Terkurung dalam perpustakaan Amara. Membuat Kara menghabiskan waktu membaca semua buku yang ada. Bertanya-tanya dalam benaknya, apakah Amara pernah merasakan hal yang sama. Alih-alih mengurung dalam ruangan lain, Garvin justru memilih ruangan dengan buku berderet rapi. Tanpa gadget membuat Kara menggerutu seakan hidup kembali primitif. Tak terhubung dengan dunia luar, ia tak tahu apa yang terjadi di luar sana. Hanya barisan kata dari setiap buku yang membantu ia melewati hari.
Kara berdiri di jendela pembatas ruang perpustakaan dan balkon. Meneliti ketebalan kaca dan kunci yang ada. Jika ia berhasil lari dari perpustakaan ini, kemana akan bersembunyi. Pulang ke rumah orangtua kah? Ah, tidak! Sama saja membuat celaka mereka. Ia menyenderkan diri di jendela kaca merenung nasib yang tak kunjung membaik. Lepas dari Bastian masuk dalam cengkraman Garvin.
Terdengar suara pintu terbuka. Kara enggan menoleh, ia masih mempertahankan posisi yang sama. Elisabeth menarik napas, me
Reinhard menatap pintu kayu ebony berharap terbuka dan seorang perempuan masuk menggunakan topi baseball, kacamata hitam, masker, lalu duduk terburu-buru kemudian bibirnya membuka mengeluarkan suara serak yang menjadi ciri khasnya. Aku ingin menanyakan sesuatu hal padamu. Ia mengatakan setiap kalimat dengan nada cepat seakan waktu terlalu berharga jika tidak digunakan sebaik mungkin.Apa kabarmu Kara, hampir dua minggu berlalu. Tak ada kabar dari perempuan yang nyaris serupa dengan wanita yang masih menyita tempat terbesar dihatinya. Reinhard mengetuk pinggiran meja dengan jari. Membentuk irama membuat pikiran melayang pada sosok Amara Bunga Kayla. Setelah melewati masa sekolah tanpa pernah berpacaran. Ia menemukan gadis memikat ketika duduk di bangku kuliah.Amara memiliki kecantikan yang tak biasa membuat wajahnya melekat kuat di ingatan. Sungguh sulit menolak pesona dirinya. Bagi lelaki normal yang belum pernah tertarik dengan perempuan selama sekolah. Amara berhasi
Mata Kara membesar ketika pintu kamar mandi terbuka. Membuat aliran darah terasa berhenti seketika, menghasilkan wajah pias seputih kapas. Jantungnya berdegup kencang ketika sepasang kaki melangkah. Tatapan mematikan seakan menghentikan setiap tarikan napas. Rahang Duta mengetat. Setiap suara kaki yang mendekati Kara menghasilkan getaran pada tubuhnya. Merapat ke dinding berharap bisa menembus tembok tebal dan menghilang selamanya."Kamu sedang apa?""A-ku baru saja mau mandi. Kamu mengagetkan ku." Kara menyembunyikan wajah dibalik rambutnya. Mencoba menetralisir suara agar terdengar normal."Handphone ku ketinggalan." Garvin meraih benda pipih di wastafel dan menyimpan di saku."Sayang. Aku mimpi buruk tadi malam. Ada yang mencoba membunuh ku seakan begitu nyata, kedatangan mu membuat sedikit takut. Aku pikir ada berani menyelinap masuk.""Tidak ada yang berani melakukan itu di rumah ini. Kamu tahu sedang berada di mana kecuali dia mem
"Kamu mau berkerja di tempat ku?""Iya.""Bagian apa?""Coba kamu sebutkan posisi kosong maka aku akan menyesuaikan."Reinhard menatap lekat wajah Kara. Memastikan keseriusan perkataan perempuan di hadapannya saat ini. Kali ini ia datang mengenakan kemeja putih, rok pants, heels, arloji ultra-thin merek Piaget melingkari pergelangan tangan. Beberapa aksesoris simple di telinga dan jari lentiknya melengkapi penampilan sempurna Kara. Kelihatan elegan tidak seperti biasanya tampil kasual.Sejujurnya ia senang karena melihat Kara baik-baik saja, meski sinar matanya meredup melihat pergelangan dalam Kara. Di saat ia menginginkan kedatangan Kara, dan mencari tahu dari Elisabet kemarin. Secara ajaib Kara menemuinya sekarang."Garvin tahu tentang ini?""Kami sedang bertaruh mengenai pekerjaan yang bisa ku raih," ucap Kara terdengar yakin padahal sama sekali tidak ada taruhan. Hanya lelaki itu meremehkan kemampuan yang ia miliki."Aku t
Garvin memandang perempuan yang terbaring di brankar. Mata yang biasanya menatap tajam dirinya, menantang dengan ketakutan yang berusaha ia sembunyikan sekarang terpejam. Bibir penuh berbentuk kurva sempurna terbuka sedikit, tampak luka kecil mengering di sudut bibir bawah. Dadanya perlahan naik turun teratur. Kedua tangan hanya lecet tak parah. Ia pingsan sekedar shock dengan keadaan yang mengejutkan bagi dirinya. Luka yang tak perlu dikhawatirkan, karena cuma memang itulah yang dibutuhkan oleh Garvin.Kelopak mata Kara bergerak pelan lalu membuka perlahan. Mengerjap berapa kali, sekian detik termangu. Baru akhirnya mengedarkan pandangan ke seluruh ruang sambil duduk meringis menahan sakit. Membuat bibir Garvin membentuk lengkungan."Apa yang terjadi?" suaranya lebih serak dari biasa, bahkan ketika dia berada di bawah tubuhnya. Membayangkan itu kedua manik Garvin menyala tapi menahan diri untuk tidak melakukan di rumah sakit."Aku menyelamatkanmu, lagi. Seperti
