Beranda / Romansa / Bayaran Cinta Sang Miliarder / Bab 6 : Malam Yang Terikat

Share

Bab 6 : Malam Yang Terikat

Penulis: Atria
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-12 15:38:21

Tangan Leonard mulai merayap turun ke pahanya dan berhenti di pangkalnya.

Aira merinding, bukan karena dingin, tapi karena sentuhan itu seperti petir yang melesat ke dalam tubuhnya. Dia masih menggigit bibirnya sampai terasa sakit, coba menahan suara yang ingin terlepas. Tubuhnya bingung setengahnya ingin melarikan diri, setengahnya lagi merespon sentuhan pria itu dengan cara yang tak pernah ia bayangkan.

Leonard mengangkat wajahnya sejenak, matanya terbakar api gelap yang Aira tidak mengerti. Dia melihat raut wajah gadis itu, air mata yang menetes di pipi kemerahan, bibir yang tergigit, dan tubuh yang menggeliat tanpa sadar. Suara napasnya semakin dalam, seolah dia sedang menahan sesuatu yang sangat kuat.

"Kamu merasa apa, Aira?" bisiknya dengan suara yang berat, napasnya menyentuh telinganya.

Aira tidak bisa menjawab. Lidahnya terasa kaku, dan semua kata yang ingin dia ucapkan terjebak di tenggorokan. Dia hanya bisa menggelengkan kepala perlahan, meskipun tubuhnya berkata hal yang berbeda.

Tangan Leonard yang ada di pangkal pahanya mulai bergerak perlahan, memeluk bagian itu dengan lembut tapi pasti. Aira terkejut dan tubuhnya melompat sedikit, tapi Leonard langsung menekan bahunya agar tetap terbaring. Lalu, jari-jari pria itu mulai melintasi permukaan kulitnya yang lembut, bergerak perlahan ke arah yang lebih dalam.

"Ah..." Suara itu terlepas tanpa sengaja, lemah dan tertekan. Aira segera menutupi mulutnya dengan tangan, malu dan takut.

Leonard mengeluarkan senyum yang sepi. "Jangan tutup mulutmu," katanya, lalu menurunkan tangan Aira dari wajahnya. "Biarkan aku dengar."

Tanpa lagi menunggu, dia mendekatkan wajahnya lagi, bibirnya bertemu dengan bibir Aira yang masih tergigit. Kali ini, ciuman itu tidak lagi kasar. Tapi penuh hasrat yang tertekan, seolah Leonard sendiri sedang berjuang melawan apa yang ada di dalam hatinya. Tangannya yang ada di pangkal pahanya bergerak lebih jauh, menyentuh bagian yang paling sensitif, dan Aira melepaskan suara yang lebih nyaring, tercampur rasa takut dan hal yang baru dia rasakan.

Leonard melanjutkan langkahnya dengan perlahan tapi pasti, menghilangkan semua penghalang di antara mereka. Saat tubuhnya akhirnya bersatu dengan Aira, kedua orang itu seolah melayang jauh dari rumah sakit, jauh dari perjanjian, jauh dari semua beban yang mereka bawa. Aira masih menangis, tapi air matanya sekarang bukan hanya karena takut, ada rasa yang lebih dalam, sesuatu yang membuatnya merasa tidak sendirian meskipun situasinya begitu menyakitkan.

Malam itu terlewati seperti kilat dan sepanjang masa sekaligus. Setiap sentuhan, setiap desiran, setiap denyutan jantung yang berpadu sampai akhirnya, kedua orang itu lelah dan terlelap dalam pelukan, tubuhnya masih saling bersentuhan.

❛ ❛

Sinar matahari pagi yang lembut menerobos celah tirai, menyinari wajah Aira yang masih tertutup mata. Dia merenggangkan tubuhnya perlahan, merasa kelelahan yang menyebar ke setiap sel. Lalu, dia menyadari sesuatu yang membuat jantungnya berdebar kencang tubuhnya tidak mengenakan helai baju pun. Dia terkejut, langsung menurunkan pandangannya ke bawah dan melihat selimut yang hanya menutupi sebagian tubuhnya.

