Share

2. Pengkhianatan

"Maaf mas, aku menolak keinginanmu. Aku tak mengizinkan kamu menikah dengan Ayu." ucapku lugas.

Brakk!

Aku terkejut saat Ayu memukul meja dengan keras. Matanya menatapku dengan pandangan penuh amarah. Baru kali ini aku melihat sorot matanya sangat berbeda. Tak seperti biasanya dia seperti ini bahkan sampai memukul meja. Dia adalah perempuan lemah lembut yang tak mungkin berlaku kasar seperti ini.

"Berani-beraninya kamu menentang keinginan kami yang ingin menikah! Dasar perempuan tak tahu diri!" Ayu menudingku dengan hujatan yang begitu menyayat perasaanku.

Bukan lagi terkejut mendengar hujatan dari Ayu, tapi tak pernah menyangka jika dia bisa melontarkan kalimat menyakitkan itu padaku. Sejak kapan dia berubah sekasar ini? Atau memang aku ya tak tahu sifat sebenarnya? Sebenarnya siapa yang tak tahu diri? Aku atau dia?

"Ayu! Kenapa kamu berteriak seperti itu?!" Mas Rama berusaha menengahi perselisihan kami.

Ayu menunjuk dengan jari tangannya, "Lihatlah, Mas … dia tak mengizinkan cinta kita bersatu! Bagaimana mungkin aku tak marah?!"

Astaga! Jujur saja aku ingin tertawa mendengar ucapan menggelikan yang dilontarkan Ayu. Apakah dia tak tahu arti cinta yang sebenarnya? Jika dia tahu maka tak mungkin dia akan mencintai lelaki yang sudah beristri apalagi suami dari sahabatnya sendiri.

"Cinta? Cinta seperti apa yang merusak rumah tangga seseorang. Bahkan seseorang itu adalah sahabatnya sendiri?" Aku mengejeknya dengan senyum sinis.

"Cinta tak pernah salah!" Ayu membalas masih menatapku tajam.

"Dan perlu kamu tahu, aku tak pernah merusak rumah tanggamu, tapi kamu yang tak bisa menjaga keutuhan rumah tanggamu!" 

Kecewa mendera tiba-tiba saat aku mendengar ungkapan dari sahabatku itu. Atau memang benar aku yang salah? Aku yang tak bisa menjaga cinta dari suamiku. Tapi apa yang kurang dariku? Semua yang dia inginkan tak pernah kubantah sekalipun. Memang beberapa bulan ini perilaku Mas Rama sedikit berubah. Tak ada lagi peluk cium yang biasa ia lakukan padaku saat menjelang tidur. Dia lebih sibuk mengelus benda pipih miliknya sambil tersenyum. Tak pernah kusangka ini terjadi.

"Tapi kamu tak sepatutnya berbicara seperti itu pada Qina, kita sudah berjanji akan membicarakan ini baik-baik, Yu." Mas Rama berucap.

"Jadi kalian sudah merencanakan ini semua? Kalian berdua sadar menyakitiku?" ungkapku tak percaya.

Ayu tersenyum sinis padaku, "Kamu baru sadar? Atau memang kamu yang lalai menjaga suamimu?"

Seperti menyiram bensin dalam kobaran api, ucapan Ayu tadi menambah emosiku semakin meledak.

Kudorong dengan kasar tubuh gempal Ayu. "Pergi dari sini sekarang juga! Aku muak melihatmu perempuan licik!" ucapku nyalang sembari menudingnya dengan jari telunjuk.

Wanita licik itu terhuyung seraya menatapku tajam, lalu pandangannya beralih menatap mengiba pada suamiku.

"Lihatlah sendiri, Mas! Dia bahkan mengusirku," rengeknya seraya menyentuh lengan suamiku. Suaranya terdengar begitu menjijikan di telingaku.

Mas Rama memandangku tak percaya, "Apa kamu memang sekasar ini, Qina?"

"Aku kecewa padamu," ucapnya lagi.

Aku terperangah mendengar ucapan dari suamiku. Kecewa? Seharusnya aku yang lebih kecewa mengetahui penghianatan sebesar ini. Kenapa dia malah menyalahkanku dan membela wanita licik itu. Kasar? Lalu bagaimana dengan selingkuhannya itu? Sungguh sepasang kekasih yang menggelikan. 

"Kecewa? Kamu kecewa denganku, Mas? Harusnya aku yang kecewa padamu! Kamu yang telah menghianatiku! Dan kalian berdua … sama-sama busuk!" umpatku kasar.

