Share

Bab 9. Tujuan Aaron Jerr Glassio.

"Kau yakin akan tinggal di sini?" tanya Hanna.

Dua wanita cantik itu kini sedang berada di apartemen yang letaknya hanya berjarak lima belas meter dari area perkatoran dan salah satunya adalah AJESIO Group. Apartemen berlantai dua puluh itu juga letaknya tak jauh dari apartemen Hanna. Jika dihitung-hitung, jarak dari apartemen Hanna ke AJESIO Group adalah dua puluh lima meter, sementara apartemen yang akan ditempati Sophia ini jaraknya lebih dekat dengan AJESIO Group.

Sebenarnya Sophia ingin tinggal di apartemen yang sama dengan Hanna, namun fasilitas dan kamar yang tidak sesuai keinginan membuat Sophia memilih alternatif lain. Dan jika seandainya ia tak menemukan apartemen yang lebih dekat jaraknya dari kantor, mau tidak mau Sophia harus menempati apartemen yang baginya sempit itu.

"Tidak masalah, Han. Lagi pula di sini kan jaraknya lebih dekat." Sophia sedang mengatur semua barang-barangnya. Setelah menyetujui harga dengan sang pemilik, Sophia langsung bergegas mengambil barang bawaannya di apartemen Hanna. Dan kini, mereka berdua pun sedang bersenda gurau sambil merapikan pakaian-pakaian yang akan ditempatkan di lemari.

"Aku harus membereskan semuanya hari ini biar besok aku bisa masuk kantor, karena kalau tidak, aku pasti akan dipecat," kata Sophia sambil mengatur pakaian di dalam lemari yang sudah dilipatkan Hanna.

Gadis itu tertawa. "Kejam sekali sih atasanmu yang rela memecat karyawannya hanya karena tidak masuk sehari. Tapi memang aku pernah mendengar, kalau peraturan di AJESIO Group itu sangatlah ketat."

Sophia membulatkan mata. "Berita itu benar. Tapi aku pikir mungkin karena pemiliknya yang kejam dan brengsek, sampai-sampai dia membuat aturan seperti itu. Tahu, tidak? Bahkan semua orang di kantor itu dilarang jatuh cinta. Dan kalau sampai itu terjadi, siap-siap menerima surat cinta dari sang atasan."

Hanna terkikik. "Benarkah? Tapi sepertinya kau benci sekali atasanmu itu, Sophia."

"Entalah, yang pasti sebelum dia mengotori bajuku dengan cipratan air jalan, aku memang sudah membencinya. Padahal aku belum bertemu dengannya. Tapi setelah bertemu, yang ada aku semakin membencinya. Sikap angkuh yang dia miliki membuatku tidak suka."

"Benarkah?" kata Hanna. "Tapi kau termasuk orang yang beruntung lho," kata Hanna sambil menghentikan gerakan tangannya. "Coba kau pikir, saat kau memasuka permohonan pekerjaan di beberapa instansi, respon yang paling cepat dan pertama adalah AJESIO Group. Padahal kalau dipikir-pikir, usia kita pasti sedikit kemungkinan akan langsung diterima, tapi kamu... Jarang lho ada yang terjadi seperti itu."

"Mungkin mereka menerimaku, karena mereka pikir otakku masih fresh setelah kuliah." Mereka terbahak. "Ya, aku yakin pasti karena itu," kata Sophia. "Karena, masa baru sebulan aku di bagian admin, Mr. Han langsung menarikku menjadi asistennya. Kan gila?"

Hanna tersenyum. "Itu bukan gila, Sophia, tapi karena kau beruntung."

"Mungkin," kata Sophia sambil mengangkat bahu. "Tapi itu juga salah satu alasan kenapa aku tidak mau mengotori absen dan selalu bekerja keras di perusahan itu. Entah kenapa aku merasakan bahwa masa depanku ada di sana. Sehari saja tidak masuk kantor rasanya aku seperti melalaikan tanggung jawabku. Seandainya saja daddy tidak mengusirku semalam, aku pasti tidak akan bolos hari ini. Aku memang berencana akan pindah ke apartemen baru saat weekend agar tidak mengganggu jam kerjaku, tapi apa daya, dad bilang lebih cepat pindah lebih bagus."