"Leonard?" suaranya lemah, hampir tidak terdengar. Dia melihat ke samping tempat tidur sebelahnya kosong. Dimana dia? Kecemasan mulai membanjiri dirinya. Apa yang terjadi sekarang? Apakah dia sudah pergi dan lupa semua janji tentang ibunya?

Tiba-tiba, pintu terbuka perlahan. Aira menoleh dan melihat Leonard berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja putih yang sedikit terbuka di lehernya. Di tangannya, dia membawa nampan berisi sarapan roti panggang, telur mata sapi, dan segelas jus jeruk yang masih berbusa.

Hatinya berdebar lebih kencang. Tanpa berpikir panjang, Aira menarik selimut tebal ke atas, menutupi seluruh tubuhnya sampai ke leher. Dia merasa malu, sangat malu, mengingat kejadian tadi malam bersama dengan Leonard.

Leonard melihat itu dan tersenyum miring seolah mengejek tapi juga ada nada yang lain di dalamnya. Dia melangkah masuk ke kamar, menempatkan nampan di meja samping tempat tidur. Lalu, dia berbalik dan duduk di tepi kasur, tepat di depan Aira yang masih membungkuk di bawah selimut.

"Apa yang sedang kamu tutupi, Aira?" katanya dengan suara yang lebih lembut dari malam itu, tapi masih ada nada kekuasaan yang tidak bisa diabaikan. "Aku telah menikmatinya semalam dan melihatnya sepenuhnya. Makanlah, biarkan itu terlihat." Dia menunjuk ke nampan sarapan. "Dan makanlah yang telah aku bawa untukmu. Kamu pasti lapar."

"Berapa banyak yang kamu butuhkan untuk operasi ibumu?" tanya Leonard tiba-tiba, membuat Aira tersedak. Dia segera mengambil jus jeruk dan meminumnya secukupnya.

"Empat ratus juta, Tuan," jawabnya dengan suara lemah.

Leonard mengangguk. "Nanti sore, aku akan kirim uangnya ke rumah sakit. Kamu tidak perlu khawatir lagi."

Air mata tiba-tiba membanjiri mata Aira. Semua ini, malam itu, rasa malu, kebingungan, semuanya berharga jika ibunya bisa selamat. Dia menutupi wajah dengan satu tangan, menangis dengan senang dan sedih sekaligus.

"Terima kasih... terima kasih banyak, Tuan," ucapnya, terisak-isak.

Leonard merenggangkan bahunya, tapi tangannya secara tidak sengaja menyentuh telapak tangan Aira yang ada di kasur. "Jangan terima kasih terlalu cepat," katanya. "Perjanjian kita belum selesai."

Aira berhenti menangis, mata memandangnya dengan khawatir. "Apa lagi Tuan inginkan?"

Leonard berdiri tegak di depan kasur. Dia melihat Aira yang masih terbaring di bawah selimut, wajahnya masih memerah dan berkaca-kaca. "Kamu akan tinggal di sini selama seminggu ke depan," katanya. "Setelah itu, kamu bisa pulang ke rumahmu dan melawat ibumu. Tapi ingat, aku bisa mencari kamu kapan saja aku mau."

Aira terkejut. "Tapi... aku mau pulang sekarang, Tuan. Aku ingin melihat ibuku secepatnya."

"Belum bisa," jawab Leonard tegas. "Kamu masih milikku selama seminggu. Setelah itu, uang itu benar-benar milikmu." Dia berbalik menuju pintu, lalu berhenti dan menoleh ke belakang. "Dan kamu jangan coba lari. Kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan pada ibumu yang sedang masa pemulihan."

Kata-katanya seperti es yang menusuk hati Aira. Dia membeku, rasa senangnya tadi hilang begitu saja. Dia tahu, dia tidak punya pilihan lain selain mematuhi.

