Beranda / Romansa / Bayaran Cinta Sang Miliarder / Bab 1 — Napas yang Tersisa

Share

Bayaran Cinta Sang Miliarder
Bayaran Cinta Sang Miliarder
Penulis: Atria

Bab 1 — Napas yang Tersisa

Penulis: Atria
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-08 22:37:21

Cahaya sore menembus tirai kamar rumah sakit, menimpa wajah pucat seorang wanita separuh baya yang terbaring lemah di ranjang sakit.

Bunyi mesin monitor detak jantung terdengar pelan, berirama lambat dan seolah memberi tanda jika waktu terus berkurang.

 Aira duduk di sisi ranjang. Dia memegang tangan wanita itu dengan erat.

Kulit tangan itu dingin dan terasa semakin ringan dari hari ke hari.

  “Ibu harus sembuh, ya… Aira masih butuh Ibu,” bisik Aira pelan. Air matanya jatuh ke punggung tangan itu.

 Sang ibu tersenyum lemah, “Ibu kuat kok. Kamu jangan nangis terus ya.”

Perasaan Aira benar-benar hancur saat melihat senyum tak berdaya itu.

 

Tiba-tiba, suara pintu terbuka pelan.

Ayah Aira berdiri di ambang pintu dengan wajah tegang. Dia menggenggam selembar kertas hasil diagnosa. 

Sang ayah tidak mengatakan apapun. Tapi dia hanya menatap Aira,  berkedip dan kemudian berbalik untuk keluar lagi.

Dari sorot matanya,  Aira tahu jika ayahnya sedang membawa kabar tidak baik.

Jadi ketika ayahnya berbalik, dia langsung gelisah. Lalu Aira menoleh pada Ibunya kembali. Dia menepuk lembut tangan ibunya dan berkata dengan aga ragu, “Ibu, Aira keluar bentar ya, mau beli air,”

Sang ibu hanya mengangguk pelan.

Aira kemudian berjalan keluar. 

Begitu pintu tertutup, suasana di koridor rumah sakit seolah menjadi dingin, sunyi, menekan.

Dia melihat ayahnya duduk di bangku panjang dengan menunduk menatap lantai.

Perlahan Aira berjalan mendekat, “Ayah…”

Ayahnya mengulurkan kertas dengan tangan gemetaran.

 “Dokter bilang… jantung ibumu harus segera di operasi. Kalau tidak…” Ayah Aira tidak sanggup melanjutkan perkataan dokter tadi.

Aira menerima kertas itu dengan tangan yang tak kalah gemetaran.

Dia menatap kertas itu. Angka di bagian bawah membuat seluruh sendinya lemas

“Empat ratus juta?” suaranya bergetar, hampir tak terdengar.

Ayahnya hanya menunduk. “Ayah sudah coba mencari ke mana-mana. Gadaikan motor, meminjam ke teman… tapi uang sebanyak itu, mana mungkin bisa kita mendapatkannya.”

 Suasana menjadi sangat hening.

Yang terdengar hanya suara langkah para perawat yang lewat dan detak jam di ujung koridor.

 Aira memeluk kertas itu. Dia menangis tanpa suara.

 Dia benar-benar ingin berteriak. Kenapa harus terjadi pada kami!

Sayangnya dia hanya bisa menahannya.  Hingga membuat dadanya sangat sesak.

 Dunia tiba-tiba gelap bagi Aira. Dan waktu seolah berhenti.

 

Apa yang harus mereka lakukan?

Memikirkan kehilangan ibunya,  dia benar-benar tidak sanggup.

Tidak tidak. Dia harus mencari jalan keluar. 

Dia mengusap air matanya. Lalu meraih tangan sang ayah. “Ayah, jangan khawatir. Aku akan berusaha.”

Sang ayah tidak mengiyakan,  justru malah terisak-isak. “Aira, bagaimana caranya?”

“Ayah, aku akan berusaha. Jaga ibu, ya.”

Aira melepaskan tangannya.  Menyentuh pipi keriput sang Ayah, lalu mengusap air matanya.

**

Langit di luar rumah sakit mulai berubah warna  jingga yang perlahan memudar menjadi abu-abu.

Aira berdiri lama di depan jendela lorong, memandangi titik-titik hujan yang jatuh di kaca.

  Setiap tetes hujan yang turun terasa seperti pengingat jika waktu tidak bisa menunggu siapapun — termasuk ibunya.

