Share

Bab 6. Dokumen Penting.

Di dalam kamar sambil memasukan semua pakaiannya ke dalam koper, air mata Sophia mengalir terus tanpa henti. Kata-kata John yang membentaknya di hadapan ibu dan saudara tirinya membuat Sophia malu, apalagi sampai menamparnya. Tega benar John melakukan itu padanya.

Mata Shopia menangkap kotak merah yang masih dililit pita berwarna kuning keemasan. Dengan hati sedih ia mendudukan dirinya di atas ranjang lalu mengambil dan memeluk kotak itu begitu erat. "Mom... hikss.... aku merindukanmu, Mom.... aku ingin ikut bersamamu, Mom....hikss." Air mata Sophia semakin merebak. "Kenapa Mom pergi tidak mengajakku, Mom? Aku tidak mau tinggal di sini. Daddy sama kejamnya dengan Betty. Kenapa dia begitu padaku, Mom? Apa aku ini... hiks... apa aku bukan anak kandungnya?"

Tok... Tok...

Bunyi ketukan pintu mengagetkan Sophia. Dengan cepat ia menyembunyikan kotak itu ke dalam koper. "Siapa?"

"Ini aku."

Betty. Dialah orang di balik pintu itu. "Mau apa kau ke sini?" ketusnya.

"Buka dulu pintunya, Sophia. Mami ingin bicara."

"Mami!" ulangnya. "Dasar manusia bermuka dua!" katanya pelan. Aku tidak mau. Pergi kau dari sini!"

"Sayang, kumohon buka dulu pintunya."

Mendengar Betty menyebutkan "Sayang" membuat hati Sophia terkejut. Dalam hati ia bertanya-tanya, kenapa hari ini baik Angelica maupun Betty bisa bersikap baik padanya. Apa jangan-jangan mereka seperti itu karena kasihan dia akan diusir?

Selama lima belas tahun belakang mereka tinggal bersama, Betty dan Angelica memang tidak pernah melukainya, mereka hanya selalu memberikan hujatan atau penghinaan sebagai bukti bahwa sebenarnya mereka iri padanya. Tapi sekarang keduanya secara bersamaan tiba-tiba bersikap baik. Kenapa?

Tak ingin dikatakan anak kurangajar lagi, Sophia bangkit dari kasur sambil menghapus air mata. Ia berjalan mendekati pintu lalu membukanya pelan-pelan.

Clek!

"Ada apa? Apa yang ingin kau bicarakan?"

"Apa kau tidak ingin mengijinkan aku duduk?"

"Tidak. Katakan saja apa yang ingin kau sampaikan."

Sialan! Masih untung aku berbaik hati padamu. Kalau bukan karena perusahan brengsek ayahmu itu, aku tak akan pernah mau bersikap ramah pada gadis kurangajar sepertimu. "Eh, begini, Sophia. Ada dua hal yang ingin kusampaikan padamu. Pe..."

"Katakan saja secepatnya," sergahnya.

Betty menarik napas panjang. Ia menahan kesal karena sikap Sophia yang tak ramah. "Seharusnya kau tidak usah menggubris sikap ayahmu tadi. Mungkin dia sedang banyak masalah di kantor sampai-sampai emosinya tadi meluap." Dilihatnya barang-barang Sophia berhamburan di atas kasur. "Kau sungguh-sungguh akan pergi?"

Sophia menegakkan kepala menatap Betty. "Kepergianku dari sini bukan karena benar atau tidaknya aku diusir Daddy. Aku memang ingin keluar dari rumah ini. Dan perkataan Daddy tadi itu benar, semakin cepat aku keluar dari rumah ini semakin baik, walaupun sebenarnya ini rumah Mommy."

Perkataan Sophia yang membawa topik rumah membuat Betty bersorak dalam hati. Alasan dan tujuan yang sebenarnya ia mengunjungi Sophia adalah itu. Selama ini dia selalu mencari tahu tentang informasi rumah yang tempati mereka saat ini, tapi John tidak pernah memberitahukannya. Dia juga tahu kalau suaminya itu adalah pria serakah yang hanya mau menikah dengan wanita kaya untuk menghidupi dirinya. Betty tahu sebenarnya perusahaan itu milik Chathy, bukan John. Dan jika John saja berhasil merebut kekayaan Cathy, kenapa dia tidak? Toh laki-laki itu sebentar lagi akan mati.

Hanya saja sebelum itu terjadi, Betty harus mengorek semua informasi mengenai keberadaan sertifikat rumah itu yang selama ini disembunyikan John. Rumah itu besar. Dan jika dilihat dari desain dan modelnya, rumah itu pasti memakan biaya jutaan dolar. Betty yakin kalau rumah itu dijual, ia bisa kaya raya.

Namun, setiap kali ia menanyakan soal itu, John selalu mengatakan bahwa, "Aku sendiri tidak tahu itu di mana. Mungkin Cathy yang menyimpannya. Tapi aku sendiri tidak tahu."

