Share

Bab 2. Ketakutan Sophia.

Dengan wajah pucat dan tubuh gemetar Sophia berjalan menuju lift. Pikiran yang diselimuti bayang-bayang sang atasan akan mengamuk membuatnya lupa bahwa liftnya rusak. "Sial! Kenapa sih hari ini apes sekali," gerutunya. Mau tidak mau Sophia pun harus melewati tangga darurat untuk ke dua kali. Tapi naik-turun tangga berkali-kali dari lantai lima ke lantai satu lebih terasa menyenangkan dari pada membayangkan wajah Aaron yang brengsek itu.


Begitu tiba di lantai dasar, Sophia berhenti di meja cuztomer service untuk menstabilkan napasnya.


"Ibu Sophia kenapa? Ibu habis olahraga, ya? tanya gadis yang merupakan cuztomer service di G2 itu.


Sophia melotot. "Memangnya kau tidak tahu kalau liftnya rusak?"


"Rusak? Masa sih, Bu? Barusan ada karyawan marketing yang turun pake lift lho, Bu."


Satpam yang kebetulan berdiri tak jauh dari meja CS tanpa sengaja mendengar pembicaraan mereka. Ia menjawab, "Benar, Bu Sophia. Liftnya sudah selesai diperbaiki."


"Apa?! Tapi tadi dari aku cek dari lantai lima lift-nya mati," kesalnya.


"Mungkin saat ibu dalam perjalanan turun, liftnya sudah stabil kembali," kata si cuztomer service.


"Ya sudahlah, sudah terlanjur juga. Kalau begitu aku permisi dulu, ya. Aku harus ke G1 menemui Pak Aaron sebelum beliau sarapan."


Satpam dan CS itu menatap ngeri. "Ada apa? Kenapa wajah kalian seperti itu?" tanya Sophia.


"Ti-tidak apa-apa, Bu," sahut si satpam.


Dengan kesal dan sumpah serapah yang terlontar dari mulutnya, Sophia meninggalkan Ajesio G2 itu dengan sentakan kaki yang cukup keras. Untung saja ia memakai sepatu flat, jadi meski naik turun tangga tak masalah baginya.


"Selamat pagi, Pak," sapa Sophia ramah begitu melewati meja satpam di Ajesio G1. Meski kesal karena naik-turun tangga, ia segera merubah cara berjalannya dengan senyum yang melebar. Tahu di G1 satu adalah tempatnya orang-orang penting , Sophia pun tetap harus menjaga penampilannya agar tetap anggun dan berwibawa.


Beberapa pegawai dari tim HRD menatapnya saat mereka berpapasan. Sebagian kecil dari mereka sudah mengenalnya, tapi sebagian besar dari Ajesio G1 tidak mengenalnya sama sekali, apalagi sang pemilik perusahan yang menempati lantai 5 di gedung G1 itu.


Setelah masuk ke dalam lift, Sophia berharap Tuhan akan menolongnya agar Aaron tidak melihatnya. "Tapi bagaimana caranya? Toh aku sendiri yang harus mengantarkan berkas ini padanya."


Di dalam lift itu Sophia sendirian dan ia tak henti-hentinya untuk berdoa agar Tuhan berpihak padanya.


Ting!


Denting lift membuat lamunan Sophia buyar. Lift itu berhenti tepat di lantai lima. Jantungnya mulai berdetak. "Ya Tuhan, lindungi aku. Dia pasti akan mengamuk kalau tahu aku yang mengatai dia tadi pagi. Tidak! Dia pasti tidak ingat." Sophia berbesar hati meski hal itu tidak mungki. "Ya Tuhan, aku tidak mau dipecat. Aku masih membutuhkan pekerjaan ini."


Dengan gugup Sophia berjalan mendekati meja sekertaris. "Permisi. Selamat pagi," sapanya dengan suara yang super pelan. Ia sendiri terkejut dengan suaranya. Ketakutan dalam dirinya rasa-rasanya membuat Sophia tak bisa mengeluarkan suara.


"Selamat pagi," sahut si sekertaris. Ia berdiri dan memborong semua tubuh Sophia. "Ada perlu apa, Bu?"