Suara langkah kaki para perawat yang sibuk mondar-mandir,  roda brankar berderit dan aroma desinfektan menusuk hidung.

 Tapi Aira tidak mendengar apapun. 

  Hanya perasaan takut yang menjalar ditubuhnya.

  Takut kehilangan. Takut gagal. Takut tak bisa berbuat apa-apa.

 “Aku harus cari cara… apapun itu.” Dia berbicara dengan dirinya sendiri.  “Tidak boleh terlambat.”

Aira berjalan pelan ke taman rumah sakit yang sepi.

Disana, beberapa keluarga pasien duduk menunggu dengan tatapan kosong.

 Aira duduk di bangku besi dingin, menggenggam ponselnya erat-erat.

Layarnya retak di sudut, tapi tetap menyala, memantulkan bayangan wajahnya yang basah.

  Tangannya gemetar saat ia membuka daftar kontak — nama demi nama muncul di layar: teman sekolah, tetangga, kenalan kerja paruh waktu. Semua sudah ia hubungi.

  Semuanya menolak dengan alasan yang sama: “Maaf, Rai, aku juga lagi susah.”

  Hujan semakin deras. Aira mendongak, menatap langit yang kini gelap.

Lalu entah dari mana datangnya, selembar brosur terbang menempel di kakinya.

  Dia memungutnya pelan.

Sebuah iklan elegan, kertas tebal dengan tulisan emas:

"Leonard Alvero Group — lowongan asisten pribadi. Untuk kandidat terpilih, gaji awal: 100 juta rupiah per bulan."

Aira menatap tulisan itu lama sekali, antara percaya dan tidak.

Hatinya berdebar aneh — antara harapan dan firasat buruk yang tidak bisa dijelaskan.

“Seratus juta…” gumamnya pelan. “Kalau aku bisa diterima, aku bisa kumpulkan uang itu dalam empat bulan…”

 Dia kembali menatap brosur itu.

 Nama perusahaan itu terdengar asing, namun aura kemewahan dari brosur itu membuat bulu kuduknya merinding.

  Hujan berhenti. Langit sore menjingga kembali.

  Aira menatap brosur itu sekali lagi sebelum akhirnya dengan yakin menyimpannya di dalam tas kecilnya.

Langit malam menutupi kota dengan warna kelabu yang bikin suasana makin muram.

Lampu-lampu gedung menyala terang, mirip dengan bintang yang berpendar di antara sisa kabut hujan.

Aira berdiri di depan gedung tinggi bertuliskan “Leonard Alvero Group.” Huruf emasnya memantulkan lampu jalan, seolah kalau tempat itu bukan buat orang seperti dia.

Aira menggenggam brosur lowongan yang sudah basah setengah. Jantungnya deg-degan nggak karuan.

“Semoga masih bisa diterima, tolong ya, Tuhan,” bisiknya pelan. Itu satu-satunya harapan yang dia punya.

Begitu Aira melangkah masuk, pintu kaca otomatis terbuka. Lobi di dalam kelihatan super mewah, marmer kinclong, aroma parfum mahal, dan semuanya terasa terlalu megah untuk seseorang seperti Aira. Bau parfum itu bahkan seperti menampar, ngingetin betapa jauh hidupnya dibanding orang-orang di dalam gedung ini.

Resepsionis muda yang duduk di balik meja menatap Aira dari ujung kaki sampai kepala. Sepatu yang udah hampir jebol, rok lusuh, rambut basah, tatapan wanita itu seperti neraca yang lagi ngukur harga diri seseorang.

“Permisi… saya Aira. Saya lihat brosur lowongan ini. Saya mau melamar jadi asisten pribadi,” ucap Aira pelan, sambil menyodorkan kertas yang hampir lecek.

Wanita itu tersenyum tipis, senyum dingin yang jelas-jelas nggak ramah.

“Oh, lowongannya sudah tutup.”

Nada suaranya datar, tapi rasanya seperti pintu harapan digebrak tepat di depan muka Aira.

Aira menelan ludah. “Tapi tolong, Mbak… saya bener-bener butuh pekerjaan ini. Ibu saya lagi di rumah sakit. Saya janji bakal kerja sebaik mungkin, saya—”

Wanita itu langsung angkat tangan, memotong kalimat Aira dengan sikap angkuhnya.

“Maaf, tapi kami hanya menerima kandidat yang layak. Anda bisa lihat diri Anda? Menurut Anda, Anda cocok kerja di sini? Ini Leonard Group, bukan tempat amal.”

Kata-kata itu benar-benar menusuk.

