Share

Bara Dendam Sang Prabu Boko
Bara Dendam Sang Prabu Boko
Penulis: Alexa Ayang

Malam Yang Mencekam

Penulis: Alexa Ayang
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-09 13:37:46

Semua ingat betul malam itu, wilayah Walaing di dataran Kewu membeku dalam keheningan yang menyesakkan.Kegelapan gulita terasa semakin mencekam, ditelan oleh pasukan Medang yang menyebar di seluruh penjuru. Jentera Kenanga dan pasukannya, ‘Sanditaraparan’, telah memastikan bahwa wilayah tersebut telah terkepung, bahkan semut pun tak akan lepas dari jaring tak kasat mata mereka.

 

Rukma, tangan kanan Panglima Jentera Kenanga, nampak sangat gelisah. Tubuhnya kaku, memantulkan ketidaknyamanan yang tidak bisa ia sembunyikan sepenuhnya. 

“Kau yakin dengan rencana ini, Kakang Jentera?” tanya Rukma, suaranya nyaris berbisik, diselimuti gemetar samar. “Wilayah Walaing… bahkan jangkrik pun bungkam malam. Hati kecilku resah, seolah merasakan firasat buruk yang menggantung di udara.”

 

Jentera Kenanga menoleh sedikit. Wajahnya yang tegar bagai karang pantai laut Selatan, tetap menjulang meskipun dihantam ombak ganas ribuan tahun, tak goyah. “Aku hanyalah bawahan, Rukma,” katanya dengan nada berat yang tak memberi ruang perdebatan. “Perintah Mahamentri I Halu bagaikan titah dewa yang tak mungkin ku elakkan. Jalan telah ditetapkan, dan kita hanya menjalankan bagian kita.”

Rukma mengerutkan dahi. “Tapi Wiku Sasodara… kebijaksanaannya selalu mengatakan jalan demikian bukan...”

“Beliau tak punya legitimasi untuk mencegah kejadian tersebut, Rukma,” potong Jentera tegas, nadanya dingin dan mematikan. Matanya menatap tajam, menembus keraguan Rukma. “Ingat, kita tunduk di bawah panji Medang dan satu komando di bawah Maharja Samarattungga dan Mahamentri I Halu Pangeran Balaputeradewa. Loyalitas kita adalah yang utama. Tak ada ruang untuk mempertanyakan kehendak para penguasa.”

 

Rukma menunduk, bahunya meluruh. “Baiklah, Kakang,” jawabnya lirih, menerima. “Kesetiaan adalah nyawa prajurit, dan saya hanya akan menaati. Ampuni hamba yang lemah.”

Keheningan kembali menyelimuti mereka berdua, dibalut suara gemerisik logam tipis saat menyematkan topeng tembaga. Topeng polos tanpa ukiran, hanya dua lubang mata menyiratkan tatapan dingin dan tanpa emosi, ciri khas pasukan Sanditaraparan yang menakutkan, bayangan yang tak memiliki nama. Setiap gerakan terencana, setiap langkah adalah bisikan yang ditelan malam.

“Pastikan kuda dan kereta yang berisik telah diredam suaranya,” kata Jentera memastikan, suaranya teredam topeng namun tetap menggedor dada. “Sekecil apa pun bunyi bisa membatalkan seluruh operasi tersebut, membuyarkan segalanya.”

 

Rukma mengangguk mantap. “Sudah diurus, Kakang. Semua kaki kuda sudah dibebat kain tebal, roda kereta telah diminyaki dengan ramuan khusus agar tak sedikit pun mengeluarkan derit. Bahkan setiap keping perisai telah kami lapisi agar tak ada bunyi beradu.” Rukma menegaskan, suaranya pelan dan berhati-hati. “Kami juga telah memastikan tak ada armor yang saling bergesek, setiap langkah dihitung dan diawasi, Kakang.”

“Bagus,” gumam Jentera. “Jangan ada satu pun kecerobohan.”

Mereka kembali dalam penantian.

“Kapan kita mulai menyerang, Kakang?” tanya Rukma lagi, memecah hening. Ada gema ketegangan dalam suaranya, seolah semakin lama menunda, semakin terasa berat beban di dada.

