Beranda / Romansa / Bayaran Cinta Sang Miliarder / Bab 5. Perjanjian Terlarang

Share

Bab 5. Perjanjian Terlarang

Penulis: Atria
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-08 22:44:51

Tiba-tiba pintu terbuka. Aira sedikit terkejut dan langsung menoleh.

Dia melihat Leonard Alvaro sudah berdiri di ambang pintu. Wajah tampan itu langsung menyebarkan aura dingin yang membuat Aira merinding.

"Leonard Alvaro?" Tanpa sadar, dia menyebut nama pria itu dengan pelan.

Aira berkedip dan memberanikan diri untuk bertanya, "Tuan, ini perjanjian apa?"

Leonard Alvaro melangkah mendekatinya dan menyodorkan sebuah paper bag ke hadapannya.

"Pakailah,” Suara Alvaro terdengar dingin.

“Dan lihat surat di dalamnya. Semua penjelasan ada di sana."

Aira menerima paperbag itu dengan tangan gemetar.

Dia menatap Leonard sebentar lalu buru-buru menunduk. Sebenarnya dia ingin bertanya lagi. Tapi saat melihat tatapan dingin pria itu, Aira sangat takut.

Lalu dia kembali mendengar suara dingin dari pria itu, "Aku akan kembali dalam satu jam. Pastikan kamu sudah siap." Lalu pria itu berbalik dan pergi.

Setelah Leonard Alvaro pergi, Aira baru bisa bernafas dengan baik.

Kemudian dia membuka paperbag itu dengan ragu-ragu.

Seperti apa yang dikatakan Alvaro barusan, selembar surat dan sebuah gaun.

Dengan jantung berdebar, Aira membuka surat itu dan membaca isinya.

Ketika membaca kata demi kata, otak Aira seolah membeku. Seluruh tubuhnya tiba-tiba merasa ngilu.

Perjanjian ini ternyata jauh lebih rumit dan mengikat daripada yang dia bayangkan.

Dengan perasaan yang bingung, Aira meraih gaun yang ada di dalam paperbag.

Dia membentangkannya. Alisnya berkerut.

Gaun itu sangat minim, hanya sepotong kain yang nyaris tidak bisa menutupi tubuhnya. Belahan dadanya juga dibuat begitu rendah.

"Apa aku harus memakai gaun seperti ini?" Tiba-tiba pipinya terasa panas.

Dia menggelengkan kepala. "Aku tidak ingin memakainya."

Tapi dia teringat akan konsekuensi yang akan dihadapi jika dia melanggar perjanjian itu.

Dengan tak berdaya, Aira terpaksa berganti dengan gaun itu.

Aira berdiri di depan cermin. Bayangan di depannya itu tampak seperti orang asing.

Seperti ada sebuah batu besar yang menimpa dadanya. Sangat sesak.

Aira meremas dadanya.

Dia tiba-tiba berubah menjadi seorang wanita murahan. Yang rela menjual harga diri demi uang.

Dia tidak tahu apa yang akan terjadi malam ini. Tapi dia jelas tahu jika akan terjadi sesuatu yang tidak baik padanya.

Tidak tidak. Dia melakukan ini untuk ibunya.

Aira menahan air matanya dan menegakkan punggungnya.

Dengan tangannya yang gemetar, dia merapikan rambutnya dan berusaha untuk menenangkan dirinya.

Tepat satu jam kemudian, pintu dibuka seseorang begitu saja.

Jantung Aira langsung berdegup kencang. Saat dia menoleh, Leonard Alvaro sudah berdiri di ambang pintu, tatapannya sangat angkuh dan sama dinginnya dengan tatapan sebelumnya.

Aira merasa seperti kelinci dihadapi seekor Harimau.

Lalu dia melihat Leonard Alvaro perlahan mendekatinya. Langkahnya tidak buru-buru tapi pasti.

