidak ada interaksi intensif. Hanya sentuhan ringan, bicara tentang hal-hal yang menenangkan. Tidak ada musik keras, tidak ada kejutan. Otaknya sedang rapuh." Luina mengangguk patuh, "Saya mengerti, Dokter. Saya janji akan suami saya.” Setelah Dokter Handoko dan asistennya pergi, meninggalkan alat pemantau tambahan dan keheningan yang mencekam, Luina kembali ke sisi ranjang Skala. Ia meraih tangan Skala yang lemas. "Maafin aku, Mas Skala. Aku nggak tahu kalau kamu akan sebegini seriusnya bereaksi," bisik Luina. “Maaf ya, mas. Tapi kalau bangun pelan-pelan aja, Mas. Jangan bikin aku deg-deg-an.” Luina bergumam kecil. “Kamu tadi kejang kejang gitu— itu bukan karena ciuman aku gak enak, kan?” tanya Luina, meskipun ia tahu Skala tidak bisa menjawab. Tiba-tiba, ia merasakan tekanan di telapak tangannya. Jari telunjuk Skala bergerak, sekali. Luina membeku. Kode 'Ya'. Luina ingin marah. Tapi dirinya mengingat larangan Dokter Handoko pada keheningan total, hanya sentuhan ringan, bicara hal-hal yang menenangkan. "Oke, Mas. Aku nggak bisa melanggar janji sama Dokter, dan aku nggak mau kamu kejang lagi," bisik Luina, pandangannya tertuju pada mata Skala yang terpejam. “Sekarang kamu bobo,” ucap Luina. “Aku gak akan ganggu.” ***** Luina memasuki kamar Skala dengan aura yang berbeda. Ia sudah mandi, merias wajahnya sedikit lebih rapi dari biasanya. Ia mengenakan blouse berwarna lembut dan rok pensil di atas lutut, memperlihatkan kakinya yang jenjang. Penampilan ini jauh dari kesan istri yang berduka, ini adalah penampilan seorang wanita yang siap bekerja, sekaligus siap bermain. Di tangannya, ia membawa baskom berisi air hangat dan handuk bersih. "Selamat pagi, Partner," sapa Luina, suaranya kini tenang, lembut, tapi terselip nada menggoda yang disengaja. Ia meletakkan baskom di meja samping, lalu berdiri di sisi ranjang. "Aku tahu Dokter Handoko bilang interaksi ringan, tapi sayangnya, tubuh kamu yang menawan ini menuntut yang sebaliknya," Luina menghela napas dramatis. "Jadi, aku putuskan, aku akan mematuhi Dokter, tapi aku akan cari cara untuk mengimbangi hasrat kamu." Luina membungkuk, membuka kancing piyama Skala. Ia berhenti sebentar, membiarkan matanya menikmati pemandangan abs kotak-kotak yang kembali terlihat. "Pagi ini, kita fokus kebersihan. Nggak ada lips service seperti kemarin," tegas Luina, meskipun ia melirik Skala dengan senyum kecil. Luina mulai membersihkan tubuh Skala dengan handuk hangat. Gerakannya profesional, cepat, tetapi setiap sentuhan kini terasa berbeda. Ada lapisan kehati-hatian karena trauma kejang, tetapi ada lapisan godaan yang disengaja karena ia tahu Skala mendengarnya. Ia membersihkan lengan Skala, lalu dada, menghindari area sensitif yang memicu kejang. "Kamu harus tahu, Mas Skala," bisik Luina sambil mengeringkan dada Skala. "Kamu bikin aku pusing. Aku harus jadi istri perawat yang penurut di mata Dokter, tapi harus jadi wanita nakal di mata kamu. Itu beban, lho." Ia berhenti sejenak di area pinggang, membiarkan jemarinya merambat sedikit terlalu lama di atas otot perut Skala. "Aku sudah memutuskan. Soal ciuman lagi... aku nggak mau lagi. Kamu harus sabar, Mas. Aku takut kamu kejang lagi karena ciuman aku yang terlalu enak. Jadi, kita mulai dengan hal lain dulu." "Hari ini, aku akan bersihin kamu dengan sangat cantik dan seksi. Aku harap itu udah cukup jadi stimulus visual," kata Luina, sambil memamerkan sedikit kakinya yang jenjang saat ia membungkuk untuk mengambil handuk basah. Luina kembali meraih tangan Skala—tangan yang menjadi jembatan komunikasi mereka—dan menggenggam jari telunjuknya. "Nah, sekarang giliran kamu yang jawab. Kamu puas dengan keputusan aku? Yaitu, no kissing, hanya perawatan visual dan sentuhan higienis hari ini?" tanya Luina. Luina menunggu. Ia menatap wajah Skala, menantikan kode jari. Satu detik. Dua detik. Jari telunjuk Skala bergerak, dua sekali. Luina tersentak. Dia menolak keputusannya. 