Share

Kegelapan Yang Pekat

Author: Alexa Ayang
last update Last Updated: 2025-09-09 15:35:29

Udara terasa sesak, menggigit dengan kelembapan aneh dan aroma samar mesiu. Di luar sana, keheningan yang menyesakkan perlahan terkoyak oleh erangan tertahan dan lolongan keputusasaan. Mpu Kumbhayoni tersentak, mata tajamnya terbuka lebar, mencari jejak cahaya. Ruangan itu gulita, lebih pekat dari biasanya. Jendela kamarnya, yang semalam sengaja ia buka sebagian untuk menyambut bisikan angin dan kerlip bulan, kini mati, menelan semua terang. Dengan gerakan refleks yang spontan, kakinya menendang, menghantam sesuatu yang empuk.

"Aduh!" Sebuah rintihan menyusul, lebih terdengar seperti seekor anak anjing yang terkejut.

"Wiyuhmega? Ada apa? Kenapa gelap sekali?" Suara Kumbhayoni serak, menusuk kegelapan. Ia menyipitkan mata, mencari bentuk di sekelilingnya, tapi hanya menemukan kegelapan total yang menakutkan.

Rasa dingin yang merambat di lantai batu seakan merasuk ke dalam tulang, sejalan dengan firasat buruk yang mendadak melanda. "Mana api? Kenapa semua obor padam?"

Wiyuhmega tergopoh-gopoh bangkit, mengusap dahinya yang membentur sesuatu dalam kegelapan. Rasa kantuknya buyar, tergantikan kepanikan. "Saya... saya tidak tahu, Gusti. Tadi masih ada obor di koridor... semuanya." Jemarinya gemetar mencari pemantik api dan lilin, tapi tak satu pun yang bereaksi. Suara dentingan pedang, jeritan tertahan, dan lolongan yang meresap perlahan-lahan menyusup dari luar, menusuk masuk ke dalam puri yang senyap mencekam.

"Sial!" Desis Kumbhayoni, kalimat itu melesat tajam bagai anak panah yang meluncur ke sasaran. Tubuhnya sudah meluncur dari ranjang, merasakan lantai batu yang sedingin es menyentuh telapak kakinya yang telanjang. Sebuah strategi busuk yang baru disadarinya. "Mereka memadamkan api. Di malam yang gulita tanpa rembulan. Kita tak punya titik api untuk melawan mereka!"

Suara peperangan di luar kini bukan lagi gumaman samar, melainkan raungan, jeritan, dan dentuman yang mengerikan, membakar saraf. Jantung Wiyuhmega berdegup seperti genderang perang, menghantam dadanya begitu keras hingga rasanya mau meledak. "Kita lawan mereka, Gusti! Pakai senjata apa saja!" teriaknya panik, suaranya mencoba terdengar berani di tengah kekacauan yang semakin nyata.

Mpu Kumbhayoni tidak menyia-nyiakan satu detik pun. Dengan sigap, ia menyambar tombak berhulu perak dan pedang pamungkasnya—si Brama Sangkala—dari sudut kamar. Pada saat yang sama, Megarana, kepala pengawal puri, menerobos masuk dari pintu samping dengan napas terengah-engah. Darah merembes di lengan baju dan rambutnya yang acak-acakan.

"Gusti! Serangan mendadak! Serangan pengecut dari pasukan Medang!" Lapor Megarana, suaranya dipenuhi amarah yang membara dan keputusasaan yang meremas-remas. "Mereka membunuh setiap penjaga obor di garda depan, memadamkan semua sumber cahaya kita. Mereka ingin kita buta dan bertarung dalam kegelapan!"

Rahang Mpu Kumbhayoni mengeras. Wajah tampannya membingkai kemarahan murni. "Aku tahu! Dasar pengecut kau Balaputerdewa! Dan kau Kunara Sancaka!" Kata-katanya diucapkan pahit, seolah meludahkan racun, dipenuhi dendam lama yang membakar, menyulut bara yang tersimpan bertahun-tahun. Matanya yang gelap memancarkan kilatan tajam, memantulkan sedikit cahaya dari celah pintu yang terbuka, memperlihatkan siluet mengerikan dari musuh yang sudah masuk. "Kumpulkan semua pasukan! Suruh mereka memakai senjata apa saja yang ada! Kita akan melawan kegelapan mereka dengan semangat kita yang takkan pernah padam!"