Sophia balas memborong wajah si sekertaris dengan senyum lembutnya. Karena berbeda gedung, ini kali pertama ia bertemu dengan sekertaris Aaron yang entah sudah keberapa periode. "Pak Aaron ada?" Ia menunjukan map biru yang ada di tangannya. "Kediv bagian keuangan memerlukan tanda tangan Pak Aaron, jadi..."


"Oh, iya," sergah si sekertaris. "Tadi beliau sudah menghubungi saya. Tunggu sebentar ya, aku akan menghubungi Pak Aaron dulu."


Dilihatnya gadis yang lebih muda darinya meraih gagang interkom. "Tunggu!" Sekertaris itu menoleh. "Boleh aku minta tolong?" Gadis itu menatapnya dengan dua alis terangkat. "Aku kebelet. Boleh Anda saja yang mengantarkan file ini ke Pak Aaron. Aku akan mengambilnya nanti se kembalinya aku dari toilet."


"Oh, dengan senang hati, Bu."


Sophia tersenyum lebar. "Terima kasih. Oh iya, toiletnya di mana, ya?"


"Di lantai empat, Bu."


"Oke. Aku akan kembali lagi untuk mengambil file-nya." Sophia pun berlalu. Bukannya ke lantai empat, ia justru berdiri di balik tembok dan mengintip si sekertaris yang kini sudah masuk ke dalam ruangan yang bertuliskan Aaron Jerr Glassio sambil membawa map yang dibawanya tadi. "Tuhan, terima kasih banyak."


Saking leganya, Sophia pun turun ke lantai empat untuk ke toilet. Kali ini ia benar-benar kebelet.


Sejurus kemudian ia kembali. Jika tadi dandanannya sedikit kacau karena naik turun tangga di G2, sekarang penampilannya sudah sangat rapi dengan senyum yang cemerlang.


Dilihatnya si sekertaris itu sudah duduk di kursinya dengan senyum manis saat menatapnya. "Maaf sudah merepotkan, Anda," katanya.


"Tidak apa-apa, Bu." Ia mengulurkan map itu ke tangan Sophia. "Eh, maaf, bu. Tapi itu belum ditanda tangani Pak Aaron."


"Belum?!" pekik Sophia dengan suara meninggi. Tapi cepat-cepat ia menutup mulutnya. "Kenapa belum ditanda tangani?" bisiknya kesal.


"Maaf, Bu, tapi Pak Aaron bilang padaku bahwa yang harus mengantarkan file ini adalah orangnya langsung. Aku sudah mengatakan alasannya, tapi beliau tidak mau menerima bantahan dan menyuruh Anda sendiri yang masuk ke dalam."


"Mampus aku!" katanya pelan.


"Hah? Apa, Bu?"


"Eh, tidak." Sophia terkekeh paksa. "Tidak apa-apa. Baiklah, aku akan ke dalam." Dengan kesal ia menyentakkan kakinya lalu mengetuk pintu.


Tok... Tok...


"Masuk!" Suara berat Aaron mengagetkan Sophia.


Dengan gemetar ia memegang handle pintu dan memanjatkan doa dalam hati agar Dewi Fortuna mendampinginya. Ia menarik napas. "Selamat pagi, Pak." Dilihatnya Aaron yang mengenakan setelan jas yang sama saat berjumpa dengannya pagi tadi.


Jika di jalan tadi lelaki itu begitu menjengkelkan, sekarang, di dalam ruangan itu Aaron justru sangat menarik dan super tampan. Sophia ternganga. Ia terpesona pada Aaron yang sedang berkutat dengan kertas-kertas di atas meja. Ya Tuhan, dia ini manusia atau dewa? "Tidak!" pekiknya dalam hati. "Dia itu bukan dewa. Tapi Bos brengsek!"


"Pagi," sahut Aaron yang masih sibuk menanda tangani lembar-lembar yang ada di hadapannya. "Apa Anda Tim Accounting dari G2?" tanya Fazio yang masih menunduk.


"I-iya, Pak." Sophia maju beberapa langkah dan berdiri tepat di hadapan Aaron. Tangannya gemetar dan berkeringat. Dalam hati ia berdoa semoga kepala Aaron selamanya akan seperti itu.


"Lain kali kau ke toilet dulu baru datang ke sini. Sekertarisku banyak pekerjaan. Jadi jangan kau menambah beban dengan menyuruhnya menggantikan pekerjaanmu. Siapa namamu?"