Leonard keluar dari kamar, meninggalkan Aira sendirian di atas kasur. Dia melihat ke arah nampan sarapan yang masih penuh, lalu ke jendela yang terbuka sedikit. Sinar matahari pagi masih terasa hangat, tapi hatinya merasa dingin.

Seminggu lagi. Dia harus bertahan selama seminggu dengan pria ini. Dan apa yang akan terjadi setelah itu?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 14 : Garis Dua

    Aira perlahan membuka mata. Langit-langit putih menyambut pandangannya, dingin dan asing. Bau obat-obatan menusuk hidungnya, membuat kepalanya sedikit pening. Dia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada. Rumah sakit. Ingatannya perlahan datang , langkah yang menjauh, lalu dunia yang tiba-tiba gelap. “Aira…” Suara itu terdengar pelan, dekat. Aira menggeser pandangannya ke samping. Leonard duduk di kursi di sisi ranjang, tubuhnya condong ke depan, kedua tangannya saling bertaut erat. Wajahnya terlihat lelah, mata itu, yang biasanya dingin dan jauh, kini dipenuhi kekhawatiran yang tidak disembunyikan. “Kamu sudah sadar,” ucap Leonard lirih. Ada kelegaan jelas dalam suaranya. Aira menelan ludah, lalu mengangguk kecil. “Iya…” “Bagaimana rasanya sekarang?” tanya Leonard. Nadanya hati-hati, seolah takut suaranya terlalu keras bisa melukai Aira. “Sedikit pusing… tapi lebih baik,” jawab Aira jujur. Leonard mengangguk. Tangannya bergerak tanpa sadar, merapik

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 13 : Apa? Hamil!

    Malam terasa lebih panjang bagi Aira.Lampu kamar sudah dipadamkan, tapi matanya tetap terbuka. Pikirannya tidak berhenti berputar, bahkan ketika tubuhnya terasa lelah sampai ke tulang. Suara dokter sore tadi terus terngiang di kepalanya—tentang perubahan, tentang kemungkinan, tentang jawaban yang belum bisa diberikan malam itu.Aira menarik selimut lebih rapat, tubuhnya menggigil bukan karena dingin, tapi karena ketakutan. Lalu perlahan meraih ponselnya dari meja kecil di samping ranjang.Hanya ingin tahu, batinnya. Sedikit saja.Jarinya gemetar ketika mengetik di mesin pencari.mual saat mencium bau masakanlelah berlebihanpusing di pagi hariLayar ponsel memuat hasil demi hasil.Aira membaca perlahan. Sekali. Dua kali. Tiga kali.Lalu matanya membulat.Tulisan-tulisan itu terasa seperti menampar wajahnya tanpa suara.Gejala umum kehamilan awal.Dadanya terasa sesak. Napasnya tercekat. Dia merasa ingin muntah lagi, tapi tidak ada apa-apa yang keluar.“Tidak mungkin…” bisiknya lirih

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 12 : Mual

    Pagi itu, matahari muncul lebih cepat dari biasanya, menyinari kamar Aira yang kecil. Dia bangun dengan rasa segar, ingatan tentang ciuman semalam dengan Leonard masih terngiang-ngiang di benaknya. Wajahnya langsung memerah ketika dia ingat bagaimana Leonard berada di atasnya, mata dia yang memandangnya lekat-lekat sebelum menciumnya lembut. Hanya karena obat tidur? Atau dia benar-benar melakukan itu? Dia menggoncang kepala, mencoba mengusir pikiran itu. Hari ini, dia ingin memasak sarapan favorit Leonard — ikan bakar dengan bumbu kunyit dan cabai yang segar. Dia tahu pria itu suka makanan yang beraroma kuat, jadi dia menambahkan lebih banyak bumbu dari biasanya. Dia memasak di dapur, api kompor menyala lembut. Ketika ikan mulai matang, aroma bumbu yang kuat menyebar di seluruh dapur. Tapi tiba-tiba, rasa tidak nyaman muncul di perutnya. Dia merasa mual parah, seperti ada sesuatu yang ingin keluar dari tenggorokannya. Itu membuat Aira merasa tidak nyaman. “Aduuh,” bisik Aira pelan

