Share

3. Luka

Hubunganku dengan Mas Rama memang penuh lika-liku sejak awal. Perjuangan mendapatkan restu dari kedua orang tuaku adalah halangan yang paling sulit di antara yang lain.

Ayah dan Ibu menentang sebab saat itu calon suamiku itu belum memiliki pekerjaan tetap. Meskipun begitu aku tetap memberikan support padanya dan terus berusaha membujuk kedua orang tuaku untuk memberikan restu pada kami.

Kedua orang tua dari Mas Rama sudah seperti orang tuaku sendiri. Mereka begitu menyayangiku layaknya anaknya sendiri bahkan aku sangat menyayangi mereka seperti orang tuaku juga.

Akhirnya setelah sekian lama berjuang, kami mendapatkan restu dari orang tuaku dan kebetulan Mas Rama mendapatkan pekerjaan tetap sebagai karyawan kantor di salah satu perusahaan ternama. 

Kami menikah dua tahun yang lalu. Mas Rama memboyongku ke sebuah rumah kontrakan sederhana. Tapi aku tak pernah mempermasalahkan itu. Segala kelebihan dan kekurangannya aku terima lapang dada tanpa mengungkitnya sedikitpun.

Sejak awal menikah aku memutar otak untuk membantu perekonomian keluarga kecil kami. Dengan modal yang diberikan oleh Ayah, aku berjualan online berbagai barang dan makanan. Memang aku suka memasak bahkan berniat untuk membangun sebuah usaha catering.

Usaha memang tak pernah menghianati hasil. Lambat laun perekonomian kami kian meningkat. Setelah mengumpulkan uang hingga cukup untuk membangun catering dan memperbanyak barang daganganku, usaha catering yang awalnya kecil bertambah besar dan kini aku mempunyai lima orang karyawan yang membantuku.

Perkembangan online shop semakin meningkat hingga akhirnya tabungan kami cukup untuk membeli sebuah rumah sederhana. Awalnya Mas Rama menolak uang tabungan dariku, namun aku terus memaksanya agar mau menerima uang itu untuk membeli sepetak rumah.

Sebuah rumah penuh kenangan yang selalu menjadi tempat paling nyaman untuk pulang. Kami hidup bahagia bahkan tak pernah terbayangkan olehku akan seperti ini akhirnya. 

šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼šŸŒ¼

Hari ini aku sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Mas Rama datang menjemputku seraya melunasi biaya administrasi. Beberapa kali dia berusaha untuk mengajakku berbicara, namun aku sangat enggan untuk menjawabnya. Bahkan aku tak sudi untuk melihat wajahnya.

Mas Rama memapahku masuk ke dalam mobil. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Hening. Tak ada yang berbicara baik aku maupun dia. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku lebih memilih memalingkan wajah menatap jalanan.

Tak berselang lama, hanya membutuhkan waktu 30 menit saja. Kami sudah sampai di depan rumah. Aku masuk ke dalam rumah dibantu oleh Mas Rama. Sejujurnya aku enggan, namun apa boleh buat.

Aku duduk di ruang tamu. Rasanya enggan masuk ke dalam kamar. Kamar penuh kenangan bersamanya. Aku enggan teringat masa-masa itu. Aku enggan mencium bau tubuhnya yang khas.

Dia duduk bersebelahan denganku namun berjarak sedikit jauh. Dia menatapku lekat, kulihat beberapa kali dia ingin mengajakku bicara, namun sepertinya ia merasa ragu.

"Sayang," panggilnya lirih.

Aku memilih tak menanggapinya. Tiba-tiba dia meraih jemariku dan menciumnya beberapa kali.

"Maafkan aku, Qina ā€¦ maaf," ucapnya masih menciumi jemariku.

Ada rasa sesak di dalam dada melihatnya seperti ini. Namun rasa muak dan marah lebih kurasa. Pedih rasanya.

"Maafkan aku sudah membuat calon anak kita tiada," ucapnya lagi.

Aku tersenyum sekilas lalu melepaskan genggaman tanganku darinya, "Anakku sudah tenang di sana. Justru aku senang, sebab setidaknya ... ia tak harus memiliki seorang ayah pengecut sepertimu,"

Mas Rama terkejut mendengar ucapanku. Matanya membelalak tak percaya atas apa yang baru ia dengar. Mungkin ucapanku menyakitinya, tapi perbuatan yang telah dia lakukan jauh lebih menyakitkan dan sulit untuk aku maafkan.