Suara di seberang telpon terdengar menahan geram. Mungkin jika Kara berada di hadapan saat ini, dia akan menelan Kara bulat-bulat. Intonasi suaranya naik turun dengan kekesalan yang terasa sudah di pucuk rasa sabar."Kamu menghilang seperti hantu, Kara. Pesanan kita semua datang. Sedangkan di kantor, pekerjaan ku menumpuk. Transferan mu belum ada. Kebayang kan betapa kelabakan aku.""Maaf, Feli. Dengar dulu alasan ku.""Apa yang harus aku dengar? Memang kemarin kamu tidak yakin mengenai usaha yang akan kita jalankan ini, tapi bukan berarti kamu bisa memutuskan tanpa memberitahu seperti ini.""Ada suatu hal yang tak bisa ku ceritakan padamu. Aku janji paling lama dua hari semua akan selesai.""Selesai, matamu! Aku berhutang Kara, itu pun belum cukup membayarnya.""Kita bertemu dalam waktu dekat, Fel. Aku janji, tolong kasih kesempatan.""Satu kali, Kara. Selanjutnya tak ada kesempatan untukmu.""Terima kasih, Feli."Kejad
Feli menggerutu menimbulkan kerutan di dahi, dan bibir yang bergerak dalam berbagai sudut. Bersungut-sungut kesal memasukkan lima tumpukan uang dalam tas. Mata kehijauan berkat softlens terbaru memindai ruangan Black and White Cafe, memastikan tak ada yang melihat."Kamu lupa cara transfer, Kara. Nyaris ku pikir kamu ghosting seperti pria yang ku kenal bulan lalu.""Sulit ku jelaskan, Fel. Pastinya lima puluh juta sudah terbayarkan sesuai kesepakatan awal kita.""Oke, kalau tidak aku bisa sekarat membayar hutang untuk pesanan yang datang. Sekarang tinggal melakukan penjualan."Kara diam menggumam dalam hati. Lima puluh juta bisa buat sekarat orang lain, uang yang tidak cukup untuk membeli satu tas desainer perancis yang di beli Garvin untuknya. Sekarang tas tersebut telah berpindah tangan. Mengurangi transaksi melalui bank, Kara menjual preloved di salah satu e-commerce untuk tas brand ternama. Di transfer melalui rekening susi, salah satu karyawan Adam d
Kara menelan saliva membaca pesan dari ibunya. Memegang benda pipih di genggaman, mengeja setiap kalimat seakan baru belajar membaca. Garvin sengaja melakukan untuk menekan Kara. Menyadarkan bahwa dia bukan siapa-siapa tanpa Garvin.Kara, tadi ada seorang datang ke rumah kita. Mengatakan bahwa minimarket, tanah, dan bangunan ini milik Garvin. Ibu dan bapak tahu semua atas namamu. Pemberian darimu untuk membangun ini semua kan?Iya, bu. Kara kan istri Garvin, memang apa yang dipunya milik kami bersama.Ibu khawatir jika terjadi sesuatu maka nak Garvin bisa mengambil alih.Doakan yang terbaik, bu.Balasan pesan Kara untuk menenangkan hati ibu. Ia juga cemas mendengarnya, tapi tidak mau mengutarakan karena khawatir akan membebani perasaan keluarga di kota asalnya. Awal menikah Garvin memberi uang sebesar lima milyar yang di investasikan Kara dalam bentuk minimarket, membangun rumah dan membeli tanah di kampung. Jika Garvin mengklaim semuanya menjadi m
Uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Ya, tentu saja karena kebahagiaan tidak dijual dalam bentuk kemasan di supermarket, karena kebahagiaan lahir dari hati. Meski harus mengakui uang bisa membeli kekuasaan. Memperdayai seseorang sampai tidak memiliki harga diri lagi. Kalimat yang melintas berkali-kali malam ini dalam benak Kara. Membuat semakin gigih merapikan semua dress Alanis Sue dalam plastik klip. Ia harus menjualnya untuk mendapatkan uang. Transaksi keuangan melalui Bank cukup riskan dilacak oleh Garvin. Perlahan, cerdik, dalam diam perlawanan yang bisa ia lakukan.Andai aku terlahir dari keluarga kaya. Nasib tak akan begini. Kara mengeluh lalu kembali berkutat pada pengambilan foto. Dia tak punya waktu banyak waktu untuk meratap nasib.Kara menarik lengan bajunya. Sejak menikah dengan Garvin, ia kerap kali menggunakan kemeja atau kaos lengan panjang. Outer adalah pilihan berikutnya, menutupi bekas lebam karena ulah Garvin. Dulu juga ia pernah mendapatkan dari Ba