Aira bisa merasakan hawa dingin yang terpancar dari tubuh pria itu. Dia menarik kakinya mundur, seirama dengan langkah kaki Alvaro. Hingga punggungnya menabrak dinding.

Alvaro berhenti tepat di depannya, Wajah pria itu hanya beberapa inci dari wajahnya. Aira bisa merasakan napas hangat pria itu menerpa kulitnya.

Tenggorokan Aira terasa kering, hingga dia merasa susah payah untuk menelan ludah.

Sebelum dia sempat bereaksi,

tiba-tiba pinggangnya ditarik oleh Leonard Alvaro. Hingga tubuh bertabrakan.

Aira tersentak dan berusaha untuk melepaskan diri, tapi Leonard Alvaro segera menahannya dengan kuat.

Baru saja dia ingin mencoba berbicara, jari ramping dan putih Alvaro sudah berada tepat di bibirnya.

"Ini adalah perjanjian yang telah kita sepakati," bisik Leonard Alvaro tepat di telinganya, suaranya terdengar berat dan serak.

“Ta-tapi, Tuan. Tolong jangan begini. Lepaskan saya.” Aira berkata dengan gugup sambil berusaha mendorong tubuh Alvaro.

"Pikirkan ibumu yang sedang berjuang di rumah sakit."

Kata-kata itu seperti palu yang langsung menghantam kepala Aira. Dia membeku.

Tadi, saking takutnya Aira hampir lupa jika dia memang telah menandatangani surat perjanjian itu demi ibunya.

Perlahan, pertahanan Aira pun mengedur.

Leonard Alvaro lalu mengangkat tubuhnya dan membaringkannya di tempat tidur.

"Jangan, Tuan... jangan..." Dengan suara bergetar Aira berusaha memohon.

Leonard mengulurkan jarinya dan menjepit dagunya, "Dengar baik-baik, Aira. Malam ini kamu harus menepati janjimu," ucap Leonard, suaranya terdengar semakin berat.

Berada di bawah tubuh seorang pria yang baru saja dikenalnya, Aira benar-benar ketakutan. Dia panik hingga memiliki keberanian dan melupakan perjanjian mereka.

“Aah, lepaskan aku! Tuan, tolong jangan begini!” Aira memekik saat Leonard menindih tubuhnya.

Aira mencoba untuk meronta dan memukul-mukul tubuh Leonard, namun apa yang dilakukannya itu hanya sia-sia. Tenaganya sama sekali tidak sebanding dengan kekuatan pria itu.

Karena terus meronta, tenaganya mulai habis. Dia kelelahan dan hanya bisa menangis.

Melihat pertahanannya mulai melemah, Alvaro langsung menindihnya.

Kedua mata Leonard menggelap, dan deru napasnya memburu.

“Aira, apa kamu sudah siap?”

Ucap Leonard, seolah menikmati ketakutan yang membekukan tubuh Aira. Tatapan Leonard merendahkannya, seakan mengatakan bahwa ketidakberdayaan Aira adalah hiburan bagi dirinya.

Ujung jari telunjuk pria itu mengusap bibirnya.

Aira menegang, dia menelan ludah dengan susah payah. “Tolong jangan, Tuan. Ku mohon.” Dia merintih. Berharap pria ini berbelas kasihan padanya.

Tapi suaranya tidak didengar oleh Alvaro.

Pria itu menunduk dan melumat bibirnya.

Aira kembali berusaha mendorong tubuh Leonard, tetapi Leonard mengunci tubuhnya.

Leonard terus mengulum bibirnya sampai Aira hampir tersedak karena lidah Alvaro yang begitu liar.

Pagutan panas, deru nafas yang memburu.

Aira kelelahan. Dia mulai menyerah.

“Ehm, Tuan,” suara Aira kembali hilang ditelan Leonard.

Setelah berlama-lama dengan bibir Aira, mulut Leonard mulai turun kebawah. Menelusuri lekuk leher jenjangnya.