'Tidak', dia ingin lebih dari sekadar perawatan visual. Pria yang terbaring lemas itu kini secara aktif menuntutnya. Luina menghela napas, frustrasi bercampur geli. “Kok Mama Papa gak bilang ya kalau kamu ternyata senakal ini?” Luina mencondongkan tubuhnya ke telinga Skala. "Baiklah. Aku akan mematuhi perintah kamu. Tapi !nggak ciuman lagi. Kalau kamu bereaksi lagi, aku akan nyalahin kamu. Sekarang, fokus. Aku harus selesaikan tugas membersihkan dulu." “Baru aku akan kasih stimulus ke kamu. Tapi harus janji, jantung kamu harus kuat. Karena aku bakal kasih lebih,” bisik Luina. “Tapi kalau kamu bangun sih.” lanjutnya terkekeh.Luina mengemudi mobil sedan putihnya hingga tiba di pinggir jalan yang sepi, di depan gerbang tua Taman Kota Lama. Waktu menunjukkan pukul 13:50 WIB. Jantung Luina berdebar kencang. Ia meraih tas selempangnya dan segera keluar dari mobil. Ia mulai berjalan cepat menuju ke dalam taman. Di depannya, terlihat sebuah patung kuda perunggu yang besar dan tua, dikelilingi oleh semak-semak rimbun. Patung kuda. Jam 14.00. Luina mempercepat langkahnya, memasuki area yang lebih gelap dan sunyi di belakang patung itu. Ia kini berada di titik pertemuan yang telah ditetapkan oleh si peneror. Ia berdiri sendirian di tempat terbuka, dengan punggung menghadap ke patung kuda. Luina bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Pukul 13:59 WIB. Tiba-tiba, dari balik semak-semak yang paling gelap, sebuah bayangan bergerak. Luina tersentak, refleks berbalik. Di hadapannya, berdiri seseorang yang tinggi tegap, seluruh tubuhnya tertutup. Ia mengenakan jubah hitam tebal dengan hood yang ditar
Baskara dan Genta, dua pengawal yang baru direkrut oleh Skala. Mereka sudah menempel ketat. Mereka melihat mobil sedan putih bernomor B 120 LU melaju keluar dari gerbang apartemen. Genta menyalakan mobil van abu-abu polos mereka, bergabung dengan arus lalu lintas. "Target keluar sesuai jadwal. Arah awal sesuai instruksi," bisik Baskara kepada earpiece-nya. "Target bilang mau ke Jalan Anggrek, tempat refleksi. Ikuti dari jarak aman, Genta. Jaga jarak minimal tiga mobil. Jangan sampai terdeteksi, ini ujian pertama kita," perintah Baskara. Luina mengemudi dengan santai di jalur normal selama sepuluh menit pertama, meyakinkan dirinya sendiri bahwa Skala tidak akan curiga. Namun, di perempatan besar berikutnya, Luina tidak belok ke arah Jalan Anggrek. Ia malah mengambil jalur cepat menuju pusat kota, arah yang berlawanan dan justru mengarah ke Taman Kota Lama. Baskara dan Genta di mobil belakang segera menyadari penyimpangan rute ini. "Genta! Target menyimpang dari rute y