Pandanganku beralih menatap tajam pada Ayu, entah kenapa aku ingin sekali memakinya. Tak ku hiraukan dia adalah sahabatku sejak kecil. Semenjak tahu jika ia berhubungan dengan suamiku, sungguh rasanya aku tak sudi sedikitpun.

"Aku sangat membenci orang yang memiliki dua wajah seperti dirimu. Sebab aku sendiri bingung, wajah mana yang harus kutampar terlebih dulu!" sinisku.

Ayu mengangkat tangannya, "Kurang ajar!"

Dengan cepat kutepis dengan kasar tangannya itu. Ayu terhuyung ke belakang namun tiba-tiba Mas Rama menangkap tubuhnya agar tak jatuh. Pandangan mereka bertemu, melekat cukup lama saling menatap.

Prok-prok!

Aku bertepuk tangan sambil tersenyum sinis melihat betapa mesranya sahabatku dan suamiku saat ini. Sungguh sial aku harus menyaksikan drama yang begitu memuakkan.

Mas Rama melepaskan pelukannya, ia berjalan mendekatiku dan ….

Plak!

Dia menamparku dengan cukup keras. Rasa sakit akan bekas tamparan yang dia berikan padaku tak sebanding dengan rasa sakit saat mengetahui kedekatannya dengan Ayu. Entah karena dia sudah tergila-gila pada wanita terkutuk itu sampai dengan tega menamparku atau memang aku yang telah melewati batas wajar sebagai istri. 

Mas Rama terkejut karena tanpa sadar dia menamparku. "Ma-maaf, Qina … aku tak bermaksud menamparmu, andai kamu menjaga tutur katamu pada Ayu," tangannya berusaha meraih tubuhku.

Kutepis dengan kasar tangan itu. Mendengar alasannya saja aku muak. Berani-beraninya dia ingin menyentuh tubuhku dengan tangan kasarnya itu. Apakah dia begitu menyukai Ayu? Sehingga dia bahkan tega menamparku dihadapan wanita itu.

"Kenapa kamu menamparku, Mas? Kamu tak pernah sekasar ini, apa kamu memang sudah sangat mencintai wanita licik itu sampai kamu tega menamparku? Iya?!"

Mas Rama menggelengkan kepala lalu mengusap wajahnya kasar. Dia bingung menghadapiku yang mulai tak terkendali lagi.

"Cukup, Mas! Kamu terus menyalahkanku atas kesalahan yang tak aku perbuat! Semua sudah jelas. Jika kamu memang ingin menikahi wanita itu, maka lepaskan aku. Aku ingin kita berpisah." ucapku ingin menguji seberapa besar rasa cintanya kini padaku.

Namun bukannya mendapat jawaban yang kuinginkan. Lagi-lagi aku ditampar sebuah kenyataan pahit. 

"Jangan seperti ini, aku tak mau menceraikanmu. Aku masih mencintaimu, Qina. Tapi … aku juga mencintai Ayu." Mas Rama kembali berusaha meraih jemariku, wajahnya mengiba meminta belas kasih. Menjijikan.

Namun tiba-tiba, Ayu menarik lengan Mas Rama dengan kasar. "Sudahlah, Mas. Bukankah memang kamu ingin menikah denganku? Ceraikan saja dia!" jemarinya menuding wajahku.

Mas Rama menggelengkan kepala tanda tak setuju, "Aku memang berniat menikahimu, tapi aku tak pernah berniat sedikitpun untuk berpisah dari Saqina."

"Aku mencintai kalian berdua," lanjutnya lagi membuatku bertambah muak.

"Hahaha. Lucu kamu, Mas! Cinta kamu bilang? Cinta seperti apa yang kamu miliki untukku, hah! Jika kamu memang benar mencintaiku, kamu tak mungkin tergoda pada wanita licik itu bahkan sampai berniat ingin menjadikannya sebagai adik maduku. Sampai kapanpun aku tak sudi!"

"Tidak, Qina. Mas mencintai kalian berdua, tolong jangan mempersulit pilihanku." Mas Rama kembali mengiba.

Plak!

Bukannya mendapatkan persetujuanku justeru lelaki itu mendapatkan sebuah tamparan keras dariku hingga meninggal-kan jejak merah lebam di pipi kanannya. Ia menyentuh pipinya yang berdenyut nyeri akibat tamparanku.

"Satu tamparan untukmu bahkan tak cukup untuk membalaskan rasa sakit hatiku!"