Pipinya panas karena malu, matanya mulai berkaca-kaca. Tapi Aira tahu dia nggak bisa nyerah. Ini satu-satunya cara buat bantu ibunya.

Dia menarik napas, lalu memberanikan diri bicara lagi.

“Tolong… kalau saya bisa diterima, saya mohon gaji bulan pertama bisa dinaikkan jadi empat ratus juta. Dihitung hutang juga nggak apa-apa. Ibu saya harus dioperasi minggu ini. Saya tahu itu nggak wajar, tapi saya benar-benar butuh uang itu. Saya janji bakal bayar dengan kerja saya.”

Ruangan langsung hening. Hening banget, sampai rasanya waktu berhenti.

Resepsionis itu mengerutkan kening, kayak nggak percaya ada orang seputus asa itu.

Dan akhirnya dia mencibir.

“Empat ratus juta? Kamu pikir ini tempat apa? Permintaanmu itu gila!”

Dia berdiri, menatap Aira dari atas ke bawah dengan pandangan yang merendahkan.

“Kalau nggak mau makin mempermalukan diri sendiri, tolong keluar. Atau saya panggil keamanan.”

Air mata Aira langsung jatuh. Dia buka mulut untuk bicara, tapi suaranya patah.

“Saya cuma… mau nyelamatin orang tua saya…” katanya pelan.

Resepsionis itu mendengus, lalu menekan tombol di meja.

Dua satpam datang. “Tolong antar gadis ini keluar,” katanya tanpa perasaan sedikit pun.

Aira memandang lobi mewah itu untuk terakhir kalinya sebelum berjalan pergi. Dia berusaha mengingat setiap detailnya, entah kenapa, mungkin karena itu satu-satunya impian yang sempat dia pegang.

Begitu keluar, hujan turun lagi. Seolah dunia ikut menangisi nasibnya.

Tubuhnya menggigil. Entah karena dingin, atau karena hatinya benar-benar remuk.

Di depan gedung, Aira berhenti. Menatap papan besar bertuliskan “Leonard Alvero Group” lama sekali. Papan itu sekarang terasa seperti tembok besar yang menghalanginya untuk menyelamatkan nyawa ibunya.

“Kenapa dunia sekejam ini sama orang yang cuma mau nolong?” bisiknya lirih.

Angin malam menyapu wajahnya yang basah oleh air mata dan hujan.

Dan tanpa dia tahu, dari jendela tertinggi gedung itu, ada sepasang mata tajam sedang memperhatikannya. Mata dingin. Mata yang menilai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 5. Perjanjian Terlarang

    Tiba-tiba pintu terbuka. Aira sedikit terkejut dan langsung menoleh. Dia melihat Leonard Alvaro sudah berdiri di ambang pintu. Wajah tampan itu langsung menyebarkan aura dingin yang membuat Aira merinding. "Leonard Alvaro?" Tanpa sadar, dia menyebut nama pria itu dengan pelan. Aira berkedip dan memberanikan diri untuk bertanya, "Tuan, ini perjanjian apa?" Leonard Alvaro melangkah mendekatinya dan menyodorkan sebuah paper bag ke hadapannya. "Pakailah,” Suara Alvaro terdengar dingin. “Dan lihat surat di dalamnya. Semua penjelasan ada di sana." Aira menerima paperbag itu dengan tangan gemetar. Dia menatap Leonard sebentar lalu buru-buru menunduk. Sebenarnya dia ingin bertanya lagi. Tapi saat melihat tatapan dingin pria itu, Aira sangat takut. Lalu dia kembali mendengar suara dingin dari pria itu, "Aku akan kembali dalam satu jam. Pastikan kamu sudah siap." Lalu pria itu berbalik dan pergi. Setelah Leonard Alvaro pergi, Aira baru bisa bernafas dengan baik. Kemudian dia memb

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 4 — Tanda Tangan Takdir

    Tinta di atas kertas itu mengering cepat, tapi perasaan Aira justru sebaliknya, membasahi dadanya dengan penyesalan yang bahkan belum sempat ia kenali.Tangannya gemetar saat meletakkan pulpen itu kembali di meja.Klik.Suara kecil saat pena ditutup itu menggema seperti palu godam yang memaku dirinya sendiri.Leonard Alvero mengambil lembar perjanjian itu dengan tenang. Matanya menelusuri tanda tangan Aira sejenak, lalu melipat kertas itu perlahan."Mulai saat ini," ucapnya datar, "hidupmu ada di tangan saya."Kata-kata itu meluncur bagai pisau yang menggores luka tak terlihat di dada Aira. Dia menunduk, bibirnya bergetar, tapi tak menjawab.Di sampingnya, ayahnya memandang dengan wajah bersalah, campur antara syukur dan ngeri yang membuatnya pucat. "Terima kasih, Tuan...," suaranya parau, "tolong... selamatkan istri saya."Leonard Alvero menatapnya datar, lalu menekan tombol di meja. "Raisa," panggilnya singkat. Perempuan yang tadi menghadang Aira segera masuk. "Urus semua biaya ruma