Pertanyaan Aaron mengejutkan Sophia. "Maafkan aku, Pak. Tadi aku..."


"Sudahlah. Mana file yang harus ku tanda tangan." Meski tetap fokus pada lembar-lembar di hadapannya, Aaron mengulurkan sebelah tangan untuk meminta map yang dipegang Sophia.


Dalam hati Sophia terus berdoa agar situasi ini akan berlanjut sampai penandatanganan selesai. Kalau perlu sampai ia keluar Aaron tidak akan melihatnya.


Aaron pun membuka map yang diberikan Sophia. Sebelum menandatanganinya, lelaki itu membaca sekilas tulisan-tulisan yang tertera di atas kertas lalu mulai menggerakkan bolpoinnya untuk menanda tangani.


Sophia yang melihatnya pun tersepona. "Ya Tuhan, kenapa engkau menciptakan manusia setampan ini memiliki sikap yang brengsek dan super nyebelin?"


"Oke, Miss." Perkataan Aaron mengejutkan Sophia. "Aku banyak pekerjaan. Kau rapikan saja sendiri kertas-kertas ini."


Sophia kesal. Dilihatnya kertas-kertas itu berhamburan. "Dih, tampan-tampan kok sombong?!" katanya dalam hati. Setelah merapikannya kembali ke dalam map, Sophia pun berpamitan. "Baik, Pak, saya permisi dulu. Terima kasih."


"Hmm."


Sophia pun berbalik membelakangi Aaron. Ia membuang napas panjang. Dalam hati ia sangat bersyukur karena ternyata Dewi Fortuna bersamanya. Dipegangnya handle pintu lalu keluar.


"Tunggu!" teriak Aaron.


Tubuh Sophia mengejang. Pintunya sudah terbuka, kakinya bahkan sudah menginjak ke luar area. Pelan-pelan ia mengalihkan pandangan ke arah Aaron.


"Syukurlah," katanya saat melihat Aaron masih menunduk. Perlahan ia menutup kembali pintu itu lalu berkata, "Ya, ada apa, Pak?"


"Namamu siapa? Kau belum menyebutkan namamu."


Dasar laki-laki brengsek! Apa sepenting itukah nama wanita bagi dirinya? "Namaku..."


Drtt... Drttt...


Ponsel Aaron bergetar. Sophia yang ikut mendengarnya langsung bersorak dalam hati. Dilihatnya Aaron menghentikan aktivitasnya dan meraih benda portable itu.


Tak ingin ada seorang pun mendengar percakapannya, Aaron berkata, "Pergilah," lalu menyambungkan panggilannya kemudian berdiri mendekati jendela. Mendengar pintu tertutup dari luar, saat itulah Aaron menghadap ke arah pintu itu dengan tatapan kosong.


"Ya, halo?" sapanya dengan suara berat lalu menoleh memandangi pemandangan kota.


"Mr. Jerr, aku sudah berhasil melakukannya." Suara wanita terdengar dari seberang telepon.


"Bagus. Kau tinggal menunggu reaksi obatnya. Pokoknya setiap kali dia makan atau minum, kau harus memberikannya pil itu."


"Iya, Mr. Jerr. Omong-omong, sampai berapa lama kita akan menunggu? Aku takut anaknya akan menuntutku dan mengambil alih semuanya."


"Kau tidak usah khawatir, Nyonya. Begitu pil itu bereaksi, kau harus mendesaknya agar menjual sahamnya. Aku yang akan membeli semua saham itu dan mengalihkan semuanya atas namaku sehingga anaknya tidak punya hak untuk menuntut."


"Baiklah. Aku aku akan mengabarimu nanti."


"Ya, kabari aku jika ada perubahan. Semakin banyak dosis yang kau berikan akan semakin baik."


"Baik, Mr. Jerr."


Tut... Tut...


Aaron memutuskan panggilannya. Tatapannya tajam seolah-olah menusuk siapa saja yang akan dilihatnya. "Kau akan merasakan akibatnya, Mr. Davis. Kau harus merasakannya!"


Continued____

Mr. Davis? Itu kan nama belakang Sophia? Apa hubungannya dengan Aaron, ya? Penasaran? Simak terus ceritanya, ya. *) Jangan lupa untuk follow, vote dan review ya, Sobat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status