Kelemahan wanita ada di telinga, kekuatannya terletak pada lidah. Pujian dan rayuan terkadang melenakan, karena kata-kata yang terbentuk oleh kelihaian lidah. Elisabeth menarik napas dalam, memulihkan kekuatan untuk meyakinkan Tina.
"Aku melihatmu bersama tuan Garvin," bisiknya perlahan, "dia tampak sekali terobsesi dengan dirimu, Tina."
"Kamu tahu akibatnya jika tuan tahu mengenai ini." Tina mengarahkan telunjuk lurus pada pertengahan leher, sambil memberi gerakan memotong.
"Tuan sekarang kemana?"
"Dia sudah pergi, aku akan memberitahu apa yang kamu lihat," ancam Tina dengan nada sombong yang sukar ia sembunyikan.
"Aku tak sengaja melihat kalian. Sungguh diluar dugaan, ketika dia menerkam tak sabar pada dirimu. Kamu memang istimewa," puji Elisabeth secara berlebihan. Padahal semua sudah tahu kelakuan Tina.
"Tentu saja. Sudah seharusnya kamu patuh padaku. Robert bahkan tak bisa menentukan nasib kalian."
"Kamu benar."
Elis
Elisabeth sedang membersihkan teras belakang, ketika seorang petugas pengamanan kediaman Garvin menghampirinya. Pria itu menatap kedua bola mata Elisabeth penuh selidik."Tadi malam kamu kemana?""Aku, tidak kemana-kemana. Tidur di kamar, ada apa?""Rekaman cctv memperlihatkan lain, Eli."Seketika tubuh Elisabeth menegang. Dia berusaha bersikap normal, tapi suaranya mengkhianati diri. Nada gemetar keluar dari kedua bibir, menandakan ketakutan yang dirasakan."Kamu melihat nyonya Ra di ruangannya.""Tidak, aku tak mungkin ke sana.""Tuan sempat menghubungiku sebelum menyuruh mematikan kamera teras belakang, dan aku melihat kamu menyelinap masuk ke dalam ruangan nyonya""A-ku," Elisabeth merasa nyawa tinggal di ujung tanduk. Kedua bibir bergetar seakan udara dingin menyergap dari belakang."Kamu bisa membayarku sebesar." Pria itu membisikkan nominal angka yang membuat mata Elisabeth membesar. "Rahasiamu akan aman."
Aku pernah berada pada ketakutan, kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Menjalani hidup karena memang terlahirkan ke dunia ini. Tak tahu apa makna kehidupan, kala itu usiaku masih belia ketika menjalani pernikahan pertama. Mempercayakan semua pada seorang pria yang kusebut suami, tapi tak sudi memperlakukan sebagaimana seorang pasangan kepada istrinya. Aku berhasil keluar pada penikahan pertama yang menyiksa. Sayangnya Kedua kali aku terjebak pada kenyataan yang sama. Kebodohan dua kali, namun saat ini jauh berbeda dengan pertama. Aku lebih kuat untuk bertahan, dan menyelamatkan diri. Kalimat itu melintas dalam benak Kara. Dia berusaha memanipulasi diri pada ketakutan yang menyerang, ketika langkah kaki Garvin menghampirinya di ranjang. Jantung Kara berdebar kencang, membuat jemari tangannya mencengkram erat selimut. Suara gesekan sprei dengan tubuh Garvin semakin membuat Kara terserang panik. Dia menghela napas dalam, menghembuskan perlahan. Tidak, aku har
"President Room Prabu Paradise Hotel. Transaksi akan dilaksanakan di sana.""Benar. Pada tiga hari sebelum akhir bulan, pukul sebelas malam.""Informasi sudah akurat?""Nyawaku taruhannya, tuan."Albert membungkuk pada Reinhard. Memastikan informasi yang ia berikan akurat. Informannya sudah memastikan dengan benar, Garvin tak pernah mendatangi Jenni. Sekarang Reinhard mempercayakan kepada Alberth dan informan yang dia gunakan."Pastikan agar tidak ada perubahan.""Siap, tuan."Orang kepercayaan Reinhard memutar tubuhnya keluar dari ruang kerja Reinahrd di Diamond Mall. Pagi memasuki bulan baru, setelah bersusah payah memikirkan jalan membalas Sophia serta menyingkirkan Garvin dari persaingan bisnis. Ternyata sebuah celah terbuka untuk mendorong Garvin jatuh ke dalam.Reinhard mendengus kesal, andai Garvin mendengar saran untuk mengunjungi psikiater bertahun lalu. Kemungkinan besar penyakit menyimpangnya bisa disembu
Tak ada yang menyiksa selain menunggu. Terlebih apa yang dinantikan itu akan membelokkan kehidupan. Merubah garis yang harus dilalui seseorang. Perasaan yang membuat Reinhard menjadi gusar, tinggal menunggu dua minggu lagi. Ditambah dia tak bisa memusatkan konsentrasi penuh pada rencana yang dilakukan. Pengembangan Diamond Apartemen, yang berada dalam satu lokasi dengan Diamond Mall menyita perhatian lebih. Dia harus mempercayai pada Alberth mengurusi semuanya urusan yang menyangkut Garvin. Hari-hari Reinhard disibukkan dengan meeting, dan peninjauan lokasi. Mengamati perkembangan permintaan pasar pada hunian yang di klaim termewah saat ini. Keberlangsungan perusahaan prioritas penting dalam kehidupan profesional dirinya. Di sisi lain kehidupan pribadi juga hal yang harus ia perhatikan. Keduanya terkait menjadi satu dalam kehidupan sekarang. Konsentrasi Reinhard terpecah menjadi dua. Mengembangkan perusahaan, dan menyeret Garvin ke penjara. Dia akan memukul tel