Jentera mengarahkan pandangannya ke ufuk timur. “Setelah pasukan Panglima Kunara Sancaka, Dandang Wilis, dan Cangak Sabrang mencapai Batas Banyu Nibo. Mereka adalah kekuatan utama. Kita hanyalah mata tombak awal yang membuat luka.” Jentera menyeringai di balik topengnya.

“Serangan mendadak… licik dan pengecut,” bisik Jentera pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada

Rukma. “Rasanya ksatria Medang tak patut mengotori tangannya dengan cara serupa, Rukma.” Sebuah desah halus keluar dari rongga napasnya.

 

Rukma, tanpa melihat, menjawab dengan pragmatis. “Kita bukan di medan latihan, Kakang. Ini adalah perang nyata, dan Mahamentri tak pernah ragu untuk mengambil jalan pintas jika berarti kemenangan bagi Medang. Lagipula, tak ada 'kesatria' yang kelaparan.”

Jentera terdiam sejenak. “Aku tahu, Rukma. Namun hal ini akan menghapus jejak kebaikan Medang di mata banyak orang. Bagaimana kita akan memerintah Walaing sesudahnya, jika kemenangan semacam itu lahir dari pengkhianatan malam?” Nada bicaranya menyiratkan beban hati yang berat.

“Cukuplah loyalitas kita pada mahkota, Kakang,” balas Rukma, tanpa menoleh. “Biarkan sejarah menilai. Tugas kita hanyalah melaksanakan perintah. Dan kemenangan, ia akan menuliskan sejarahnya sendiri, membenarkan apa pun jalannya.”

 

Tiba-tiba, langit di atas Batas Banyu Nibo robek! Sebuah suara petir menggelegar, dahsyat, seolah membelah semesta, diikuti oleh kilatan cahaya biru terang yang berpendar seperti lidah api tak biasa. Seluruh cakrawala berguncang, tanah di bawah kaki mereka terasa bergetar hebat. Cambuk Guntur Sangara milik Panglima Kunara Sancaka, yang mampu membelah gunung sekalipun, kini dipergunakan sebagai tanda.

“Mereka tiba,” seru Jentera, matanya menyala di balik topeng tembaga. “Waktu kita sudah tiba!”

Rukma tidak membuang waktu. Ia segera menyiapkan anggota pasukannya, menekan isyarat untuk memulai pergerakan senyap. “Matikan semua api di Walaing!” teriaknya, suaranya memenuhi keheningan yang tersisa. “Jangan biarkan mereka menggunakan kekuatan api menghalau kita!”

 

Pasukan Medang, yang terkenal sebagai pengendali air, langsung mengerahkan kemampuan mereka. Bola-bola air raksasa berukuran lebih besar dari kerbau mulai dibentuk dan dilemparkan ke seluruh titik nyala di wilayah Walaing. Sumber api di dapur, obor pengawas, api di kuil, dan tungku pengrajin, semuanya dihantam, dipadamkan tanpa ampun, menyelimuti Walaing dalam kegelapan dan keputusasaan. Kilatan petir menjadi tanda bagi Jentera Kenanga sebagai pasukan pelopor untuk membuat serangan awal ke Walaing sebelum pasukan utama Medang yang tak terlihat ikut menyerang.

Jauh di dalam Puri Walaing, di pusat kendali api, Mpu Regdaya, sang Rakai Walaing Sepuh yang sedang bermeditasi dalam ketenangan paling dalam, tersentak. Suara petir, meski teredam tebalnya tembok, merobek konsentrasinya. Matanya yang tua, biasanya meneduh penuh kebijaksanaan, kini melebar kaget.

 

Seketika, kesadaran dingin menusuk hatinya. Bukan badai biasa. Ini adalah suara perang.

“Pasukan Medang menyerang!” teriaknya, segenap tenaga tercurah dalam suara putus asa, bergemuruh dalam dinding batu yang sepi. Suara Mpu Regdaya adalah pekik kesadaran terakhir bagi Walaing.

Namun, bagi Walaing yang baru saja terbangun dari lelapnya, semuanya telah menjadi terlambat.