"Sudahlah. Ayahmu ada benarnya. Lebih cepat kau keluar dari rumah itu lebih baik, Sophia. Aku khawatir ibu dan saudara tirimu akan mencelakkanmu. Meski mereka tidak pernah menyakitimu, tapi kau kan tidak tahu apa rencana mereka, apalagi kau bilang ibu tirimu meminta sertifikat rumah itu. Aku rasa itu hanya alasannya saja agar bisa mereburnya darimu. Jika pertama saja dia bisa merayu ayahmu menjual toko ibunya, mungkin kedua dia akan membujum ayahmu untuk menjual rumah itu."

"Entalah, Han. Yang jelas aku tidak peduli lagi dengan perusahan itu. Biarkan saja mereka menikmati uang itu. Tapi suatu saat nanti, aku harus mengeluarkan mereka dari rumah itu. Rumah itu milim mom, bukan dad atau pun Betty dan Angelica."

"Itu harus, Sophia. Rumah itu milikmu dan kau harus memperjuangkannya."

"Itu pasti." Sophia tesenyum lembut lalu meraih tangan Hanna dan membawanya ke dalam genggaman. "Sekali lagi terima kasih, Han. Aku harap kita tak akan terpisahkan untuk selamanya."

"Itu tidak mungkin, Sophia. Toh suatu saat kau harus menikah, begitu juga aku. Jadi kita pasti akan terpisah."

"Makanya jangan cari jodoh yang jauh!" Sophia tertawa. "Tapi meskipun sudah menikah, kita jangan sampai terpisahkan oleh jarak, ya?"

"Itu pasti." Mereka berpelukan sesaat. "Ya sudah, sekarang ayo kita bereskan semuanya. Aku sudah lapar."

Di sisi lain.

Di sebuah ruangan kantor dengan meja kerja yang di atasnya ada beberapa berkas dengan pemandangan Kota New York yang dipenuhi gedung-gedung pencakar langit musim panas yang cerah, sosok Aaron sedang berkutat dengan pekerjaannya. Ia terlihat luar biasa tampan dengan wajah datar, rahang kokoh dan tegas. Meski terlihat angkuh, tapi hal itu justru membuat wajah Aaron semakin berkharisma.

Drtt... Drtt...

Dering ponsel membuat Aaron mengalihkan pikirannya ke benda pipih yang letaknya tepat di sebelah kanan. Tak melihat siapa yang memanggil, Aaron langsung meraih ponsel itu lalu menatap layar. Dilihatnya nama Betty Davis sebagai penelepon. Alis Aaron langsung berkerut.

"Ada apa?" tanya Aaron dengan wajah dan suara yang sama-sama datar.

"Selamat pagi, Mr. Jerr. Maaf aku menganggumu. Tapi ini penting. Aku ingin meminta bantuanmu."

"Hmmm, katakan saja." Mata Aaron kembali menatap berkas-berkas di atas mejanya.

"Semalam Sophia bertengkar dengan ayahnya dan dia kabur dari rumah. Sebenarnya yang aku khawatirkan bukan tentang Sophia. Aku bahkan tak peduli padanya. Dan bersyukur bahwa bukan aku yang mengusirnya. Kepergiannya dari rumah itu berarti akan lebih mudah bagiku untuk melenyapkan ayahnya. Tapi masalahnya dia kabur sambil membawa sertifikat rumah ini, jadi aku ingin meminta bantuan Anda untuk mencari tahu di mana dia tinggal agar aku bisa mengambil kembali sertifikat itu."

Kegiatan Aaron yang tadi begitu mengasyikkan kini terhenti saat mendengar perjelasan yang dilontarkan Betty dari seberang telepon. "Bisakah kau jelaskan padaku apa alasan kau ingin merebut sertifikat itu, Mrs. Davis?"

"Aku ingin merebutnya dan menjualnya pada Anda, Mr jerr. Setelah aku pikir-pikir, kalau seandainya aku menggelapkan penjualan perusahan itu, diriku dan Angelica pasti akan terancam. Jadi aku mengubah strategi agar diriku dan Angelica tidak terlibat dalam masalah ini. Aku akan memberikan alasan pada Sophia nanti bahwa ayahnya terlilit hutang dan mau tidak mau perusahan dan rumah itu akan dijual kepada Anda. Dengan begitu, aku rasa mau tidak mau Sophia pun harus menyetujuinya."

"Bagus. Itu ide yang sangat brilian, Mrs. Davis. Tapi hal yang paling utama bagimu adalah melenyapkan dulu ayahnya Sophia. Soal wanita itu Anda tidak perlu khawatir. Aku sendiri yang akan menanganinya. Toh dia sekarang sedang bekerja di perusahanku. Dan itu akan semakin gampang bagiku untuk memantaunya."

"Baik, Mr. Jerr. Terima kasih banyak."