Megarana menghaturkan sembah dengan gerakan cepat, nyaris tergesa. "Siap, Gusti! Akan saya laksanakan!" Ia berbalik, melesat keluar, bayangannya melengkung menghilang di labirin koridor, mencari kentongan darurat dan mengorganisir pertahanan. Di kejauhan, lolongan kentongan darurat mulai memecah malam, tanda perlawanan telah dimulai.

Tanpa menunggu perintah lebih lanjut, Mpu Kumbhayoni sudah bergerak, pedang Brama Sangkala terhunus, membelah kegelapan koridor yang dipenuhi kepulan asap dari api yang entah di mana sudah mulai menyala. Dia berhadapan langsung dengan gelombang pertama prajurit Medang yang telah merangsek jauh ke dalam Puri. Cahaya oranye kemerahan yang samar dari pintu-pintu yang didobrak oleh pasukan musuh dan nyala-nyala kecil di sana-sini hanya menciptakan bayangan menari yang lebih menakutkan daripada penerangan. Mereka tampak seperti siluet-siluet raksasa dari dunia mimpi buruk, bergerak tanpa ampun.

"Wiyuhmega! Lindungi eyangku, Rakai Walaing Sepuh, Mpu Regdaya!" Perintah Kumbhayoni, tanpa menoleh, suaranya kuat dan mendesak. Ia memutar tubuhnya dengan lincah, menghalau dua bilah pedang yang menyerangnya bersamaan dengan sebuah benturan metal yang memekakkan telinga.

"Ta-tapi... bagaimana dengan Anda, Gusti?" Wiyuhmega tergagap, kecemasan jelas terpancar dari suaranya yang gemetar, wajah polosnya terlihat kaget. Meskipun Kumbhayoni adalah darah bangsawan dan pejuang yang piawai, dia masih sangat muda, belum genap dua puluh tahun. Pertarungan di depan matanya sangat brutal.

Mpu Kumbhayoni menyeringai tipis, taring kecil di sudut bibirnya memantulkan sekelumit cahaya dari luar. "Jangan khawatirkan aku, Wiyuhmega! Aku bisa melindungi diriku sendiri." Nada bicaranya tegas, final, mengakhiri semua ruang untuk diskusi. Tubuhnya berputar lincah, menangkis sabetan, menikam dengan presisi dalam chaos yang menyeruak.

Dengan jantung berdetak seperti genderang perang yang menggila, Wiyuhmega bergegas, kakinya terburu-buru melangkah di lorong-lorong puri yang kini menjelma menjadi labirin kematian. Setiap bayangan adalah potensi bahaya. Jeritan kesakitan, raungan amarah, dan dentingan besi beradu dengan jeritan tertahan, semuanya bercampur menjadi simfoni neraka. Aroma darah dan keringat mengental di udara. Kakinya nyaris terpeleset genangan darah segar yang membasahi lantai, meninggalkan jejak-jejak merah di setiap langkah paniknya.

Saat ia akhirnya mencapai balai Semadi, Wiyuhmega tersentak oleh pemandangan di depannya. Di tengah ruangan, nyala api dari tungku Semadi membara dengan dahsyat, menerangi dinding dengan bayangan-bayangan mengerikan yang menari. Di sanalah, ayunan pedang dan siulan cambuk saling menyahut. Mpu Rahagi, ayahanda Mpu Kumbhayoni, mati-matian menghadapi Panglima Cangak Sabrang yang terkenal dengan kesaktian luar biasa. Panglima diselimuti kabut lembab yang menari di sekelilingnya, tangan-tangannya melambai lincah, mengendalikan gumpalan air yang melesat bagai peluru, sulit dipatahkan, menghempas dinding dan pilar dengan kekuatan badai. Rahagi bertahan dengan ilmu pukulan telapak petir yang menimbulkan kilatan cahaya yang membutakan setiap kali ia menangkis serangan, meski napasnya sudah terengah-engah dan butiran keringat bercampur asap mengucur di dahinya.

