Share

TUJUH

Aqilla memantaskan diri di depan cermin. Gadis cantik itu tampak menawan menggunakan striped colorful lengan panjang yang dipadukan dengan wide leg jeans. Ia memulas tipis lipgloss di bibirnya yang sudah merah alami. Rambut sebahunya sengaja diurai, menambah aura gadis itu yang semakin terpancar. Aqilla melihat jam diding yang tertempel manis di dinding kamarnya yang bernuansa kuning dan cokelat dengan lukisan bunga matahari di beberapa bagian. Jam sudah menunjukkan pukul 8, tetapi cowok itu belum datang juga sampai sekarang. Ia berdecak sebal sambil memainkan handphone ditangannya.

“Wih rapi banget lo, mau kemana?” Tanya Rania yang tiba-tiba saja muncul dari balik pintu kamarnya. Gadis itu memutar bola matanya dengan malas.

Mendengar suara kakaknya yang menggoda Aqilla, seketika menggugah rasa penasaran Mila yang sedang menonton serial Upin & Ipin di ruang tengah. Ia beringsut menyusul kakaknya.

“Mana,mana..” ia menyembulkan kepalanya di belakang punggung Rania

“Wih kencan nih,” godanya yang ia tujukan kepada Aqilla.

“Kenapa sih selalu aja ikut campur urusan orang!” Gerutu gadis itu dengan kesal  kedua saudaranya itu selalu saja hobi untuk mengganggunya.

“Gue kakak lo, wajar dong kalo ikut campur,” jelasnya dengan menatap lempeng Adik perempuan pertamanya itu. Lalu Aqilla beralih menatap sinis kearah Mila.

“Gue adik lo,” ucap Mila seraya menepuk dadanya bangga.

“Adik laknat lo,” gadis itu hendak melemparkan bantal kepada Mila, namun lemparannya melesat saat adiknya itu dengan gesit segera lari. Gadis mungil itu segera membuka pintu saat terdengar ketukan beberapa kali.

Tok..tok..tok..

Mulut gadis mungil itu menganga lebar saat menatap sosok laki-laki yang kini sudah berdiri di depan pintu rumah. Ia menatap kagum cowok bertubuh atletis dengan wajah bak pangeran dunia fantasi.

“Heh ngapain lo masih disitu, pergi sana!” Usir Aqilla kepada adiknya yang masih berdiri mematung di depan cowok itu. Ia berdeham mencoba menetralkan ekspresinya.

“Lo serius mau ngajak keluar kakak gue yang modelan kayak gini?” Sarkas Mila dengan tatapan sinisnya. Matanya memandang kakak keduanya itu dari atas sampai bawah, seolah merasa geli. Geram dengan kelakuan adiknya, Aqilla lantas menempeleng kepala Mila dengan sedikit keras, ia meringis kesakitan.

“Bisa sopan dikit nggak,” tegur Aqilla. Mila pun pergi meninggalkan mereka berdua yang masih berdiri di depan pintu.

“Oh inikah yang dinamakan si buruk rupa yang bertemu dengan pangeran berkuda,” sindir Mila dengan gaya dramatisnya. Sedari tadi, Alfa terus saja dibuat tertawa oleh tingkah Mila. Sedetik kemudian atensinya teralihkan kepada Aqilla.

“Lo cantik,” puji Alfa.

Tiba-tiba saja kedua pipi Aqilla terasa panas saat kalimat pujian itu terlontar dari mulut cowok di depannya.

“Yaudah ayo berangkat,” ucap Aqilla yang saat ini sedang mati-matian untuk menutupi dirinya yang sudah salah tingkah.

Beberapa saat kemudian keduanya sudah membelah jalanan di malam hari. Sebelum keberangkatannya tadi, Aqilla sudah berpamitan kepada kakaknya.

***

Plak..plak..

Berkali-kali Aqilla disibukkan dengan menangkap nyamuk yang sedari tadi menggigit kulitnya. Ia tak habis pikir dengan Alfa, bisa-bisanya cowok itu memilih tempat yang sangat tidak cocok dengan dirinya yang menyandang gelar Playboy. Alfa memilih untuk berhenti di sebuah warung pinggir jalan yang berada di sekitaran hutan. Laki-laki itu hanya sibuk memandangi Aqilla yang merasa gusar karena dikerubungi nyamuk disekitarnya. Padahal obat nyamuk sudah disiapkan pemilik warung. Sepertinya nyamuk hutan sesepuhnya nyamuk rumahan  sampai-sampai dengan obat nyamuk pun nggak mempan.

Warung Bang Ade, yang terletak di pinggiran jalan yang sepi di sekeliling hutan, sudah menjadi langganan Alfa untuk menenangkan diri ketika lagi suntuk. Ia tak pernah membawa orang lain kesini, termasuk kedua sahabatnya Bagas dan Raffa 

Mang Ade, laki-laki bujang yang berumur sekitar 25 tahun-an tersenyum menggoda kepada Alfa sambil menyiapkan pesanan mereka berdua.

“Tumben Al bawa temen,” goda Bang Ade kepada Alfa. Laki-laki itu menanggapi dengan senyum simpul.

“Spesial nih, temen apa temen,” celetuk Bang Ade lagi.

“Doain temennya temen bang,” Alfa memainkan kedua alisnya naik turun kepada Aqilla yang sudah menatapnya dengan tajam.

“Lagian heran gue sama lo, dimana-mana ngajak keluar tuh ke taman atau kemana gitu, lah ini ke hutan, aneh.” Gerutu Aqilla mengeluarkan unek-uneknya. Alfa mengacak pelan puncak kepala gadis disampingnya kemudian berjalan keluar entah kemana.