"Ngomong-ngomong, bagaimana perkembangan pria brengsek itu? Apa kau selalu memberikan obatnya sesuai dengan dosis yang kuperintahkan?"

"Iya, Mr. Jerr, aku selalu memberikan dosis yang sesuai dengan apa yang Anda perintahkan."

"Bagus. Kita tinggal menunggu saja berapa hari lagi sampai obatnya benar-benar bereaksi."

Tut... Tut...

Aaron memutuskan panggilannya. Ia berdecak dengan seringaian sinis. Tatapannya tajam ke depan. "John Davis, rasanya aku tak sabar lagi ingin melihatmu menderita."

Tok... Tok...

Bunyi ketukan pintu mengalihkan pandangan Aaron. "Masuk."

Sosok wanita cantik dan seksi muncul dari balik pintu. "Permisi, Pak. Ini data tentang Bu Sophia Davis yang Anda minta," kata wanita yang ternyata adalah sekertaris Aaron.

Aaron pun dengan cepat berdiri dan meraih beberapa lembar kertas putih dari tangan sekertarisnya. "Terima kasih. Sekarang kau boleh keluar."

"Baik, Pak."

Aaron pun duduk kembali setelah mengotak-atik ponselnya. Sambil membaca lembar per lembar kertas yang menunjukan data dan foto tentang Sophia Davis, Aaron menempelkan ponsel itu di telinganya.

"Halo, Bos?" sapa seorang pria dari balik telepon.

"Matt, aku ingin kau melacak di mana Sophia tinggal. Katanya dia kabur dari rumah semalam. Aku tunggu 20 menit dari sekarang."

"Baik, Bos!"

Tut... Tut...

Aaron memutuskan panggilannya. Diletakkan ponsel itu di atas meja lalu menyandarkan punggungnya di kursi hitam yang empuk. Sambil menatap foto Sophia. "Sophia Davis," gumamnya seraya memborong wajah gadis itu di dalam foto. Matanya menatap lembut. Ekspresi datar yang selalu muncul di wajahnya kini berubah. Ia tersenyum lembut untuk pertama kalinya. "Aku tak meyangka, ternyata pertemuan pertama kita sangat tidak menyenangkan."

Sebenarnya Aaron sudah sejak lama mengenali Sophia. Ia sudah mengincar gadis itu sejak belasan tahun lalu, saat tahu dia adalah anak John Davis. Aaron juga tahu semua tentang Sophia, baik siapa ibunya, maupun berapa tanggal lahirnya. Bahkan di mana dan kapan gadis itu melamarkan diri untuk bergabung di AJESIO Group. Aaronlah yang mengirim e***l langsung kepada Sophia bahwa dirinya diterima di AJESIO Group. Hal itu bukan keberuntungan, tapi Aaron memang sengaja menerima Sophia di perusahannya agar lelaki itu bisa lebih muda untuk melenyapkan John Davis yang merupakan target kriminalnya dan memanfaatkan Sophia untuk menjalankan misinya.

Dan saat Mr. Han menyebutkan nama gadis waktu di G2 tadi, kembalinya dari sana Aaron langsung menyuruh sekertarisnya untuk mencari semua data-data tentang Sophia.

"Maafkan aku, Sophia, tapi ini adalah langkah yang tepat untuk melaksanakan misiku. Kau harus terlibat. Kau harus menyaksikan bagaimana menderitanya ibu dan kakaku saat ayahmu menelantarkan mereka. Kau harus melihatnya, kau harus melihatnya, Sophia." Tatapannya berubah tajam. Tangannya mengepal erat. "Kau harus bisa menyaksikan dan melihat penderitaan mereka sebagaimana aku akan membuat ayahmu menderita."

Drttt... Drtt

Dering ponsel membuyarkan pikiran dan emosi Aaron. Diraihnya ponsel dari atas meja dan menghubungkan panggilannya.

"Bos! Nona Sophia tinggal di Menk'S Apartemen. Jaraknya hanya 15 meter dari AJESIO Group. Dan sekarang Nona Sophia sedang makan siang di cafe dekat apartemen bersama temannya."

"Bagus. Pantau terus dia. Beritahu aku jika ada sesuatu yang mencurigakan."

"Baik, Bos!"

Tut... Tut...

Aaron memutuskan panggilan. Ia kembali manatap wajah Sophia yang kini sedang tersenyum lembut padanya. Sambil menyeringai ia berkata, "Ayo kita lihat sama-sama bagaimana ayahmu menderita, Sophia."

Continued___

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status