Di sisi lain ruangan, di antara pilar-pilar batu, Rakai Walaing Sepuh, eyang Mpu Kumbhayoni yang telah sepuh, bertarung dengan caranya sendiri yang jauh dari kata lelah. Kekuatan api dari tungku Semadi yang membara membias, menjadi aura merah menyala yang menyelimuti tubuhnya, melindungi dari setiap ancaman. Dia berhadapan dengan Kunara Sancaka, pemimpin kedua dari pasukan penyerang, seorang ahli cambuk yang sangat mematikan. Cambuk saktinya membelah udara, menebarkan bau mesiu dan hangus setiap kali melibas, seperti naga api yang murka. Api dan bayangan cambuk bersilang di udara, sebuah tarian indah yang mematikan, yang setiap sentuhannya berarti akhir sebuah kehidupan.

"Mayang Salewang! Sri Gunting!" Suara Rukma terdengar parau, penuh amarah dan rasa sakit.

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 21 Perintah Yang Memilukan

    Sinar keemasan senja menembus ukiran jati yang rumit, menciptakan bayangan panjang di ruang pribadi Pangeran. Balaputeradewa, putra mahkota Dinasti Syailendra, bersemayam di dipan bertahtakan emas, diapit aneka hidangan buah dan penganan mewah. Di hadapannya, Jentra, seorang punggawa setia, bersimpuh dengan kepala tertunduk. Suasana, kendati opulent, mengesankan ketegangan tersembunyi."Jentra," suara Balaputeradewa memecah keheningan, renyah laksana gigitan buah pisang raja yang kini ia santap. "Ada titah agung. Sebuah tugas yang akan menguji loyalitas dan keteguhan batinmu hingga batas terkahir."Jentra mengangkat wajahnya sedikit. "Ampun Gusti Pangeran. Hamba siap sedia melaksanakan segala kehendakmu."Senyuman tipis terukir di bibir Balaputeradewa, namun tatap matanya memancarkan ketegasan yang dingin dan tak terbantahkan. "Kau harus membakar Wanua Song Banyu."Kalimat dingin itu meluncur laksana petir. Jentra terperanjat, tubuhnya seolah dilanda badai hebat. Gambaran desa terbaka

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 20 Berita dalam Desiran Angin

    Angin sore dari perbukitan kapur berhembus perlahan, menyelimuti dua siluet yang mematung di balik rimbun semak, mengawasi lembah di bawah dengan seksama. Di tengah lapangan berlumpur, Mpu Kumbhayoni memimpin adiknya dan sejumlah pemuda Walaing dalam meringkus Perampok dari Pengging itu dengan penuh semangat, denting bilah pedang bambu dan sorakan riuh mengalir bersama angin. Rukma menoleh ke arah Jentra, rekannya yang wajahnya tertutup topeng beruk."Kakang Jentra," Rukma memecah keheningan. "Bagaimana pandangan Kakang tentang ini? Bukankah apa yang mereka lakukan jelas-jelas melanggar ketentuan negara? Seorang Rakai tidak diperkenankan memiliki pasukan sendiri. Namun, lihatlah, Mpu Kumbhayoni secara terang-terangan memobilisasi warga sipil dan melatihnya sebagai prajurit. Ini adalah tindakan insubordinasi yang kentara, melangkahi batas-batas yang ditetapkan istana."Jentra menghela napas, pandangannya tak lepas dari adegan di bawah. "Rukma," mulainya, nadanya sarat empati namun juga

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 19 Pertarungan Api dan Tanah

    Sentuhan itu bak disambar petir yang membara. Jemari Mayang Salewang seolah melayangkan tamparan api ketika menepis tangan Arya Rontal yang nekat menyentuhnya. Rasanya begitu panas, begitu mendidih, sampai-sampai Arya harus meloncat mundur secepat kilat, nyaris terpeleset bebatuan licin di tanah basah itu. Mata Arya Rontal, yang baru berusia tiga puluhan, membulat kaget. Pandangan angkuhnya seketika luntur, terganti tatapan tak percaya pada Mayang yang kini berdiri tegak di samping Sri Gunting, dengan gestur tenang seolah tak terjadi apa-apa."Api…" gumam Arya, suaranya tercekat. Matanya melebar penuh rasa takjub sekaligus ngeri. "Pengendali api!"Wajahnya mendadak tegang. Arya menoleh cepat ke arah Klarang, adiknya seperguruan dan sepupunya, yang sejak tadi hanya melihat adegan itu dengan tatapan remeh. Kini Klarang, pemuda dua puluh delapan tahun itu, mulai menampakkan mimik datar."Kau harus hati-hati, Adhi Klarang," ucap Arya, nada suaranya berubah serius, sarat akan peringatan. "

