MasukBraaaak! Grrtch!Suara gulungan perkamen yang dirobek dengan brutal membelah kesunyian khidmat di ruang dewan militer Medang. Bunyi yang lebih mirip kambing nyasar yang merobek dokumen pajak daripada reaksi seorang tumenggung. Gagak Rukma, tumenggung yang biasanya begitu tenang hingga patung batu pun terlihat lebih emosional, kini berdiri membeku seperti tertimpa durian runtuh—hanya saja, yang ini isinya lebih pahit. Dadanya naik-turun menahan amarah yang mendidih, uap kemarahan hampir terlihat mengepul dari kedua telinganya yang merah. Di lantai yang beralaskan tikar pandan terbaik, tergeletak serpihan undangan dari Keraton Medang, dihiasi segel Pangeran Balaputradewa yang mentereng—sebuah undangan pernikahan. Calon mempelainya? Mayang Salewang, tentu saja. Seperti kerudung merah pada mata banteng, undangan itu adalah belati yang tak hanya menusuk, tapi juga memelintir di jantung kesetiaan dan perasaan Gagak Rukma.Jentra Kenanga, Panglima pasukan khusus Sanditaraparan yang terkenal
Lorong waktu terasa melambat, memekatkan suasana di antara dua insan yang kini berhadapan. Rembulan bergantung anggun di langit, menaburkan sinarnya yang pucat ke balik jendela kediaman Mayang Salewang. Di bawah sorot lampu minyak yang lembut, Pangeran Balaputradewa, Mahamentri I Halu yang berkuasa, menghadap Mayang Salewang, yang dalam nama Samaran Madu Jingga. Wajahnya memancarkan ketulusan yang tak pernah ia tunjukkan pada siapapun.Pangeran Balaputradewa menarik napas dalam, membasahi bibirnya yang mendadak kering. "Madu Jingga," suaranya serak, sarat pengharapan. "Aku tahu, pertemuan kita adalah kebetulan yang aneh, seolah takdir mempertemukan kita dengan caranya sendiri. Dan mungkin, caraku mengungkapkan isi hati ini tidak seanggun syair para pujangga istana yang pandai merangkai kata-kata indah." Ia mengalihkan pandangannya sesaat. "Namun, demi dewata agung, hati ini telah berketetapan. Aku ingin engkau menjadi milikku, Madu Jingga. Secara resmi, secara sah, di hadapan hukum da
Markas rahasia pasukan Watak Walaing di Pulo Watu diselimuti oleh uap lembab, sisa pertempuran elemental yang memaksa mereka mundur dari Karasa beberapa hari lalu. Tenda utama, yang berfungsi sebagai ruang strategi sekaligus tempat bermusyawarah, kini diselimuti keheningan yang tegang. Di dalamnya, Mpu Kumbayoni, pemimpin Walaing, duduk dengan tegak di tengah dua komandan setianya, Megarana dan Wiyuh Mega. Lampu minyak temaram memancarkan bayangan, menambah nuansa serius dalam pertemuan rahasia mereka.Di tangan Mpu Kumbayoni tergenggam sehelai surat yang terbuat dari kulit kambing tipis, selembar sandi berharga, diselipkan secara cermat dalam lipatan pakaian seorang kurir muda. Surat itu telah dibaca berulang kali, isinya meresapi benak Kumbayoni, membalikkan setiap strategi perlawanan yang telah mereka susun dengan susah payah. Pesan yang terkandung di dalamnya lebih dari sekadar informasi; ia adalah sepotong harapan dan dilema baru yang memaksa penyesuaian radikal."Kurir itu… Kaka
Perkemahan Sanditaraparan, Poh Pitu, Menjelang FajarCahaya keemasan fajar yang ragu-ragu mulai merayapi cakrawala, menaburkan rona samar di balik dedaunan rimba yang basah embun. Tumenggung Rukma kembali ke Perkemahan Sanditaraparan di Poh Pitu. Setelah dengan sigap memastikan Mayang Salewang terselip kembali ke biliknya tanpa satu pun mata keraton yang usil mengernyit, Rukma melesat menembus keheningan dini hari, melarikan diri dari potensi bahaya yang ia ciptakan sendiri. Jantungnya masih berdegup, entah karena larian tergesa atau antisipasi 'sesi interogasi' yang jauh lebih menyesakkan dada. Udara dingin menjelang pagi terasa menyengat di kulitnya, seolah menjadi pengingat atas dinginnya sambutan yang menanti.Ia tiba di tenda belakang, sebuah bilik sederhana. Penerangan pelita redup yang merengek menciptakan bayang-bayang menari di dinding kain. Suasana hening namun penuh tekanan. Di sana, Panglima Jentra Kenanga sudah berdiri tegak, tak ubahnya patung hidup kemarahan yang memba
Lorong-lorong batu bawah tanah Keraton Medang di Poh Pitu senantiasa diselubungi bau apek dan lembap yang khas, dingin menusuk tulang, serta sunyi mencekam. Hanyalah pijar obor yang muram dan sesekali kedipan kalelawar yang terbang rendah menjadi saksi bisu dari jeruji besi yang mengurung berbagai rupa derita.Pada malam yang diselubungi kerudung rahasia, Rukma melangkah tegap, kunci-kunci penanda kedudukannya sebagai Tumenggung menggantung di pinggangnya, berdenting pelan berirama dengan detak jantung Mayang Salewang yang berpacu di sampingnya. Dengan sigap, Rukma mengarahkan anak kunci yang tepat ke gembok gerbang besi salah satu sel, membuka tirai gelap yang selama ini menahan Mpu Rahagi dan adiknya, Srigunting.Mayang, tanpa membuang waktu, segera berlari memasuki sel. Mpu Rahagi, ayahnya, terbaring lemah di atas tikar jerami. Wajahnya, yang selama ini ia kenang dengan keanggunan seorang bijak bestari, kini terlihat jauh lebih tua dan letih, dengan garis-garis kepedihan dan beban
Bilik Pesanggrahan Randugumbolo, Tengah MalamKeheningan yang mencekam kembali menyelimuti bilik Mayang Salewang. Kini rasanya jauh lebih pekat, lebih berbahaya. Langkah kaki Pangeran Balaputradewa sudah lama menjauh, lenyap ditelan pekatnya malam.Dari sudut bilik yang gelap, Tumenggung Rukma perlahan keluar dari persembunyiannya. Ia bersembunyi di balik tumpukan guci-guci tanah liat antik yang tertutup kain tebal. Keringat dingin membasahi jubah Sanditaraparannya. Nyaris. Kecerobohan tadi hampir saja membuat seluruh rencana ini—yang dipertaruhkan dengan nyawa—berantakan. Ia mendongak, matanya bertemu dengan Mayang yang sudah siap, dalam pakaian serba gelap, berdiri menunggunya dengan napas tertahan."Mayang," bisik Rukma, nadanya mendesak, segera menghampiri mantan istrinya itu. "Kita bergerak sekarang. Jangan beri siapapun kesempatan untuk mencium gelagat aneh."Mayang mengangguk mantap, matanya bersinar penuh tekad di bawah kerudung hitamnya. "Aku siap, Kakang."Rukma meraih tanga