Share

part 4

"Kalau memang ada jodohnya, saya sangat setuju jika Mira menikah dengan Ridho yang sudah jelas baik dan dari keluarga yang baik," ujar Herman yang membuat Mira memicingkan matanya.

Mira yang hendak masuk ke kamar, akhirnya terpanggil untuk mencari tahu apa maksud perkataan pak Herman. Ia mengendap-endap mengintip dari balik tembok.

Nampak terlihat pria paruh baya dengan tubuh yang gagah sedang asik mengobrol dengan pak Herman.

"Sangat disayangkan dengan apa yang terjadi dengan Mira, saya turut prihatin mendengarnya," ucap pria yang masih belum diketahui namanya. Mira tertunduk lesu mengingat perbuatan Azam dan juga Ibunya. Ia masih tak habis pikir, bahkan cincin yang dulu pernah disematkan pada jarinya kini akan disematkan pada jemari wanita lain.

"Tapi ini lebih baik, dari pada harus terjebak dalam permasalahan yang lebih rumit setelah menikah." Perkataan pak Herman diangguki pria tersebut dan juga Mira.

Memang lebih baik tidak jadi menikah dengan Azam. Pak Herman orang yang tidak banyak menuntut, bahkan untuk acara pernikahan Mira dan Azam, ia tak mau memberatkan siapapun, tetapi sebaliknya bu Nurma menuntut ingin mengadakan pesta pernikahan di gedung, dengan segala kemegahan dan kemewahan.

Tetapi saat kesepakatan mengenai pemberian uang dapur, bu Nurma hanya bersedia memberikan uang sebesar satu juta. Itu semua benar-benar membuat pak Herman geram dengan tingkah mereka.

"Cobalah bicarakan maksud dan kedatanganku pada Mira. Aku percaya jika Mira jodoh yang baik untuk anakku. Aku takan keberatan jika kalian menginginkan pernikahannya diadakan dalam waktu dekat ataupun sebaliknya." Herman mengangguk lalu ia menyeruput kopi yang tengah dipegangnya.

Mira membulatkan matanya, tangannya menutupi mulut yang terbuka lebar. Belum sembuh luka yang telah ditaburkan oleh Azam dan keluarganya. Tiba-tiba saja ada orang yang tidak ia kenali datang untuk melamarnya.

Mira merasa masih belum bisa membuka hatinya untuk berlabuh pada orang lain. Ia tak mau jika pernikahannya dengan pria tersebut hanya akan menjadikan pelampiasan semata, sedangkan ia tahu pernikahan merupakan hal yang sakral tidak untuk bermain-main.

Mira mengendap masuk dalam kamarnya. Hatinya masih bergemuruh mendengar percakapan pak Herman. Tak lama terdengar ketukan pintu kamar berbarengan dengan izin pak Herman untuk masuk ke dalam kamar Mira.

"Kamu tadi sudah dengar obrolan Bapak dengan pak Yudi bukan?" tanya pak Herman memastikan kembali. Mira mengangguk lirih, ternyata pak Herman mengetahui saat Mira mencoba menguping pembicaraan mereka.

"Tapi, Mira belum siap pak."

"Bapak mengerti, Bapak juga tak akan memaksakan jika memang kamu tak mau. Tapi perlu kamu ketahui Ridho merupakan anak yang baik, Bapak kenal betul dengannya. Dulu dia merupakan murid bapak yang paling pintar dan sopan. Orangnya cukup pendiam dan tak banyak omong, dan sudah pasti dia lebih tampan dari pada si Azam," celetuknya menceritakan Ridho.

"Kasih Mira waktu pak, Mira masih belum siap menjawabnya."

"Memberi waktu sampai kapan?" tanya pak Herman memastikan pada anaknya.

"Dua minggu, Mira akan memikirkannya dengan baik-baik agar tak salah memberi jawaban," jawab Mira mempertegas.

"Baiklah kalau begitu, Bapak tunggu jawaban dan keputusanmu."