 

Senyapnya kepungan Medang kini telah berujung pada ledakan kekejaman yang membisukan. Hawa dingin terasa menusuk kalbu, sebuah tanda akan kehancuran yang tak terelakkan. Langit Walaing yang biasanya berpendar dari ribuan nyala api pengrajin dan obor penjaga, kini gelap gulita, basah oleh embun yang bukan berasal dari alam. Sebuah malapetaka yang melumpuhkan, memadamkan harapan, sebelum tombak pertama bahkan menyentuh tanah. Dari kegelapan, bayangan Sanditaraparan bergerak, seperti hantu-hantu yang dilepaskan dari jurang. Mereka adalah pembawa kematian tanpa nama, tanpa wajah.

 

Pada malam yang gelap gulita itu, Walaing bukan hanya jatuh. Ia ditelan. Ditenggelamkan dalam keheningan yang lebih mematikan dari jeritan. Dan aku tahu, saat para pengendali air Medang mulai melangkah maju, nasib Walaing, nasib para pengendali api, sudah tertulis, dicetak dalam air dan dibekukan oleh kehampaan. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 21 Perintah Yang Memilukan

    Sinar keemasan senja menembus ukiran jati yang rumit, menciptakan bayangan panjang di ruang pribadi Pangeran. Balaputeradewa, putra mahkota Dinasti Syailendra, bersemayam di dipan bertahtakan emas, diapit aneka hidangan buah dan penganan mewah. Di hadapannya, Jentra, seorang punggawa setia, bersimpuh dengan kepala tertunduk. Suasana, kendati opulent, mengesankan ketegangan tersembunyi."Jentra," suara Balaputeradewa memecah keheningan, renyah laksana gigitan buah pisang raja yang kini ia santap. "Ada titah agung. Sebuah tugas yang akan menguji loyalitas dan keteguhan batinmu hingga batas terkahir."Jentra mengangkat wajahnya sedikit. "Ampun Gusti Pangeran. Hamba siap sedia melaksanakan segala kehendakmu."Senyuman tipis terukir di bibir Balaputeradewa, namun tatap matanya memancarkan ketegasan yang dingin dan tak terbantahkan. "Kau harus membakar Wanua Song Banyu."Kalimat dingin itu meluncur laksana petir. Jentra terperanjat, tubuhnya seolah dilanda badai hebat. Gambaran desa terbaka

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 20 Berita dalam Desiran Angin

    Angin sore dari perbukitan kapur berhembus perlahan, menyelimuti dua siluet yang mematung di balik rimbun semak, mengawasi lembah di bawah dengan seksama. Di tengah lapangan berlumpur, Mpu Kumbhayoni memimpin adiknya dan sejumlah pemuda Walaing dalam meringkus Perampok dari Pengging itu dengan penuh semangat, denting bilah pedang bambu dan sorakan riuh mengalir bersama angin. Rukma menoleh ke arah Jentra, rekannya yang wajahnya tertutup topeng beruk."Kakang Jentra," Rukma memecah keheningan. "Bagaimana pandangan Kakang tentang ini? Bukankah apa yang mereka lakukan jelas-jelas melanggar ketentuan negara? Seorang Rakai tidak diperkenankan memiliki pasukan sendiri. Namun, lihatlah, Mpu Kumbhayoni secara terang-terangan memobilisasi warga sipil dan melatihnya sebagai prajurit. Ini adalah tindakan insubordinasi yang kentara, melangkahi batas-batas yang ditetapkan istana."Jentra menghela napas, pandangannya tak lepas dari adegan di bawah. "Rukma," mulainya, nadanya sarat empati namun juga

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 19 Pertarungan Api dan Tanah

    Sentuhan itu bak disambar petir yang membara. Jemari Mayang Salewang seolah melayangkan tamparan api ketika menepis tangan Arya Rontal yang nekat menyentuhnya. Rasanya begitu panas, begitu mendidih, sampai-sampai Arya harus meloncat mundur secepat kilat, nyaris terpeleset bebatuan licin di tanah basah itu. Mata Arya Rontal, yang baru berusia tiga puluhan, membulat kaget. Pandangan angkuhnya seketika luntur, terganti tatapan tak percaya pada Mayang yang kini berdiri tegak di samping Sri Gunting, dengan gestur tenang seolah tak terjadi apa-apa."Api…" gumam Arya, suaranya tercekat. Matanya melebar penuh rasa takjub sekaligus ngeri. "Pengendali api!"Wajahnya mendadak tegang. Arya menoleh cepat ke arah Klarang, adiknya seperguruan dan sepupunya, yang sejak tadi hanya melihat adegan itu dengan tatapan remeh. Kini Klarang, pemuda dua puluh delapan tahun itu, mulai menampakkan mimik datar."Kau harus hati-hati, Adhi Klarang," ucap Arya, nada suaranya berubah serius, sarat akan peringatan. "

