Share

Melawan Sang Legenda

Author: Alexa Ayang
last update Last Updated: 2025-09-09 15:36:32

Di sudut lain yang lebih gelap, nyala-nyala kecil, seperti lidah api yang menjulur dari telapak tangan, berkilat tajam membelah remang. Mayang Salewang dan Sri Gunting, dua srikandi terkemuka dari pasukan Puri Walaing, bertarung menghadapi Rukma, seorang jagoan bertubuh gempal dari Medang. Ilmu Tapak Geni mereka bukanlah sekadar jurus, melainkan manifestasi nyala api sungguhan yang bisa menghanguskan seluruh tubuh lawan dalam sekejap. Kepulan asap tipis sudah membubung dari bahu Rukma, bukti nyata betapa mematikannya sentuhan para srikandi, betapa setiap luka kecil mampu membakar lapisan kulit hingga ke tulang.

 

Namun, di lorong utama yang menuju sayap pribadi bangsawan, pertarungan yang paling krusial dan mendebarkan sedang berlangsung. Hanya cahaya minim dari beberapa lentera yang telah pecah yang menari-nari, menciptakan bayangan panjang dan berputar-putar yang menyesatkan. Di sana, Mpu Kumbhayoni, Sang Pangeran Muda Walaing yang gagah, berhadapan langsung dengan Jentra Kenanga. Jentra adalah legenda hidup, pembawa sepasang Astra Kenanga yang konon tak tertandingi, kemampuannya melegenda di seluruh penjuru negeri. Mpu Kumbhayoni, dengan ketampanan dan semangat membara yang tak terpadamkan, meliuk lincah, ayunan pedang Brama Sangkala miliknya membelah kegelapan seperti kilat perak yang mengincar nyawa.

"Ayo Jentra!" tantang Kumbhayoni, suaranya menggema penuh gairah di lorong sempit, sedikit pun tak gentar oleh reputasi lawan. "Aku tak sabar untuk mencoba Astra Kenanga-mu yang menjadi legenda! Biarkan kami tahu apa batasmu!"

Jentra Kenanga berdiri tegak, sosoknya terselubung dalam bayang-bayang yang semakin gelap. Hanya sorot matanya yang memancarkan dingin yang mengerikan, terlihat dari celah sempit di balik topeng setengah wajah yang dipakainya. Di punggungnya terselip dua bilah pedang kembar. Dia tersenyum, senyuman tipis dan ironis di balik topeng. "Anda masih terlalu muda untuk mati, Pangeran," ucap Jentra, suaranya datar, tanpa emosi, sebuah bujukan yang mengerikan. "Sebetulnya Anda bisa menyerah saja. Kemungkinan besar Maharaja dan Pangeran Balaputeradewa akan memberikan keringanan hukuman, sehingga kemampuan Anda yang langka tak akan sia-sia di mata kami."

"Menyerah? Menyerah tak ada dalam kamus hidupku, Jentra!" Mpu Kumbhayoni meraung, matanya berkobar penuh tekad yang takkan padam. Kebenciannya pada Medang dan Balaputeradewa menggelegak dalam dirinya, memberikan dorongan kekuatan yang membara. Tanpa menanti lagi, dia langsung menyerang. Tombak pendeknya melesat menusuk, cepat seperti ular berbisa yang menyerbu mangsa, sementara pedang Brama Sangkala berayun dengan gerakan melingkar yang mengancam. Ia memutuskan tidak menggunakan ilmu kanuragan miliknya – mungkin untuk menguji seberapa murni kemampuan bertarungnya di hadapan seorang legenda.

Jentra Kenanga meladeninya. Tangannya sudah menarik dua bilah pedang kembarnya dari sarung, pedang-pedang berdesir pelan seperti ular. Namun, anehnya, dia sama sekali tak menggunakan Astra Kenanga-nya. Dia hanya mengandalkan keluwesan dan presisinya. Setiap kali tombak Mpu Kumbhayoni menyambar, salah satu pedang Jentra akan memblokir, mengarahkannya ke samping, mengalihkan jalur maut. Lalu, pedang yang lain bersiap untuk serangan balik yang menusuk. Gerakannya adalah tarian mematikan yang tak tertandingi.