Ketika merasakan sentuhan hangat di lehernya, tanpa sadar tubuh Aira menggeliat. Ada rasa geli dan aneh dalam tubuhnya.

Aira kebingungan.

Apa yang terjadi pada tubuhnya? Setiap gerakan Leonard yang tadi ia benci, kini terasa aneh.

Setiap sentuhannya, membuatnya tubuhnya menggeliat dan menimbulkan desiran desiran yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Aira menggigit bibirnya agar tidak mengeluarkan suara.

Tangan Leonard mulai bergerilya, satu tangan pria itu melepas gaun malam yang melekat pada tubuhnya, membuat kedua bukit kembarnya terlihat dengan jelas.

“Ah…” Aira terkejut dan segera menyilangkan tangannya untuk menutupi dadanya.

Kedua mata Leonard semakin menggelap saat menatapnya. Lalu menyingkirkan tangannya dan mendekatkan wajahnya.

Aira ingin mendorongnya, tapi tiba-tiba tubuhnya menegang saat bibir Leonard menyentuh dadanya.

“Em..” suara Aira tertahan.

Dia kembali menggeliat dan kali ini desiran aneh itu semakin hebat mengalir keseluruhan sarafnya.

Alih alih mendorong kepala Leonard, tangan Aira justru menekan kepalanya.

Gerakan tanpa sadarnya itu justru membuat Leonard semakin menggila.

Tangan Leonard mulai merayap turun ke pahanya dan berhenti di pangkalnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 5. Perjanjian Terlarang

    Tiba-tiba pintu terbuka. Aira sedikit terkejut dan langsung menoleh. Dia melihat Leonard Alvaro sudah berdiri di ambang pintu. Wajah tampan itu langsung menyebarkan aura dingin yang membuat Aira merinding. "Leonard Alvaro?" Tanpa sadar, dia menyebut nama pria itu dengan pelan. Aira berkedip dan memberanikan diri untuk bertanya, "Tuan, ini perjanjian apa?" Leonard Alvaro melangkah mendekatinya dan menyodorkan sebuah paper bag ke hadapannya. "Pakailah,” Suara Alvaro terdengar dingin. “Dan lihat surat di dalamnya. Semua penjelasan ada di sana." Aira menerima paperbag itu dengan tangan gemetar. Dia menatap Leonard sebentar lalu buru-buru menunduk. Sebenarnya dia ingin bertanya lagi. Tapi saat melihat tatapan dingin pria itu, Aira sangat takut. Lalu dia kembali mendengar suara dingin dari pria itu, "Aku akan kembali dalam satu jam. Pastikan kamu sudah siap." Lalu pria itu berbalik dan pergi. Setelah Leonard Alvaro pergi, Aira baru bisa bernafas dengan baik. Kemudian dia memb

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 4 — Tanda Tangan Takdir

    Tinta di atas kertas itu mengering cepat, tapi perasaan Aira justru sebaliknya, membasahi dadanya dengan penyesalan yang bahkan belum sempat ia kenali.Tangannya gemetar saat meletakkan pulpen itu kembali di meja.Klik.Suara kecil saat pena ditutup itu menggema seperti palu godam yang memaku dirinya sendiri.Leonard Alvero mengambil lembar perjanjian itu dengan tenang. Matanya menelusuri tanda tangan Aira sejenak, lalu melipat kertas itu perlahan."Mulai saat ini," ucapnya datar, "hidupmu ada di tangan saya."Kata-kata itu meluncur bagai pisau yang menggores luka tak terlihat di dada Aira. Dia menunduk, bibirnya bergetar, tapi tak menjawab.Di sampingnya, ayahnya memandang dengan wajah bersalah, campur antara syukur dan ngeri yang membuatnya pucat. "Terima kasih, Tuan...," suaranya parau, "tolong... selamatkan istri saya."Leonard Alvero menatapnya datar, lalu menekan tombol di meja. "Raisa," panggilnya singkat. Perempuan yang tadi menghadang Aira segera masuk. "Urus semua biaya ruma