Aku beralih menatap Ayu, "Kamu tahu betul jika yang kamu lakukan ini salah. Kamu tahu jika mencintai suami orang meskipun dengan sejuta alasan tetap akan salah. Jika kamu memang menganggapku teman, kamu akan menutup segala kesempatan menjadi orang ketiga. Tapi apa? Kamu bahkan dengan bangga masuk ke dalam rumah tangga sahabatmu sendiri. Sudah jelas kamu tak punya harga diri!" 

Mendengar ucapanku tadi, sorot mata Ayu bertambah tajam dan nyalang. Dia masih terlihat angkuh penuh amarah menantangku.

Kutatap wajah suamiku. "Kamu tahu betul aku tak suka penghianatan, Mas!" ucapku lagi penuh emosi.

"Tapi kenapa … kenapa kamu melakukan ini padaku?"

"Salahkah aku? Katakan dimana kurangku? Katakan!" teriakku.

Aku mulai tak terkendali, emosiku memuncak hingga dadaku terasa sesak. Buliran bening yang sedari tadi kutahan agar tak luluh lantak akhirnya meluap juga. Sesak sekali rasanya. Tanpa sadar aku terjatuh terduduk di lantai yang dingin seraya tergugu.

Mas Rama menghampiriku, mencoba memeluk raga ini ke dalam dekapan. Namun lagi-lagi aku menolak dekapannya dengan kasar hingga ia terjerembab jatuh ke lantai. Ayu menghampiri seraya memapah tubuh suamiku itu agar berdiri tegak kembali.

"Sudah, Mas! Biarkan saja dia. Sekarang aku ingin kejelasan hubungan kita. Kamu memilihku atau dia?" Ayu menunjukku.

Mas Rama memandangku sesaat, "Aku … aku tidak bisa memilih salah satunya. Kamu tahu betul aku masih sangat mencintai, Qina." ujarnya.

Ayu berdecak kesal seraya menghentakan kakinya. "Baik, jika memang kamu tak ingin memperjelas hubungan kita, lebih baik kita berpisah sekarang."

"Aku tidak mau, aku mencintaimu, Ayu." Mas Rama lagi-lagi memberikan alasan klise yang menjijikan.

Ayu merasa marah dan kecewa mendengar ucapan kekasihnya itu. Dia berteriak seraya membereskan barangnya lalu berlalu pergi. Namun, Mas Rama berusaha menghentikan langkahnya.

Melihatnya ingin mengejar Ayu, aku mengiba agar Mas Rama tak mengejar sahabatku itu, ku pegang kaki kirinya sehingga dia tertahan.

"Jangan begini, Qina! Lepas!" Mas Rama memberontak berusaha melepaskan diri.

"Jangan tinggalkan aku, Mas! Tolong pertahankan rumah tangga kita, pikirkan calon anak kita, Mas." ucapku mengiba.

Mas Rama meronta berusaha melepaskan kakinya dari genggamanku. Hingga tanpa sengaja kakinya menendang keras perutku yang buncit.

Aku terjerembab ke lantai hingga genggaman tanganku pada kakinya terlepas. Rasa sakit mendera sangat cepat. Aku merintih menahan sakit. Bukannya menolongku yang tengah merintih menahan sakit, ia malah berlalu pergi terburu-buru mengejar kekasih barunya itu.

"Ah … sa-sakit,"

"Tolong … M-mas!" rintihku pelan menahan rasa sakit yang kian terasa ditubuhku.

Kucoba mengatur pernafasan yang mulai tak stabil. Rasa sakit mirip kontraksi di bagian perutku kian terasa. Dari arah pintu kulihat suamiku telah berlalu. 

Dia pergi tanpa menoleh barang sekalipun. Tega sekali kamu, Mas. Kamu bahkan meninggalkanku yang sekarat ini demi mengejar wanita licik itu. Apakah memang tak ada lagi sisa cinta di hatimu.

Aku sudah tak peduli lagi, calon bayiku lebih penting saat ini. Aku berusaha merangkak perlahan sembari menahan rasa sakit di perut. Susah payah mati-matian menahan rasa sakit hingga akhirnya sampai di teras. Namun kesadaranku perlahan mulai memudar hingga badanku tak kuat lagi menahan rasa sakit saat kurasakan cairan hangat merembes keluar dibalik rok yang tengah kukenakan.

"Ya Tuhan, jika memang ajalku segera menjemput, aku mohon … aku mohon selamatkan calon bayiku, biarkan dia hidup …," batinku memohon sebelum perlahan pandanganku gelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status