Dentingan logam beradu, membelah kesunyian, berulang-ulang, cepat, dan brutal. Kumbhayoni menyerang dengan gencar, amarah yang membakar memberikan kekuatan ekstra pada setiap ayunan dan tusukannya. Dia mencoba berbagai teknik, tusukan ke ulu hati, ke leher, sabetan memotong secara diagonal dan vertikal yang mematikan. Namun, Jentra Kenanga bagaikan dinding baja yang tak tergoyahkan. Setiap serangan yang dilemparkan Kumbhayoni dihadang dengan sempurna, dilenturkan kekuatannya, atau bahkan dibalas dengan tusukan tipis yang terus-menerus menguji pertahanan sang Pangeran Muda. Gerakannya nyaris tanpa usaha, seolah dia menari, berlawanan dengan Kumbhayoni yang sudah memompa setiap ons tenaganya, napasnya mulai memberat, bajunya basah oleh keringat.

Mpu Kumbhayoni menendang keras, berharap membuka celah, sabetan pedangnya semakin cepat dan liar, semakin membabi buta. Sebuah luka goresan panjang, tipis namun membakar, terlihat di lengan kirinya. Pedang Jentra memang tak bertujuan membunuh pada awalnya, namun jelas tidak bermaksud main-main. Rasa perih seakan menyalakan semangat barunya. Napas Kumbhayoni kini terengah-engah. Bayangan di sekelilingnya semakin menyesatkan, membuatnya sulit untuk fokus pada pergerakan Jentra yang nyaris tak terdengar, melangkah seolah tanpa jejak.

"Kenapa, Pangeran? Kenapa kau tidak mau menyerah? Perdikanmu akan tetap hancur pada akhirnya. Semua hanya kesia-siaan." Suara Jentra tiba-tiba terdengar lagi, datar dan mengintimidasi, seolah muncul dari balik bayangan. Dalam sepersekian detik, Jentra memutar tubuhnya, nyaris menari, menghindari tusukan tombak Kumbhayoni. Pedangnya melesat, bukan untuk membunuh—belum—tetapi untuk melumpuhkan perlawanan.

Satu pedang Jentra menyambar dari bawah, dengan gerakan cepat seperti kilat, membidik tepat siku tangan kanan Kumbhayoni yang memegang Brama Sangkala. Sebelum Kumbhayoni sempat menarik tangannya atau menghindar, dentingan keras logam beradu bergema memekakkan telinga. Rasa sakit yang tajam dan menusuk menjalari lengannya hingga ke bahu. Pedangnya, Brama Sangkala, terlepas dari genggaman, terpental jauh menghantam dinding, lalu jatuh ke sudut ruangan dengan suara memilukan. Detik berikutnya, sebelum Mpu Kumbhayoni sempat pulih dari keterkejutannya, pedang kedua Jentra sudah berputar, menebas pergelangan tangan kiri Kumbhayoni, menjatuhkan tombaknya dan meninggalkan luka yang menganga dengan memercikkan darah ke lantai batu.

Mpu Kumbhayoni menggeram kesakitan, terhuyung mundur, kedua tangannya mati rasa dan pedih oleh sayatan, darah segar mulai mengucur deras membasahi bajunya. Kekalahan merayapi hatinya seperti embun dingin yang mematikan. Ia tahu pertarungan telah berakhir. Jentra melangkah maju, lalu dengan tenang menempelkan ujung salah satu pedangnya yang runcing di leher sang Mpu.

"Tidak ada yang abadi, Pangeran. Bukan pula kehormatan konyolmu. Jangan melawan takdir." Suara Jentra Kenanga terdengar lagi, kalimat terakhir yang menggemuruh dalam benak Kumbhayoni, sebelum sebuah pukulan telak yang dingin menghantam pelipisnya. Cahaya oranye kemerahan dari balik koridor lenyap seketika, dan semuanya berubah menjadi kegelapan yang menelan segalanya, kali ini takkan terpecahkan oleh harapan apapun.

