Share

ENAM

Motor Ninja milik Alfa memasuki pekarangan rumah dengan bangunan sederhana dan bersih itu. Aqilla segera turun dari boncengan cowok itu, ia masih kesal dengan Alfa yang kebut-kebutan di jalan.

“Ini rumah lo?” Pertanyaan itu dilontarkan kepada gadis di depannya seraya melepas helm full face miliknya.

“Iyaa kenapa? Rumah gue nggak sebagus dan semewah rumah lo,” balas Aqilla sambil masih susah payah membuka pengait helm.

“Emangnya gue bilang gitu?” Mata Alfa mendelik sinis,

“Gue yang bilang.” Seketika raut muka Alfa berubah menjadi tersenyum saat mendapati ekspresi serius yang ditampilkan gadis itu, kesulitan membuka pengait helm, tanpa aba-aba ia segera membantu gadis cantik yang saat ini di depannya.

Aqilla terkejut, Alfa tiba-tiba mendekatkan wajah kearahnya. Gadis itu kehilangan fokus, kini jarak keduanya hanya tinggal satu jengkal.

KLIK

Pengait helm terbuka. Aqilla yang sempat menahan nafasnya, akhirnya bisa bernafas lega saat laki-laki itu menjauh dari dirinya. Menyadari hal itu, Alfa terkekeh geli.

“Kenapa, salting?” Alfa menyadari raut muka gadis di hadapannya yang sudah merah padam seperti tomat.

“Apaan sih, nggak usah ge’er.” Bantah Aqilla kemudian.

Mata laki-laki itu mengedar ke seluruh halaman rumah Aqilla. Pintu rumah tampak tertutup rapat, sangat sepi dilihat dari luar. Aqilla melambaikan tangannya ke depan muka Alfa yang sedari tadi sibuk dengan pikirannya.

“Woy!?” Sentak Aqilla membuyarkan pikiran Alfa.

“Kenapa sih!?” Tanyanya lagi.

“Nggak ada orang, di rumah?” Tanya laki-laki itu seraya menunjuk rumah di depannya.

Aqilla mendelik tajam menatap laki-laki itu, “Kenapa kalo nggak ada orang? Mau mesum lo,” ucapnya sinis, gadis itu menggenggam tali ransel di pundaknya.

“Neting mulu lo sama gue,” Alfa mendesah kasar, ia menyugar rambutnya ke belakang.

“Kakak gue masih kerja, adek gue juga masih les belum pulang,” paparnya. Gadis itu menatap lempeng laki-laki di hadapannya yang sedari tadi bertanya.

“Ortu lo?” Aqilla menghela nafas dengan kasar seraya memberi helmnya kepada Alfa.

“Orang tua gue udah nggak ada,” ujar Aqilla dengan muka datar. Mendengar jawaban Aqilla, Alfa merutuki dirinya yang bertanya hal sensitif itu.

“S-sori..gue nggak maksud buat---“ ucapannya terpotong oleh senyuman yang tidak bisa diartikan oleh Alfa.

“Santai aja kali,”

“Yaudah gue pulang ya, jangan lupa nanti gue jemput.” Alfa mengacak pelan rambut gadis itu, yang sedari tadi terurai sebahu. Merasa kesal, Aqilla menghunuskan tatapan tajam kearahnya.

“Bye cantik,” final Alfa. Ia mulai meninggalkan gadis itu yang masih berdiri terpaku di tempatnya. Tanpa ia sadari, Aqilla mengulum senyum tipis menatap punggung Alfa yang semakin menjauh dari pandangannya. Sedetik kemudian ia tersentak oleh lamunannya sendiri.

“Ish, apaan sih lo qil, ga boleh,ga boleh.” Ia menampar kecil kedua pipinya, menciba menyadarkan diri sendiri.