Apakah dokumen-dokumen itu ada pada wanita ini? "Itulah alasan kedua kenapa aku menemuimu, Sophia." Betty memasang wajah sedih. Ia menunduk sesaat sebelum akhirnya kembali menatap Sophia. "Sebenarnya ini bukan urusanku, tapi aku disuruh ayahmu untuk meminta dokumen-dokumen penting yang ada padamu. Eh, aku tidak mengerti apa yang dikatakan ayahmu. Hanya saja setelah makan tadi, dia bilang kalau kau ingin pergi dari rumah ini, kau harus meninggalkan dokumen-dokumen itu."

Sophia terkejut. Ingatannya kembali ke lima belas tahun lalu saat dirinya dipergoki Betty karena hendak membuka kotak yang diberikan ibunya sebagai hadiah. Saat itu Cathy menghambur ke kamar Sophia. Ia memeluk bocah itu lalu menggendongnya ke atas kasur. Setelah mendudukan Sophia di atas ranjang yang empuk dan besar itu, Cathy mengulurkan sebelah tangannya yang terdapat map berwarna biru. "Sayangku, ini ada beberapa lembar kertas di dalam. Ini adalah dokumen penting yang harus kau simpan."

Sophia menatap bingung. Hari ini ibunya itu sudah banyak menguras otaknya. "Dokumen? Apa itu, Mom?"

Cathy tersenyum. "Di dalam map ini ada surat-surat dan sertifikat  rumah yang mengatasnamakan nama mami. Mami ingin kau menyimpannya baik-baik dan jangan tunjukkan map ini pada siapapun kecuali pada suamimu nanti."

Alis Sophia berkerut. "Kalau Daddy?"

"Jangan, Sayang! Mami mohon jangan pernah kau tunjukan dokumen ini padanya. Pokoknya kau harus menuruti perkataan mami. Jangan pernah menunjukan map ini pada siapa pun kecuali pada suamimu nanti kalau kau sudah menikah. Dan ingat, Sophia, jangan pernah berpacaran sebelum kau berusia 24 tahun."

"Dokumen apa itu, Sophia?" Suara Betty menyadarkan Sophia dari lamunannya.

Matanya terbelalak. "Dokumen? Dokumen itu!" Sophia bergerak secepat kilat. Ia menghambur keluar tanpa memperdulikan keberadaan Betty.

Wanita itu terpekik saat tubuh Sophia menyambarnya. Dilihatnya Sophia berlari kecil menaiki tangga. Penasaran akan hal itu, Betty mengikutinya.

Tok... Tok...

"Angelica? Buka pintunya!"

Tok... Tok...

"Angelica! Ini aku Sophia. Buka pintunya."

Clek!

Tanpa berkata apa-apa Sophia langsung menghambur ke kamar besar itu dan mendorong Angelica. "Hei! Mau apa kau..." Angelica menghentikan perkataannya begitu tangan seseorang menahannya. Ia menoleh. "Mami?"

"Biarkan dia," bisik Betty. Dilihatnya Sophia sedang mengotak-atik isi laci yang letaknya di samping ranjang.

Laci itu adalah tempat untuk Sophia menyimpan semua benda-bendanya saat masih menghuni kamar itu. Namun saat pindah ke kamar bawah, tindakan Betty waktu itu sedikit memaksa sehingga Sophia lupa bahwa ia masih menyimpan barang penting di dalam laci itu. Andai saja Betty tidak menyebutkan dokumen itu, ia pasti sudah pergi dari rumah ini tanpa membawa map itu.

"Apa yang kau cari, Sophia?" tanya Angelica. Laci itu sudah kosong waktu aku menempati kamar ini."

"Kunci? Apa kau menemukan kunci di dalam laci ini?"

"Kunci?" ulang Angelica. Ia mencoba mengingat-ngingat. "Oh, iya!" Ia menghambur ke nakas yang berada di samping lemari. Dibukanya laci dan mengambil sebuah kunci berwarna putih. "Kunci ini, ya?" Ia berjalan mendekati Sophia lalu memberikan kuncinya.

Mata Sophia cemerlang dan nanar. Ia mengambil kunci itu lalu bergerak menuju lemari pakaian. Angelica menatap bingung. Ia mendekati Betty yang sedang berdiri di ambang pintu. "Apa yang dia cari, Mam? Kenapa Mami mencegahku?"

"Dia sedang mencari sesuatu yang penting di kamar ini," bisiknya pelan. Matanya terus menatap Sophia.

"Sesuatu yang penting? Apa?"

"Kau akan tahu nanti." Betty menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Ibu dan anak itu kini memusatkan tatapannya ke arah Sophia. Mereka melihat gadis itu sedang mengeluarkan beberapa buah map dengan warna yang sama. Sambil beringsut ke lantai, Sophia tampak serius membuka semua map-map itu satu persatu untuk memeriksanya. Merasa semuanya lengkap dan benar, Sophia akhirnya mengunci lagi laci itu kemudian berdiri sambil memeluk semua map yang dikeluarkannya tadi.

"Apa kau menemukannya, Sophia?" Wajah Betty ceria. Dilihatnya Sophia sedang berjalan mendekati mereka.

Namun bukannya menjawab, Sophia malah melewati mereka dan keluar dari kamar.

"Sophia!" panggil Betty. Gadis itu menghentikan langkahnya sambil mengeratkan map itu di dadanya. "Mana dokumennya? Kau sudah menemukan dokumen itu, bukan?"

Continued____

Jangan Sophia. Jangan kau berikan map itu padanya. Dia pembohong.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status