MasukDi Keraton Medang, inti dari kekuasaan Wangsa Syailendra, suasana bilik perang terasa seberat palu godam, kelam, dan penuh dengan tekanan yang membeku di setiap sudut. Dinding batu tebal yang biasanya meneduhkan kini terasa memenjarakan, menyimpan aura perintah keras dan potensi kehancuran. Di tengah meja peta yang dipenuhi gulungan-gulungan wilayah kekuasaan Mataram, Panglima Besar Kunara Sancaka memimpin rapat, sorot matanya yang tajam mengawasi setiap wajah di hadapannya.Ia didampingi oleh Panglima Kavaleri Cangak Sabrang, seorang prajurit gagah dengan pandangan membara, yang seolah siap menghempas segala rintangan. Di sisi meja, duduklah Panglima Dandang Wilis dan Panglima Jentra Kenanga. Mereka berempat adalah pilar kekuatan militer Wangsa Syailendra yang kokoh, para ujung tombak kerajaan yang memegang kunci nasib ribuan prajurit dan, kini, seluruh wangsa lawan.Kunara Sancaka menggebrak pelan meja, suaranya berat dan mengikis, "Titah Maharaja Samarattungga sudah jelas. Sebuah m
Setelah meninggalkan Pangurakan, suasana yang menyelimuti para Panglima utama Medang kental dengan ketegangan yang menyesakkan, membebani setiap langkah mereka di bawah naungan Kerajaan Medang yang kini dikuasai oleh Wangsa Syailendra. Udara yang mereka hirup terasa berat, sarat akan beban dekrit berdarah dari Maharaja Samarattungga. Sebagai seorang Syailendra yang kokoh, Maharaja Samarattungga telah memerintahkan untuk membumihanguskan seluruh keturunan Wangsa Sanjaya, sebuah tindakan kejam yang dimaksudkan untuk sepenuhnya melegitimasi kekuasaan Syailendra di atas sisa-sisa jejak Mataram Kuno.Di antara mereka yang memikul beban konflik batin yang dahsyat ini adalah Panglima Jentra Kenanga, Tumenggung Gagak Rukma, dua Biksu agung bernama Wiku Amasu dan Wiku Rahastya, serta yang terpenting, Guru Sasodara. Beliau adalah Samgat Agung, seorang Wiku terkemuka dari Wangsa Syailendra, yang secara darah adalah paman bagi Sri Kahulunan dan Balaputeradewa – penerus takhta Syailendra yang seha
Keheningan yang mencekam di Alun-Alun Pangurakan, yang sebelumnya mengikat ribuan pasang mata dalam penantian cemas, sontak buyar oleh intonasi perintah yang lantang dan tak terbantahkan. Adalah Tumenggung Alap-alap, seorang pejabat tinggi yang mengemban kehormatan atas warisan leluhur Sanjaya yang agung, yang menjadi motor penggerak aksi ini. Dengan gestur yang tegas namun penuh kehati-hatian, ia segera menginstruksikan prajurit-prajurit Sanditaraparan untuk melepaskan belenggu dari pergelangan tangan Mpu Rahagi dan wanita di sisinya, Srigunting, simbol kemurahan hati yang tak terduga dalam drama pelik ini.Sementara sorot mata tertuju pada adegan pembebasan tersebut, sebuah pergerakan diskret nan strategis terjadi di garis belakang Pasukan Elite Sanditaraparan. Empat ekor kuda pilihan, dengan bulu berkilauan dan tenaga yang masih prima, secara tiba-tiba muncul dari antara kerumunan prajurit, seolah menjadi bagian dari bayangan yang tak terjangkau.Kehadiran kuda-kuda ini adalah isya
Hawa di Pangurakan, tempat kompleks istana sementara Medang berdiri agung, tiba-tiba menipis, diwarnai keheningan pekat yang mematikan. Cahaya obor dan bulan yang sebelumnya menari-nari, kini tampak membeku di tengah ketegangan yang menyelimuti segenap yang hadir. Para prajurit berjaga dan para pembesar kerajaan yang tadinya berdiskusi santai, kini terpaku, mematung bagai arca. Napas tertahan di setiap kerongkongan, menyaksikan drama pengkhianatan yang tak pernah terbayangkan akan terjadi di jantung kerajaan.Mayang Salewang, yang selama ini dikenal sebagai Madu Jingga, Permaisuri muda Pangeran, berdiri dengan sikap teguh, tak ada sedikit pun keraguan di raut wajahnya. Ia perlahan namun pasti menggiring Mahamentri I Halu Pangeran Balaputeradewa mundur. Cundrik mungil namun mematikan di tangannya menempel erat di tenggorokan Pangeran, mengancam urat nadinya dengan setiap gerakannya. Sorot matanya tajam, memancarkan determinasi baja yang menyembunyikan badai emosi yang berkecamuk dalam
Pagi tiba di Keraton Medang, membawa sinar mentari yang seolah menolak kegelapan malam yang penuh darah. Mahamentri I Halu Pangeran Balaputeradewa terbangun dalam keheningan yang semestinya tenang, namun segera panik ketika telinganya menangkap suara Mayang Salewang terisak dan muntah-muntah dari bilik air. Ia bangkit, hati dilanda kecemasan."Dayang! Cepat kemari!" Balaputeradewa beranjak dari ranjang dengan wajah pias, melangkah cepat menuju sumber suara. "Mayang, ada apa gerangan, Adinda? Suaramu... mengapa kau terdengar begitu tersiksa?"Dayang yang berpengalaman, yang bertugas merawat Mayang, segera menghadap dengan sigap. "Ada yang bisa saya bantu, Gusti Mahamentri? Kondisi Gusti Ayu tampak tidak baik.""Periksalah Mayang sekarang!" perintah Pangeran dengan suara tegang, "Aku sangat khawatir! Ia muntah-muntah dan wajahnya pucat pasi."Dayang itu segera menghampiri Mayang Salewang dan memeriksanya dengan seksama, mengamati setiap tanda yang terlihat. Setelah beberapa saat, Dayang
Kamar peristirahatan Mahamentri I Halu Pangeran Balaputeradewa merupakan perwujudan kemegahan arsitektur istana Medang, dipenuhi ukiran-ukiran rumit yang merefleksikan kisah-kisah kepahlawanan dan mitologi Hindu-Buddha. Pilar-pilar berlapis perunggu berdiri tegak, menopang atap kayu ulin yang berukir relief dewa-dewi, sementara harum dupa cendana yang membara di sudut ruangan sedikit pun tidak mampu mengusir udara berat dan dingin yang mencekam. Sebuah kegelisahan yang nyaris kasatmata melayang di setiap sudut ruangan, seolah merefleksikan gejolak hati sang istri Mahamentri Mayang Salewang.Dekrit Agung dari Baginda Maharaja Samarattungga telah termaktub dengan tinta emas dan disegel dengan stempel Kerajaan: hukuman mati bagi Mpu Rahagi, Kepala Walaing, dan putrinya, Srigunting, adalah keniscayaan yang tak terbantahkan. Di luar kamar yang megah itu, para pengawal dan abdi dalem telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan cekatan, mengawal tahapan-tahapan prosesi hukuman yang akan seg