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 3 — Permohonan di Ruang Dingin

    Langit malam kelam saat Aira dan ayahnya digiring menuju lantai teratas Leonard Alvero Group.Di dalam lift, keheningan mencekam. Hanya dengung mesin yang perlahan membawa mereka naik, seolah ikut menahan napas menunggu apa yang akan terjadi.Pintu lift terbuka, hawa dingin langsung menusuk kulit.Ruang kerja Leonard Alvero terbentang luas. Lantai marmer hitamnya berkilauan, memantulkan cahaya kota yang gemerlap dari balik jendela kaca raksasa. Di tengah ruangan, Leonard Alvero berdiri memunggungi mereka, tegap menatap pemandangan kota. Siluetnya terpantul di kaca, bagai raja yang mengamati kerajaannya."Ayah... apa nggak sebaiknya kita pulang aja?" bisik Aira lirih.Ayahnya menggenggam tangannya erat. "Nggak, Aira. Ini satu-satunya harapan kita."Leonard Alvero berbalik perlahan, tatapannya setajam pisau. "Duduk."Mereka menurut. Kursi kulit di depan meja besar itu terasa mewah untuk tubuh mereka yang lelah dan basah.Hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar.Ayah Aira menunduk

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 2 — Langit yang Tak Lagi Sama

    Hujan belum juga reda saat Aira tiba kembali di rumah sakit.Tubuhnya menggigil, kaus lusuhnya basah menempel di kulit. Setiap langkah terasa berat, seolah memikul beban dunia di pundaknya.Di genggamannya, brosur Leonard Alvero Group itu remuk dan sobek di beberapa sisi. Selembar kertas yang menjadi saksi bisu harapan yang kini pupus.Di depan kamar ibunya, Aira menarik napas dalam. Jari-jarinya baru saja menyentuh gagang pintu dingin, saat pintu itu terbuka kasar dari dalam.Ayahnya berdiri di ambang pintu, wajahnya tegang dengan mata merah karena kurang tidur, bekas tangisan, atau amarah yang membara?"Aira!" Suaranya menggema di lorong, tajam menusuk.Aira tersentak. "A-Ayah..."Belum sempat ia menjelaskan, ayahnya mendorong bahunya hingga Aira terhuyung mundur."Kamu ke mana saja seharian ini, hah?! Ibumu hampir—" Suaranya tertahan, tapi amarahnya masih terasa pekat di udara. "Dokter mencarimu! Ayah juga! Kamu menghilang tanpa kabar!"Aira menunduk, bibirnya bergetar. Aku hanya b

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 1 — Napas yang Tersisa

    Cahaya sore menembus tirai kamar rumah sakit, menimpa wajah pucat seorang wanita separuh baya yang terbaring lemah di ranjang sakit.Bunyi mesin monitor detak jantung terdengar pelan, berirama lambat dan seolah memberi tanda jika waktu terus berkurang. Aira duduk di sisi ranjang. Dia memegang tangan wanita itu dengan erat.Kulit tangan itu dingin dan terasa semakin ringan dari hari ke hari. “Ibu harus sembuh, ya… Aira masih butuh Ibu,” bisik Aira pelan. Air matanya jatuh ke punggung tangan itu. Sang ibu tersenyum lemah, “Ibu kuat kok. Kamu jangan nangis terus ya.”Perasaan Aira benar-benar hancur saat melihat senyum tak berdaya itu.Tiba-tiba, suara pintu terbuka pelan.Ayah Aira berdiri di ambang pintu dengan wajah tegang. Dia menggenggam selembar kertas hasil diagnosa. Sang ayah tidak mengatakan apapun. Tapi dia hanya menatap Aira, berkedip dan kemudian berbalik untuk keluar lagi.Dari sorot matanya, Aira tahu jika ayahnya sedang membawa kabar tidak baik.Jadi ketika ayahnya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status