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 11 : Leonard Mabuk

    Hari itu, sore, suasana di kantor Leonard terasa berbeda. Elena berjalan dengan langkah yang lebih riang, rambutnya disusun rapi dengan bunga kecil di sisinya, dan dia mengenakan gaun biru muda yang sedikit terbuka di leher. Dia telah menyiapkan ruang rapat dengan kopi pahit favorit Leonard dan kue kacang yang dia tahu dia suka — semua untuk mengalangkan cara agar bisa dekat dengan pria itu. Ketika Leonard masuk ke ruang rapat, Elena segera berdiri, tersenyum lebar. “Tuan, saya sudah sediakan kopi dan kue. Silakan duduk, ya.” Leonard mengangguk singkat, duduk di kursi tanpa melihatnya. “Apa ada rapat hari ini, Elena?” “Tidak, Tuan. Saya cuma mau berbicara sebentar dengan Tuan. Tentang… rencana akhir pekan.” Dia mendekat, menyajikan kopi ke depan Leonard. “Saya dengar ada restoran baru yang bagus di tepi pantai. Bisa saja kita ke sana bersama? Hanya berdua.” Leonard mengangkat kopi, menyeduhnya tanpa menoleh. “Saya sibuk akhir pekan. Ada banyak pekerjaan.” Elena tidak patah semang

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 10 : Kembali

    Perjalanan pulang dari kantor Leonard terasa aneh bagi Aira. Langkahnya memang lebih ringan dibanding pagi tadi, tapi pikirannya masih penuh. Tatapan tajam Elena, nada dingin Leonard, semuanya masih membekas. Namun di balik itu, ada satu hal yang membuat dadanya sedikit lebih lapang—dia punya pekerjaan. Dan itu berarti ibunya bisa mendapatkan obat yang dibutuhkan. Saat rumah kecil itu akhirnya terlihat, Aira langsung mengenali sosok ayahnya yang duduk di teras. Rokok linting terselip di jari, asapnya mengepul pelan, pandangannya kosong menatap jalan seolah menunggu sesuatu—atau seseorang. Aira mendekat perlahan. “Ayah…” Ayahnya menoleh cepat, seolah takut yang dipikirkannya hanya bayangan. Begitu melihat Aira, matanya langsung berbinar. “Kamu pulang, Nak. Gimana?” suaranya terdengar tertahan. “Dapat kerja, nggak?” Aira mengangguk. Jantungnya berdegup lebih cepat. “Dapat, Ayah.” Ayahnya bangkit spontan dan memeluknya erat, napasnya bergetar. “Alhamdulillah… alhamdulil

  • Bayaran Cinta Sang Miliarder   Bab 9 : Pengorbanan Aira

    Empat minggu setelah Aira pulang dari rumah Leonard, kehidupan kembali terasa seperti gunung yang harus dia angkat sendirian. Ibu Aira memang sudah pulang dari rumah sakit, tapi warna wajahnya masih pucat dan dia sering merasa pusing. Biaya kontrol bulanan, obat-obatan yang harus terus dibeli, dan kebutuhan sehari-hari keluarga membuat ayah Aira semakin tertekan. Ayah hanya bisa menjual sayuran di pasar pagi sampai tengah hari, pendapatannya cuma cukup buat nasi dan lauk sederhana, tidak pernah cukup buat yang lain.Aira bekerja tambahan membersihkan rumah tetangga setiap sore, mendapatkan uang sedikit yang dia simpan dengan hati-hati. Tapi hari itu saat pagi, dokter memanggil ayah Aira dengan suara yang serius di telepon. Aira mendengarnya dari kamar, hati dia langsung berdebar kencang.“Pak Herman, ibu Ayu butuh kontrol ulang minggu depan. Dan setelah pemeriksaan kemarin, kita butuh mengganti obat untuk mengontrol tekanan darahnya yang lebih efektif untuk mencegah komplikasi jantung

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status