Reinhard pulang lebih awal dari acara makan malam, yang berlanjut dengan percakapan tentang peraturan tax terbaru. Mengabaikan pandangan dan keberatan teman-temannya. Dia butuh tempat untuk menghubungi Albert secara leluasa. Perasaan lelaki tampan itu sedang kacau, karena Kedatangan Garvin di Manifest Cafe. Melesat dari perkiraan tentang operasi transaksi ilegal yang akan terjadi malam ini. Jelas sekali ada kekacauan dalam operasi penangkapan Garvin. Kesalahan informasi, atau ada hal lain lagi yang membuat keluar dari rencana. Reinhard menepuk stir kemudi, kekesalan melanda menghilangkan ketenangan sesaat dari dirinya. Alberth tidak menjawab panggilan telpon, membuat kegusaran membengkak dari semula. Rasa penasaran mendorong Reinhard menuju Prabu Paradise Hotel, tapi ketika mencapai jalan menuju hotel keluarga Garvin. Dia membatalkan rencana, dan berbelok ke arah lain. Reinhard tidak boleh gegabah dan tentu saja tidak ingin nanti terkait, jika terjadi insiden d
Bunyi pintu kembali terdengar, terbuat dari kayu jati tua yang menimbulkan suara berat setiap terbuka. Kali ini di iringi langkah lebih dari satu orang. Menandakan bukan Tina, atau penjaga yang datang. Derap langkah dari sepatu boots, membuat hati Kara bergejolak. Dia tak sabar melihat siapa yang masuk ke ruangan, ketika berapa pria berseragam mendekat ke arah Tina dan dirinya. Tangis histeris Kara meledak. "Lapor, ada dua orang di ruangan," "Tenang, Bu. Kalian tidak apa-apa." "Kunci di mana?" "Ada pada salah satu pelayan bernama Tina," jawab Elisabeth tangkas. Setelah apa yang di alami. Perasaan Kara masih belum stabil, membuat Elisabet ber-inisiatif memegang kendali. Kekurangan gizi, sinar matahari, di dera ketakutan akan siksaan Garvin, dan segala ketidakpastian. Mengaduk semua rasa dalam diri Kara, tubuhnya bergetar hebat ketika seorang petugas wanita membuka borgol. Dia membopong Kara keluar dari ruangan. Sinar matahari meny
Reinhard mengambil piring yang selesai digunakan Kara. Mengangsurkan gelas minuman ke wanita cantik di hadapannya. Sedikit lebih segar, di bandingkan kemarin walau bibirnya masih pucat. Reinhard berlama-lama menatap Kara, membuat wanita itu merona merah karena deraan rasa jengah."Kamu kenapa sih? Tampangku memangnya merana sekali ya, harus di tatap dengan pandangan prihatin.""Tidak apa-apa. Sekarang sudah jauh lebih baik dari kemarin. Tidak seperti mayat hidup, "kata Reinhard, "rasanya sudah berabad lamanya aku tak melihatmu, Kara.""Untung saja kamu masih ingat, meski tidak melihatku kalau tidak ...." Kalimat Kara terputus, dia menggelengkan kepala. Enggan melanjutkan kembali.Reinhard tersenyum lembut. Kara bahkan tidak meladeni candanya. Kara yang biasa akan membalas ketus, lebih baik daripada terlihat putus asa seperti saat ini."Kamu akan tinggal di mana?""Rencananya kontrakan Adam. Dia kan masih di desa bersama orangtuaku.""
Hari ini kesehatan Kara sudah stabil, dokter sudah memberi ijin untuk pulang. Selanjutnya hanya perlu melakukan rawat jalan. Tidak banyak barang yang dibawa, karena semua yang ada tertinggal di rumah Garvin. Kepergian mendadak dari kediaman suaminya, tidak memungkinkan Kara mengemas barang pribadi."Semua Reinhard yang belikan?" tanya Kara ketika Elisabeth mengambil alih barang bawaannya."Iya," Eli diam sejenak. "Kita tunggu pak Reinhard saja untuk mengantarkan kita ke kontrakan.""Tidak perlu lebih baik pesan taksi online.""Maaf, Bu. Menurut saya mengikut saran Pak Reinhard saja.""Kamu berani membantahku?""Bukan begitu ... maaf, tunggu saja."Elisabeth bersikeras menahan Kara. Sampai ada panggilan ke handphone Eli dari Reinhard, memberitahu mobil jemputan sudah menunggu. Awalnya Kara sempat kesal karena pelayan mungil itu membantah perintah, tapi ketika keluar dari rumah sakit. Banyak wartawan yang menunggu membuat ia terpaksa me