Gadis itu memasuki rumah yang sangat sepi itu. Hanya ada dirinya di dalam rumah tersebut. Suasana yang setiap hari menemaninya. Matanya tertuju pada bingkai foto berukuran besar yang tertempel rapi di dinding rumahnya. Foto lengkap bersama kedua orang tua dan dua saudaranya. Aqilla menatap nanar foto yang terlihat sangat harmonis itu. Senyuman terbingkai dengan apik pada moment bahagia.

Namun semuanya telah berubah. Kepergian orang tuanya membuat ketiga anak itu harus berjuang dengan kerasnya dunia. Rania, anak pertama dari tiga saudara, lebih tepatnya kakak Aqilla. Ia memutuskan untuk bekerja setelah dirinya lulus sekolah. Cita-citanya untuk menjadi seorang hakim, terpaksa Rania buang jauh-jauh untuk tetap menghidupi keluarga kecilnya. Aqilla merasa sangat beruntung memiliki kakak yang sangat tanggung jawab terhadap adik-adiknya. Disisi lain ia juga merasa kasihan dengan pengorbanan Rania. Posisi sebagai seorang kakak, membuatnya harus memikul beban berat di keluarganya. Kini Rania tak lagi memikirkan dirinya sendiri, perihal cita-citanya sudah ia kubur dalam-dalam. Pikirannya sekarang hanya dipenuhi oleh kedua adiknya, Aqilla dan Mila. Karena hanya mereka yang ia punya saat ini.

Mengingat semua itu, membuat Aqilla meneteskan air mata sendu. Ia segera mengusap kasar kedua pipinya yang penuh air mata saat tersebut decitan suara pintu terbuka. Mila, adiknya yang kini duduk di kelas delapan SMP. Posisi Aqilla yang membelakangi pintu membuat Mila tak sadar bahwa kakaknya itu sedang menangis.

“HALO KAKAKKU TERSAYANG,” pekik Mila, suaranya memenuhi seluruh ruang tengah. Bocah dengan sifat yang selalu ceria itu, selalu berhasil membuat suasana rumah menjadi berwarna. Aqilla berbalik, mendapati Mila yang tak jauh darinya. Adiknya itu hampir saja memeluk Aqilla, ia menjauhkan diri saat reflek matanya menatap penampilan lusuh Mila.

“STOP! Dari mana lo, baju kotor banget gitu,” sembur Aqilla kepada Mila, ia menatap dengan penuh selidik. Adiknya dengan baju yang penuh lumpur itu hanya cengengesan.

“Habis main bola di lapangan, habisnya tadi hujan jadi lapangannya becek deh,’ tukasnya memberi alasan.

“Mana ada tadi hujan, cuaca panas banget gini, lo aja yang suka main lumpur. Habis les bukannya pulang malah keluyuran. Hii kayak babi lo main lumpur,” ceramah Aqilla pada adiknya panjang lebar. Ia memasang ekspresi geli melihat penampilan Mila yang dekil. Entah keturunan sifat siapa mila memiliki karakter yang tomboy. Teman sepermainannya bakhan laki-laki semua. Ia tak habis pikir dengan adik satunya ini. Untung saja Mila dikarunia wajah yang manis, setidaknya penampilan tomboynya sedikit tertutupi dengan aura perempuannya.

“Biarin, babi gemez tau, gue juga gemez kan,” Mila menaikkan kedua alisnya dengan menggoda Aqilla. Gadis itu justru begidik ngeri.

“ Demi babi, lo amit-amit.”

“Udah sana mandi, dekil banget adek gue. Kayak gelandang.” Lanjut Aqilla. Mila mengelus dadanya pelan, ia menghembuskan nafas panjang.

“Tadi babi, sekarang gelandang. Sabar,sabar.” Mila berjalan melewati kakaknya yang masih terkikik geli dengan gerutuan Mila barusan.

“Cepet mandi, sebelum gue bikin lo babi guling.” Tukasnya dengan nasa sok bijak. Aqilla Teguh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status