 

Namun pukulan Tapak Geni Sri Tanjung mendadak menyeruak, dinding sunyi pertahan Jentra yang terbuka di punggungnya.

"Pengecut!! Menyerang dari belakang." Teriak Jentra. Ia merapalkan Astra Kenanga ilmu pamungkasnya melawan kekuatan Tapak Geni.  Api bergulung dengan angin beracun milik Jentra kenanga dan berbalik menghantam Sri Tanjung Kakak perempuan Mpu Kumbhayoni. Seketika Sri Tanjung muntah darah.

"Gusti ayu......." Teriak Renuka. Sementara kegaduhan itu memberi ruang pada Wiyuhmega menyelamatkan Mpu Kumbhayoni.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 21 Perintah Yang Memilukan

    Sinar keemasan senja menembus ukiran jati yang rumit, menciptakan bayangan panjang di ruang pribadi Pangeran. Balaputeradewa, putra mahkota Dinasti Syailendra, bersemayam di dipan bertahtakan emas, diapit aneka hidangan buah dan penganan mewah. Di hadapannya, Jentra, seorang punggawa setia, bersimpuh dengan kepala tertunduk. Suasana, kendati opulent, mengesankan ketegangan tersembunyi."Jentra," suara Balaputeradewa memecah keheningan, renyah laksana gigitan buah pisang raja yang kini ia santap. "Ada titah agung. Sebuah tugas yang akan menguji loyalitas dan keteguhan batinmu hingga batas terkahir."Jentra mengangkat wajahnya sedikit. "Ampun Gusti Pangeran. Hamba siap sedia melaksanakan segala kehendakmu."Senyuman tipis terukir di bibir Balaputeradewa, namun tatap matanya memancarkan ketegasan yang dingin dan tak terbantahkan. "Kau harus membakar Wanua Song Banyu."Kalimat dingin itu meluncur laksana petir. Jentra terperanjat, tubuhnya seolah dilanda badai hebat. Gambaran desa terbaka

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 20 Berita dalam Desiran Angin

    Angin sore dari perbukitan kapur berhembus perlahan, menyelimuti dua siluet yang mematung di balik rimbun semak, mengawasi lembah di bawah dengan seksama. Di tengah lapangan berlumpur, Mpu Kumbhayoni memimpin adiknya dan sejumlah pemuda Walaing dalam meringkus Perampok dari Pengging itu dengan penuh semangat, denting bilah pedang bambu dan sorakan riuh mengalir bersama angin. Rukma menoleh ke arah Jentra, rekannya yang wajahnya tertutup topeng beruk."Kakang Jentra," Rukma memecah keheningan. "Bagaimana pandangan Kakang tentang ini? Bukankah apa yang mereka lakukan jelas-jelas melanggar ketentuan negara? Seorang Rakai tidak diperkenankan memiliki pasukan sendiri. Namun, lihatlah, Mpu Kumbhayoni secara terang-terangan memobilisasi warga sipil dan melatihnya sebagai prajurit. Ini adalah tindakan insubordinasi yang kentara, melangkahi batas-batas yang ditetapkan istana."Jentra menghela napas, pandangannya tak lepas dari adegan di bawah. "Rukma," mulainya, nadanya sarat empati namun juga

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 19 Pertarungan Api dan Tanah

    Sentuhan itu bak disambar petir yang membara. Jemari Mayang Salewang seolah melayangkan tamparan api ketika menepis tangan Arya Rontal yang nekat menyentuhnya. Rasanya begitu panas, begitu mendidih, sampai-sampai Arya harus meloncat mundur secepat kilat, nyaris terpeleset bebatuan licin di tanah basah itu. Mata Arya Rontal, yang baru berusia tiga puluhan, membulat kaget. Pandangan angkuhnya seketika luntur, terganti tatapan tak percaya pada Mayang yang kini berdiri tegak di samping Sri Gunting, dengan gestur tenang seolah tak terjadi apa-apa."Api…" gumam Arya, suaranya tercekat. Matanya melebar penuh rasa takjub sekaligus ngeri. "Pengendali api!"Wajahnya mendadak tegang. Arya menoleh cepat ke arah Klarang, adiknya seperguruan dan sepupunya, yang sejak tadi hanya melihat adegan itu dengan tatapan remeh. Kini Klarang, pemuda dua puluh delapan tahun itu, mulai menampakkan mimik datar."Kau harus hati-hati, Adhi Klarang," ucap Arya, nada suaranya berubah serius, sarat akan peringatan. "