"Apa maksudmu, Sayang? Kenapa kamu berbicara seperti itu?"

Aku tersenyum, "Kamu tahu betul jawabannya."

Lagi-lagi dia menunduk menatap lantai. Entah karena sedang mencari jawaban atas ucapanku atau memang ia menyesali perbuatannya.

"Kamu tahu 'kan, Dokter mengatakan jika ā€¦ jika kamu akan sulit memiliki keturunan lagi," lugasnya tanpa rasa bersalah.

"Sebaiknya kamu mengijinkan aku untuk menikahi Ayu." lanjutnya.

Aku menatapnya penuh amarah. Luka yang baru saja ia torehkan bahkan belum sembuh tetapi dia malah kembali melukaiku lagi seraya menampar kenyataan bahwa kini aku memiliki sebuah kekurangan sebagai istri.

"Jika saja kamu tak melukaiku, jika kamu tak menendang perutku. Calon anak kita pasti masih hidup dan aku ā€¦ aku masih bisa memberimu keturunan." ucapku menahan tangis.

"Atau memang ini rencana kalian? Agar kalian bisa menikah? Iya?!" makian dan tangisan keluar dari mulutku.

Mas Rama menggelengkan kepala. "Tidak, aku tak sejahat itu! Kamu jangan terus menuduh Ayu, dia tak bersalah." tukasnya.

"Lalu kenapa kamu sangat ingin menikahinya? Kenapa? Apa karena kamu bosan?!" selidikku.

"Seharusnya kamu sadar. Badanmu kini sudah tak cantik lagi! Bahkan kamu sudah jarang memoles diri padahal kamu belum mempunyai anak tapi badanmu sudah tak menggairahkan lagi,"

"Aku bosan, Qina ā€¦ bosan!" keluhnya lagi.

Sakit hatiku begitu mendengar penuturannya tadi. Apakah seburuk itu aku di pandangannya. Bosan? Semudah itukah rasa bosan lelaki hingga dia berpaling pada wanita lain?

Berat badan tidak naik drastis seperti wanita hamil umumnya. Hanya saja memang aku jarang memoles diri karena sejak hamil aku sangat tak suka mencium bau bedak. Entah kenapa rasanya selalu ingin muntah ketika menciumnya. Mungkin terdengar aneh. Tapi inilah yang aku rasa semenjak hamil.

"Bosan kamu bilang? Kenapa kamu tak menegurku agar merubah kebiasaanku? Kenapa kamu memilih untuk berkhianat, Mas?" Aku mulai tergugu.

"Aku ā€¦ aku merasa nyaman saat bersama dengan Ayu."

Brakk!

Tiba-tiba pintu rumahku terbuka. Seseorang masuk dengan langkah memburu. Dia adalah Ayahku. Wajah terlihat garang siap menerkam. Ayah meraih kerah baju Mas Rama.

"Jadi ini sifatmu yang sebenarnya, hah!" teriaknya masih meraih kerah baju Mas Rama.

Tangan Ayah mengepal kuat tanda siap melayangkan sebuah tinju. Mas Rama memejamkan mata, sudah pasti dia takut mendapatkan bogem mentah. Ayah memang jago bergulat sebab menekuni pencak silat.

Dari arah belakang, kulihat Ibu tergopoh menghampiri. "Jangan, Yah! Sudah ā€¦ sabar," 

Setelah itu Ibu menatapku lekat dan menghambur memelukku erat seraya tersedu dalam pelukan. Ya Tuhan. Rasanya hatiku semakin sesak melihat kemarahan Ayah dan kesedihan Ibu.

Air mataku ikut mengalir deras. Aku bahkan tak bisa menyembunyikan kesedihanku di hadapan mereka.

"Sabar, Nduk ā€¦ kamu harus legowo," ucap Ibu berusaha menenangkanku.

Dari balik pintu kulihat Papa dan  Mama mertuaku memandang dengan pandangan bingung. Apalagi keadaanku yang masih tergugu tersedu dalam dekapan Ibu.

Untungnya Ayah kini sudah mulai tenang meskipun masih tergambar jelas ada kemarahan dari raut wajahnya. Pandangan kami bertemu, bisa kulihat jelas di sorot matanya ada kesedihan yang mendalam. Meski tak menangis haru seperti Ibu, aku tahu jika Ayah juga sedih melihatku seperti ini.