Luina memiringkan tubuhnya, menatap wajah Skala yang terlelap di sampingnya. Skala tidur telentang, tangan kirinya yang diperban terentang di samping tubuh. Luina bergerak perlahan, sangat hati-hati agar tidak membangunkan Skala. Ia meraih ponselnya yang ia letakkan di bawah bantal. Luina membuka nomor si peneror itu. Luina: Aku nggak takut sama kamu. Kalau kamu cuma berani neror dari jauh, kamu pengecut. Luina: Aku tantang kamu. Kalau kamu berani, kita ketemu. Tempat dan waktu, kamu yang pilih. Aku datang sendirian. Luina mengunci layar ponselnya. Ia menyimpannya kembali di bawah bantal. “Aku harus tahu siapa orang ini dan apa maunya. Sebelum orang itu makin gila,” batin Luina. Ia kembali memeluk Skala, mencari kehangatan. Luina kini tidur dengan waspada, menanti bunyi notifikasi dari si peneror. ***** Di sebuah balkon, seseorang tertawa terbahak-bahak setelah membaca pesan dari Luina. "Bodoh! Luina benar-benar bodoh!" gumamnya. "Dia pikir dia menantang aku? D
Ajeng sudah tiba di restoran sejak pukul 11.45, berdandan rapi, tetapi tidak berlebihan. Jantungnya berdebar setiap kali pintu restoran terbuka. Ketika jam menunjukkan pukul 12.10, Farhan akhirnya berhasil menyelesaikan masalah teknis itu. Ia segera membatalkan semua panggilan berikutnya. Ia bergegas keluar mobil, merapikan dasinya, dan berlari kecil ketika tiba di restoran. Farhan tahu keterlambatan sepuluh menit ini tidak profesional, dan ia merasa sedikit bersalah. Ia membuka pintu restoran dengan napas terengah. Mata Farhan langsung mencari Ajeng. Ajeng sedang duduk sendirian di meja pojok, menatap ponselnya dengan ekspresi cemas. Begitu melihat Farhan, wajah Ajeng langsung berseri-seri. Farhan melangkah cepat menuju meja Ajeng. "Ajeng, saya minta maaf. Saya terlambat," kata Farhan tanpa basa-basi. "Ada masalah mendadak yang harus saya selesaikan di kantor." Ajeng segera bangkit dari kursinya, senyumnya meyakinkan. "Nggak apa-apa, Kak Farhan! Aku juga baru sampai
Seseorang yang berbadan tinggi tegap duduk di kursi single sofa dengan emosi meluap-luap. “Kurang ajar!” geramnya. Ia bangkit dan melemparkan hoodie hitam dan kacamata hitam yang ia pakai tadi pagi ke sofa dengan keras. "Padahal tadi sedikit lagi gue bisa nikmatin Luina! Skala malah muncul! Selalu si brengsek itu!" Ia mencengkeram kepalanya frustrasi. "Aroma tubuh Luina... gue bisa menciumnya saat di pasar tadi. Tubuhnya pasti sehangat yang gue bayangin, mulus tanpa cacat." Ia mengusap wajahnya sendiri, membayangkan tangan Skala yang memeluk Luina tadi. "Harusnya gue bisa narik dia ke sudut sepi di lobby itu. Maksa dia mendesah cuma buat gue, mencium dia sampai dia lupa nama suaminya. Harusnya gue yang pertama... bukan Skala yang nggak tahu diri itu!" Ia menyalakan rokok dengan tangan gemetar. Ia menghisap dalam-dalam, asapnya mengepul tebal. "Permainan ini belum selesai, Luina. Skala pikir dia bisa mengamankan lo dengan pelukan? Dia salah besar.“ ***** Skala berjalan
Skala segera meraih ponselnya. Ini adalah kesempatan yang ia tunggu. Dengan tangan kanan, ia mengetik pesan cepat kepada Farhan. Skala: Farhan, segera batalkan semua meeting saya hari ini. Saya urgent di luar kantor. Skala: Saya butuh kamu cek semua CCTV di area apartemen saya. Mulai dari lobby hingga gerbang keluar/masuk. Periksa rekaman jam 07.30 - 08.00 pagi ini. Cari seseorang berpostur tinggi tegap, pakai hoodie gelap/hitam, masker, dan kacamata. Dia mengikuti istri saya.” Skala: Cek juga rekaman CCTV dari toko/restoran yang menghadap jalan menuju pasar jajanan di dekat apartemen saya. Target jam dan orang yang sama. Skala: Oh iya, semalam saya dan Luina makan di warung sate di jalan melati, ada insiden semalam disana. Cari tahu apakah ada rekaman atau saksi mata yang bisa mengidentifikasi para pelaku anarkis. Karena salah satu pelaku bawa pisau dan ingin menusuk istri saya. Skala: Ini sangat rahasia, hanya kamu dan saya. Jangan libatkan siapapun. Laporkan langsung ke sa