***

"Permisi, bu Sartinah. Ini ada undangan untuk Mira, tapi nyasar ke rumah saya." Bu Sartinah menghentikan aktifitasnya menyapu halaman mendekati bu Ely yang sedang berdiri memegangi undangan tersebut.

"Memang undangan dari siapa?" tanya bu Sartinah.

"Kurang tahu bu, kalau dilihat dari sini sepertinya dari A-aazam," jawab bu Eli tergagap. "Loh bukannya Nak Azam itu calonnya Mira ya?" bu Eli membekap mulutnya yang terbuka lebar karena kaget saat membaca calon pengantin tersebut.

"Bukan jadi rahasia umum kalau anak saya tidak jadi menikah. Bu Ely juga pasti sudah tahu." Ely berusaha menelan salivanya.

"Eh, aku kira itu cuma gosip." Bu Ely tersenyum kecut.

"Anak saya memang tidak jadi menikah dengan Azam."

"Memangnya kenapa bu," selidik bu Ely semakin mendekat ke arah bu Sartinah.

"Belum jodoh," jawab bu Sartinah enteng. Lalu pergi meninggalkan bu Ely yang kecewa mendengar jawaban bu Sartinah.

"Siapa bu?" Tanya pak Herman yang sedang asik membaca koran di ruang tengah.

"Bu Ely, pak. Ngasih undangan dari Azam untuk Mira, tapi yang memberikan undangan malah nyasar ke rumah bu Ely."

"Kok bisa nyasar, memangnya sudah lupa di mana rumah mantan calon besannya," ketus Pak Herman yang nampak tak suka.

"Sudah pikun, mungkin pak," jawab bu Sartinah dengan gelak tawa bersama pak Herman.

"Ada-ada saja, Mira tak perlu diberi tahu tentang undangan itu. Bapak khawatir kalau sampai dia tahu."

"Memangnya undangan apa pak?" timpal Mira tiba-tiba mengagetkan pak Herman dan bu Sartinah.

"Undangan yang tidak penting," jawab pak Herman.

Mira melihat undangan yang disembunyikan bu Sartinah ke belakang badannya.

"Oh undangan dari mas Azam ya," ketus Mira saat memperhatikan undangan tersebut meski tak melihatnya secara langsung.

"Kamu tahu," tanya pak Herman Bingung.

"Tentu saja, undangannya disebarkan melalui media sosial juga. Mira boleh hadir kesana pak?" Pak Herman membulatkan matanya mendengar pertanyaan Mira.

"Mau ngapain? tidak usah datang kalau hanya membuatmu sakit."

"Mira, cuma mau mas Azam tahu kalau Mira baik-baik saja dengan pernikahannya dengan wanita lain."

Bohong rasanya jika Mira mengatakan ia baik-baik saja. Terkadang hati dan bibir mengatakan hal yang berbeda. Bertahun-tahun lamanya menjalin hubungan, kandas seketika dengan ego yang tinggi.

Belum kering luka yang telah ditorehkan oleh Azam. Kini ia membuat luka baru ditempat yang sama. Membuat sakitnya menjadi berlipat-lipat. Mira benar-benar tak mengenali Azam. Apakah sikapnya baiknya dulu hanya merupakan kedoknya saja.

"Kita lihat nanti saja. Mir, tadi pak Yudi menghubungi Bapak. Malam ini dia akan bertamu ke rumah kita bersama Ridho. Sebelum kamu menjawab pertanyaan pak Yudi mengenai lamarannya. Alangkah baiknya jika kamu dan Ridho bertemu terlebih dahulu agar sama-sama mengetahui pribadi masing-masing,"

Jantung Mira berpacu lebih cepat, entah mengapa hatinya semakin gelisah. Terus menerus Mira memandangi jam dinding yang berada dalam kamarnya. Wajahnya nampak sedikit mengenakan riasan natural membuatnya terlihat semakin cantik.

Tok tok tok!

"Assalamualaikum," sapa seorang laki-laki di depan pintu membuat jantung Mira semakin berdebu kencang.

Mira melangkahkan kakinya ke ruang tamu.

"Loh Ridho," ucap Mira yang terkaget melihat laki-laki dihadpannya.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status