“Bawel lo,”

Tak lama kemudian, Alfa datang dengan membawa lotion anti nyamuk sachet. Ia menggigit bagian ujungnya hingga terbuka. Laki-laki itu, tanpa izin mengambil lengan Aqilla, lalu mengoleskan lotion anti nyamuk tersebut secara merata. Gadis itu lagi-lagi dibuat terkejut dengan tingkah Alfa yang selalu tiba-tiba membuat jantungnya tak beraturan.

“Udah jangan ngekuh digigit nyamuk lagi,” ucap Alfa setelah selesai memakaikan lotion tersebut. Aqilla hanya menggembungkan pipinya, bibirnya mengerucut. Alfa dibuat gemas dengan ekspresi lucu gadis di sampingnya. Ia mencubit pipi Aqilla.

“Apaan sih lo,” sarkasnya.

“Lo marah aja cantik,” puji Alfa. Pantas saja banyak cewek yang mengejar Alfa, sikapnya aja semanis itu. Hampir saja Aqilla terbawa perasaan olehnya.

‘inget qil jangan baper sama mulut buaya,’ batinnya.

Keduanya pun terdiam tanpa sepatah kata pun dalam beberapa saat. Menikmati kopi masing-masing, yang baru saja disajikan oleh Bang Ade.

“Tempat ini, tempat yang selalu buat pelarian gue kalo lagi suntuk,” Alfa memecah keheningan antar keduanya. Raut wajahnya berubah serius. Entah kenapa ia ingin sekali mencurahkan kepada gadis disampingnya. Bang Ade yang maaih sibuk menyiapkan pesanan untuk pelanggan lain pun mendekat ke arah mereka berdua.

“Bener neng, nih bang Ade yang menjadi saksinya,” tukasnya dengan senyum lebar seraya menepuk dadanya bangga. Alfa yang merasa terusik quality time-nya bersama Aqilla, memberi kode kepada Bang Ade untuk meninggalkan mereka berdua. Bang Ade pun mengangguk paham lalu kembali dengan kesibukannya.

“Terus kenapa lo bawa gue kesini?” Gadis itu melontarkan pertanyaan kepada Alfa, ia merasa kebingungan.

Alfa menatap dalam manik mata Aqilla yang sangat cantik menurutnya. “Lo masih belum faham maksud gue?” Aqilla justru tersenyum sinis kepada laki-laki itu. Sebenarnya ia faham, gadis itu hanya mencoba untuk ngetes Alfa.

“Udah lah Al, lo nggak mempan di gue, gue nggak bakal kemakan sama omongan buaya lo itu,” gadis itu geram kepada Alfa yang sepertinya mulai melancarkan aksinya.

Alfa menyugar rambutnya ke belakang, menghela nafas panjang. Ia tersenyum tipis.

“Lo percaya gue playboy beneran?” Laki-laki itu mengangkat alisnya sebelah, sudut bibirnya tersenyum tipis. Senyuman nanar.

“Bukan masalah percaya nggak percaya Al, tapi memang nyata kan,” ucap Aqilla dengan nada memojokkan. Dari matanya, ia tau kalau gadis ini sangat membencinya.

“Terserah, percuma juga gue jelasin panjang lebar,” final Alfa mengedikkan bahu sebelum akhirnya ia keluar dari warung itu.

Aqilla yang masih terdiam mencerna kata-kata Alfa, seketika terperanjat dengan teriakan laki-laki itu.

“AQILLA SINI KELUAR,” gadis itu lantas berdiri menyusul Alfa yang sudah berdiri di halaman warung yang cukup luas  suasana yang sangat mencekam. Sunyi, sepi, dan hanya beberapa kendaraan yang melewati jalan ini.

“Lihat deh, bintangnya indah ya,” Aqilla pun mendongak mengikuti interuksi Alfa. Benar yang dikatakan cowok itu, bintang bertaburan indah di langit malam ini

“Hmm..” gadis itu membalas dengan deheman singkat.

“Al gue boleh tanya?” Ucap gadis itu kemudian. Pertanyaan yang sedari tadi berkecamuk dikepalanya.

“Hmm..” balas Alfa singkat, ia masih menatap langit dengan takjub.

“Kenapa lo suka tempat ini?” Suara jangkrik terdengar nyaring, yang menandakan betapa sepinya tempat ini.

Laki-laki itu mengalihkan pandangannya yang semula menatap langit. Pendangannya beralih mengawang menatap jalan yang lengang.

“Sunyi,sepi,nyaman,” jawabnya singkat padat jelas. Gadis itu mengerutkan keningnya. Baginya, ini adalah suasana yang mencekam, ia tidak menyukainya.

“Tempat ini sepi, gelap, dan mencekam Al,” bantah Aqilla. Ia menatap sekelilingnya dengan was-was.

“Bagi gue ini tempat paling nyaman dari rumah qil, setidaknya cahaya kecil pun masih terlihat berharga disini,” ucap Alfa kemudian. Ya, tempat ini bagi laki-laki itu sangat berarti. Ia selalu menemukan ketenangan disini. Rumah yang menjadi tempat pulangnya, justru tidak benar-benar menjadi kepulangan ternyamannya. Aqilla menatap laki-laki di depannya dengan penuh iba. Tampak jelas, banyak luka yang disembunyikan.

Gadis itu meraih tangan Alfa dan menggenggam erat ditangannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status