Setelah agak tenang, Ibu menuntunku agar duduk. Mama dan Papa mertuaku pun sudah duduk berdampingan dengan Ayah. Sempat ku lirik sebentar ingin melihat raut muka Mas Rama, ternyata dia terlihat bingung seperti seorang pengecut.

Mama;ibu mertuaku, duduk bersebelahan denganku. Tangannya mengelus pundak seraya menepuknya perlahan. "Sudah, Nduk ā€¦ anak, maut dan jodoh adalah rezeki. Semua hanya titipan, jadi kamu harus legowo dan ikhlas menerimanya."

Aku mengangguk mengiyakan nasehatnya. Semua ucapannya benar. Apalagi jodoh, mungkinkah jodohku bukanlah Mas Rama?

"Besan, sudah jangan menangis terus. Aku tau bagaimana perasaanmu, aku juga merasa sangat kehilangan. Apalagi ini cucu pertama kita," Mama berucap seraya mengelus punggung tangan Ibu.

Bukannya tenang, Ibu malah menangis kembali. "Bagaimana aku tak sedih, Mbak Yu,"

"Luka anakku akibat kehilangan calon bayinya belum sembuh, tapi anakmu sudah menorehkan luka kembali." lanjut Ibu masih tergugu.

Mama terlihat bingung dengan ucapan Ibu, bisa kulihat ada raut cemas di wajah Mas Rama. Mungkin dia takut menghadapi murka ibu kandungnya.

"Lho, ada apa?" Mama bertanya.

"Rama, dia ā€¦ dia ingin menikah lagi," ujar Ibu.

Seketika pula mata Mama terbelalak lebar. Beliau kaget mendengar penuturan dari Ibu.

"Tidak, Ma ā€¦ itu-" tukas Mas Rama.

"Jangan bohong kamu! Aku mendengar sendiri ucapanmu. Bahkan kamu telah menghina putriku!" Suara baritone Ayah mengagetkanku.

"Apa?! Apa benar kamu ingin menikah lagi, Rama? Kenapa kamu setega ini pada Qina!" Mama terlihat begitu emosi.

"Ma, tolong dengarkan penjelasan Rama."

"Qina sekarang sudah tak bisa memberikan keturunan untuk Rama, kemungkinan dia hamil sangat kecil, Ma!" lanjutnya lagi.

Plak!

Sebuah tamparan dari Mama membekas di pipi Mas Rama. Nafas ibu mertuaku memburu menahan emosi. 

"Tega-teganya kamu memperlakukan istrimu seperti itu, hah!"

"Tak bisakah kamu menunda egomu? Qina baru saja kehilangan calon bayinya. Dan kamu ā€¦ kamu malah memikirkan pernikahan dengan wanita lain?!"

"Siapa wanita yang ingin kamu nikahi itu? Sudahkah dia pantas bersanding denganmu selain Qina?!" bentak Mama masih emosi.

Baru pertama kali kulihat Mama mertuaku ini begitu emosi. Awalnya kukira dia akan membela anaknya yang pengecut itu jika tahu aku sulit memberi keturunan. Ternyata Mama masih menghargaiku. Aku terharu bisa mendapatkan mertua sebaik Mama.

Mama balik menatapku, "Qina, jawab dengan jujur. Apa kamu tau siapa calon istri Rama?" 

Aku mengangguk mengiyakan, "Aku tau, Ma. Wanita itu adalah Ayu, sahabatku." lugas ku menahan tangis.

"Ayu? Ayu perempuan gempal itu?"

Aku mengangguk.

"Sejak kapan kamu dekat dengannya, Rama?" Mama berbalik menatap tajam suamiku.

Mas Rama terlihat kikuk mendapat tatapan tajam dari Mama, "Sejak tiga bulan lalu, Ma." 

Mama menatapku, "Qina, mama tak bisa lagi mempercayai Rama. Coba kamu jelaskan,"

Aku melirik ke arah Mas Rama, bisa kulihat pandangannya memohon. Aku tahu, pasti dia tak ingin aku memberitahukan hal sebenarnya pada kedua orang tuanya itu. Tapi aku tak akan tinggal, aku harus berkata jujur.

"Sebenarnya ā€¦," 

"Tidak! Ma, biar aku saja yang menjelaskan," Mas Rama memotong ucapanku.

Aku tidak tinggal diam. "Kenapa, Mas? Kamu takut jika kedua orang tuamu mengetahui hal yang sesungguhnya? Dimana nyalimu saat memaksaku agar mengizinkanmu menikah lagi?" Aku tersenyum sinis seraya memandanganya dengan angkuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status