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 18 Jebakan Sutra

    Senyap yang mendominasi pagi di ufuk timur Perlahan terkoyak oleh kemunculan sinar surya yang menelusup celah-celah daun bambu dan rimbunnya hutan jati, menciptakan mosaik cahaya di atas tanah berdebu. Di antara kerimbunan tersebut, pasukan Mpu Kumbhayoni telah menyebar dan menyembunyikan diri, bergeming layaknya batu padas yang tak tergoyahkan, sanubari mereka terasah tajam, menanti aba-aba. Mayang Salewang dan adiknya, Sri Gunting, memainkan peran mereka dengan sempurna, mengenakan pakaian sederhana laksana wanita dusun pada umumnya, berpura-pura sedang mencari rumput untuk pakan ternak. Keranjang rumput mereka teronggok di sisi jalan setapak yang biasa dilalui, seolah menanti terisi penuh oleh rezeki pagi.Tiba-tiba, Mayang Salewang merasakan getaran samar pada bumi di bawah telapak kakinya, getaran itu merambat naik, perlahan menguat menjadi denyut ritmis yang menandakan ada sekumpulan penunggang kuda dalam jumlah besar yang sedang bergerak menuju arah mereka. Bola matanya melirik

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 17 Jerat Sang Mpu

    Udara dingin subuh masih menggantung tipis di celah hutan Jati, menyelimuti tim Mpu Kumbhayoni yang bergerak tanpa suara. Kabut tipis memantulkan cahaya perak dari bulan sabit yang mulai redup, seolah enggan menampakkan diri. Mereka sudah bersiap sejak malam, meletakkan umpan dan menyusun perangkap di jalur yang diprediksi akan dilewati kawanan perampok Arya Rontal. Megarana yang paling jangkung di antara mereka, berlutut mengamati jejak kaki yang samar."Kau yakin mereka lewat sini?" tanya Mpu Kumbhayoni dengan suara rendah, menepuk bahu Megarana. Matanya tajam, menyapu sekeliling, memastikan tidak ada halangan atau mata-mata yang mengawasi.Megarana mengangguk mantap. "Ya, Gusti. Dari pola patroli terakhir mereka, jalur ini adalah pilihan terbaik untuk lewat cepat. Mereka suka buru-buru, cari rute yang bersih dari warga.""Bagus," Mpu Kumbhayoni berbisik, membalas anggukan itu. "Kalau begitu, mari kita pasang jaringnya. Hati-hati, jangan sampai ada benang yang menonjol."Tim bergera

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 16 Informasi Mengejutkan

    Ruangan pribadi Mpu Kumbhayoni malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, padahal belasan obor kecil sudah dinyalakan di dinding. Hawa dingin dari luar justru tidak sanggup menembus aura panas di antara mereka. Mayang Salewang, dengan tangannya yang sibuk merapikan gulungan peta lama di meja, melirik ke arah Megarana. Raut wajah penyelidik itu jelas tidak bisa dibilang tenang, ada kekesalan bercampur kebingungan yang kentara. Mpu Kumbhayoni sendiri bersandar pada kursi kebesarannya, pandangannya tajam mengarah ke Megarana. Laturana berdiri agak di belakang Megarana, sementara Sri Gunting menyilangkan tangan di depan dada, mendengarkan seksama.“Baik, Megarana,” Mpu Kumbhayoni akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar berat, “aku mau dengar semuanya. Penyelidikan terakhir kalian itu akhirnya membawa hasil apa?”Megarana menarik napas panjang, sedikit membuang pandangan, seolah sulit menyampaikan kabar yang akan keluar dari mulutnya. “Penyelidikan terakhir kita udah selesai, Gust

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status