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 18 Jebakan Sutra

    Senyap yang mendominasi pagi di ufuk timur Perlahan terkoyak oleh kemunculan sinar surya yang menelusup celah-celah daun bambu dan rimbunnya hutan jati, menciptakan mosaik cahaya di atas tanah berdebu. Di antara kerimbunan tersebut, pasukan Mpu Kumbhayoni telah menyebar dan menyembunyikan diri, bergeming layaknya batu padas yang tak tergoyahkan, sanubari mereka terasah tajam, menanti aba-aba. Mayang Salewang dan adiknya, Sri Gunting, memainkan peran mereka dengan sempurna, mengenakan pakaian sederhana laksana wanita dusun pada umumnya, berpura-pura sedang mencari rumput untuk pakan ternak. Keranjang rumput mereka teronggok di sisi jalan setapak yang biasa dilalui, seolah menanti terisi penuh oleh rezeki pagi.Tiba-tiba, Mayang Salewang merasakan getaran samar pada bumi di bawah telapak kakinya, getaran itu merambat naik, perlahan menguat menjadi denyut ritmis yang menandakan ada sekumpulan penunggang kuda dalam jumlah besar yang sedang bergerak menuju arah mereka. Bola matanya melirik

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 17 Jerat Sang Mpu

    Udara dingin subuh masih menggantung tipis di celah hutan Jati, menyelimuti tim Mpu Kumbhayoni yang bergerak tanpa suara. Kabut tipis memantulkan cahaya perak dari bulan sabit yang mulai redup, seolah enggan menampakkan diri. Mereka sudah bersiap sejak malam, meletakkan umpan dan menyusun perangkap di jalur yang diprediksi akan dilewati kawanan perampok Arya Rontal. Megarana yang paling jangkung di antara mereka, berlutut mengamati jejak kaki yang samar."Kau yakin mereka lewat sini?" tanya Mpu Kumbhayoni dengan suara rendah, menepuk bahu Megarana. Matanya tajam, menyapu sekeliling, memastikan tidak ada halangan atau mata-mata yang mengawasi.Megarana mengangguk mantap. "Ya, Gusti. Dari pola patroli terakhir mereka, jalur ini adalah pilihan terbaik untuk lewat cepat. Mereka suka buru-buru, cari rute yang bersih dari warga.""Bagus," Mpu Kumbhayoni berbisik, membalas anggukan itu. "Kalau begitu, mari kita pasang jaringnya. Hati-hati, jangan sampai ada benang yang menonjol."Tim bergera

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 16 Informasi Mengejutkan

    Ruangan pribadi Mpu Kumbhayoni malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, padahal belasan obor kecil sudah dinyalakan di dinding. Hawa dingin dari luar justru tidak sanggup menembus aura panas di antara mereka. Mayang Salewang, dengan tangannya yang sibuk merapikan gulungan peta lama di meja, melirik ke arah Megarana. Raut wajah penyelidik itu jelas tidak bisa dibilang tenang, ada kekesalan bercampur kebingungan yang kentara. Mpu Kumbhayoni sendiri bersandar pada kursi kebesarannya, pandangannya tajam mengarah ke Megarana. Laturana berdiri agak di belakang Megarana, sementara Sri Gunting menyilangkan tangan di depan dada, mendengarkan seksama.“Baik, Megarana,” Mpu Kumbhayoni akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar berat, “aku mau dengar semuanya. Penyelidikan terakhir kalian itu akhirnya membawa hasil apa?”Megarana menarik napas panjang, sedikit membuang pandangan, seolah sulit menyampaikan kabar yang akan keluar dari mulutnya. “Penyelidikan terakhir kita udah selesai, Gust

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status