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 3 — Permohonan di Ruang Dingin

    Langit malam kelam saat Aira dan ayahnya digiring menuju lantai teratas Leonard Alvero Group.Di dalam lift, keheningan mencekam. Hanya dengung mesin yang perlahan membawa mereka naik, seolah ikut menahan napas menunggu apa yang akan terjadi.Pintu lift terbuka, hawa dingin langsung menusuk kulit.Ruang kerja Leonard Alvero terbentang luas. Lantai marmer hitamnya berkilauan, memantulkan cahaya kota yang gemerlap dari balik jendela kaca raksasa. Di tengah ruangan, Leonard Alvero berdiri memunggungi mereka, tegap menatap pemandangan kota. Siluetnya terpantul di kaca, bagai raja yang mengamati kerajaannya."Ayah... apa nggak sebaiknya kita pulang aja?" bisik Aira lirih.Ayahnya menggenggam tangannya erat. "Nggak, Aira. Ini satu-satunya harapan kita."Leonard Alvero berbalik perlahan, tatapannya setajam pisau. "Duduk."Mereka menurut. Kursi kulit di depan meja besar itu terasa mewah untuk tubuh mereka yang lelah dan basah.Hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar.Ayah Aira menunduk

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 2 — Langit yang Tak Lagi Sama

    Hujan belum juga reda saat Aira tiba kembali di rumah sakit.Tubuhnya menggigil, kaus lusuhnya basah menempel di kulit. Setiap langkah terasa berat, seolah memikul beban dunia di pundaknya.Di genggamannya, brosur Leonard Alvero Group itu remuk dan sobek di beberapa sisi. Selembar kertas yang menjadi saksi bisu harapan yang kini pupus.Di depan kamar ibunya, Aira menarik napas dalam. Jari-jarinya baru saja menyentuh gagang pintu dingin, saat pintu itu terbuka kasar dari dalam.Ayahnya berdiri di ambang pintu, wajahnya tegang dengan mata merah karena kurang tidur, bekas tangisan, atau amarah yang membara?"Aira!" Suaranya menggema di lorong, tajam menusuk.Aira tersentak. "A-Ayah..."Belum sempat ia menjelaskan, ayahnya mendorong bahunya hingga Aira terhuyung mundur."Kamu ke mana saja seharian ini, hah?! Ibumu hampir—" Suaranya tertahan, tapi amarahnya masih terasa pekat di udara. "Dokter mencarimu! Ayah juga! Kamu menghilang tanpa kabar!"Aira menunduk, bibirnya bergetar. Aku hanya b

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 1 — Napas yang Tersisa

    Cahaya sore menembus tirai kamar rumah sakit, menimpa wajah pucat seorang wanita separuh baya yang terbaring lemah di ranjang sakit.Bunyi mesin monitor detak jantung terdengar pelan, berirama lambat dan seolah memberi tanda jika waktu terus berkurang. Aira duduk di sisi ranjang. Dia memegang tangan wanita itu dengan erat.Kulit tangan itu dingin dan terasa semakin ringan dari hari ke hari. “Ibu harus sembuh, ya… Aira masih butuh Ibu,” bisik Aira pelan. Air matanya jatuh ke punggung tangan itu. Sang ibu tersenyum lemah, “Ibu kuat kok. Kamu jangan nangis terus ya.”Perasaan Aira benar-benar hancur saat melihat senyum tak berdaya itu.Tiba-tiba, suara pintu terbuka pelan.Ayah Aira berdiri di ambang pintu dengan wajah tegang. Dia menggenggam selembar kertas hasil diagnosa. Sang ayah tidak mengatakan apapun. Tapi dia hanya menatap Aira, berkedip dan kemudian berbalik untuk keluar lagi.Dari sorot matanya, Aira tahu jika ayahnya sedang membawa kabar tidak baik.Jadi ketika ayahnya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status