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 18 Jebakan Sutra

    Senyap yang mendominasi pagi di ufuk timur Perlahan terkoyak oleh kemunculan sinar surya yang menelusup celah-celah daun bambu dan rimbunnya hutan jati, menciptakan mosaik cahaya di atas tanah berdebu. Di antara kerimbunan tersebut, pasukan Mpu Kumbhayoni telah menyebar dan menyembunyikan diri, bergeming layaknya batu padas yang tak tergoyahkan, sanubari mereka terasah tajam, menanti aba-aba. Mayang Salewang dan adiknya, Sri Gunting, memainkan peran mereka dengan sempurna, mengenakan pakaian sederhana laksana wanita dusun pada umumnya, berpura-pura sedang mencari rumput untuk pakan ternak. Keranjang rumput mereka teronggok di sisi jalan setapak yang biasa dilalui, seolah menanti terisi penuh oleh rezeki pagi.Tiba-tiba, Mayang Salewang merasakan getaran samar pada bumi di bawah telapak kakinya, getaran itu merambat naik, perlahan menguat menjadi denyut ritmis yang menandakan ada sekumpulan penunggang kuda dalam jumlah besar yang sedang bergerak menuju arah mereka. Bola matanya melirik

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 17 Jerat Sang Mpu

    Udara dingin subuh masih menggantung tipis di celah hutan Jati, menyelimuti tim Mpu Kumbhayoni yang bergerak tanpa suara. Kabut tipis memantulkan cahaya perak dari bulan sabit yang mulai redup, seolah enggan menampakkan diri. Mereka sudah bersiap sejak malam, meletakkan umpan dan menyusun perangkap di jalur yang diprediksi akan dilewati kawanan perampok Arya Rontal. Megarana yang paling jangkung di antara mereka, berlutut mengamati jejak kaki yang samar."Kau yakin mereka lewat sini?" tanya Mpu Kumbhayoni dengan suara rendah, menepuk bahu Megarana. Matanya tajam, menyapu sekeliling, memastikan tidak ada halangan atau mata-mata yang mengawasi.Megarana mengangguk mantap. "Ya, Gusti. Dari pola patroli terakhir mereka, jalur ini adalah pilihan terbaik untuk lewat cepat. Mereka suka buru-buru, cari rute yang bersih dari warga.""Bagus," Mpu Kumbhayoni berbisik, membalas anggukan itu. "Kalau begitu, mari kita pasang jaringnya. Hati-hati, jangan sampai ada benang yang menonjol."Tim bergera

  • Bara Dendam Sang Prabu Boko   Bab 16 Informasi Mengejutkan

    Ruangan pribadi Mpu Kumbhayoni malam itu terasa lebih gelap dari biasanya, padahal belasan obor kecil sudah dinyalakan di dinding. Hawa dingin dari luar justru tidak sanggup menembus aura panas di antara mereka. Mayang Salewang, dengan tangannya yang sibuk merapikan gulungan peta lama di meja, melirik ke arah Megarana. Raut wajah penyelidik itu jelas tidak bisa dibilang tenang, ada kekesalan bercampur kebingungan yang kentara. Mpu Kumbhayoni sendiri bersandar pada kursi kebesarannya, pandangannya tajam mengarah ke Megarana. Laturana berdiri agak di belakang Megarana, sementara Sri Gunting menyilangkan tangan di depan dada, mendengarkan seksama.“Baik, Megarana,” Mpu Kumbhayoni akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar berat, “aku mau dengar semuanya. Penyelidikan terakhir kalian itu akhirnya membawa hasil apa?”Megarana menarik napas panjang, sedikit membuang pandangan, seolah sulit menyampaikan kabar yang akan keluar dari mulutnya. “Penyelidikan terakhir kita udah selesai, Gust

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status